Kerajaan Sunda Bagian 1

KERAJAAN SUNDA BAGIAN 1

TENTANG SUNDA
Penggunaan istilah Sunda saat ini sulit dibedakan dengan istilah Jawa Barat, sering dicampur adukan, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuisme, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam perkumbuhan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.


Dataran - Kepulauan Sunda
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.

Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain (Ekadjati – 1995).

Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.

Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis. Konon berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.

Didalam pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma.
 

Didalam Prasasti dan Naskah Kuna
Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.


Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;
• ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku kedua, hal 24).
Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi.

Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru (2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan (8) Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).

Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :
• “Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].

Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
• … Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.

Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.

Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.

Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul  Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.


Kerajaan Sunda
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda  diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.

Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.

Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.

Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.

Istilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)


PENERUS TARUMA
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), pembahasan tentang nama Sunda dalam bentuk kerajaan terbatas sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, dari tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Namun penerus raja-raja sunda seperti Kawali dan Pajajaran diuraikan tersendiri.

Mungkin saja para penyusun sengaja menguraikan raja-raja sunda berdasarkan pada posisi pusat pemerintahan dan Garis penerus Maharaja Terusbawa, karena jika dikisahkan tentang sunda maka tak pula dapat dipisahkan dengan Kawali, Pajajaran, bahkan Galuh. 

Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi di mulai sejak Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka Sunda. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta Linggawarman pada tahun 669 M kepada Tarusbawa, menantunya yang menikah dengan Dewi Manasih. Tarusbawa kemudian diberi gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa.

Berita ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Linggawarman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahirnya Kerajaan Sunda.

Perpindahan lokasi atau pembangunan istana Sunda pada masa Terusbawa digambarkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan :
Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa denung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).
Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangunan istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
”Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadtwan Sang Bima – Punta – Narayanan – Madura – Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa)

Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar. Memang nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing dengan namanya sendiri, berurutan Bima – Punta – Narayana – Madura-Suradipati, atau disebut juga panca persada (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut dimungkin sebagaimana yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Isi laporan tersebut menyatakan :
• “Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan – sitinggil – kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat  oleh sejumlah besar harimau). [RPMSJB jilid keempat hal. 34].

Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan Banten – Cirebon.
Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebutkan nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negaranya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.


Pemindahan Ibukota
Pemindahan pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura tentunya memiliki alasan, bukan karena Sundapura adalah daerah asalnya, melainkan erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan pemerintahannya. Terusbawa menginginkan kembalinya kejayaan Tarumanagara sebagaimana pada masa Purnawarman. Ketika itu Purnawarman memindahkan ibukota Tarumanagara ke Sundapura. Namun Terusbawa tidak memperhitungkan akibat politis dari pemindahan ibukota kerajaannya ke Sundapura.

Pada saat itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca meninggalnya Purnawarman sudah mulai turun pamornya di mata raja-raja daerah, terutama pasca kekacauan yangterjadi diintern istana. Banyak raja-raja daerah yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur Citarum. 

Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya sebagai pesaing Tarumanagara. Dengan alasan inilah Wretikandayun kemudian menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sunda. Sejak saat itu ditatar Sunda muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.

Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, menurut para penulis RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh masing-masing memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. 

Hal yang sama dikemukan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya : Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kesepakatan para penguasanya, melainkan muncul dengan sendirinya.

Pasca ditemukannya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sunda kuna pada umumnya bersepakat, bahwa : “Dengan demikian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 – 1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali walaupun di Pakuan tentu ada seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat sudah berakhir”. (RPMSJB, buku ketiga, hal. 32). (*).


GALUH MAHARDIKA
Tarusbawa dikenal sebagai pendiri kerajaan Sunda pasca Tarumanagara, dengan nama nobat Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggala jaya Sunda sembawa. Ia pengganti raja Tarumanagara terakhir – Linggawarman yang menikah dengan Dewi Manasih, putri Linggawarman.

Tarusbawa sebelumnya adalah raja daerah Sundapura yang berada di bawah wilayah Tarumanagara. Kota Sundapura pernah digunakan sebagai ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman. Demikian pula alasan Terusbawa memindahkan ibukota kembali ke Sundapura pada tahun 669 M atau tahun 591 saka Sunda, Ia memimpikan untuk mengembalikan masa kejayaan Tarumanagara ketika ibukotanya di Sundapura, namun tanpa disadari, pemindahan pusat kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura berakibat Galuh menuntut untuk memisahkan diri dari Sunda dan mendirikan kerajaan yang Merdeka.
 

