Prabu Tajimalela Raja Tembong Agung Ke 2 tahun 721-778 M, Pencetus Sumedang Larang

Sampurasun
Mugia Rahayu Sagung Dumadi
Prabu Tajimalela merupakan sosok yang sangat penting dalam sejarah Kabupaten Sumedang, Beliau lah  yang mencetuskan nama Sumedang Larang pada masa Kerajaan. 

Salah satu tempat bersejarah yang sering dikunjungi pengunjung adalah situs yang terletak di Puncak Gunung Lingga dekat Dusun Sempurmayung, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang. Menurut informasi bahwa puncak Gunung Lingga berada di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut.

Di kawasan tersebut, terdapat sebuah tumpukan batu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Prabu Tajimalela, atau yang sebagian warga kenal dengan istilah moksa atau ngahyang.

Kawasan petilasan Tajimalela sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten disingkat BPCB Banten. Hal ini dapat dilihat dari plang besi yang terpasang di lokasi tersebut.

Gunung Lingga sebagai tempat kamandalaan tempat mandita nya Prabu Tajimalela yang dikeramatkan, untuk sampai ke puncak Gunung Lingga kita harus melewati medan yang cukup melelahkan dan berjalan melewati anak tangga tembok sebanyak 460 buah yang telah dibuatkan oleh pengurus juru kunci Gunung Lingga barulah sampai dipuncaknya.

Terahing Raja lahir ke dunia diterangi cahaya bulan tahun 667 masehi, bintang-bintang bergerlapan dilangit, dan menebar kebahagian para pengagung Tembong Agung. Buah dari lamunan Prabu Aji Putih menjadi seorang pemuda ksatria, berpenampilan menarik dam penuh keberanian untuk meneruskan jejak ayahnya. 

Brata Kusuma atau yang kemudian hari dikenal Prabu Tajimalela putra sulungnya Prabu Aji Putih dari isterinya Ratna Inten Dewi Nawang Wulan. Jauh sebelum mengganti ayahnya menjadi Raja, Brata Kusuma meninggalkan keraton mencari ilmu, untuk jadi pemimpin di Keprabonan. Di suatu ketika Brata Kusuma diperintah oleh ayahnya Prabu Aji Putih untuk berguru kepada seorang Resi sakti Kidang Kancana Mas atau Resi Tjentring Manik yang tinggal di suku Gunung Cakrabuana. Setelah menjadi murid Resi Kidang Kancana Mas dan diberikan ilmu lahir dan batin, lalu disuruh tapabrata di gunung selama 21 hari untuk menyempurnakan kekuatan ilmunya.

Brata Kusuma meninggalkan tempat pertapaannya untuk mendatangi gunung-gunung, yaitu Gunung Penuh, Gunung Palasari, Gunung Puyuh, Gunung Merak, Gorowong, Gunung Nurmala atau Sangkanjaya, Gunung Simpay dan Gunung Lingga. Setelah melaksanakan petunjuk gurunya lalu pulang ke karaton Tembong Agung. Di kala cahaya terang bulan tahun 721 masehi, Brata Kusuma dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelarnya Prabu Tajimalela. 

Sesudah menjadi Raja, Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela menikahi Rangga Wulung atau yang disebut juga Dewi Mayakasih putrinya Prabu Tambak Wesi, Raja Saunggalah ke 2 antara 797 – 847 masehi dari permaisurinya Nur Ai Janah. Prabu Tajimalela dan Rangga Wulung dikarunia anak, yaitu : anak pertama Jayabrata atau Lembu Agung atau Peteng Aji, lahir tahun 743 masehi,  anak kedua Atmabrata atau Gajah Agung, lahir tahun 745 masehi  dan anak ketiga Marija Jaya atau Sunan Ulun, lahir tahun 751 masehi.

