Tentang Sunda Kawali
SUNDA KAWALI
TENTANG KAWALI
Kisah perpindahan ibu kota Sunda tentu memiliki alasan yang masuk akal, sangat terkait dengan pengembangan wilayah dan keamanan negara. Ketika masa Citraganda memang diwilayah Kawali sudah lebih maju dibandingkan Pakuan, hingga pusat pemerintahan pada periode berikutnya dialihkan ke Kawali, sedangkan Pakuan menjadi kerajaan daerah.
Kisah perpindahan ibu kota Sunda tentu memiliki alasan yang masuk akal, sangat terkait dengan pengembangan wilayah dan keamanan negara. Ketika masa Citraganda memang diwilayah Kawali sudah lebih maju dibandingkan Pakuan, hingga pusat pemerintahan pada periode berikutnya dialihkan ke Kawali, sedangkan Pakuan menjadi kerajaan daerah.
Tradisi perpindahan ibukota terjadi pula pada masa Purnawarman di Tarumagara dan Tarusbawa pada masa awal pemerintahannya. Namun peristiwa ini ada juga yang mengaitkan dengan sifat masyarakat Sunda yang agraris – sangat theis dan percaya terhadap kekuatan alam dan penciptanya, sehingga perpindahan ibukota dari satu daerah kedaerah lainnya tak dapat dilepaskan dari adanya petunjuk sebagaimana didalam peristiwa spiritualnya.
Seringnya suatu masyarakat berpindah-pindah demikian didalam masyarakat modern sering ditafsirkan sebagai masyarakat nomaden, terutama ketika membandingkan masyarakat Sunda di Sukabumi Selatan, tepatnya di Cipta Gelar, namun yang perlu dipahami dalam masalah pemerintahan Sunda adalah latar belakang perpindahannya bukan hanya melihat sifatnya.
Pusat pemerintahan yang berpindah-pindah bagi generasi sesudahnya berakibat sulitnya melacak peninggalan masa lalu, seolah-olah ‘urang sunda’ tidak memiliki karya besar, sangat rentan untuk dinisbikan, terutama ketika daerah tersebut sudah ‘kalindih’ kegiatan ekonomi atau menjadi daerah pemukiman, seperti yang dialami situs Rancamaya dan Kota Bogor.
Kesulitan demikian berakibat pula banyaknya spekulasi tentang siapa yang pernah berkuasa didaerah tersebut. Misalnya, muncul spekulasi tentang kekuasaan Erlangga yang konon sampai menguasai tatar Sunda. Kerentatan terhadap kondisi diatas juga dapat dirasakan ketika membaca buku dalam versi lainnya, terutama klaim yang menyatakan bahwa tanah Sunda dibagian barat pernah menjadi bagian dari kekuasaan Sriwijaya.
Pertama, klaim adanya kekuasaan Erlangga diketahui setelah diketemukan Prasasti Cibadak di sungai Citatih, diperkirakan dibuat pada abad ke 15. Dalam kenyataannya Prasasti tersebut menjelaskan tentang Sri Jayabupati, raja Sunda yang ke-20. Kebetilan ia beristrikan putri Darmawangsa dari Jawa Timur, sehingga ia pun diberi gelar yang mirip dengan gelar yang diberikan kepada Erlangga.
Kedua, klaim tentang kekuasaan Sriwijaya di hubungkan dengan peninggalan purbakala yang berada di pesisir Banten. Daerah tersebut sampai saat ini masih diteliti tentang kaitannya dengan Salakanagara. Dalam sejarah Sunda, Salakanagara dianggap sebagai awal dari kerajaan yang berada di tatar Sunda, namun jika menyangkut masalah Pulasari, maka tidak dapat pula dilepaskan dari eksisteni raja Pajajaran terakhir.
Perpindahan pusat pemerintahan yang akhirnya menyulitkan pencarian jejak masa lalu, dialami juga ketika mencari jejak muasal Sumedang. Padahal Sumedang lebih akhir dibandingkan kerajaan Sunda lainnya. Sampai saat ini sangat sulit menetapkan pusat-pusat pemerintahannya, kecuali yang saat ini digunakan sebagai Museum Prabu Geusan Ulun.
Para akhli sejarah dalam menafsirkan sejarah Sunda menyimpulkan bahwa antara Sunda dengan Galuh pada tahun 1333 sampai dengan tahun 1482 masehi sangat terkait erat dengan Kawali. Pakuan pada masa itu sudah menjadi kerajaan daerah, sedangkan Galuh fungsinya dianggap sudah berakhir. Hal tersebut akibat perkawinan antara keturunan Sunda dengan Galuh. Kesamaran demikian terjadi pula ketika Sunda beribukota di Kawali. Namun Galuh dinyatakan benar-benar dinyatakan hancur pada masa penyerangan Syarif Hidayat ke Talaga.
