Situs Petilasan dan Makam Yang Ada Di Puncak Gunung Lingga Sumedang

Prabu Tajimalela menjadi sosok penting bagi masyarakat Kabupaten Sumedang. Sebab, sosok inilah yang mencetuskan nama Sumedang Larang pada saat masih zaman kerajaan.

Salah satu petilasan Prabu Tajimalela yang sering didatangi pengunjung adalah yang berada di Puncak Gunung Lingga atau di dekat Dusun Sempurmayung, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang.

Namun, bagi pengunjung yang ingin ke petilasan dibutuhkan sedikit usaha. Sebab, pengunjung akan memasuki kawasan hutan serta dihadapkan dengan medan cukup menantang, yakni menapaki 460 anak tangga sebelum sampai ke puncak Gunung Lingga atau tempat petilasan itu berada.

Dari informasi yang dihimpun, puncak Gunung Lingga berada di ketinggian kurang lebih 1.200 meter di atas permukaan laut.

Menurut cerita ketika Prabu Tajimalela menyempurnakan keilmuannya di Gunung Lingga, beliau ngahyang atau tilem jasadnya hilang tak ada bekas, Kuntawisesa menata Batu Menhir dengan tumpukan batu di petilasan moksanya untuk memperingati terhadap kejadian yang aneh dan menakjubkan atas kesempurnaan ilmunya Prabu Tajimalela ketika tapa brata telah mencapai target kesempurnaan hidup.

Sampai sekarang Gunung Lingga sering dikunjungi oleh orang banyak untuk berdua, riyadoh atau tawassulan. Banyak yang mengatakan bahwa Prabu Tajimalela seorang resi yang teruji penuh dengan keilmuan, arif dan bijaksana. 

Persepsi saya itu jelas bukan makam Prabu Brata Kusuma Tajimalela, melainkan situs petilasan Prabu Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela atau Prabu Batara Tuntang Buana atau Prabu Cakrabuana atau Panji Romahyang, putranya Prabu Guru Aji Putih keturunan Galuh Pakuan.

Persepsi saya itu jelas bukan makam Prabu Brata Kusuma Tajimalela, melainkan situs petilasan Prabu Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela atau Prabu Batara Tuntang Buana atau Prabu Cakrabuana atau Panji Romahyang, putranya Prabu Guru Aji Putih keturunan Galuh Pakuan.

Situs Petilasan dan Makam yang ada di puncak Gunung Lingga Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Kabupaten Sumedang., dari sumber referensi sekunder yang dipunyai penulis dan kondisi dilapangan dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Batu Mustadad Agung, menurut buku Pakuning Alam Darmaraja batu Mustadad Agung adalah batu lingga atau batu menhir kemandala-hyangan dan juga sebagai mandala kawikwan tempat bertapa di antara 12 gunung yang ada di Sumedang, sedangkan dalam buku Sejarah Layang Darmaraja merupakan batu ciri tempat moksanya Prabu Tajimalela yang diberi tanda oleh Kuntawisesa.

2. Batu tempat duduk atau ada juga yang menyebutnya Batu Pangsujudan, merupakan batu tempat duduknya Prabu Tajimalela melakukan Tapa Brata.

3. Batu Sela Kuda, menurut cerita adalah tempat mengikat tali kuda sempraninya Prabu Tajimalela, namun bila diperhatikan dengan seksama besar kemungkinan batu andesit tersebut adalah batu alam yang besar yang akan dipakai sebagai batu menhir lainnya.

4. Batu Lulumpang dan Mutu, adalah sepasang alat yang telah digunakan sejak zaman purbakala untuk menumbuk, menggiling, melumat, mengulek, dan mencampur bahan-bahan tertentu, misalnya bahan makanan, bumbu dapur, rempah-rempah, jamu atau obat-obatan.

5. Batu Kanon, batuan andesit besar yang tersedia di lokasi tersebut, dan disebut batu Kanon karena mungkin bentuknya mirip sebuah peluru kanon yang besar. Jadi orang-orang menyebutnya Batu Kanon.

6. Makam Raden Gedeng Waru atau Kuntawisesa, putranya Prabu Pucuk Bumi Darma Swara, Raja Kerajaan Sunda Pakuan antara 795-819 Masehi dan makam isterinya Raden Gedeng Waru yaitu Sari Anten atau Sari Ruhniati, ayah-ibunya Ratu Gandrunia atau mertuanya Prabu Gajah Agung dari permaisurinya Ratu Gandrunia.

7. Makam Husnatul Aliman atau Abu Ngamuk dan makam isterinya Mukoisyah atau Hipro Kayah, kedua orang tuanya Dalem Aji Agung Mustopa atau Isak Maulana, yang makamnya di Desa Kadaka Kecamatan Tanjungsari.


Kenapa disebut Batu Menhir Tajimalela disebut Petilasan 
Dalam Buku Rucatan Sejarah Darmaraja dijelaskan diatas ketika Prabu Brata Kusuma Tajimalela melakukan Tapa Raga atau Tapa Brata, jasad dari Prabu Brata Kusuma tidak ada (menghilang) di Puncak Gunung Lingga atau dalam basa Sunda tilem (ngahyang) atau moksa dalam istilah Hindu. Bahkan ketika itu disaksikan oleh Kuntawisesa dan Darmawisesa salah seorang yang melayani Prabu Brata Kusuma ketika melakukan Tapa Brata.

