Kerajaan Sunda Bagian 2
KERAJAAN SUNDA BAGIAN 2
PERJANJIAN GALUH
Sanjaya sebelum memenuhi panggilan Sena, ayahnya untuk menjadi raja di Medang, berinisiatif untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh, dihadiri oleh anggota kerabat kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling berkuasa di Pulau Jawa, sebab Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya, sedangkan Demunawan yang memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya. Semua ia lakukan untuk menunjukan rasa hormatnya kepada Sena, ayahnya.
Sanjaya sebelum memenuhi panggilan Sena, ayahnya untuk menjadi raja di Medang, berinisiatif untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh, dihadiri oleh anggota kerabat kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling berkuasa di Pulau Jawa, sebab Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya, sedangkan Demunawan yang memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya. Semua ia lakukan untuk menunjukan rasa hormatnya kepada Sena, ayahnya.
Menurut para penulis RPMSJB musyawarah di Galuh terjadi pada tahun 731 M, dan menetapkan :
(1) Daerah sebelah barat Citarum sampai keujung kulon menjadi hak waris keturunan Tarusbawa ;
(2) Daerah sebelah timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua antara Tamperan yang menguasai bagian selatan dan Demunawan yang menguasai bagian utara, termasuk bekas Galunggung dan Saung Galah ;
(3) Bagian tengah akan tetap diperintah oleh Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh – Kalingga ;
(4) Daerah sebelah timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan keturunan dari keluarga Kalingga. (Jilid 2, Bag. 4 hal. 72).
Semula Galuh diserahkan kepada Premana, namun Premana lebih memilih untuk menjadi pertapa sehingga pada akhirnya dijalankan oleh Tamperan, demikian pula Sunda. Sanjaya sejak 732 M di kerajaan Sunda digantikan oleh Tamperan. Kemudian Premana diceritakan terbunuh di pertapannya.
Riwayat kekuasaan Tamperan di Galuh terganggu oleh masalah Dewi Pangrenyep. Masalah ini menjadi masa kelam bagi hubungan Sunda – Galuh dan keturunan selanjutnya, memicu pula kemarahan Sanjaya untuk kembali menguasai Galuh. (Selanjutnya dalam uraian tentang Galuh).
Membahas raja-raja Sunda tentunya agak sulit dilepaskan dari cerita Galuh. Hal ini bukan hanya awalnya berasal dari Tarumanagara, namun akibat hubungan perkawinan dan pewaris dari kerajaan kembar tersebut maka banyak raja Sunda yang sekaligus bertahta sebagai raja Galuh.
Perbedaan Sunda dengan Galuh disebut-sebut berakhir pada masa Rakean Wuwus. Hal ini akibat dari pencampuran perkawinan antara keturunan Banga dan Manarah. Sunda dengan Galuh benar-benar dianggap bersatu kembali pada abad 13 masehi, bahkan pada abad ke – 14 sebutan untuk Sunda dengan Galuh menjadi tunggal, yakni Sunda.
Kisah Tamperan, pengganti Sanjaya di Sunda dikisahkan pula dalam alur cerita Galuh. Tamperan disebutkan sebagai pemegang tahta Kerajaan Sunda ketiga. Ia putra Sanjaya dari Tejakencana, cucu dari Tarusbawa.
Tamperan menggantikan ayahnya karena Sanjaya dipanggil Sena, untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja Medang di Bumi Mataram. Tamperan disebut-sebut memerintah Sunda sejak tahun 732 M – 739 M, namun ada yang berbendapat bahwa sebenarnya Tamperan tidak pernah menjadi Raja Sunda, karena raja Sunda masih tetap Sanjaya. Tamperan hanya memegang jabatan Duta Patih Sunda di Galuh, berdomisili di Purasaba Galuh.
Tamperan didalam Carita Parahyangan dan berita Nusantara III dianggap memiliki tabiat yang kurang baik. Diberitakan mengganggu Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah, hingga melahirkan Banga. Ia pun disebut-sebut membunuh Permana Dikusumah. Dari akumulasi perbuatannya ia dibunuh Sang Manarah, anak Permana Dikusumah.
Kisah perilaku dan masa kepemimpinan Tamperan diceritakan didalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
• Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga.
• Sang manarah males pati.
• Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
• Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah.
• Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
• Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Dari carita Parahyangan memang ada perbedaan status Manarah dengan alur yang dikisahkan versi RPMSJB. Manarah disebutkan putra dari Permana Dikusumah, sedangkan Banga memang anak Tamperan.
Tamperan wafat pada tahun 739 M. Posisinya di Galuh digantikan Manarah, sedangkan Banga, anak Tamperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu Sunda sudah berada dibawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan maksud dari buku sejarah Jawa Barat, kerajaan Sunda pernah berada dibawah kontrol Galuh terhitung sejak adanya perjanjian Galuh, yakni tahun 739 M sampai dengan 759 M.
Perjanjian Galuh
Perjanjian Galuh merupakan upaya dari para keturunan Wretikandayun, pendiri Galuh untuk menyudahi perseteruan. Ketika itu pasukan Manarah dengan pasukan Sanjaya sudah saling berhadapan untuk saling berperang. Masalah ini dipicu oleh terbunuhnya Tamperan di Galuh oleh Manarah. Namun berkat peran Resi Demunawan mereka mau berunding di Kraton Galuh.
Didalam Nusantara III/1, dijelaskan, bahwa isi dari perjanjian Galuh tersebut, sebagai berikut :
• Menyudahi permusuhan (mawusana panyatrawanan) diantara yang sedang berperang
• Mengadakan perjanjian persahabatan (mitrasamaya), beker jasama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparo pakara) diantara mereka
• Tidak boleh mengadakan pembalasan (paribhaksa) terhadap sesamanya karena mereka itu masih satu keturunan (tunggal kawitan)
• Semua prajurit yang tertawan harus dibebaskan
• Bila timbul perselisihan di antara mereka harus diselesaikan diantara mereka harus diselesaikan (telas aken) dengan damai (apakenak) dan bermusyawarah (mapulungrahi) dengan semangat persaudaraan (kaharep paduluran)
• Hubungan kekerabatan tidak boleh putus dan harus saling mengasihi
• Tidak boleh saling menyerang dan merebut kota-kota (para pura) masing-masing
• Menghormati hak ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu), yaitu :
(1) Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum kebarat dirajai oleh sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya ;
(2) Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Sang Suratoma alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabuan ;
(3) Resi Guru Demunawan menguasai negeri Saung Galah dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung ;
(4) Sanjaya memerintah di Jawa Tengah.
(RPMSJB, Jilid Kedua, hal. 79)
Untuk mengukuhkan persaudaraan diatas kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya yakni Kencana Wangi dengan Manarah, sedangkan Kencana Sari dinikahkan dengan Banga. Dari pernikahan ini maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah. Dengan demikian maka dikemudian hari keturunan Wretikandayun bersatu kembali. Kelak perbedaan keturunan ini terhapuskan akibat perkawinan antara keturunan Manarah dan Banga. Hal ini terjadi pada masa Rakean Wuwus.