Pada abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali yang berlokasi sangat strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV Galuh dan Sunda kerap disangkut pautkan dengan Kawali, bahkan dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Para penguasa Kawali
Kisah pemindahan ibukota Sunda terjadi pada masa Prabu Ajiguna Wisesa (1333 – 1340) dan berakhir pada masa kekuasaan Jayadewata, karena pada tahun 1482 masehi ia memindahkan kembali ibukotanya ke Pakuan.
Para penguasa Sunda di Kawali memiliki nama yang harum dan sangat dikenal masyarakat. Mungkin hal ini akibat dari sifat masyarakatnya Kawali dan sekitarnya yang homogen dibanding dengan masyarakat Pakuan, sehingga berita lisan pun dapat praktis diteruskan kegenerasi beikutnya. Hal yang berbeda dengan masyarakat di wilayah Pakuan cenderung heterogen dan memiliki kegiatan ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan Kawali, sehingga agak kurang peduli, atau dapat dikatakan sangat sedikit yang peduli terhadap masalah sejarahnya dimasa lalu.
Penguasa Kawali yang terkenal, yaitu Lingga Buana, Niskala Wastu Kencana dan Jaya Dewata. Didalam sejarah lisan, ketiga raja ini kerap dikaitkan dengan masalah sejarah masa lalu di tatar Sunda. Seolah-olah Sunda tidak memiliki raja lainnya selain yang ketiga penguasa ini. Selain itu, banyak dari keturunannya yang juga menjadi tokoh dalam kisah yang lain.
Kisah ketiga raja dimaksud adakalanya pacaruk satu dengan lainnya. Masyarakat sulit membedakan, adakalanya ketiganya diistilah dengan sebutan Prabu Silihwangi. Memang ketiganya memiliki nama dan kesejarahannya yang Wangi (harum), sesuai dengan gelarnya, yakni Prabu Wangi ; Prabu Wangisutah ; dan Prabu Silihwangi.
Pusat Pemerintahan Sunda sampai tahun 1482 tetap berada di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Kawali. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di “Astana Gede ” Kawali. Prasasti tersebut menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)
JEJAK KAWALI
Pada abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali. Lokasi Kawali berada di wilayah yang strategis, karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkut pautkan dengan Kawali, bahkan dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Gejala pengalihan pusat pemerintahan sudah nampak pada masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297 – 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan, karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya, yakni Prabu Citraganda, Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustakan Rayarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Narararya Sanggaramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya (lahir di Pakuan). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur.
Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama Citraganda. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (Puteri Kerajaan Melayu) adik Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan, ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata (putera Citraganda) mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, Prabu Ajiguna Wisesa (1333 – 1340), menantunnya sudah berkedudukan di Kawali. Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Kawali. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat mengenal adanya lima orang raja.
Nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di “Astana Gede ” Kawali. Prasasti tersebut menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prasasti
Kesejarahan Sunda di Kawali dikukuhkan dengan bukti otentik yang dimuat dalam Prasasti Kawali 1 yang terletak di Astana Gede. Prasasti ini diyakini merupakan tanda kehadiran Wastu Kencana. Isi Prasasti tersebut, sebagai berikut :
Prasasti Kawali 1 :
00 nihan tanpa kawa-
Li nu siya mulia tanpa bha-
Gya parebu raja wastu
Mangadeg di kuta kawa-
Li nu mahayu na kadatuan
Surawisesa nu margi sa-
Kuliling bdayeuh nu najur sagala
Desa aya ma nu pa(n) deuri pakena
Gawe rahhay pakeun heubeul ja-
Ya dina buana 00
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Prasasti Kawali 1 tentu tidak bisa dipisahkan dari Prasasti Kawali Ke 2. Isinya mengenai nasehat Prabu Wastu Kencana kepada para penerusnya. Prasasti tersebut sangat akrab disebuat Wangsit atau Wasiat Wastu Kencana.
Prasasti Kawali 2 :
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n)jeur
na juritan.
[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].
Prasasti tersebut merupakan wasiat dari Niskala Wastu Kancana kepada para penerusnya agar dapat mempertahankan Kawali dengan cara berbuat kebajikan kepada warganya. Wasiat ini benar-benar memiliki makna yang universal. Mungkin jika diterapkan dalam teori kepemimpinan dapat memberikan arah yang jelas tentang sosok pemimpin dalam melaksanakan amanahnya.