Bila kita kaji secara ilmu science yang dimaksud tilemnya atau moksanya Prabu Tajimalela disebut dengan ilmu kesempurnaan adalah ilmu Kesempurnaan dari Air (al hadro), kalau kita uraikan dalam ilmu kimia science modern adalah dalam air atau H2O, terdapat selain terdapat Oksigen terdapat juga unsur Hdrogen, dan bila Hidrogen pisahkan dari Air atau H2O akan terjadi reaksi berantai dari atom Hidrogen dan akan meledak, begitu juga dengan tubuh manusia sekitar 70% , adalah air.

Namun di jaman kini susah ditemukan dengan elmu kesempurnaan Sangkan Paraning Dumadi, hal dikarenakan selain ujian tapabrata/taparaga yang lama dan berat dengan persyaratannya (susah dicerna/dilakukan oleh manusia modern, karena jaman sudah serba berubah ke arah kematerian).

Seperti yang tercatat dalam Naskah Cipaku yang dilakukan oleh Permana Dikusuma ketika Tapabrata di Gunung Padang Darmaraja sebagai berikut :

"Tah ieu elmu manditha, lamun jampe hayang matih, ngabisu tapana, meunang tilu taun leuwih, ulah ganggu ka istri, upawasa, sare meunang, eta elmuna ki Ajar Sakti, elmu manditha keur aya di Gunung Padang". 
Artinya "Nah ini ilmu untuk menjadi Pendita, kalau doa mau mustajab, membisu menahan hawa nafsunya selama 3 tahun lebih, tidak boleh bercampur suami-isteri, makan dan tidur boleh (maksudnya upawasa), itu ilmu Permana Ajar Padang, ketika menjadi Pendita di Gunung Padang" (Naskah Pakuninng Alam Darmaraja)

Namn Ki Ajar Padang / Permana Di Kusuma keburu tiwas karena dibunuh oleh telik sandinya Raja Bondan/Tamperan Panaraban, sehingga tak mencapai ilmu Taparaga untuk mencapai kesempurnaan ilmu berikutnya, seperti yang dilakukan saudaranya Prabu Brata Kusuma di Gunung Lingga. 

Satu hal lagi kenapa disebut Batu Lingga Taji diebut Petilasan, dalam Buku Pakuning Alam disebut ada 12 Gunung yang ada di Lemah Sagandu, yang saya jelaskan dibawah ini :


Purbawisesa dan Teurawisesa dalam setelah jaman Tirta atau jaman setelah jaman banjir di masa Nabi Nuh alaihissalam datang ke Paku Alam, Teurawisesa diperintahkan mendirikan 12 ciri ke Mandala hyangan di Puncak dua belas Gunung, yaitu :
1. Gunung Rengganis di Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas. 
2. Gunung Padang di Dusun Cikarut Kecamatan Darmaraja.
3. Gunung Lingga di Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu.
4. Gunung Surian ditengah Bendungan Jatigede.
5. Gunung Cakrabuana di tapal batas antara 3 kabupaten yaitu Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Majalengka.
6. Gunung Penuh di Desa Darmajaya Kecamatan Darmaraja.
7. Gunung Sangiang di Dusun Sangian Desa Buanamekar Kecamatan Cibugel Kabupaten Sumedang. 
8. Gunung Jati, di Kota Cirebon.
9. Gunung Sunda, yang ada saat ini bersama dengan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang serta Gunung Bukit Tunggul, merupakan sisa dari Gunung Sunda Purba yang pernah meletus besar pada zaman prasejarah.
10. Gunung Burangrang, masih satu rangkaian dengan Tangkuban Perahu dan merupakan hasil letusan Gunung Sunda Purba waktu zaman prasejarah di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
11. Gunung Jagat di Desa Cisampih, Kecamatan Jatigede
12. Gunung Agung atau Tampomas, secara administratif kawasan GunungTampomas berada di lima Kecamatan, yaitu Buahdua, Conggeang, Paseh, Cimalaka dan Tanjungkerta.
Dari kedua belas gunung tersebut kemudian lahir 12 (dua belas) nama bulan.

Begitu bila ditelaah batu Lingga Taji kemungkinan batu Lingga tersebut adalah batu besar sampai kedalam tanah, namun tertumpuk oleh tumpuk-tumpukan batu di atasnya, sebagai ciri Lingga Kabuyutan, yang nyungcung seperti aseupan. 

Jadi "Batu Lingga Taji" sudah ada dari awalnya dan di Gunung Lingga tersebut, dimana dijadikan tempat oleh Prabu Brata Kusuma melakukan Tapa Raga / Tapa Brata dan jasadnya moksa karena kesempurnaan ilmu yang beliau pelajari dari para Resi.

Sumber Bacaan :
1. Buku Rucatan Sejarah Darmarja
2. Naskah Pakuning Alam Darmaraja

Tidak ada komentar