Pemisahan Galuh
Ketika peristiwa pemindahan Ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura terjadi, Galuh berada dibawah kekuasaan Wretikandayun. Berdasarkan garis keturunan Tarumanagara ia masih termasuk kerabat Tarumanagara, keturunan Suryawarman, raja Tarumanagara ketujuh, yang menikahkan putrinya dengan Manikmaya, pendiri Kendan – cikal bakal Galuh.

Pasca pengalihan ibukota Tarumanagara ke Sundapura Wretikandayun mengirimkan surat kepada Tarusbawa, ia menjelaskan niat Galuh untuk melepaskan diri dari Sunda. Menurut Nusantara III/1, surat Wretikandayun tersebut menyatakan, sbb :
Sejak sekarang, kami yang berada diwilayah sebelah timur Citarum tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi tidak lagi mengakui Tuan (Pakanira) sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan diantara kita tidak terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi akrab.

Karena itu daerah-daerah sebelah barat Citarum tetap berada dibawah pemerintahan tuan sedangkan daerah-daerah disebelah timur Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak sekarang kami tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada tuan. Kemudian janganlah hendaknya tentara kerajaan tuan menyerang kami, galuh pakuan, karena tindakan itu akan percuma. Angkatan perang kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat dari angkatan perang Tuan dan sangat lengkap persenjataanya.

Disamping itu banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan angkatan bersenjata kami. Hal ini telah Tuan maklumi. Nanti kita rukun bersahabat sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat kita serta bersama-sama menjauhkan mala petaka. Semoga Yang Maha Kuasa memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal perikemanusiaan (karunya ning citaning samaya)”. (RpmsJB – Jilid 2, hal. 44).

Keberanian Wretikandayun untuk melepaskan Galuh dari daulat Sunda tentu memiliki beberapa pertimbangan yang masuk akal. Suatu hal yang tidak mungkin jika terjadi ketika Tarumanagara masih dipimpin Purnawarman.

Pada masa pengalihan tahta Linggawarman kepada Tarusbawa memang posisi dan kondisi Tarumanagara sedang berada dititik paling rendah, terutama pasca Tarumanagara memberikan kelonggaran kepada raja-raja daerah untuk mengelola kerajaannya sendiri. Selain itu, pernah terjadi pemberontakan Cakrawarman yang menguras sumber daya Tarumanagara.

Kekuatan yang dimiliki Galuh juga disebabkan Wretikandayun telah membina hubungan baik dengan kerajaan Kalingga, bahkan terjadi pernikahan antara Dewi Parwati, putri Kertikeyasinga dan Ratu Sima dengan Mandiminyak, putra mahkota Galuh. Masalah ini yang memicu keberanian Wretikandayun untuk memerdekakan Galuh.

Disisi lain, Tarusbawa dikenal sebagai raja yang senang menyelesaikan persoalannya melalui jalan diplomatik. Ia pun dikenal sebagai raja yang mencintai perdamaian. Ancaman yang dikaitkan dengan besarnya angkatan perang Galuh disebut-sebut tidak menjadi pertimbangan penting bagi Tarusbawa, karena kekuatan pasukan Tarumanagara ketika itu masih dianggap kuat diantara negara-negara lain, sehingga pada tahun 670 M Galuh resmi terpisah dari Sunda. Peristiwa ini merubah peta kekuasaan bekas Tarumanagara menjadi dua wilayah, yakni Sunda dan Galuh (Parahyangan).

Hubungan Galuh – Kalingga terbina sejak lama. Didalam RPMSJB disebutkan  :”Keeratan tersebut mungkin telah ikut mengabadikan batas kekuasaan diantara kedua keluarga dengan nama Cipamali (Sungai Pamali). Dalam catatan Bujangga Manik (antara 1473 – 1478 M) masih disebut Tungtung (Ujung) Sunda.