Sunda Merdeka
Banga menggantikan Tamperan sebagai Raja Sunda keempat sejak tahun 739 M sampai dengan 766 M. Namun ada juga pendapat bahwa Banga raja Kerajaan Sunda yang ketiga karena Tamperan sebenarnya tidak pernah berdomisili di Sunda, ia hanya menjabat sebagai Duta Patih Sunda di Galuh.
Akibat Perjajian Galuh terpaksa kedudukan Banga harus berada dibawah Galuh. Perjanjian ini dirasakan Banga sangat merugikan posisinya. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora. Sanjaya sebagai kakeknya Banga tentu merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut. Kemudian ia secara diam-diam menganjurkan Banga untuk memperkuat kerajaan Sunda.
Banga melaksanakan ide kakeknya, setahap demi setahap ia menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, hingga iapun menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Mahardika.
Tindakan Banga menyulut kemarahan Manarah. Sekali lagi Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai Negara yang merdeka.
Peristiwa ini menempatkan Resi Demunawan sebagai orang yang bijaksana dan memiliki visi yang baik. Resi Demunawan pada Perjanjian Galuh menempatkan Sunda di bawah Galuh. Hal tersebut merupakan upaya maksimal pada saat itu. Setelah keadaan memungkinkan ia memenuhi janjinya untuk mensejajarkan Sunda dengan Galuh sehingga dapat tercipta kerukunan yang abadi.
Bangga meninggal pada tahun 766 M, berumur masih relatif masih muda, yakni 42 tahun. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, ia dilahirkan pada tahun 724 M, sehingga ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. (***)
PERPADUAN BUDAYA
Banga tentunya berada diposisi yang dirugikan akibat perjanjian Galuh, karena Sunda menjadi dibawah kontrol Galuh. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora yang menempatkan Galuh dibawah kontrol Sunda. Konon kabar Sanjaya sebagai kakeknya merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut.
Jika dilihat dari tahun kelahiran Banga, yakni pada tahun 724 M, ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. Masalah umur Banga dimungkin menjadi pertimbangan penting sehingga Sunda berada di bawah kontrol Galuh, sehingga dalam suasana yang penuh persaudaraan tersebut, maka Sanjaya dan Demunawan memutuskan agar Manarah menjadi walinya. Namun rupanya para sejarawan tidak melihat adanya spekulasi kearah sana, mengingat hubungan Sunda dan Galuh pada waktu itu dianggap sangat tajam, sehingga keputusan ini pun hanya dilihat dari sisi untung dan rugi, tidak dari nilai musyawarah yang sangat bersifat kekeluargaan.
Banga pada periode selanjutnya secara perlahan menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, ia pun tentu mendapat restu dan bantuan Sanjaya, hingga Banga menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Merdeka.
Tindakan Banga dianggap menyulut kemarahan Manarah. Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dengan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai negara yang merdeka.
Kesepakatan ini akhirnya tercapai kembali. Banga meninggal pada tahun 766 M, masih berumur 42 tahun. Namun pada tahun 852, Rakeyan Wuwus, keturunan Banga menjadi pewaris Sunda dengan Galuh, dikarenakan Linggabumi, keturunan Manarah tidak memiliki keturunan.
Banga mempunyai putera bernama Rakeyan Medang, ia menjadi raja Sunda selama 17 tahun (766-783 M) dengan gelar Prabu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakeyan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakyan Hujungkulon atau Prabu Gilingwesi (783 – 795 m), raja ini adalah putera Sang Manisri dari Puspasari, putri Manarah. Kisah Manisri dan Puspasari diabadikan dalam cerita rakyat yang terkenal dengan sebutan “Lutung Kasarung”. Tentu saja Manisri dianggap putra Sang Hyang Ambu, karena memang Manisri tidak dikenal leluhurnya, sehingga masyarakat menganggap ia turun dari Kahyangan.
Dalam kisah selanjutnya, antara Sunda dengan Galuh, atau antara keturunan Manarah dengan Banga telah terjadi perpaduan akibat perkawinan. Demikian pula pada tahun 852, Rakeyan Wuwus keturunan Banga menguasai Sunda dengan Galuh, karena Prabu Linggabumi, penguasa Galuh tidak memiliki keturunan, sedangkan Rakeyan Wuwus menikahi adik dari Linggabumi. Inilah semangat mempersatukan antara keturuan Sunda dengan Galuh.
Peristiwa ini pun terjadi sebaliknya, karena Rakeyan Wuwus tidak memiliki keturunan, maka tahtanya dilanjutkan suami adiknya, yakni Arya Kedaton, cucu dari Sang Tariwulan penguasa Galuh. Arya Kedaton memerintah pada tahun 891 sampai dengan 895, ia bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana. Namun tahta tersebut hanya diduduki dalam waktu yang sangat singkat, karena Ia dibunuh seorang Mantri Sunda yang fanatik, tidak mau tahta Sunda diperintah orang Galuh.
Perpaduan Sunda dengan Galuh semangatnya pada masa itu memang baru terjadi ditingkat penguasa, tentunya sangat terkait dengan keberhasilan Resi Demunawan didalam menginisiasi pernikahan antara keturunan Sunda, Galuh dan Saunggalah. Namun ditingkat bawah dan masyarakat masing-masing masih memiliki perbedaan yang cukup tajam, sehingga para akhli menganggap, antara Sunda dengan Galuh pada masa itu masih memiliki perbedaan budaya dan tradisi yang sangat tajam dan sulit dipadukan.
Entitas Sunda – Galuh
Menurut para ahli sejarah sebagaimana ditulis dalam RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh dimasa lalu memiliki entitas yang mandiri, perbedaan tradisi yang mendasar. Menurut Prof. Anwas Adiwilaga : Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun.
Perbedaan tradisi Sunda dan Galuh mungkin pada waktu itu dianggap menghambat hubungan keduanya. Urang Galuh merasa kurang nyaman jika dipimpin keturunan Sunda, demikian pula sebaliknya. Upaya menyatukan pernah dilakukan melalui perpaduan atau perkawinan dikalangan para raja dan keluarganya. Seperti perkawinan keturunan Manarah (Galuh) dengan Banga (Sunda), bahkan dikarenakan Manarah tidak memiliki keturunan laki-laki, maka keturunan Bangga, Rakeyan Wuwus, yang ditikahkan dengan adik Prabu Langlangbumi diangkat menjadi Raja Galuh.
Peristiwa ini menandakan adanya perpaduan keturunan Manarah dan Banga. Namun penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan urang sunda.
Diyakini diantara kedua leluhur tersebut tidak memiliki rencana dan kesepakatan untuk memilih nama dari gabungan kedua tradisi tersebut, seperti menggunakan nama sunda atau Galuh atau Sunda Galuh. Namun nama ‘Sunda’ sejak abad ke-13 sudah banyak digunakan untuk menyebut Urang Galuh dan Urang Sunda, bahkan sumber-sumber berita luar sudah banyak menyebut penduduk yang ada di wilayah Jawa Barat dengan istilah ‘Urang Sunda’. Mungkin juga Urang Sunda ketika itu dianggap lebih berperan dibandingkan Urang Galuh. Sehingga entitas penduduk di kedua wilayah tersebut disebut Urang Sunda.