"Deudeug Lanjeur Jaya Perang di Buana Panca Tengah, Demung Panji Rona Jaya Prabu Tajimalela nu murba di Darmaraja". Kalimat tersebut menjelaskan, tujuannya meyakinkan bahwa Prabu Tajimalela seorang yang gagah sakti mandraguna tanpa tanding, tiada lawan, menguasai ilmu perang yang sudah membawa kepada kejayaan kerajaan. Raja dihormati tinggalnya di Darmaraja, dan memberi nama kerajaan yang dinamai Sumedang Larang. Asal dari kata "ingsun madangan". Ingsun artinya Aku, Madang artinya Padang, terang tampak. Aku menerangi kehidupan.

Oleh sebab menyebutkan Ingsun Madangan ketika bertapa di Gunung Lingga melihat cahaya bergulung-gulung seperti lingkaran berputar-putar dan di atas sekitar puncak gunung itu terlihat menjadi terang, disaksikan oleh Darmawisesa dan Kuntawisesa. Lalu Brata Kusuma berkata "Ingsun madangan Larang Tapa" yang artinya Aku melihat cahaya menyinari tempat bertapa menjadi terang benderang, tandanya aku harus memberi penerangan kepada yang kegelapan. Yang disebut larang yaitu tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia atau kemandalaan yang disakralkan.

Ada yang menyebutkan, di awal pemerintahannya Prabu Tajimalela membuka pelabuhan untuk menyebrangi sungai Cimanuk di daerah Lebaksiuh Darmaraja. 

Naskah Pakuning Alam Cipaku Darmaraja memberikan informasi berbeda tentang keberadaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Sang Wretikandayun 14 Suklapaksa Csitra 534 Caka atau 23 Maret 612 M, yaitu salah satu tempatnya di Darmaraja, Ciduging. Tempat dimana Ciung Wanara berencana mengadu ayamnya dengan Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban.

Prabu Guru Aji Putih putra sulung Arya Bimaraksa atau Ki Balangantrang, beliau mendirikan Kerajaan Tembong Agung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 678-721 masehi di Leuwi Hideung tidak jauh dari Ciduging Darmaraja, kemudian dilanjutkan oleh putranya Prabu Tajimalela antara 721-778 masehi. 

Saat ini posisi Cipaku dan Ciduging sebagian besar telah tenggelam oleh  Bendungan Jatigede di Kecamatan Darmaraja Sumedang, begitu juga  makam Arya Bimaraksa atau Sang Resi Agung, makam Prabu Aji Putih dan isterinya Ratna Inten Dewi Nawang Wulan.

Sewaktu di Cipeueut Darmaraja Arya Bimaraksa menitipkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan ke salah satu putranya Astajiwa adiknya Prabu Tajimalela, oleh sebab Arya Bimaraksa menerima permintaan undangan Permana Dikusuma anak Mangkubumi Kerajaan Galuh Wijaya Kusuma di Cipancar Girang Limbangan kakak ipar dari isterinya Arya Bimaraksa yaitu Dewi Komalasari putra-putrinya Prabu Purbasora. Lalu Arya Bimaraksa atau Ki Balagantrang bekas patih kawakan di masa Prabu Purbasora berkuasa sebagai Raja Galuh ke 4 antara 716-723, diutus lagi menjadi patih Kerajaan Galuh Pakuan.

Pengangkatan Permana Dikusuma sebagai Raja Galuh ke 6 antara 724-725 masehi oleh Raja Sanjaya tidak lama hanya setahun, sebab merasa terpaksa untuk menjadi Raja dan Prabu Permana Dikusuma, oleh karena itu beliau mengundurkan diri sebagai Raja Galuh Pakuan, selain itu Sanjaya Raja Galuh ke 5 antara 723-724 masehi adalah yang memerangi Prabu Purbasora kakeknya sebagai Raja Kerajaan Galuh ke-4 antara 716-723 masehi.

Sumber dari buku sejarah, ketika Sanjaya sebagai Raja yang memerintah di Kerajaan Sunda antara 723-732 masehi dan akan menguasai pandai besi yang berjumlah 800 buah di wilayah Kerajaan Sunda, anaknya Tamperan atau Aria Bondan atau Rakai Panaraban resmi diserahi negara dan pemerintahan sebagai Raja Galuh ke-5 antara 725-735 masehi.