Batas ujung timur Galuh belum terlalu berubah sejak masa kekuasaan Purnawarman, meliputi Purwalingga atau sekarang Purbalingga. Mungkin batas itu Kali Klawing salah satu cabang Kali Serayu. Sampai abad 15 M daerah Purwokerto masih termasuk kawasan Galuh seperti terbukti dari dua orang Putra Dewa Niskala yaitu Banyakcatra (Kamandaka) dan Banyakngampar yang masing-masing menjadi raja Daerah Pasir Luhur dan Dayeuh Luhur”. (***)
 

MITRA PASAMAYAM
Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir mempunyai 2 orang putra, yakni Manasih dan Sobakancana. Manasih dinikahkan dengan Terusbawa, penerus Tarumanagara yang kemudian menjadi nama Sunda, sedangkan Sobakancana di nikahkan dengan Sri Jayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya. Hal ini menumbuhkan hubungan kekerabatan diantara raja Sunda dan Sriwijaya.

Pada tahun 500 M, pulau Sumatera dikuasai oleh dua kerajaan yang kuat, yakni Pali (sebelah utara) dan Melayu Sribuja (sebelah timur), beribu kota di Palembang. Sedangkan Sriwijaya saat itu terletak di Jambi dan baru berbentuk kerajaan kecil dibawah Kerajaan Melayu.

Dibawah daulat Sri Jayanasa, kerajaan Sriwijaya makin berkembang, bahkan dalam waktu lima tahun dapat menaklukan sebagian wilayah Melayu. Pada tahun 676 Sriwijaya berhasil menaklukan Pali dan Mahasin (sekarang Singapura). Kemudian menaklukan Semenanjung dan Ligor. Ia pun memusatkan pasukannya di Minangkabau. Pada tahun 683 M Sriwijaya berhasil menaklukan Melayu.

Ekspansi Sriwijaya ke ke Melayu tentunya sangat mengganggu hubungannya dengan Kalingga (Jawa Tengah). Karena penguasa Melayu masih memiliki kekerabatan dengan Kalingga, bahkan dianggap menggangu perasaan Maharani Sima, ratu Kalingga.Sri Jayanasa mencoba mencairkan kebekuan hubungan ini dengan cara mengambil langkah-langkah diplomatik. Sri Jayanasa berupaya merajut benang silaturakhmi dengan Sunda dan Kalingga.

Sri Jayanasa dengan Terusbawa masih sesama menantu Linggawarman, raja Tarumana terakhir. Mereka menikah dengan putri-putri Linggawarman. Jalinan persaudaraan Sunda – Sriwijaya didudukan dalam suatu bentuk prasasti antara kedua negara, kemudian dikenal dengan istilah Mitra Pasamayan.

Mitra Pasamayan disetujui oleh kedua belah pihak pada tanggal 14 bagian terang bulan Maga tahun 607 Saka (sekitar 22 Januari 685 masehi), intinya untuk tidak saling menyerang, serta harus saling membantu. Menurut Pustaka Nusantara II/3, Maharaja Terusbawa mengabadikan perjanjian ini dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Melayu dan Sunda (Ibid. Jilid 3. hal 4).

Sri Jayanasa selanjutnya menawarkan persahabatan dengan Kalingga. Namun Dewi Sima menolak permintaan itu, karena sakit hati atas penaklukan kerajaan Malayu oleh Sriwijaya. Menurut rintisan penelusuran masa seilam sejarah Jawa Barat, ada Mahakawi yang mengisahkan, permusuhan antara Sriwijaya dengan Kalingga akibat dari penolakan pinangan Sri Jayanasa yang dilakukan oleh Maharani Sima.

Permusuhan makin menajam dan berujung pada persiapan Sriwijaya untuk menyerang Kalingga, bahkan telah mempersiapkan armada yang cukup besar. Demikian pula dari Kalingga, telah mempersiapkan diri dan dibantu oleh Cina dan negara-negara sahabat untuk menyerang balik Sriwijaya.

Ketegangan hubungan Sriwijaya – Kalingga dapat dilerai oleh Terusbawa. Ia bertindak sebagai sahabat dan kerabat. Terusbawa mengirimkan surat kepada Sri Jayanasa, yang isinya mengingatkan, bahwa :”Sunda tidak akan membantu penyerangan Sriwijaya ke Kalingga, mengingat dapat diangap kasus susila”. Terusbawa khawatir jika masalah ini dituduhkan oleh negara-negara lain, karena pinangan Sri Jayanasa di tolak oleh Maharani Sima.