Kawali dalam Naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh kai Raga dari Srimanganti – Cikuray diistilah sebagai “dalem si pawindu hurip” atau keraton yang memberikan ketenangan hidup. Cuplikan dari Carita Ratu Pakuan tersebut, sebagai berikut :
Dicariatekun Ngambetkasi
Kadeungeun sakamaruan
Bur payung agung nagawah tugu
Nu sahur manuk sabda tunggal
Nu deuk mulih ka Pakuan
Saundur ti dalem timur
Kadaton wetan buruhan
Si mahut putih gede manik
Maya datar ngaranna
Sunijalaya ngaranna
Dalem Sri Kencana Manik
Bumi ringit cipta ririyak
Di Sanghyang Pandan Larang
Dalem si Pawindu Hurip
Nama kraton “sipawindu hurip” jika dikaitkan dengan prasasti Kawali disebut Surawisesa. Prasasti Kawali 1 ini yang sebenarnya merupakan bukti otentik bahwa Sunda pernah beribukota di Kawali.
Kawali sebagai pusat pemerintahan Sunda ditegaskan pula didalam Pustaka Nusantara II/2, dengan kalimat :
• Katatwa pratista Sang Prabu Wastu Kancana haneng Surawisesa kadatwan. Pinaka kithagheng rajya Kawali wastanya. Ring usama nira mangadeg dumadi mahaprabu rikung juga”
(Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ).
Dari adanya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sunda kuna pada umumnya bersepakat, bahwa : “Dengan demikian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 – 1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali walaupun di Pakuan tentu ada seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat sudah berakhir”. (RPMSJB, buku ketiga, hal. 32).
Penguasa Kawali yang terkenal, yaitu Lingga Buana, Niskala Wastu Kencana dan Jaya Dewata. Didalam sejarah lisan, ketiga raja ini kerap dikaitkan dengan masalah sejarah masa lalu di tatar Sunda. Seolah-olah Sunda tidak memiliki raja lainnya selain yang ketiga penguasa ini. Selain itu, banyak dari keturunannya yang juga menjadi tokoh dalam kisah yang lain.
Prabu Wangi
Prabu Maharaja terkenal karena ia tokoh utama didalam peristiwa Bubat. Ia Gugur di medan Bubat yang jauh dari kampung halamannya. Ia pun dilambangkan sebagai ksatria sekaligus penguasa Sunda yang ajeg kana pamadegana, memiliki harga diri dan dijadikan anutan penting dalam cara-cara orang Sunda mempertahankan haknya. Setelah gugur di medan Bubat masyarakat Sunda memberinya gelar Prabu Wangi.
Prabu Maharaja terkenal karena ia tokoh utama didalam peristiwa Bubat. Ia Gugur di medan Bubat yang jauh dari kampung halamannya. Ia pun dilambangkan sebagai ksatria sekaligus penguasa Sunda yang ajeg kana pamadegana, memiliki harga diri dan dijadikan anutan penting dalam cara-cara orang Sunda mempertahankan haknya. Setelah gugur di medan Bubat masyarakat Sunda memberinya gelar Prabu Wangi.
Lingga Buana dkisahkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan. Sekalipun tidak terlalu banyak, namun telah menunjukan bahwa ia tokoh utama yang terlibat peristiwa Bubat. Isi dari Fragmen tersebut, sebagai berikut :
• Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
• Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Niskala Wastu Kancana
Raja Kawali lainnya yang terkenal adalah Niskala Wastu Kencana, ia putra dari Lingga Buana atau Prabu Maharaja. Pada saat peristiwa Bubat ia baru berumur sembilan tahun, sehingga tidak ikut rombongan Sunda ke Majapahit. Pasca gugurnya Prabu Wangi, Kawali dikuasakan kepada Sang Bunisora, pamannya yang terkenal ketaatannya terhadap agama, sehingga Bunisora dikenal pula sebagai Rajaresi, penulis Carita Parahyangan memberi gelar Satmata, yakni gelar keagamaan tingkat kelima dari tujuh tingkat keagaaman yang dianut penguasa Sunda waktu itu.
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagaamaa, sehingga ia tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana tunggadewata, dalam naskah yang paling muda ia disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudahnya diabadikan dalam dua buah prasasti yang terletak di Kawali. Prasasti inilah yang sangat membantu generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan Sunda di Kawali. Niskala Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya. Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, kemudian dikenal dengan sebutan Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana, kemudian ia pun dikenal dengan sebutan Prabu Wangisutah.
Prabu Niskala Wastu Kancana dicerirtakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
• Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
• Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
• Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
• Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
• Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
• Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
• Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
• Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Jayadewata
Penguasa Sunda di Kawali yang paling banyak dikisahkan masyarakat dalam bermacam versi, adalah Jayadewata. Pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan Sunda kembali ke Pakuan.