Ketika Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang telah menjadi Resi di Gunung Padang yang terkenal kewacisannya ke setiap penjuru wilayah Galuh Pakuan karena sering menolong dan mengobati orang  bertempat tinggal di pedukuhan Cikeusik, terjadi perselingkuhan antara Raja Tamperan dan Pangrenyep isteri kedua Permana Dikusuma sebagai hadiah Raja Sanjaya ketika diangkat menjadi Raja Galuh Pakuan. Oleh karena sering ditinggal bertapa oleh Permana Dikusuma, akhirnya Tamperan mempunyai anak hubungan gelap yaitu Aria Banga atau Rahyang Banga, begitu juga Tamperan tertarik oleh kecantikan Naganingrum isteri kesatu Permana Dikusuma.  

Hal ini memicu Tamperan yang telah berkuasa sebagai Raja Galuh Pakuan mengutus patihnya Lembu Sangkala untuk membunuh Permana Dikusuma di tempat pertapaannya di Gunung Padang Darmaraja. 

Ketika isterinya Naganingrum melahirkan anak Permana Dikusuma atau Permana Ajar Padang, Raja Bondan atau Tamperan memerintahkan patihnya untuk membuang bayi tersebut, karena bayi tersebut takut nantinya membuat masalah. Bayi dalam Kandaga lalu oleh patih dibawa ke Cipatahunan serta hanyut mengalir sampai ke Cijawura, dan ditemukan di pinggiran sungai Cijawura oleh Ki Balagantrang atau Arya Bimaraksa dan Ni Balagantrang atau Dewi Komalasari yang tinggal di Cipaku Darmaraja. 

Lalu Tamperan memindahkan ibukota Kerajaan Galuh dari Ciduging Darmaraja ke Bojong Galuh yang diberi nama Kerajaan Galuh Bondan (Karang Kamulyan Ciamis sekarang), serta memboyong kedua isterinya Permana Dikusuma yaitu Pangrenyep dan Naganingrum.

Bayi yang ditemukan oleh Ki Balagantrang atau Arya Bimaraksa dan Ni Balagantrang atau Dewi Komalasari diberi nama Si Pulung Timu atau Ciung Wanara atau Jaka Suratama. Setelah Jaka Suratama cukup umur oleh Arya Bimaraksa dititipkan kepada saudaranya yaitu Tambak Wesi atau Ki Anjali, putra kedua Praburesi Guru Demunawan atau Raden Hindi, Raja Saunggalah kesatu antara 748–797 masehi. Dalam perebutan tahta di Kerajaan Galuh di jaman Prabu Purbasora yang diserang oleh Sanjaya, Kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang bebas dan tidak pernah ditundukan oleh Sanjaya. 

Sebelum menjadi Raja Saunggalah meneruskan tahta kerajaan ayahnya Prabu Guru Demunawan, Tambakwesi memimpin sebagai kepala empu Pande Domas di Kamenteng karena keahliannya dalam membuat alat-alat pekakas seperti kujang, pedang, keris dan alat-alat perkakas pertanian. Tambak Wesi atau Ki Anjali setelah mengetahui bahwa Ciung Wanara adalah anak Permana Dikusuma dari Naga Ningrum yang masih merupakan cucunya juga, karena Tambak Wesi adalah anaknya Prabu Demunawan adiknya Prabu Purbasora, akhirnya Ciung Wanara diwarisi Panday Domas tersebut, dan Ciung Wanara pun menguasai teknik pembuatan senjata. 

Sumber lainnya menegaskan Brata Kusuma dengan gelar Prabu Tajimalela yang lahir 697 masehi yang menjadi Raja Tembong Agung ke-2 antara 721-778 masehi, sejaman masa keprabuaannya dengan Jaka Suratama atau Ciung Wanara dengan gelar Prabu Mandeleswara Salaka Buana Jaya Prakosa, yang lahir tahun 715 masehi Raja Galuh ke-8 antara 739-783 masehi yang merebut tahta dari Tamperan di Kawali Karang Kamulyan Ciamis. Brata Kusuma dan Ciung Wanara pernah bersama dididik ilmu di Bagala Asih Panyipuhan di Darmaraja oleh Arya Bimaraksa atau Sang Resi Agung. 