Ada juga yang menyebutkan, perbedaan budaya Sunda dan Galuh tidak mendasar, dibandingkan dengan etnis lain. Masalah ini hanya di blow up oleh pihak penjajah, bertujuan agar Urang Sunda dan Urang Galuh tidak bersatu, namun Sunda dan Galuh adalah entitas yang sama, keduanya penerus generasi para penguasa ditatar Sunda, khususnya penerus Tarumanagara. Walahuallam (**).
PRASASTI CIBADAK
Sejarah tentang Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja diketahui setelah Pleyte menemukan prasasti Cibadak. Kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).
Sebelum ditemukannya prasasti Cibadak, sejarah ditatar Sunda seakan-akan berhenti tidak diketahui ujungnya, sehingga penemuan prasasti Cibadak menemukan arah yang jelas tentang kekuasaan di tatar Sunda pada masa lalu. Namun siapakah Sri Jayabupati, dan darimanakah leluhurnya ?. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat masih ada versi yang berpendapat bahwa Sri Jayabupati berasal dari luar tatar Sunda.
Leluhur Sri Jayabupati
Sepeninggalnya Prabu Darmaraksa dari Galuh yang menjadi Raja Sunda Ke-9, tahta Sunda ke-10 diwariskan kepada Prabu Windu Sakti, putranya, dengan gelar Prabu Dewageung Jayeng Buana (895-913 M). Ia digantikan oleh putranya, yakni Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916). Prabu Pucukwesi hanya memerintah selama tiga tahun, karena ia di kudeta oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, bergelar Prabu Wanayasa (916 – 942 m).
Raja berikutnya adalah Rakeyan Watuageng, dengan gelar Praburesi Atmayadarma (942–954 m), menantu Prabu Wanayasa. Ia digulingkan oleh Sang Limbur Kancana, putra dari Pucukwesi. Untuk kemudian Sang Limbur Kancana berkuasa pada tahun 954 sampai dengan 964 masehi. Berdasarkan asumsi penulis sejarah RPMSJB, kemungkinan besar ia memerintah Sunda dari Galuh, karena ia beristri salah seorang putri Galuh, keturunan Manarah. Pasca digulingkannya tahta ayahnya oleh Prabu Wanayasa, ia menetap di Galuh. Pada saat meninggal ia bergelar Sang Mokteng Galuh Pakwan (yang wafat di keraton Galuh).
Raja berikutnya adalah putranya, yakni Rakeyan Sunda Sembawa (964–973 M), bergelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayastru (mungkin juga Jagasatru), namun raja ini tidak memiliki keturunan. Ia digantikan oleh suami adiknya, yakni Rakeyan Jayagiri (973- 989 M), bergelar Prabu Wulung Gadung. Stelah dipusarakan di Jayagiri ia digantikan oleh putranya, yakni Rakean Gendang atau Prabu Brajawisesa (989 – 1012 M). Kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M) yang wafat dipertapaan, sehingga disebut Sang Mokteng Patapan. Setelah wafat ia digantikan oleh putranya, yakni Prabu Sanghyang Ageung (1019 – 1030 M), ia dipusarakan di tepi Situ Sanghyang, terletak di Desa Cibalarik – Tasikmalaya. Dan inilah leluhur Sri Jayabupati (1030 – 1042 M).
Sri Jayabupati
Pada masa raja-raja diatas seolah-olah Sunda kehilangan catatan sejarah. Baru diketahui jujutannya kembali pada Masa Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja, raja Sunda ke-20 dari alur Tarusbawa. Keberadaan Sri Jayabupati terungkap setelah Pleyte (1915 M) menemukan prasasti Cibadak– Sukabumi.
Setelah Pleyte menemukan prasasti Cibadak, kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).
Prasasti Cibadak terdiri dari 4 buah batu bertulis yang ditemukan dialiran Sungai Citatih. 1 batu ditemukan di kampung Pangcalikan, sedangkan 3 batu ditemukan di Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Sukabumi. Menurut para ahli sejarah, prasasti tersebut dibuat pada tanggal 11 Oktober 1030.
Dalam menjelaskan Sri Jayabupati, menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, namun juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa.
Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Datia Maharaja yang berkuasa selama tujuh tahun. Urutan dari sirsilah Sri Jayabupati dari Banga berdasarkan, diuraikan, sebagai berikut :
• Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu bener. – Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun. – Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun. – Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun. – Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe. – Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun. – Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun. – Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun. – Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.
Prasasti Cibadak
Batu tersebut saat ini disimpan di Musium pusat, diberi nomor D-73, D-96, D-97 dan D-98.
D 73 :
//O// ”Swasti shakawarsatita karttikamasa tithi dwadashi shuklapaksa. ha. ka. ra. wara tambir. irika diwasha nira prahajyan sunda maharaja shri jayabhupati jayamanahen wisnumurtti samarawijaya shakalabhuwanamandaleswaraninditaharogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-”
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan
sunda. mwang tan hanani baryya baryya cila. rikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujani hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.’
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
D 98 :
indah ta kita kamung hyang hara agasti phurbba daksina paccima uttara agniya neriti bayabya aicanya urddhadah rawi caci patala jala pawana hutanasanapah bhayu akaca teja sanghyang mahoratra saddhya yaksa raksa sapicara preta sura garuda graha kinara mahoraga catwara lokapala yama baruna kuwera bacawa mwang putra dewata panca kucika nandiwara mahakala durggadewi ananta surindra anakta hyang kalamrtyu gana bhuta sang prasidha milu manarira
umasuki sarwwajanma ata regnyaken iking sapatha samaya sumpah pamangmang na lebu ni paduka haji i sunda irikita kamung hyang kabeh …….
pakadya umalapa ikan …….i sanghyang tapak ya patyananta ya kamung hyang dentat patiya siwak kapalanya cucup uteknya belah dada mya imun rahnya
rantan ususnya wekasaken pranantika …… i sanghyang kabeh tawathana wwang baribari cila irikang Iwah isanghyang tapak apan iwak pakan parnnahnya kapangguh i sanghyang …….. maneh kaliliran paknanya kateke dlaha ning dlaha ….
…. paduka haji sunda umademakna kadarman …. ing samangkana wekawet
paduka haji sunda sanggumnti ring kulit kata karmanah ing kanang …
… i sanghyang tapak makatepaiwah watesnya i hulu i sanghyang tapak i ….
…… i hilir mahingan i-Rikang ….. umpi ing wungkal gde kalih. I
Wruhhanta kamung hyang kabeh ??Q?? (RPMSJB, Jilid Ketiga, hal 12)
Terjemaahan dari prasasti tersebut pada initinya, berintikan tentang :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowar dhana Wikramottung gadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hulu sampai batas daerah kabuyutan sanhyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar.
Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah oleh raja Sunda yang bunyi lengkap demikian :
Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agatsya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur laut, zenith, nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, sernja, yaksa, raksasa, pisaca (sebangsa peri), sura, garuda, buaya, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera dewata Pancakusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (dewa ular), Surindra, putra Hyang Kalamercu, gana (makhluk setengah dewa), buta (sebangsa raksasa), para arwah semoga ikut, menjelma merasuki semua orang, kalian gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini.