Himbauan Terusbawa diterima Sri Jayanasa. Ia pun mengurungkan niatnya. Kapal-kapal Kalingga yang di tahan Sriwijaya kemudian diperbolehkan kembali. Tentunya setelah muatannya dirampas.

Dalam perkembangan selanjutnya, masih ada kapal-kapal Kalingga yang diganggu bajak laut. Disinyalir bajak laut tersebut direstui Sri Jayanasa.

 
Peran Sanjaya
Pasca meninggalnya Sri Jayanasa ketegangan Sri Wijaya dan Sunda menghangat kembali. Sri Wijaya menganggap bahwa ia masih keturunan Tarumanagara yang masih memiliki hak atas wilayah Tarumanagara, bahkan wilayah Selat Sunda – dan pelabuhan pelabuhan di Jawa Barat mulai diganggu para perompak yang direstui Sriwijaya. Adanya gangguan perompak menyebabkan Terusbawa memindah kan ibu kotanya ke pedalaman. Dalam proses selanjutnya Terusbawa memerintahkan Sanjaya, untuk menumpas bajak laut tersebut.
Menurut RPMSJB (1983-1984) : Terusbawa memerintahkan Sanjaya untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak dikemudian hari mampu menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda. 

Pada masa lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Pada masa Dewawarman V, ia harus gugur diperairan ketika melakukan pemberantasan bajak laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama ketika ia memerintah Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya.

Terusbawa memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar kenagara-negara lain yang melindungi para bajak laut.

Sanjaya adalah putra Mahkota Galuh, dari garis Bratasenawa (Sena) putra Mandiminyak. Ia menjadi penguasa Galuh pada tahun 723 M (645 s/d 647 Saka). Sanjaya juga sebagai pengganti Terusbawa karena perkawinannya dengan Tejakencana. Pada tahun 723 M Sanjaya bersama Tejakencana, istrinya di nobatkan sebagai raja Sunda, terhitung 647 s/d 654 Saka.

Sanjaya adalah Cucu Maharani Sima, ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa dengan Sanna, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis perkawinan Bratasenawa dan Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.

Disamping itu, atas persetujuan Parwati (ibunya), Sanjaya dijodohkan dengan Sudiwara, putri Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.

Pada tahun 728 M Sanjaya mengarahkan laskar gabungan dari ketiga negara tersebut untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda, bahkan mengejar para bajak laut sampai kesarang-sarangnya yang dilindungi negara lain. Iapun berhasil mengalahkan pasukan Indrawarman, penguasa Sriwijaya pada waktu itu. Sriwijaya bangkit kembali dan memperoleh kejayaannya ketika dipimpin oleh Wisnuwarman (730 – 775 M), putra Indrawarman.
 

Sunda Pasca Sanjaya
Dalam kisah selanjutnya Sunda harus mampu menyesuaikan dari kondisi pertentangan Sriwijaya dengan wilayah kerajaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada umumnya penguasa-penguasa Sunda lebih memilih menjadi penengah atau bersikap netral. Hal ini bukan hanya ada kekerabatan diantara penguasa kerajaan lainnya, melainkan Sunda tidak memiliki armada laut yang kuat, sebagaimana yang dimiliki Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.

Hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaann-kerajaan di Jawa timur terjadi pada masa selanjutnya mengalami ketegangan, seperti pada masa kerajaan Mamenang, Kadiri, Singasari ataupun Majapahit. Pada umumnya berselisih tentang kekuasanya diperairan Nusantara. Apalagi pasca bangkitnya kerajaan Melayu yang selalu dilindungi raja-raja dari Jawa Timur ketika mendapat tekanan Sriwijaya. Yang terakhir ketika Sunda pada masa Prabu Darmasiksa, ia bertindak sebagai tuan rumah dalam penyelesaian perundingan Sriwijaya dengan Kediri yang diprakarasi Cina.

 
KEKUASAAN SANJAYA
Sanjaya menggantikan posisi Terusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M (645 Saka), bergelar Maharaja Bimaparakarma Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Mungkin Sanjaya adalah satu-satunya raja Sunda yang memiliki kekuasan melebihi Purnawarman. Sanjaya sangat pantas jika ia disebutkan sebagai penguasa Pulau Jawa pada masa abad ke 8 M.