Jayadewata mewarisi tahta ayahnya di Galuh (Dewa Niskala), dalam kapasitasnya sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian ia pun mewarisi tahta mertuanya di Pakuan. Gelar Sri Baduga Maharaja yang ia sandang di peroleh karena ia mewaris dua kerajaan, yakni Sunda dengan Galuh. Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisah Jayadewata jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Silihwangi.
Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
• Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
• Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Kisah ketiga raja tersebut adakalanya pacaruk satu dengan lainnya. Masyarakat sulit membedakan, adakalanya ketiganya diistilah dengan sebutan Prabu Silihwangi. Memang ketiganya memiliki nama dan kesejarahannya yang Wangi (harum), sesuai dengan gelarnya, yakni Prabu Wangi ; Prabu Wangisutah ; dan Prabu Silihwangi.
Pusat Pemerintahan Sunda sampai tahun 1482 tetap berada di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Kawali. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.(***)
TIGA PRABU WANGI
Lingga Dewata berkuasa di Pakuan pada tahun 1311 – 1333 masehi. Lingga Dewata diperkirakan menjadi raja peralihan yang memindahkan pusat kerajaan Sunda ke Kawali, karena ia di makamkan di Kikis. Kemudian digantikan oleh Ajiguna Wisesa dengan gelar Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333 – 1340) disebut-sebut sebagai raja Sunda pertama yang berkedudukan di Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu dari Lingga Dewata yang menikah dengan Dewi Uma Lestari atau Ratu Santika. Didalam versi lainnya disebutkan suami dari adik Lingga Dewata, yang menikah dengan Ratna Uma Lestari, putrinya Prabu Citraganda. Tentang muasal Ajiguna Wisesa kurang terlacak, jika dikaitkan dengan Suryadewata, putranya yang menjadi leluhur Talaga, mungkin pula ia berasal dari daerah Talaga.
Dari pernikahannya dengan Dewi Uma Lestari melahirkan dua orang putra, yakni Ragamulya dan Suryadewata. Ragamulya menggantikan Ajiguna Linggawisesa. Dalam Carita Parahyangan disebut Sang Aki Kolot. Ragamulya bernama nobat Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, bertahta dari tahun 1340 – 1350 masehi, sedangkan Suryadewata menjadi raja daerah Talaga, dan dikenal sebagai leluhur Talaga, namun ia wafat ketika sedang berburu, dan dimakamkan di Wanaraja (Garut), sehingga ia diberi gelar Sang Mokteng Wanaraja.
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa mempunyai dua orang putra, yakni Linggabuana dan Bunisora. Kelak keduanya menjadi raja di Kawali dan memiliki nama yang harum dalam sumbangsihnya terhadap perjalanan sejarah di tatar Sunda.
Raja-raja Kawali yang terkenal
Penguasa Kawali yang banyak dikisahkan, yaitu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Jaya Dewata (Prabu Silihwangi). Didalam sejarah lisan, ketiga raja ini kerap dikaitkan dengan masalah sejarah masa lalu di tatar Sunda. Seolah-olah Sunda tidak memiliki raja lainnya selain ketiga penguasa ini, dan menggunakan nama gelar “Wangi”.
Tentang penggunaan nama “Wangi” sempat menjadi perdebatan dikalangan para sejarawan. Istilah wangi diberikan kepada raja-raja Sunda yang dianggap masyarakat mengharumkan Sunda. Disisi lain, masyarakat merasa kurang ajar (calutak) jika menyebutkan nama asli dari rajanya, sehingga mereka lebih nyaman menggunakan nama kehormatannya, seperti nama ‘Wangi”. Perdebatan demikian terjadi dalam mencari : siapakah raja Sunda yang bergelar Prabu Silihwangi.
Menurut Yoseph Iskandar (2005) : “Prof. Dr. Syatrohaedi bersikeras mengemukakan pendapatnya, bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kencana itulah yang yang lebih tepat sebagai tokoh Prabu Siliwangi. Karena Sang Mahaprabu merupakan Silih = pengganti keterkenalan dan keharuman nama Prabu Wangi yang di Palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang layak dijuluki Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.” (hal.212)
Perdebatan lainnya dalam mencari keaslian Siliwangi terjadi ketika Purbatjaraka pada tahun 1921 menafsirkan didalam bukunya “De Batoe-toelis bij Buitenzorg”, bahwa Sri Baduga Maharaja yang tercantum dalam prasasti Batutulis Bogor adalah raja yang gugur di Bubat. Sehingga dari tahun 1921, pelajaran Sejarah disekolah-sekolah mengisahkan tentang Gugurnya Sri Baduga Maharaja di Bubat pada tahun 1357 masehi.