Prasasti Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati telah membuat tapak disebelah timur kabuyutan sanghyang tapak. Dibagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan tersebut orang dilarang menangkap ikan. Mungkin pada saat itu penduduk disekitar prasasti sangat taat terhadap keyakinannya dan sangat takut terhadap kekuatan gaib, sebagaimana ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tanpa hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti himbauan tersebut.
Suatu hal yang merupakan ciri umum, prasasti-prasasti di tatar Sunda (sejak masa Tarumangara) pada umumnya ditemukan di bekas lokasi kabuyutan, seperti prasasti Kawali, prasasti Galunggung dan Batutulis, namun tak pula dapat dihindari jika prasastu tersebut banyak pula yang ditemukan di bantara sungai, seperti prasasti ciaruteun dan kebon kopi. Dalam hal ini menandakan bahwa peranan kabuyutan dan sungai memiliki peranan yang sangat vital dimasa lalu.
Keberadaan prasasti di Cibadak pernah menjadi spekulasi bagi para ahli sejarah. Pertama, tentang pusat pemerintahan Sunda waktu itu, tak kurang para ahli yang mensinyalir bahwa ibukota Sunda pernah ada di wilayah tersebut. Namun keberadaan prasasti di kabuyutan tersebut tentunya tidak berarti harus menjadi pusat pemerintahan, karena kabuyutan memiliki peranan yang strategis dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sebagai daerah yang disucikan maupun tempat menuntut ilmu.
Kedua, prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuna dianggap daerah ini pernah menjadi bawahan Raja Erlangga. Namun jika dilihat dari tanggal pembuatannya, tidak mungkin Erlangga berada diwilayah ini, mengingat ketika itu ia disibukan menundukan kerajaan disekitar Jawa Timur, baru selesai setelah lima tahun ia berkuasa. Keberadaan prasasti Cibadak di sekitar Citatih dianggap tidak lajim jika dibuat oleh raja bawahan.
Perkawinan
Menurut naskah Wangsakerta, tanda tersebut memang dibuat oleh Sri Jayabupati sebagai tanda penobatannya. Sri Jayabhupati dikenal-kenal memerintah Sunda pada tahun 1030 – 1042 masehi, ia putra Sanghyang Ageung yang dipusarakan di Situ Sanghyang. Namun sampai sekarang belum terungkap hubungannya dengan makam keramat yang ada di Situ Sanghyang Cibalanarik, Tasikmalaya.
Penggunaan corak Jawa Timuran didalam prasasti tersebut dapat dipahami, mengingat Sri Jayabhupati adalah menantu Prabu Darmawangsa dari Jawa Timur. Ia memperistri adiknya Dewi Laksmi, istri Erlangga. Antara Erlangga dengan Sri Jayabhupati memiliki mertua yang sama. Sedangkan gelar Sri Jayabhupati adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, sama halnya dengan gelar yang diterima Erlangga.
Sri Jayabhupati juga memperistri putri melayu, putra mereka kemudian berjodoh dengan putri Sriwijaya. Selain itu, dua orang putri Sri Jayabhupati juga diperistri oleh menteri dari Bali dan Jawa Timur. Demikian pula kemenakannya, ada pula yang diperistri oleh Raja Wura wuri. Konon raja ini membunuh Darmawangsa, kemudian didalam prasasti Calcutta dikenal dengan itsilah pralaya. Darmawangsa disebut pula Sang Mokteng Kadatwan ( yang gugur di keraton).
Kisah pembunuhan Darmawangsa konon kabar merupakan pemberontakan Sriwijaya yang dilakukan tidak langsung. Hal ini dianggap sebagai balas dendam Sriwijaya, mengingat sejak tahun 900 an Sri Wijaya harus tunduk kepada Darmawangsa setelah menderita kekalahan dalam pertempuran. Untuk itulah Sriwijaya menggunakan tangan Wurawuri.
Tentang kekerabatan ini, diuraikan dalam Pustaka Nusantara I/2, :
“Mangkana ta hana pakadangan pantara raja Criwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Tguh mwang raja Bali. Dadekya yudha nira kawalya rumebut yacawiryya mwang ahyun pinuja” (ada pertalian kekerabatan antara Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Teguh dan raja Bali. Jadi, peperangan diantara mereka itu hanyalah perebutan kemashuran dan ingin dipuja).
Ketika peristiwa pembunuhan Darmawangsa, Sri Jayabhupati masih berkedudukan sebagai putra mahkota. Tentu menjadikan posisinya menjadi pelik bagi Sunda. Disisi lain Pustaka Nusantara I/3 menjelaskan, bahwa :
Lawan mangkana Sunda i Bhumi Jawa Kulwan nityacah dumadi wyawahara pantara ning rajaraja Criwijaya, Jawa, Cina, Cola mwang akweh manih rajya lenya. I sedeng raja haneng Bhumi Jawa Kulwan yatiku rajya Sunda lawan rajya Ghaluh tan ahyun ri sewaka ring sira kabeh, tan angga dumadi mandalika nira (Dengan demikian, Sunda di Bumi Jawa Barat selalu menjadi rebutan diantara raja-raja Sriwijaya, Jawa, Cina, Cola, serta negara-negara lain ; sedangkan raja di Bumi Jawa Barat yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh tidak mau tunduk kepada mereka semuanya, tidak ingin menjadi raja bawahan mereka).
Pasca Sri Jayabhupati
Sri Jayabupati wafat pada tahun 1042 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakala sundabuana, putranya yang dikenal pula dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena ia dimakamkan di Winduraja, Kecamatan Kawali, Ciamis. Dari posisi ini disinyalir, bahwa pusat kekuasaan Sunda waktu itu berpusat disebelah timur, tidak di Pakuan.
Posisi Desa Winduraja di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis saat ini diyakini menyimpan misteri kepurbakalaan, bahkan dengan dimakamkannya Darmaraja dilokasi ini disinyalir pemerintahan Sunda pernah terletak di kawasan timur, tidak di Pakuan. Data lokasi tersebut didukung pula dengan adanya makam Prabu Darmakusuma (1157 – 1175 M) yang dipusarakan di Winduraja.
Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 – 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Mungkin sekali salah seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri – Janggala, yakni Maharaja Jayabuana Kesanananta Wikramo tunggadewa (1102 – 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari, pelarian dari Kediri sebagaiamana yang diceritakan dalam Babad Galuh.
Para pengganti Sri Jayabupati, menurut Fragmen Carita Parahyangan sampai dengan Prabu Maharaja, di uraikan sebagai berikut :
• Pengganti Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun. – Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan puluh dua taun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah. – Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas taun. – Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. – Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. – “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. – Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun. – Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun. – Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun. – Nu hilang di Kiding, lilana jadi ratu tujuh taun. – Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun. – Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
GALUNGGUNG
Geger Hanjuang
Sri Jayabupati digantikan oleh puteranya, yaitu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana, berkuasa pada tahun 1042 – 1065 M, didalam Fragmen Carita Parahyangan disebutkan : Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun. Darmaraja dikenal pula dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena dimakamkan di Winduraja.
Pengganti Darmaraja adalah Prabu Langlangbumi yang bertahta pada tahun 1065 – 1155 M. Fragmen Carita Parahyangan menyebutnya : Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan puluh dua taun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatang keun gemah ripah.