Tamperan atau Aria Bondan atau Rakeyan Panaraban yang diserahi negara dan pemerintahan, sebagai Raja Galuh Pakuan ke-7 antara 725-739 masehi oleh orang tuanya Raja Sanjaya, pada akhirnya menimbulkan perang besar di masa Ciung Wanara yang sudah menginjak usia dewasa, oleh sebab Ciung Wanara mempunyai hak untuk meneruskan kekuasaan di Kerajaan Galuh karena anak dari Prabu Permana Dikusuma Raja Galuh yang telah dibunuh Tamperan atau Aria Bondan atau Rakeyan Panaraban.

Dengan didukung oleh pasukan bala tentara Prabu Tajimalela dari Sumedang ditambah pasukan bala tentara Mangkubumi Kerajaan Galuh Cipancar Girang Garut yaitu Darma Kusuma atau Mbah Khotib antara 664-799 masehi, karena Prabu Tajimalela dan adiknya Prabu Tajimalela yaitu Darma Kusuma atau Mbah Khotib masih saudara sepupuan Jaka Suratama atau Ciung Wanara.

Arya Bimaraksa atau Ki Balagantrang adalah sepupu Permana Dikusuma ayahnya Ciung Wanara, mempersiapkan pasukannya di Geger Sunten untuk merebut kembali takhta Kerajaan Galuh Bondan Di Kawali. Pada tahun 739 masehi, Arya Bimaraksa atau Ki Balagantrang dan Ciung Wanara menyerang Kerajaan Galuh. Serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam kerajaan antara Ciung Wanara dan Tamperan Barmawijaya putra Sanjaya.  Akhirnya Ciung Wanara dapat menggulingkan kekuasaan Tamperan atau Aria Bondan sebagai Raja Kerajaan Galuh antara 725-739 masehi.

Tamperan dan isterinya Pangrenyep ditangkap dan dipenjarakan. Sedangkan Rahyang Banga adalah anak Tamperan dan Pangrenyep yang dilakukan dengan baik oleh Ciung Wanara, sebab Rahyang Banga merupakan saudara tiri Ciung Wanara, satu ibu dari Naganingrum yang diperisteri oleh Tamperan.

Meskipun diperlakukan dengan baik oleh Ciung Wanara, namun Rahyang Banga merasa tidak lega apabila orang tuanya berada dipenjara. Kemudian Rahyang Banga berhasil membebaskan mereka, dan mereka melarikan diri ke Jawa Tengah untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno yang pada saat itu dipimpin oleh Sanjaya, kakeknya sendiri.

Di dalam proses pelarian itu, Tamperan dan Pangrenyep berhasil dikejar oleh pasukan Kerajaan Galuh sehingga mereka berhasil ditiwaskannya. Ketika ditiwaskannya Tamperan dan isterinya pada tahun 739 masehi dalam pelarian menuju ke Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno, maka tahta Kerajaan Sunda jatuh ke tangan anaknya, Rahyang Banga.

Kita kembali ke Sejarah Sumedang, Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela menikahi Dewi Mayakasih atau Rangga Wulung, yang melahirkan tiga putra, yaitu: putra pertama Jayadibrata atau Prabu Lembu Agung lahir 743 masehi,  putra kedua Atmabrata atau Prabu Gajah Agung lahir tahun 745 masehi dan Marija Jaya atau Mariana Jaya atau Sunan Ulun lahir 751 masehi, yang merupakan cikal bakal para pembesar Kerajaan Sumedang Larang. Setelah memegang tampuk kerajaan yang cukup lama, Prabu Tajimalela turun tahta dari keprabuannya.