Pendapat Purbatjaraka dikritik oleh Saleh Danasasmita, : karena penyebutan Sri Baduga sebagai Prabu Siliwangi yang gugur di palagan Bubat terlalu dipaksakan, bertentangan dengan Kropak 406 Carita Parahyangan dan Pararaton, pada peristiwa Bubat, Sri Baduga belum lahir, bahkan Wastu Kancana baru berumur sembilan tahun. (Ibid. Hal.224)
Perdebatan mereda setelah Saleh Danasasmita (1981–1984) meluruskan bacaan Prasasti Batutulis Bogor, yang sejalan dengan maksud dari naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4. Kandungan naskah tersebut berisi, sebagai berikut :
• Raja Pajajaran Winastatwan ngaran Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Sri Baduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata putra ning Rahyang Dewa Niskala. Rahyang Dewa Niskala putra ning Rahyang Niskala Wastu Kancana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra Ning Prabu Maharaja Linggabhuanawisesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Tahiyang Wastu Kancana putra Prabu Linggabuanawisesa] (ibid 226).
Saat ini memang tak dapat dipungkiri, bahwa ketiga raja Sunda tersebut berhak menyandang nama “Wangi”, yakni Prabu Wangi, Prabu Wangisutah dan Prabu Silihwangi, masing-masing untuk gelar Sri Maharaja, Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja.
Prabu Wangi
Linggabuana menggantikan Ragamulya (Aki Kolot), dengan nama nobat Prabu Lingga Buana (1350 – 1357) atau disebut juga Prabu Maharaja alias Prabu Wangi. Didalam Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 disebut Prabu Maharaja Linggabhuanawisesa.
Linggabuana dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 saka, bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1350 masehi. Sebelum menggantikan posisi ayahnya, ia pernah menjabat sebagai adipati selama tujuh tahun dibawah perintah Sang Ajiguna, kakeknya. Kemudian ia pun menjadi Mahamantri merangkap sebagai putra mahkota selama dua tahun dibawah perintah Ragamulya, ayahnya.
Linggabuana disebut Prabu Maharaja, karena dianggap menguasai seluruh tatar Sunda yang sama dengan kekuasaan Purnawarman. Ia terkenal sebagai tokoh utama didalam peristiwa Palagan Bubat yang gugur jauh dari kampung halamannya. Prabu Maharaja dilambangkan sebagai ksatria sekaligus penguasa Sunda “nu ajeg kana pamadegannana”, memiliki harga diri dan dijadikan anutan penting dalam cara-cara orang Sunda mempertahankan haknya. Setelah gugur di Palagan Bubat masyarakat Sunda memberinya gelar Prabu Wangi.
Linggabuana beristrikan Dewi Lara Lisning, ia memperoleh empat orang putra-putri. Putri sulungnya diberi nama Citraresmi, oleh kakeknya diberi nama Dyah Pitaloka. Ia dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk, namun didalam Pasunda Bubat ia gugur dengan cara belamati. Putra yang kedua dan ketiga dari Linggabuana meninggal pada usia satu tahun. Putra yang keempat diberi nama Niskala Wastu Kencana yang lahir pada tahun 1348 masehi.
Linggabuana dengan putrinya Dyah Pitaloka dikisahkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan. Sekalipun tidak terlalu banyak, namun telah menunjukan bahwa ia tokoh utama yang gugur pada peristiwa Bubat. Isi naskah tersebut, sebagai berikut :
• Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
• Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Prabu Wangi digantikan oleh Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora alias Kuda Lalean. Hal tersebut dikarenakan Niskala Wastu Kancana, putra Prabu Wangi masih berumur sembilan tahun.
Bunisora bertahta pada tahun 1357 sampai dengan 1371 masehi, bergelar Prabu Batara Guru Pangadiparamarta Janadewabrata, sejak masa muda tekun memperdalam ilmu keagaaman. Penulis Carita Parahyangan memberinya gelar Satmata, yaitu sebutan untuk tingkatan kelima dari tujuh tingkatan keagamaan pada waktu itu. Karena kesalehannya pula maka ia dijuluki Batara Guru di Jampang. Bunisora dimakamkan di Geger Omas.
Sang Bunisora didalam cerita Galuh dikisahkan, bahwa ia ayah dari Bratalegawa, seorang pengusaha yang terkenal. Bratalegawa dikenal sebagai penganut agama Islam pertama di Galuh, sehingga mendapat Gelar Haji Purwa Galuh (Haji pertama di Galuh). Banyak kisah dari ketutrunannya yang kemudian menjadi pemuka agama di daerah Jawa Barat. Mungkin spirit dan kesungguhan menekuni masalah keagamaan yang diciptakan Sang Bunisora ini mendorong keturunannya untuk menekuni agamanya masing-masing.