Pada masa pemerintahan Langlangbumi dianggap membawa kerajaan Sunda pada kesentausaan. Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti yang ditemukan di Galunggung dekat bukit Geger Hanjuang, oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti tersebut kemudian disebut Prasasti ‘Geger Hanjuang’ atau Prasasti ‘Galunggung’.
Prasasti Geger Hanjuang sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26. Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuna yang cukup terang untuk dibaca. Walaupun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun.
Isi prasasti tersebut, sebagai berikut :
tra ba i gune apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu(k) ku batari hyang pun
Menurut RPMSJB (1983 – 1984) : Prasasti tersebut bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya ialah : Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang. – Karena tidak disebutkan paksa (separuh bulan) dalam prasasti ini digunakan sistem amanta (perhitungan tanggal dari bulan baru ke bulan baru) yang hitungan tanggalnya diteruskan sampai 30. Perhitungan menurut tarih Masehi kira-kira tanggal 21 Agustus 1111 masehi. (RPMSJB, buku ketiga, hal 17).
RPMSJB menjelaskan pula, bahwa : Rumatak oleh penduduk setempat disebut Rumantak, bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Han¬juang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan. Berita serupa dapat di temukan dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor. Sedangkan tokoh Batari Hyang di duga sebagai penguasa Kerajaan Galunggung waktu itu, adalah keturunan dan ahli waris Resiguru Sempakwaja pendiri Kerajaan Galunggung. (Ibid).
Kerajaan Galunggung
Pengaruh Galunggung terhadap perkembangan sejarah di tatar Sunda tidak terlepas dari eksistensi Resi Demunawan untuk menyatukan Sunda dengan Galuh, terutama ketika masa Sanjaya dan Manarah. Resi Demunawan mempersatukan Sunda dengan Galuh melalui perkawinan Manarah, Banga dan keturunan Saunggalah. Pengaruh dari Galunggung tersebut terlihat pula pada proses terbentuknya Perjanjian Galuh.
Pasca Resi Demunawan, Galunggung masih tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mengingat sejak pertama diperintah oleh Sempakwaja, Galunggung sudah menjadikan dirinya Negara Agama atau “Kebataraan”.
Kerajaan Galunggung telah ada pada Jaman Sempakwaja, putra Wretikandayun, pendiri Galuh (670). Daerah Galunggung diberikan Wretikandayun kepada Sempakwaja seiring dengan diangkatnya Amara – Mandiminyak, adik Sempakwaja sebagai putra mahkota Galuh. Sempakwaja diberi gelar Resiguru di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru.
Menurut RPMSJB : “Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh Singaparna (berbahasa sunda berhuruf arab) dan berasal dari bagian akhir ada ke-19 masih menyebutkan tokoh sempakwaja diantara generasi pertama Kerajaan Galunggung. Ia masih dikenal dan disebut dalam berbagai mantra dan do’a. Ia sudah “didewakan” orang” (Buku Ketiga, hal.18). Mungkin yang dimaksudkan sudah “didewakan” sama halnya dengan pemahaman saat ini, yakni “dianggap orang suci”, karena peranannya dimasa lalu.
Galunggung dari masa kemasa memainkan peranan yang cukup penting, terutama sebagai pengimbang Galuh dan Sunda. Pada tahun 723 M, Sempakwaja pernah menyerahkan Galunggung beserta daerah bawahannya kepada putranya, Resi Demunawan sebagai bagian dari pembentukan Saung Galah. Resi Demunawan dikenal pula dengan sebutan Sang Seuweu Karma atau didalam carita Parahyangan dikenal dengan sebutan Rahiyang Kuku.
Kekuasaan Galunggung dalam tradisi silam dianggap sebagai sumber ilmu, karena ia dirikan sebagai “kerajaan agama”. Galunggung menurut Fragmen Carita Parahyangan memiliki batas sebelah utara gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar, dan sebelah selatan Ciwulan.
Kekuasaan Galunggung dalam tradisi silam dianggap sebagai sumber ilmu, karena ia dirikan sebagai “kerajaan agama”. Galunggung menurut Fragmen Carita Parahyangan memiliki batas sebelah utara gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar, dan sebelah selatan Ciwulan.
Berdasarkan catatan sejarah Kabupaten Tasikmalaya, eksistensi Galunggung dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII, Kerajaan tersebut sekarang menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Pemerintahan Galunggung pada masa awal berbentuk “Kebataraan”. Galunggung mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Sejak masa Batara Hyang pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan, sehingga disebut Kerajaan Galunggung.
Pada abad ke 18 kerajaan tersebut masih ada dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Karena alasan Historis, penduduk Kampung Naga di Salawu tabu menyebut nama Singaparna, mereka tetap menggunakan nama Galunggung.
Tentang Kerajaan penguasa Galunggung, yakni Hyang Batari dikenal adanya ajaran – tetekon hirup yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian, ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati atau sang bijaksana atau sang budiman. Memang unik karena “pencipta” ajaran kesejahteraan hidup yang harus men¬jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita. Namun sampai saat ini belum ada sejarah yang membeberkan masalah ini. Biasanya ajaran demikian merupakan dominasi laki-lali dan bersifat maskulin, terutama ketika menyangkut masalah agama atau keyakinan. Demikian pula alasan Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindungan pusat pemerintahannya sampai saat ini juga belum dapat dijelaskan.
Amanat Galunggung
“Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah”. Demikian cuplikan dari Amanat Galunggung yang dikenal pula dengan sebutan Amanat Prabu Darmasiksa.
Amanat ini disampaikan oleh Prabu Darmasiksa raja Saunggalah kepada Rajaputra yang kelak menggantikannya di Saunggalah, sebelum Prabu Darmasiksa pindah ke Pakuan (1187) untuk menjadi raja Sunda yang ke-25. Dari kropak 632, yang ditulis pada daun lontar, diketahui, Rajaputra dimaksud adalah Sang Lumahing Taman.
Isi kropak 632 yang dijelaskan tersebut adalah dari “ajaran pembuat parit Galunggung”, sedangkan tokoh pembuat parit Galunggung dalam prasasti Geger Hanjuan dikenal dengan nama “Batari Hyang”. Ajaran ini digunakan oleh Prabu Darmasiksa untuk menasehati putranya, namun nasihat tersebut ditujukan pula untuk semua anak cucunya, keturunannya kelak.
Jika dicermati lebih jauh, naskah ini memuat tentang tata politik pada jaman dahulu kala, sedangkan fungsi Kabuyutan digunakan sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Dari naskah ini diketahui peran Kabuyutan pada waktu itu, yakni merupakan salah satu pilar penting dari keberadaan negaranya, merupakan pusat kekuatan gaib raja dan kerajaannya.
Dalam periode lainnya kabuyutan disebut dangiang Sunda, tempat harga diri urang sunda dipertahankan, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja, bahkan dianggap sakral. Sehingga jika gagal melindungi kabuyutan Galunggung, ia (rajaputra) lebih hina dari derajatnya kulit lasun ditempat sampah. Demikian pentingnya kabuyutan bagi kelangsungan negara menurut pemahaman urang Sunda dimasa silam.
Kegaiban raja dan kerajaannya yang dimaksud mungkin menyangkut kekuatan spiritual dari nilai-nilai yang ada dan diajarkan didalam lingkup kabuyutan. Ia bisa menjadi tuntutan perilaku para pemimpin dalam menjaga negerinya dan menjaga tradisi Sunda.