Dalam tahun 778 Masehi Prabu Tajimalela turun dari keprabuan dan kekuasaannya diserahkan kepada putranya Jayadi Brata atau Prabu Lembu Agung dan Atma Brata atau Prabu Gajah Agung. Selanjutnya Prabu Tajimalela menjadi resi dan dalam melaksanakan keresiannya menyebarkan ajaran ke setiap tempat dan menyempurnakan ilmunya di Gunung Lingga. Ketika menjadi Resi menciptakan ilmu kasumedangan dan putika kasumedangan atau atikan tata krama kasumedangan.

Menurut cerita ketika Prabu Tajimalela menyempurnakan keilmuannya di Gunung Lingga, beliau moksa jasadnya hilang tiada bekas, disaksikan Kuntawisesa atau Raden Gedeng Waru putranya Prabu Pucuk Bumi Darma Swara Raja Sunda Pakuan antara 795-819 masehi yang juga besannya Prabu Tajimalela, menata Batu Menhir yang telah ada dengan tumpukan batu dipetilasan moksanya untuk memperingati terhadap kejadian yang aneh dan menakjubkan atas ngahyang atau tilemnya Prabu Tajimalela, ketika tapabrata untuk mencapai tingkat kesempurnaan.

Demikian sejarah Prabu Tajimalea, kekurangannya mohon dikoreksi.


Kenapa Prabu Tajimalela Bertapa Di Gunung?
Di tatar Sunda yang dikelilingi oleh gunung dianggap sebagai tempat tinggalnya parahyang, sehingga dinamakan parahyangan. Gunung dianggap sebagai jembatan transendental antara dunia atas dan bawah, merupakan lambang kekuasaan tertinggi dan sebagai pengikat jagat raya. Karena menurut kepercayaan, gunung tersebut merupakan tempat yang sakral, juga populer sebagai tempat untuk bersemedi atau Mandala Patapaan.

Gunung berperan penting dalam perjalanan sejarah Sunda karena berbagai situs megalitikum dan makam keramat umumnya terdapat di gunung. Sementara itu, pegunungan adalah perbatasan antara hunian manusia atau settled area dan wilayah asing tempat kehidupan manusia berakhir dan kehidupan lain mulai.

Gunung  merupakan sumber kehidupan masyarakat Sunda, sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah ‘Guru nu Agung’, bahwa keberadaan mandala atau kawasan yang sakral di gunung-gunung berapi merupakan perwujudan dari konsep gunung sebagai Axis Mundi. 

Konsep Axis Mundi atau lambang poros kosmos ini sendiri berakar dari pemahaman Sunda kuno yang digambarkan bahwa mandala ataupun istana secara situasi berada di pusat kosmos, sehingga mandala senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah kosmik.

Dalam perjalanan kehidupan yang sesungguhnya, manusia mengalami dan menemukan kembali 5 tahapan kehidupannya, baik pengertian maunpun pengalaman yang dijadikan simbol ajaran kesempurnaan. Dalam keilmuan alam Tata Buana dibagi lagi menjadi lima tahapan, yaitu :
1. Buana Larang atau alam lahir atau jagat semesta.
2. Buana Panca Tengah atau Alam Kehidupan atau Jiwa (Rasa)
3. Buana Nyuncung atau alam Ruh 
4. Buana Kahyangan atau alam akal budi atau rasa 
5. Buana Agung adalah sebuah istilah untuk memaknai Yang Maha Mutlak sebagai Pancer.
Hal ini ditemukan dalam kebudayaan Sunda lama Papat Ka lima Pancer.

Wujud manusia diangkat dari dua alam, yaitu alam langit dan alam bumi, disatukan dalam alam Buana Panca Tengah atau Alam Manusia atau alam perantara atau dalam bahasa Sunda Kahuripan. Alam Buana Larang atau alam jagat Semesta, dalam terminolgi ajaran Sunda buhun disebut dengan istilah Medang. Manusia bersinergi atau menyatu dengan alam dengan cara bersemedi atau bertapa, mempunyai martabat Medang Kamulyaan. Alam Buana Nyuncung tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas, keberadaan langit bersifat besar atau agung disimbolkan oleh Gunung atau Nu Agung.