Posisi dan kekuasaan Sanjaya di Pulau Jawa didapatkan dari trahnya sebagai keturunan dan perkawinan. Pertama, sebagai raja Sunda ia dapatkan setelah menikah dengan Teja Kencana, Cucu Tarusbawa, putra mahkota Sunda. Teja Kencana kemudian diangkat sebagai penguasa Sunda bersama-sama dengan Sanjaya pada tahun 723 M.

Kedua, Sanjaya pewaris syah tahta Galuh, dapatkan dari ayahnya, yakni Sena (Bratasenawa) putra Mandiminyak (Amara), dan cucu Wretikandayun. Kedudukan di Galuh Ia dapatkan pada tahun yang sama ketika menjadi raja Sunda.

Tentang masa berkuasanya Sanjaya di Sunda dan Galuh disebutkan dalam seri Pararatwan Jawadwipa,  yakni di Sunda sejak 645 – 647 Saka, sedangkan menjadi penguasa Sunda dan Galuh sejak 647 – 654 Saka.

Ketiga, Sanjaya adalah cicit Maharani Sima, ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa, ayahnya dengan Sanna, ibunya, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis perkawinan Bratasenawa dan Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.

Keempat, atas persetujuan Parwati (neneknya), Sanjaya berjodoh dengan Sudiwara, putri Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.
 

Hubungan dengan Kalingga
Didalam thesis Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan, oleh Drs. Nana Supriatna, M.Ed, dikemukakan : Eksistensi Sanjaya di jawa barat diperoleh dari prasasti Canggal (732 M). Prasasti tersebut menerangkan mengenai seorang raja bernama Sanjaya yang mendirikan tempat pemujaan untuk dewa Siwa di daerah Wukir. Dia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya adalah pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa atas kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian utara.
 
Apabila isi prasasti tersebut dihubungkan dengan Carita Parahyangan yang menerangkan mengenai berkuasanya Sanna di Galuh (Ciamis), Sanjaya adalah raja Galuh yang mengganti kan Sanna setelah dia berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang memberontak terhadap raja Sanna.

Dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, yakni Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan yang diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat itu menjadi bagian dari Galuh.

Pada masa Terusbawa di Sunda, hubungan Sunda dengan Kalingga belum sedemikian erat, bahkan Wretikandayun memanfaatkan hubungan Galuh dengan Kalingga sebagai faktor penting untuk memerdekakan Galuh sebagai negara yang merdeka. Hubungan Galuh – Kalingga dipererat dengan pernikahan Parwati, putri Maharani Sima dengan Mandiminyak (Amara), putra Wretikandayun. Pada masa selanjutnya, hubungan Sena, putra Mandiminyak diikat pula dengan tali pernikahan. Kemudian diperkuat pula dengan pernikahan Sanjaya dengan Tejakencana.

Dalam cerita tentang Galuh, Sena adalah pewaris syah atas tahta Galuh. Tahta tersebut ia dapatkan dari Mandiminyak, ayahnya. Sena dikenal sebagai orang yang memiliki budi baik, namun dikarenakan kelahiran Sena hasil smarakarya antara Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu (istri Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak), maka ia kurang diterima dilingkungan keluarga Galuh.

Masalah smarakarya tersebut disinyalir pula sebagai pemicu Pisuna Galuh yang dipimpin Purbasora. Akhirnya pada tahun 716 M Purbasora merebut tahta Galuh. Hanya saja Sena berhasil melarikan diri ke Mataram.

Peristiwa ini disebut-sebut sangat menyakitkan keluarga Kalingga Utara. Ratu Parwati menghibur menantunya tersebut dengan cara menyerahkan tahtanya kepada Sanaha, putrinya dan Sena, menantunya. Kemudian Sanaha dan Sena berkuasa selama 16 di Mataram, terhitung sejak 716 – 732 M.

Pada masa terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun. Pada masa tersebut ia lebih memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa dibeberapa kerajaan, seperti Sunda, Galuh, Mataram dan Kalingga. Sebagai upaya merebut tahta Galuh dari Purbasora, ia pergi ke Denuh menemui Resiguru Wanayasa dan iapun menyiapkan diri di Denuh. Dari Denuh kemudian ia menuju Pakuan untuk menemui Terusbawa, kakek mertuanya. Iapun disarankan untuk lebih berhati-hati, karena pada masa itu Galuh memilki pasukan bayangkara yang berasal dari Indraprahasta, yang dikenal cukup tangguh dan teruji.