Amanat Galunggung bukan suatu judul naskah yang langsung ditulis demikian, namun disebutkan bagi sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy Garut. Penamaan terhadap kumpulan naskah menjadi ‘Amanat Galunggung’ diberikan oleh Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah ini pada tahun 1987. Menurut RPMSJB : Isi kropak tersebut yang dijelaskan sebagai “ajaran pembuat parit di Galunggung” (Batari Hyang) justru merupakan nasehat Darmasiksa kepada putranya sebelum ia berangkat ke Pakuan” (Buku ketiga, hal 20)
Naskah yang dikatagorikan sebagai salah satu naskah tertua di Nusantara ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah. Naskah ini menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda.
Jika dihubungan dengan Prabu Darmasiksa yang diceritakan dalam naskah Amanat Galunggung, menyebutkan Darmasiksa pernah memerintah Sanggalah II. Nama keraton tersebut sama dengan nama Keraton Resi Demunawan di Kuningan, yakni Saunggalah. Pada periode berikutnya berubah menjadi Saunggatang atau Saungwatang, terletak di Mangun reja. Ketiga nama tersebut berarti sama, yakni Rumah Panjang, suatu julukan yang wajar disebutkan pada masa itu untuk sebuah Keraton.
Didalam penelusuruan tentang hubungan Saunggalah I dengan Saunggalah II ditafsirkan, bahwa Saunggalah II kelanjutan dari Saunggalah I. Pendapat ini tentu akan mempengaruhi terhadap penafsiran Prabu Darmasiksa, sehingga ia disebut-sebut masih keturunan Resi Demunawan.
Beberapa penafisran sejarah mencoba menghubungkan bibit buit Rakyan Darmasiksa, pada akhirnya menyimpulkan muasal leluhurnya dari Kendan. Jika kita menyoal masalah Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh, sehingga tak heran jika banyak masyarakat yang menafsirkan Amanat Galunggung terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu. Konon kabar, ajaran Sunda Wiwitan yang sekarang dijadikan tetekon hidup justru berkembang di wilayah ini, tidak di Pakuan, yang kadang pacaruk dengan ajaran lain sehingga susah menemukan identitas dari ajaran Sunda Wiwitan.
Didalam carita Parahyangan disebutkan Darmasiksa, atau Prabu Sanghyang Wisnu memerintah selama 150 tahun, namun di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. Sebagai bahan perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya. Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).
Menurut Carita Parahyangan yang mengisahkan sejarah Galuh, naskah yang diberi nama Amanat Galunggung memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Masa ini terkait dengan kisah perebutan tahta Galuh oleh sesama keturunan Wretikandayun, yakni antara anak-anak mandi minyak disatu pihak dan anak dari Sempak Waja dan Jantaka. Sehingga secara politis, Sanggalah dijadikan kunci penting dalam menyelesaikan pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun.
Kemudian masalah eksistensi Sanggalah, tentunya tidak dapat pula dilepaskan dari eksistensi Demunawan yang memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh teureuh Kendan. Karena sekalipun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu mempengaruhi pola kebijakannya. Teka-teki tentang pengaruh dan kewibawaan Demunawan, yang dituruti semua pihak yang bertikai di Galuh inilah yang mungkin dapat dijadikan sandaran, bahwa Demunawan memang seorang tokoh agama, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Saunggalah I, mempunyai suatu “ajaran”. Kemudian dianut pula oleh keturunannya yang menjadi Raja di Saunggalah I (Kuningan) dan kemudian pindah menjadi raja di Saunggalah II (Mangunreja / Sukapura) yaitu Prabu Guru Darmasiksa.
Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I. Letak wilayah tersebut disinyalir di desa Ciherang, Kadugede, Kuningan. Kemudian diserahkan kepada puteranya dari istrinya yang berasal dari Darma Agung, yang bernama Prabu Purana (Premana).
Amanat Prabuguru Darmasiksa dari setiap halaman, diberi nomor sesuai terjemahan yang diberikan oleh Saleh Danasasmita (1987). Sistematika rangkuman tersebut terbagi dalam 4 bagian, yakni : (1) Amanat yang bersifat pegangan hidup / tetekon hirup. ; (2) Amanat yang bersifat perilaku yang negatif (non etis) ditandai dengan kata penafian “ulah” (jangan) dilakukan. ; (3) Amanat yang bersifat perilaku yang positif (etis) ditandai dengan kata imperatif “kudu” (harus) ; (5) Kandungan nilai, sebagai interpretasi penulis.
KEUTUHAN SUNDA
Didalam bab terdahulu telah diuraikan tentang Prabu Darmasiksa dan kaitannya dengan Amanat Galunggung. Ia memiliki visi penting tentang peranan Kabuyutan dan spirit atas nilai-nilai Galunggung yang perlu dipertahankan oleh anak cucunya. Namun siapakah Prabu Darmasiksa ? dan sebesar apakah peranannya terhadap ajegna Kerajaan Sunda ?.
Prabu Darmasiksa didalam Fragmen Carita Parahyangan disebutkan memerintah selama 150 tahun, namun di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. Sebagai bahan perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya. Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).
Carita Parahyangan menceritakan Darmasiksa sebagai titisan Dewa Wisnu yang mengikuti Sanghyang Rama dan mengamalkan Sanghyang Siksa. Fragmen tersebut, sebagai berikut :
• Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti.
• Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Pustaka Nusantara II menerangkan bahwa permaisuri Darmasiksa keturunan Sanggramawijayottunggawarman, penguasa Sriwijaya yang bertahta sejak tahun 1018 sampai dengan 1027 M. Dari pernikahannya melahirkan dua orang putra, yakni Rakeyan Jayagiri atau Rakeyan Jayadarma dan Sang Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah, dikenal pula dengan sebutan Sang Lumahing Taman.
Rakeyan Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal, sedangkan putranya yang kedua, yakni Ragasuci dijodohkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawarmadewa, dari Melayu. Sedangkan Dara Kencana, kakak dari Dara Puspita diperistri oleh Kertanegara, raja Singosari.
Darmasiksa mencoba memperbaiki hubungan antara Melayu dengan Singosari melalui tali perkawinan putra-putranya. Dengan posisi demikian ia mampu menempatkan Sunda menjadi negara yang netral diantara dua kekuatan yang berseteru.
Perjanjian Sriwijaya – Kediri
Pada masa Darmasiksa memang Sunda tidak memiliki angkatan laut yang kuat, sebagaimana yang dimiliki Sriwijaya dan Jawa Timur. Hal ini terjadi pula pada masa ia memindahkan wilayahnya ke Saunggalah II, sehingga menyebabkan pantai utara Jawa Barat menjadi sarang bajak laut, dan berangsur-angsur pelabuhan bagian utara Cimanuk secara de facto menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.
Di Jawa Timur sejak masa Jayabaya (1135 – 1159 M), Kediri mulai berkembang, ia memiliki angkatan laut sebanyak tiga laksa (+ 30.000) prajurit. Kediri makin berkembang pesat setelah dipegang oleh cucunya, yakni Sri Maharaja Aryeswara (1171 – 1181 M), sering juga dipanggil Prabu Angling Darma. Namun ia tidak berhasilkan mengalahkan Sriwijaya dilaut.