Prabu Wangisutah
Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia satu-satunya ahli waris Prabu Maharaja yang masih hidup. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya (Sang Bunisora), Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.
Sebelum menjadi raja Sunda, Wastukancana mengembara kedaerah Lampung. Ia bertemu dengan seorang putri penguasa Lampung, yakni Lara Sakti, kemudian dijadikannya sebagai permaisurinya yang pertama. Dari perkawinannya lahir Sang Haliwungan yang bernama nobat Prabu Susuktunggal.
Permaisuri yang kedua dari Wastukancana adalah Mayangsari, puteri sulung Sang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir Ningrat Kancana, setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagaamaa, sehingga tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana tunggadewata, dalam versi naskah yang paling muda menyebutnya Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Keharuman nama Wastu Kancana membawa pada penafsiran dari versi yang berbeda, bahwa : Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itulah yang lebih tepat sebagai tokoh Prabu Silihwangi. Karena Sang Mahaprabu merupakan silih (pengganti) keterkenalan dan keharuman nama Prabu Wangi yang gugur di palagan Bubat. Hanya raja sekaliber Prabu Wangi yang layak dijuluki Prabu Silih Wangi atau Prabu Siliwangi.
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudahnya diabadikan dalam dua buah prasasti yang terletak di Kawali. Prasasti tersebut sangat membantu generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan kerajaan Sunda di Kawali.
Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya. Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, berupa uraian tentang kebajikan dan kesejahteraan sejati sebagai mana yang terkandung di dalam ajaran Siksa Kanda Ng Karesyan, kemudian dikenal dengan sebutan “Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana”. Mungkin karena ajarannya ini pula yang kemudian mendapat gelar Prabu Wangisutah. Wastu Kencana didalam alur Sejarah Sumedang dan Galuh, disebutkan juga sebagai leluhur Pangeran Santri dan Pucuk Umum Sumedang.
Prabu Niskala Wastu Kancana dicerirtakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
• Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
• Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
• Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
• Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
• Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
• Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
• Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
• Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah dua diantara Susuktunggal (Pakuan) dan Dewa Niskala (Galuh) dengan kedudukan yang sederajat. Namun politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana, sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan putra Dewa Niskala (Jayadewata) dengan putri Susuktunggal (Kentring Manik Mayang Sunda).
• Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
• Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
• Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
• Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
• Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
• Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
• Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah dua diantara Susuktunggal (Pakuan) dan Dewa Niskala (Galuh) dengan kedudukan yang sederajat. Namun politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana, sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan putra Dewa Niskala (Jayadewata) dengan putri Susuktunggal (Kentring Manik Mayang Sunda).
Prabu Silihwangi
Penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan dan paling banyak dikisahkan masyarakat dalam bermacam versi, adalah Jayadewata. Seolah-olah petilasan dari raja Sunda atau “Karuhun” Urang Sunda manapun tidak lengkap jika tidak dikaitkan dengan kebesaran nama Prabu Silihwangi. Demikian pula dalam kisah-kisah yang bermuara dari hasil penelitian sejarah. Tak kurang yang berpendapat bahwa ia adalah tokoh penting yang terlibat di Palagan Bubat. Selain itu, ada juga yang menafsirkan bahwa Prabu Siliwangi tersebut adalah Niskala Wastu Kancana.
Didalam versi sejarah yang dicaruk dengan masalah keagamaan, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai raja Pajajaran terakhir yang dikejar kejar putranya yang bernama Kian Santang. Padahal ketika ia masih bertahta di Pakuan, Pajajaran masih ajeg, sekalipun ekspansi yang dilakukan para saudagar Islam sudah mulai merebak di tatar Sunda, sehinga ia pun dikisahkan mengeluarkan suatu amanah yang dikenal “Wangsit Siliwang”. Didalam versi sejarah resmi mencatat, bahwa raja Pajajaran terakhir bukanlah Prabu Siliwangi, melainkan Ragamulya Suryakencana, yang bertahta tanpa mahkota dan wafat di Pulasari, Pandeglang.
Jayadewata pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala. Kemudian ia mewarisi tahta ayahnya di Galuh (Dewa Niskala), dalam kapasitasnya sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian ia pun mewarisi tahta mertuanya di Pakuan. Gelar Sri Baduga Maharaja yang ia sandang di peroleh karena ia mewaris dua kerajaan, yakni Sunda dengan Galuh.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisah Jayadewata jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
• Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
• Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Kawali, selanjutnya pusat pemerintahannya di pindahkan ke Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di “Astana Gede ” Kawali. Prasasti tersebut menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)
TRAGEDI BUBAT
umuli pasunda-bubat. Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda.
Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda.
Ahidep wong Sunda yan awarawarangana.