RPMSJB menjelaskan, sebagai ujian bagi Sanjaya, kemudian Terusbawa memerintahkan Sanjaya untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda. Hal ini bukan hanya sekedar membebaskan Sunda dari gangguan bajak laut yang direstui Sriwijaya, melainkan pula bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak dikemudian hari mampu menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda.

Pada masa lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Dewawarman V (252 – 276 m) penguasa Salakanagara kelima harus gugur diperairan ketika melakukan pemberantasan bajak laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama ketika ia memerintah Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya. Sama halnya dengan Cheng Ho ketika ia harus membersihkan Palembang dari kekuasaan bajak laut pada tahun 1407 M.
Terusbawa memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar kenagara-negara lain yang melindungi para bajak laut.

Memang ada peranan lainnya yang dilakukan Terusbawa dalam melatih Sanjaya, seperti merekomendasikan ke Gunung Sawal untuk meminjam buku Pustaka Ratuning Bala Sariwu. Buku tersebut digunakan Sanjaya pada saat memberantas bajak laut, serta digunakan sebagai acuan strategi dalam mengembalikan tahta Galuh dari kekuasaan Purbasora.

Tentang Pustaka Ratuning Bala Sariwu, konon kabar pernah digunakan oleh Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga yang termasyhur. Selain itu digunakan pula oleh Surawisesa dalam mempertahan Pakuan dari serangan gabungan Demak Cirebon. Mungkin yang dimaksud buku Pustaka tersebut semacam pelajaran ilmu perang peninggalan Purnawarman, namun dalam kisah lainnya buku ini disebut-sebut peninggalan Resi Guru Manikmaya (Kendan).

Sanjaya menggantikan posisi Terusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M. Pada tahun yang sama Sanjaya berhasil merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora. Dan membumi hanguskan kerajaan Indrapahasta, pendukung penting Purbasora, karena salah satu putri Indraprahasta adalah istri Purbasora.
 

Diplomasi Sanjaya
Sebagaimana cerita sebelumya, Sena adalah pewaris tahta Galuh yang diusir oleh Purbasora. Putra Sena, yaitu Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri telah menjadi cucu menantu Terusbawa raja Sunda. Ketika perebutan terjadi Sanjaya sedang berada di Mataram. Dengan kedatangan Sena dan terusirnya dari Galuh, sangat membangkitkan amarah Sanjaya, sehingga ia pun berupaya untuk menuntut balas.

Sena dikenal memiliki budi pekerti yang baik dan dianggap alim, sehingga tidak merespon peristiwa pengusirannya dengan melakukan balas dendam. Untuk mendukung keinginan Sanajaya, Sena menganjurkan Sanjaya agar berhati-hati dan tetap menghormati orang-orang tua di Galuh (Sempakwaja dan Jantaka). Sanjaya hanya diijinkan menyingkirkan Purbasora. Amanah tersebut diikuti oleh Sanjaya, ia perlahan-lahan melakukan infiltrasi dan membentuk pasukan khusus yang akan merebut Galuh kembali.Sanjaya secara diplomatis menghubungi Jantaka, atau Resiguru Wanayasa. Ia meminta Jantaka secara baik-baik untuk menjadi manggala, mengadili dan menentukan pihak mana yang benar dan salah. Jantaka menyadari akan masalah ini, namun permintaan ini menjadikan posisi Jantaka serba sulit, karena dipihak Purbasora telah berdiri Bimaraksa, anaknya. Iapun kemudian menolak tawaran tersebut, ia berjanji akan bersikap netral dan meminta jaminan dari Sanjaya, bahwa keluarganya tidak akan pernah diganggu dalam masalah ini.
 
Masalah ini diceritakan dalam Carita Parahyangan :
Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, – bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. – Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, – sarta anak saha sia teh?”.
Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut – kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”
“Lamun kitu aing wajib nulungan. – Ngan ulah henteu digugu jangji aing. – Muga-muga ulah meunang, – lamun sia ngalawan perang ka aing. – Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, – jugjug Tohaan di Sunda.”
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, – tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda.