Setelah wafat ia diganti oleh putranya, yakni Sri Ganda (1181 – 1185 M) dengan gelar Prabu Ajipanasa Sri Kroncaryadipa. Sri Ganda melanjutkan keinginan ayahnya untuk mengalahkan Sriwijaya. Pertempuran tersebut terjadi di perairan Sunda, kedua belah pihak menderita kekalahan dan mundur ke basis masing-masing. Akhirnya kedua pihak tersebut memintakan bantuan Maharaja Cina untuk memberikan perlindungan.
Pada tahun 1182, Maharaja Cina mengabulkan permohonan bantuan tersebut dengan menyarankan agar keduanya berdamai, kemudian menyepakati untuk mengadakan perdamaian. Perjanjian dimaksud dilakukan di Sundapura.
Perundingan damai dipimpin langsung oleh Duta Cina, disaksikan oleh negara-negara sahabat kedua belah pihak, termasuk raja Sunda. Hasil perundingan disepakati, bahwa Sriwijaya dan Kediri hanya boleh bergerak di wilayahnya masing-masing, yakni Sriwijaya bergerak dikawasan Nusantara sebelah barat sedangkan Kediri disebelah timur Nusantara.
Posisi dari hasil perundingan ini menggugah pula Darmasiksa, untuk memindahkan Sunda kewilayah yang dekat dengan pantai. Maka pada tahun 1187 ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan, Keraton yang semula didirikan oleh Maharaja Tarusbawa.
Ekspansi Singasari ke Sriwijaya (Pamalayu)
Pada tahun 1182 M terjadi babak baru perubahan perpolitikan di Jawa Timur. Ken Angrok berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menjadi Akuwu Tumapel. Cucu dari Ken Angrok dari Ken Umang, yakni Mahisa Campaka disebut-sebut lebih akrab berhubungan Sunda, sehingga terjadi persahabatan diantara Sunda dengan Tumapel.
Pada masa Jayawisnuwardana, raja Tumapel yang berkuasa dari tahun 1250 – 1268 M, cucu Ken Dedes dari Tunggul Ametung ini berbesanan dengan raja Melayu. Dengan posisi ini Darmasiksa memiliki posisi yang strategis dari pertalian perkawinannya. Ia berbesanan dengan raja Melayu dan raja Tumapel, ia pun merupakan kerabat Sriwijaya dari trah istrinya.
Pada masa-masa itu Sriwijaya sedang mengalami penurunan pamor, namun mendapat perlindungan Maharaja Cina. Di Jambi telah berdiri kembali kerajaan Melayu, bernama Melayu Darmasraya. Peristiwa lainnya dalam tahun 1128 M telah berdiri kerajaan Islam pertama di Pasai, diperintah oleh Sultan Abdul Al-Kamil. Selain itu pada tahun 1151 M di Perelak berdiri pula negara Islam dibawah Sultan Alaidin Syaj (1151 – 1186 M). Negara Islam kecil tersebut mendapat dukungan dari Mesir, Gujarat dan Singasari, sehingga berani menentang Sriwijaya.
Pada tahun 1275 M Sultan Makhdum Abdul Malik Syah menyatakan bahwa Perlak tidak lagi dibawah Sriwijaya. Sebelum mengeluarkan statement tersebut terlebih dahulu meminta bantuan Kertanagara, penguasa Singasari sahabat Melayu. Karena bantuan Singasari belum tiba maka Perlak dapat ditundukan Sriwijaya dan Sultan Makhdum gugur.
Kertanegara serta merta mengirimkan pasukannya yang besar, dibawah pimpinan Mahisa Anabrang. Pasukan ini pun singgah selama dua hari di Sunda, sekaligus untuk mengetahui informasi tentang kekuatan Sriwijaya. Kemudian pada tahun 1275 Sriwijaya dapat ditundukan Singasari.
Kekalahan Sriwijaya disebabkan baru saja menyerang Melayu, sehingga semua sumber daya sudah terkuras. Kedua Cina sebagai pelindung Sriwijaya pada saat itu memang sedang disibukan dengan melakukan penyerangan ke wilayah perbatasannya, dibawah pimpinan Kublai Khan.
Jaka Susuruh atau Raden Wijaya
Rakeyan Jayadarma sebagaimana kisah diatas dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal. Dari pernikahan Rakeyan Jayadarma, ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Sang Nararya Sanggramawijaya atau sering disebut Raden Wijaya. Namun Jayadarma wafat pada usia muda, sehingga Dyah Lembu Tal memohon ijin untuk tinggal di Tumapel bersama putranya.
Raden Wijaya setelah dewasa ia menjadi senapati Singasari, pada waktu itu diperintah oleh Kertanegara, hingga pada suatu ketika ia mampu mendirikan negara Majapahit. Raden Wijaya didalam Babad Tanah Jawi dikenal juga dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran, karena ia memang lahir di Pakuan.
Dalam Pustaka Nusantara III dijelaskan, bahwa Darmasiksa masih menyaksikan Raden Wijaya, cucunya mengalahkan Jayakatwang, raja Singasari. Kemudian dengan taktis ia mampu menyergap dan mengusir laskar Kublay Khan dari Jawa Timur. Kemudian empat hari pasca pengusiran pasukan Cina, atau pada 1293 M, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Wilwatika dengan gelar Kertarajasa Jayawardana.
Peristiwa yang juga direkam didalam Pustaka Nusantara III tentang Darmariksa memberikan nasehat kepada Raden Wijaya, cucunya. Ketika itu Raden Wijaya berkunjung ke Pakuan dan mempersembahkan hadiah kepada kakeknya, sebagai berikut :
Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrum, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang Sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatika sakopayana maweh carana ; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
(Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya. – Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu,
bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan menjadi keselamatan dankebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit).
Dari uraian diatas tentunya dapat disimpulkan, bahwa Darmasiksa memiliki peranan yang cukup besar terhadap keutuhan Sunda. Dilakukan tidak menggunakan kekuatan militer, melainkan dengan cara Diplomasi. Kiranya keindahan leadership Darmasiksa patut dicontoh oleh generasi berikutnya. Selain ia ahli agama dan memegang erat tetekon keyakinannya, ia pun mampu menjalankan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Penerus Darmasiksa
Darmasiksa wafat tahun 1297 M. Sebelumnya ia telah menunjuk Citraganda (1303 – 1311 M), cucunya putra Prabu Ragasuci untuk memerintah di Pakuan. Ia sejaman dengan Raden Wijaya (1293 – 1309) dan Jayanegara (1309 – 1311 M) di Majapahit. Sedangkan sebelum perpindahan lokasi pemerintahan ke Pakuan, di Saunggalah masih dipegang oleh Ragasuci. Untuk kemudian Ragasuci meninggal dan dikuburkan di Taman (Tasik). Mungkin ini juga akhirnya Ragasuci disebut Sang Lumahing Taman.