Teka ratu Sunda maring Majapahit,
sang ratu Maharaja tan pangaturaken putri.
Wong Sunda kudu awiramena tingkahing jurungen.
Sira patihing Majapahit tan payun yen wiwahanen-
reh sira rajaputri makaturatura.
Tulisan diatas merupakan kisah tentang tragedi bubat, dimuat dalam Berita Pararathon. Kitab ini menyebutnya Pabubat atau Pasunda Bubat. Pemilihan Istilah “Tragedi” dalam Pabubat bagi para penyusun sejarah memiliki alasan yang masuk akal. Peristiwa Bubat sebenarnya lebih tepat disebut sebagai lakon yang menyedihkan (tragedi) ketimbang disebutkan perang, mengingat dalam Pabubat raja Sunda tidak berniat berperang dan hanya mengantarkan putrinya untuk dinikahkan, maka wajar jika tidak menyiapkan pasukan perang yang kuat, dan hanya membawa rombongan pengantin. Sementara pihak lawan sudah merencanakan peristiwa ini, bahkan benar-benar mempersiapkan, sehingga peperangan pun terjadi di wilayah Majapahit secara tidak seimbang.
Tragedi Bubat diawali dari perselisihan Kerajaan Sunda dengan Majapahit, ketika itu Majapahit masih dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan patihnya yang terkenal Gajah Mada, sedangkan dipihak Sunda yang bertahta waktu itu adalah Prabu Maharaja Linggabuana. Sedangkan Bubat dikenal dari nama suatu daerah daerah yang terletak di wilayah Jawa Timur, sebelah utara Majapahit.
Menurut Berita dari Nusantara II/2 halaman 62, dikisahkan gugurnya Prabu Linggabuana beserta para ksatria Sunda, sebagai berikut :
‘Selanjutnya dikisahkan, pada tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka Sang Prabu Maharaja Sunda gugur di Bubat di negeri Majapahit. Saat itu Sang Prabu Maharaja bermaksud menikahkan putrinya yaitu Sang Retna Citraresmi atau Dyah Pitaloka dengan Bre Prabu Majapahit yang bernama Sri Rajasanagara’.
Tragedi Bubat dikisahkan pula di dalam beberapa sumber, seperti Kidung Sunda ; Kidung Sundayana ; Carita Parahyangan ; Kitab Pararathon ; dan Pustaka Nusantara. Saat ini sudah terbit novel yang bersifat hiburan untuk sekedar memuaskan keingintahuan para pembaca, sekaliapun ada novel yang jauh dari spirit kasundaan, namun buku tersebut laku keras. Konon mengisahkan Gajah Mada tidaklah lengkap jika tidak mencantumkan Palagan Bubat, bahkan dalam versi lain, peristiwa ini dapat efektif dijadikan mesin cuci bagi keharuman nama Gajah Mada.
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr.C.C.Berg, menemukan beberapa versi Kidung Sunda, disusun dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan, berbentuk tembang (syair). Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya, yaitu Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Perjalanan Urang Sunda) yang berasal dari Bali.
Di Bali Kidung Sundayana di kenal dengan nama Geguritan Sunda. Mungkin karena Berg orang Belanda, dan pada masa lalu banyak menyebar luaskan kepada khalayak, maka masalah Bubat pernah disebut-sebut sebagai upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia. Tapi dokumen lainpun selain Kidung Sundayana atau Geguritan Sunda ditemukan pula, seperti dalam naskah Pararathon dan Pustaka Nusantara. Bahkan sekalipun hanya satu alinea, Carita Parahyangan memuat, sebagai berikut :
• Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
• Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Kidung Sunda atau Kidung Sundayana dibuat sebagai upaya dan niat baik Prabu Hayam Wuruk untuk menyesalkan masalah bubat. Hayam Wuruk mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahannya. Melalui perantara Sang Darmadyaksa kemudian Hayam Wuruk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, pengganti Raja Sunda. Pada kesempatan itu pula dijanjikan, bahwa : peristiwa bubat akan dimuat dalam Kidung Sunda (Sundayana). Semua bertujuan untuk diambil hikmahnya.
Hubungan Sunda dengan Majapahit
Didalam Pustaka Nusantara II diterangkan bahwa permaisuri Darmasiksa adalah putri keturunan Sanggramawijayot tungga warman, penguasa Sriwijaya yang bertahta pada tahun 1018 sampai dengan 1027 masehi. Dari perkawinannya lahir dua orang putra, yakni Rakeyan Jayagiri atau Rakeyan Jayadarma dan Sang Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah, dikenal pula dengan sebutan Sang Lumahing Taman.