Dalam Carita Parahyangan, peristiwa tersebut terjadi sebelum Sanjaya menjadi suami Tejakencana, bahkan jauh sebelum ia mendudukui tahta Sunda. Kemudian dukungan selanjutnya ia mintakan kepada raja Sunda, Terusbawa. Tentu Terusbawa tidak bisa dengan mudah memberikan dukungan secara riil, mengingat ia telah terikat hubungan persahabatan dengan Purbasora. Ia menyarankan agar Sanjaya bersikap hati-hati.

Tarusbawa memberikan rekomendasi pula agar Sanjaya meminjam Pustaka Ratuning Bala Sarewu kepada Rabuyut Sawal. Pustaka itu hasil ciptaan Resiguru Kendan, tentang bagaimana menggunakan pasukan yang banyak.
 
Kisah perjalanan ini diabadikan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. – Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?” – “Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. – Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”

Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. – Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.

Pada episode berikutnya memang sulit membuktikan dukungan Terusbawa secara formal, hingga ia meninggal pada tahun 723 M. Sebagai pengganti Raja Sunda maka pada tahun 723 M dilantiklah Sanjaya berserta Tejakencana, istrinya. Kemudian Sanjaya mengangkat Anggada, adik sepupu Tejakencana sebagai patih.

 
TAHTA  GALUH
Ketika suasana masih berkabung Sanjaya mengirimkan pasukan Sunda untuk bergabung di Gunung sawal, berjarak + 17 km dengan Galuh. Gerakan tersebut sama sekali tidak diketahui Purbasora. Hingga pada suatu hari, ditengah malam buta tibalah saatnya Sanjaya melakukan penyerangan. Ketika penyerangan di lakukan, Galuh sedang dalam keadaan terlelap, serangan itu pun tidak terdeteksi sebelumnya.

Kisah pengakhiran kekuasaan Purbasora, menurut buku Nusantara diceritakan, bahwa dimalam yang gelap gulita itu Sanjaya langsung berhadapan dengan Raja Galuh yang telah berumur 80 tahun itu, kemudian terdengar teriakan :
• “Purbacura pinejahan dening Sanjaya yuddhakala” (Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya waktu perang).

Kekalahan Purbasora di dalam perang tanding dengan Sanjaya tentunya bukan sesuatu yang aneh, mengingat usia Purbasora saat itu sudah berumur 80 tahun, jauh lebih tua dibandingkan Sanjaya. Dalam cerita ini memang ada yang perlu diteliti lebih jauh, karena Bimaraksa, senapati yang sekaligus patih dari Galuh, bersama sebagian kecil pasukannya berhasil meloloskan diri. Kisah lolosnya Bimaraksa dimungkinkan sesuai dengan maksud dari versi lain, tentang syarat yang diberikan Jantaka (ayah Bimaraksa) kepada Sanjaya untuk tidak mengganggu keluarganya. Hal ini ditaati oleh Sanjaya.

Dalam cerita ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demunawan diminta Sanjaya untuk memegang pemerintahan Galuh namun berada dibawah kontrol Sanjaya, untuk selanjutnya dikuasakan kepada Permana Dikusumah, atau dalam cerita Parahyangan dikenal dengan sebutan Bagawan Sijala-jala. Sedangkan Bimaraksa menetap di Geger Sunten dan menyusun kekuatan baru. Iapun lebih dikenal dengan sebutan Balangantrang, dalam sejarah lisan disebut aki Balangantrang, penyampai benang merah kisah Galuh kepada Ciung Wanara.


Penghancuran Indraprahasta
Sanjaya sangat mengetahui tulang punggung pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena pada tahun 716 M terdiri dari pasukan Indraprahasta dibawah Senapati Wiratara, salah satu senapati Purbasora, kemudian menjadi raja Indraprahasta. Untuk alasan ini Sanjaya berniat membumi hanguskan Indraprahasta. Memang seolah-olah ada semacam pelampiasan untuk menyalurkan dendamnya kepada Indraprahasta, sedangkan terhadap keluarga Galuh lainnya, ia harus menepati janjinya kepada Demunawan dan ayahnya untuk memperlakukan dengan baik.