Pada masa Citraganda pakuan dianggap sudah mulai redup, karena di timur sudah muncul kota baru yaitu Kawali. Sehingga putranya, Prabu Linggadewata (1311 – 1333 M) menjalankan pemerintahannya yang berkedudukan di Kawali, sedangkan Pakuan sempat menjadi raja daerah. Pakuan baru berfungsi kembali sebagai ibukota Sunda pada tahu 1482 M. Pada masa itu dikenal sebagai periode awal kejayaan Pajajaran (***)
PERPINDAHAN IBUKOTA
Konon menurut salah satu versi, antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat sering diramaikan oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat. Salah satu peristiwa kepindahan ini diabadikan oleh Kai Raga, dari gunung Srimaganti (Cikuray), didalam Carita Ratu Pakuan. Cuplikan kisah ini digambar, sebagai berikut :
Dicarita Ngabetkasih
Kadeungeun sakamaruna
Bur payung agung nagawah tugu
Nu sahur manuk sabda tunggal
Nu deuk mulih ka Pakuan
Saundur ti dalem timur
Kadaton wetan buruhan
Si mahut putih gede manik
Maya datar ngaranna
Sunijalaya ngaranna
Dalem Sri Kencana Manik
Bumi ringit cipta ririyak
Di Sanghyang Pandan Larang
Dalem si Pawindu Hurip
Keyakinan dalam menetapkan kedudukan ibukota pemerintahan tidak terlepas dari masalah keamaman negara dan kesejahteraan rakyatnya. Didalam paradigma masyarakat tradisional dapat pula dipengaruhi oleh dorongan spiritual. Karena sifatnya yang selalu berpindah-pindah didalam masyarakat modern ditafsirkan sebagai masyarakat nomaden. Hal yang sama pada pasca kemerdekaan dilakukan pula oleh masyarakat yang berada di Sukabumi Selatan, atau masyarakat Cipta Gelar, namun yang perlu dipahami adalah latar belakang kepindahannya, bukan hanya melihat sifatnya yang kerap berpindah-pindah.
Ibukota di timur
Pada abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali yang berlokasi di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV Galuh dan Sunda kerap disangkut pautkan dengan Kawali, bahkan dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Gejala peralihan pusat pemerintahan sudah nampak pada masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297 – 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan, karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja Saunggalah menggantikan ayahnya. Tetapi pada ketika digantikan pleh Prabu Citraganda, pemerintahan dipusatkan di Pakuan.
Prabu Darmasiksa menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama Citraganda. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (Puteri Kerajaan Melayu) adik Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan, sedangkan raja Sunda yang dijabat ayahnya berkedudukan Saunggalah. Citraganda dipusarakan di Tanjung. Kemudian digantikan oleh Prabu Lingga Dewata, ia diperkirakan berkedudukan di Kawali, ia disebut-sebut sebagai raja peralihan, karena para penggantinya berkedudukan di Kawali.
Raja-raja di Kawali
Prabu Lingga Dewata digantitkan oleh Prabu Ajiguna Wisesa (1333 – 1340), menantunnya yang menikah dengan Dewi Uma Lestari atau Ratu Santika. Ajiguna Wisesa diperkirakan sudah berkedudukan di Kawali. Dari pernikahannya ia memiliki dua orang putra, yakni Ragamulya dan Suryadewata. Ragamulya menggantikan posisi Ajiguna Wisesa sebagai raja Sunda, ia bergelar Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, bertahta dari tahun 1340 – 1350 masehi, dalam Carita Parahyangan disebut Sang Aki Kolot, sedangkan Suryadewata disebut-sebut sebagai leluhur kerajaan Talaga, ia menjadi raja daerah disana, namun ia wafat ketika sedang berburu, dan dimakamkan di Wanaraja (Garut), sehingga ia diberi gelar Sang Mokteng Wanaraja.
Aki Kolot mempunyai dua orang putra, yakni Linggabuana dan Bunisora. Kelak keduanya menjadi raja di Kawali dan memiliki nama yang harum bagi sumbangsihnya terhadap perjalanan sejarah di tatar Sunda.
Linggabuana menggantikan Sang Aki Kolot, dengan nama nobat Prabu Lingga Buana (1350 – 1357), ia dikenal pula dengan sebutan Prabu Maharaja. Setelah peristiwa Bubat ia dijuluki Prabu Wangi, sebagai gelar kehornatan atas keberaniannya. Lingga Buana dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 saka, bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1350 masehi. Sebelum menggantikan posisi ayahnya, ia pernah menjabat sebagai adipati selama tujuh tahun dibawah perintah Sang Ajiguna, kakeknya. Kemudian ia pun menjadi Mahamantri merangkap sebagai putra mahkota selama dua tahun dibawah perintah Aki Kolot, ayahnya.
Prabu Linggabuana mengalami peristiwa di bubat, yang disebut Pasunda Bubat. Ia gugur di Bubat. Sebagai penggantinya (raja panyelang) diteruskan oleh Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean). Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang. Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Prabu Linggabuana beristrikan Dewi Lara Lisning. Dari pernikahannya memperoleh empat orang putra fan putri. Putri sulungnya diberi nama Citraresmi, oleh kakeknya diberi nama Dyah Pitaloka. Ia dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk, namun didalam Pasunda Bubat ia gugur, dengan cara melakukan belamati. Putra yang kedua dan ketiga Linggabuana meninggal pada usia satu tahun. Putra yang keempat diberi nama Niskala Wastu Kencana yang lahir pada tahun 1348 masehi.
Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena seluruh kakaknya sudah meninggal. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sakti puteri Lampung. Wastu Kancana dikenal raja yang adil dan bijaksana, sehingga ia pun diberi gelar Prabu Wangi Sutah.
Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra, yakni Sang Haliwungan, pasca penobatan bergelar Prabu Susuktunggal. Dari permaisuri yang kedua (Mayangsari), puteri sulung dari Bunisora, ia pun memiliki putra, diberi nama Ningrat Kancana, setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Tentang Prabu Maharaja, Bunisora dan Niskala Wastu Kancana diterangkan di dalam Carita Parahyangan. Tentunya banyak pujian yang dialamtakan kepada Niskala Wastu Kancana. Isi dari Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :
• Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina. – Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit. –
• Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. – Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. –
• Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. – Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. – Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. –
• Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. – Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. – Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. – Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan dipecah dua, masing-masing dikuasai oleh Susuktunggal (Sunda) dan Dewa Niskala (Galuh). Kerajaan tersebut hidup sedarajat dan berdampingan. Namun politik kesatuan wilayah kembali membuat jalinan perkawinan diantara putra-putri keduanya, dengan demikian kekuasaan Wastu Kencana bersatu kembali.
Jayadewata, atau sering disebut Prabu Silihwangi, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.
Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Kawali. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di “Astana Gede ” Kawali. Prasasti tersebut menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Bre Wijaya V) Raja Majapahit pada tahun 1478, secara tidak langsung mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi.
Raden Baribin beserta rombongannya diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Perkawinan dengan pengungsi tersebut didalam Carita Parahiyangan disebutkan “istri larangan ti kaluaran”, karena sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Dalam hal ini Dewa Niskala dianggap telah melanggar dua peraturan sekaligus dan sebagai raja dianggap berdosa besar.
Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal, raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri.
Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada Jayadewata, putranya. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan karena ia telah lama tinggal di Pakuan untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan (***).
Sumber bacaan :
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• putra-galunggung.blogspot.com
• pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
• wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
Post a Comment