Pada zaman dulu, orang suka bertapa di gunung untuk berbagai tujuan. Selain itu, bertapa di gunung juga dianggap sebagai cara untuk mencari kedamaian batin dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Kenapa gunung kerap dipilih sebagai tempat untuk menyepi dan meminta petunjuk kepada semesta oleh orang-orang zaman dulu? Tradisi ini bahkan masih berlanjut hingga zaman modern seperti sekarang.

Salah satu alasan mengapa orang zaman dulu suka bertapa di gunung adalah karena mereka percaya bahwa gunung adalah tempat yang sakral dan penuh energi spiritual.
Dalam berbagai agama, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan Shinto, gunung dianggap sebagai tempat tinggal para dewa, roh, atau leluhur. 

Orang-orang zaman dulu juga bertapa di gunung untuk mencari kedamaian batin dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Mereka berharap dapat memperoleh petunjuk, kebijaksanaan, atau pencerahan dari semesta. Mereka melakukan berbagai ibadah, meditasi, atau ritual di gunung. Banyak pula yang menjadi pertapa atau asketis yang meninggalkan kehidupan duniawi dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Ritual ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin meraih hal besar dalam hidup.

Dalam wacana kearifan lokal Darmaraja terdapat kamandalaan di 12 Gunung petilasan Purbawisesa jaman Purbahyang dan Gunung Lingga tempat mandala Patapaan Prabu Tajimalela Ngahyang salah satunya. 


Bagaimana Prabu Tajimalela Bisa Ngahyang atau ?
Bila kita kaji secara ilmu science yang dimaksud Ngahyang  Prabu Tajimalela disebut dengan ilmu kesempurnaan adalah ilmu kesempurnaan air atau ilmu al hadro, kalau kita uraikan dalam ilmu kimia science modern, dalam air atau H2O, terdapat selain terdapat unsur atom oksigen terdapat juga unsur atom Hdrogen, dan bila atom Hidrogen pisahkan dari Air atau H2O akan terjadi reaksi berantai dari atom Hidrogen dan akan meledak, begitu juga dengan tubuh manusia sekitar 70% , adalah air akan hilang jasadnya.

Dalam buku Pakuning Alam Darmaraja dipantunkan dalam bait ke 327, yaitu :
"Nah ini ilmu untuk menjadi Pendita, kalau mantra ingin mustajab, membisu, tapanya selama 3 tahun lebih, tidak boleh bercampur suami-isteri, upawasa dan tidur boleh, itu ilmu Permana Ajar Padang, ketika menjadi Begawan di Gunung Padang" 

Ilmu ini hampir sama dalam ajaran Kejawen Sunan Kalijaga yaitu ilmu Pangrucutan. Sunan Kalijaga menceritakan sebagai berikut : "Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para nabi, mendatangkan keramat seperti para wali, mendatangkan suatu kemampuan yang diberikan oleh Allah Subhana Wata'ala kepada seorang mukmin, dengan cara menjalani tapabrata selama 1000 hari seperti pesan dari kangjeng Susuhunan di Ampel Denta".  Namun di jaman kini susah orang yang mengamalkan dengan ilmu kesempurnaan Pangrucutan, hal dikarenakan selain ujian tapabrata yang lama dan berat dengan persyaratannya sehingga susah dilakukan oleh manusia modern, karena jaman sudah serba berubah ke arah kematerian.

Kalau kita Lamun menelaah mengkaji kasundaan yang mengandung 4 unsur, yaitu api, tanah, air dan udara, dari mana pengasalan itu nyata, akan tahu.