Didalam naskah Wangsakerta digambarkan persitiwa pembumi hangusan, tanpa ada belas kasihan, mereka menyebutnya seperti binatang buas. Sejak saat itu maka musnahlah Indrapahasta yang didirikan Sentanu pada tahun 363 M. Semula Indrapahasta sejak jaman Tarumanagara dianggap daerahnya sebagai wilayah yang disucikan, termasuk oleh Purnawarman, bahkan ada sebuah sungai yang dinamakan sungai Gangga.

Naskah tersebut sebagai berikut :
Ikang rajya Indraprahasta wus sirna dening Rahyang Sanjaya mapan kasoran yuddha nira.
Rajya Indraprahsta kabehan nira kaparajaya sapinasuk kadatwannya syuhdarawa pinaka tan hana rajya manih I mandala Carbon Ghirang.
Wadyabala, sang pameget, nanawidhakara janapada, manguri, sang pinakadi, meh sakweh ira pejah nirawaceca.
Kawalya pirang siki lumayu humot ring wana, giri, iwah, luputa sakeng satwikang tan hana karunya budhi pinaka satwakura.
 
Pasca Purbasora
Sanjaya pasca kemenangannya mengirimkan untusan untuk menghadap Sempakwaja di Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya berniat menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Hal ini ditolak oleh Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Iapun tidak ikhlas putranya berada dibawah perintah Sanjaya, karena ia tahu bagaimana Wretikandayun, ayahnya dahulu membebaskan Galuh di Sunda.

Sebagai resi yang bergelar Danghyang Guru di Galunggung yang bijak ia menawarkan pilihan kepada Sanjaya, Ia akan menganggap pantas memerintah Galuh jika Sanjaya mampu mengalahkan tiga tokoh Pandawa, Wulan dan Tumanggul. Ketiganya masing-masing raja didaerah Kuningan, raja Kajaron dan raja Kalanggara di Balamoha.

Kekuasaan yang dipegang Sanjaya dan Sena dianggap tidak ada apa-apanya jika Sanjaya belum mampu menaklukan raja di Jawa Tengah dan sekitar Galuh. Jika Sanjaya mampu menguasai mereka maka Resiguru Demunawan, putra Sempakwaja, masih ua Sanjaya, pantas mempertuan Sanjaya. Namun jika Sanjaya tidak mampu menundukan mereka maka Sempakwajalah yang akan menentukan penguasa Galuh.
 
Masalah ini dikisahkan didalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut :
Carek Rahiang Sanjaya: “Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna.”
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: “Na aya pibejaeun naon, patih?”
“Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang purbasora.”
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.”
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan.
Sanjaya tidak mampu mengalahkannya, bahkan sebaliknya Sanjaya dipukul mundur dan dikejar hingga ke Galuh. Peristiwa ini diberitakan didalam Carita Parahyangan.
Eleh Rahiang Sanjaya diubeur, nepi ka walungan Kuningan.
Rahiang Sanjaya undur.
“Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran.”
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?”
“Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.

Karena dikalahkan akhirnya Sanjaya menyerahkan penunjukan penguasa Galuh tersebut kepada Danghyang Guru, Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahan Galuh diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora. Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana. Cucu Purbasora dari Wijayakusuma. Masalah tidak cukup berhenti sampai disini, karena intrik-intrik politik terus berlanjut.

Sempakwaja menunjuk Demunawan sebagai raja Layuwatang. Kemudian pada tahun 723 Demunawan dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan. Wilayah Galunggung dan kerajaan kecilnya dijadikan wilayah dibawah Saung Galah untuk menandingi Galuh yang dikuasai Sanjaya, namun resminya dipegang Premana Dikusumah.
Karena merasa tertekan, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama Pangrenyep, seorang putri pembesar Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga melahirkan Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh Premana dipertapaannya. Maka berakhirlah kekuasaan Premana.

Carita Parahyangan dianggap terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan. “Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang Tamperan: “Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea.”
Dari perkataan tersebut mungkin menarik untuk dibahas adanya perubahan agama keraton di Sunda, namun masalah ini masih kabur dan belum terungkap secara jelas.
Sanjaya bertahta di Galuh sejak 723 sampai 732 M. Ia wafat pada tahun 754 M di Bumi Mataram (***)
 
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
• wikipedia.org/ wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
• Sumber lainnya.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung – 2005
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh

Tidak ada komentar