Hawa'un yang ditiupkan dalam jasad manusia, setelah sebulan ngaherang dua bulan lumenggang tiga bulan gumulung, baru ka empat bulan ditiupkan ruh, maka ada kejadian gumeter bayi bergerak, baru ke 9 bulan bayi lahir (medal)

Dalam al Qur'an disebutkan mengenai apa yang disebut Pengasalan, nyata ada jalannya dengan melalui pengasal-usulkan diri, yaitu :
1. Ada ilmu Rahyang (ilmu pengasalan api) pegangan Idajil "Kholaqohu min sijjin" (api yang sangat panasnya), yang diwariskan kepada Sayyid Anwar bin Syits bin Adam.
2. Ada ilmu Danghyang (ilmu pengasalan tanah) pegangan Nabi Adam "kholaqohu min thurob min tin min sholsolah" (dicipta dari tanah).
3. Ada ilmu Sanghyang (ilmu pengasalan air) pegangan Nabi Adam yang di wariskan kepada Nabi Syits alahissalam diwariskan lagi kepada Sayyid Anwas diwariskan lagi kepada Nabi Khidir alahissalam hidup, putranya Malaka atau Balya Ibnu Mulkan, "khuliqo min maa-in daafiq" (dicipta dari air yang memancar)

Ketika Allah Subhana Wataalla mengajarkan "Asmaa'a Kullaha" kepada Nabi Adam alahihissalam, dan Nabi Adam Alaihissalam mengetahui kepada semua yang ada di bumi, mengetahui nama tanah sehingga selesai Sahadat Bumi yang menjadi Sahadat Pengasalan jasad manusia, mengetahui yang bening-bening dinamakan air sehingga selesai atau mafhum kepada sahadat air, sahadat pengasalan rasa.

Ketika Nabi Syits alahissallam mempunyai anak Sayyid Anwar dari Dewi Delajah, putrinya Idajil, dan Sayyid Anwas dari bangsa manusia. Oleh karena pengajaran  pengasalan terbagi dua : 
1. Sayyid Anwar yang menurunkan para dewa atau para Batara diwarisi ilmu Rahyang dari Idajil.  
2. Sayyid Anwas diwarisi ilmu Danghyang dan ilmu SangHyang dari Nabi Syits alahissalam, Sayyid Anwas menurunkan para Nabi dan para wali, oleh karena itu dalam syare'at agama atau ajaran para nabi dan para rosul dalam bersuci memakai air (wudlu) atau dengan tanah (tayamum)

Setelah mengetahui keterangan ilmu pengasalan atau pengasalan asal-usul diri, tinggal kita membahas penjabarannya jadi tidak tumpang tindih dan tertukar apa itu ngahyang dengan ilmu pengasalan api, tanah dan air.
1. Dalam kajian ilmu kesempurnaan rahyang (api), ngahyangnya dengan cara Ngawereng Geni (membakar jasad dengan ilmu), caranya meditasi menghadap kepada salah satu mandala papat dengan mepet panca driya, memapatkeun Sahadat Geni dan pengasalannya, kalau yang tidak tercapai dengan ulikan ilmu tapa bratanya atau tirakatnya, ketika meninggal disyare'ati dengan cara dibakar jasadnya memakai kayu Gahru atau kayu Cendana melalui satu upacara yang dipimpin oleh Pendita Agung yang mengetahui tata caranya, seperti yang digunakan oleh agama hindu sampai sekarang. 

2. Dalam kajian ilmu kesempurnaan Danghyang (tanah), ngahyangnya disebut tilem, caranya meditasi menghadap kepada sakah satu mandala papat dengan mapat panca driya, memapatkan Sahadat Bumi dan Pangasalannya, kalau yang tidak tercapai dengan secara ilmu dan tirakatnya serta kana'atnya, ketika meninggal jasadnya disyare'ati dengan cara dikubur seperti kaum islam, kristen, dan Yahudi.

3. Dalam kajian ilmu kesempunaan Sanghyang (air), ngahyangnya dengan cara meditasi menghadap kepada salah satu mandala papat sambil mepet panca driya, 
memapatkan Sahadat Cai dan Pangasalannya, kalau yang tidak tercapai dengan cara menempuh ilmu dan tirakat kana'atnya, disyare'ati  ketika meninggal jasadnya disyare'ati jasad dilarung ke Laut, cuma cara ini sudah tidak umum lagi.

Kalau kita jeli membaca juga mempelajari lebih dalam semuanya jelas dan bisa ditelusuri ada ayatnya dina al Qur'an.

Salam Santun

Tidak ada komentar