Rakeyan Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal, sedangkan putranya yang kedua, yakni Ragasuci dijodohkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawar-madewa, dari Melayu. Dara Kencana, kakak dari Dara Puspita diperistri oleh Kertanegara, raja Singosari. Dari posisi campuran perkawinan pada waktu itu sunda dapat memposisikan diri sebagai penengah pada setiap terjadi perselisihan antara Sumatra dan Jawa Timur.
Hubungan kekerabatan Sunda dengan Majapahit dimuat pula dalam naskah lain. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 : Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Dharmasiksa Raja Sunda, adalah menantu Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Rakeyan Jayadarma berjodoh dengan putrinya Mahisa Campaka yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Teleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok, raja Singosari dari Ken Dedes.
Dari pernikahan Rakeyan Jayadarma denga Dyah Lembu Tal di Pakuan, memiliki putra yang bernama Sang Nararya Sang ramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Dengan demikian Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes, sekaligus putra Rakeyan Jayadarma.
Dikarenakan Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Raden Wijaya setelah dewasa menjadi senapati Singasari, pada waktu itu diperintah oleh Kertanegara, hingga pada suatu ketika ia mampu mendirikan negara Majapahit. Raden Wijaya didalam Babad Tanah Jawi dikenal juga dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran, karena ia lahir di Pakuan.
Dari alur kesejarahan tersebut, Raden Wijaya di Sunda dikenal sebagai Cucu dari Prabu Darmasiksa, Raja sunda yang ke-25, ayah Rakeyan Jayadarma. Dalam Pustaka Nusantara III dikisahkan, bahwa : Darmasiksa masih menyaksikan Raden Wijaya, cucunya mengalahkan Jayakatwang, raja Singasari. Kemudian dengan taktis ia mampu menyergap dan mengusir keluar Pasukan Kublay Khan dari Jawa Timur. Empat hari pasca pengusiran pasukan Cina, atau pada 1293 M, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Wilwatika dengan gelar Kertarajasa Jayawardana.
Hubungan Darmasiksa dengan Raden Wijaya ditulis di dalam Pustaka Nusantara III, tentang pemberian nasehat Darmasiksa kepada Raden Wijaya, cucunya. Ketika itu Raden Wijaya berkunjung ke Pakuan dan mempersembahkan hadiah kepada kakeknya. Nasehat tersebut, sebagai berikut :
Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrum, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang Sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatika sakopayana maweh carana ; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
(Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.
Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan menjadi keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit).
Memang, ketika masa Raden Wijaya, hubungan Sunda dengan Majapahit sangat baik dan tanpa percekcokan.
Pinangan Prabu Hayam Wuruk
Peristiwa Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut setelah beredar lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh Sungging Prabangkara, seniman lukis pada masa itu.
Kisah demikian sama dengan yang dimuat di dalam salah satu Novel tentang Bubat. Dyah Pitaloka di gambar atas perintah keluarga keraton Majapahit, bertujuan untuk mengetahui paras Sang Putri. Namun dalam novel itu pula nama Dyah Pitaloka menjadi rusak, karena dikisahkan jatuh cinta kepada pelukisanya. Saya kurang memahami tujuan pembuat novel ini, apakah ia menyamakan kepiawaian pelukis istana tersebut dengan Leonardo Da Vinci yang berhasil membuat teka-teki atas lukisan Monalisa ?. atau ibarat pepatah “ngaleng bari neke” ?.
Pengurasakan citra Dyah Pitaloka tak hanya itu saja, di dalam nover lain dikisahkan pula bahwa Dyah Pitaloka telah memadu kasih dengan Gajah Mada. Ketika Sang Mada belum menjadi Mahapatih. Namun tetntunya sangat sulit dipahami versi hiburan ini, terutama jika dihubungan denga waktu berdarmawisatanya Sang Mada ke tatar Sunda, sehingga sempat cinta lokasi dengan Dyah Pitaloka. Namun kita pun akhirnya harus memaklumi, karena novel itu pun harus laku, sehingga perlu ada kejuatan lain dari pada yang lain, seolah-olah ada berita baru yang harus diketahui khalayak.
Alasan yang mungkin dapat masuk akal dipaparkan oleh penulis sejarah Pajajaran, yakni Saleh Danasasmita dan penulis naskah Perang Bubat, yakni Yoseph Iskandar. Kedua penulis sejarah ini menyebutkan, bahwa niat pernikahan itu untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Urang Sunda masih merasa saudara dengan urang Majapahit,. Karena Raden Wijaya yang menjadi pendiri Majapahit, dianggap masih keturunan Sunda. Pernikahan demikian dianggap wajar dimasa lalu, sama seperti yang dilakukan raja-raja sebelumnya. Seperti hubungan Galuh dengan Kalingga dijaman Wretikandayun, yang menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Parwati, Putri Ratu Sima.
Niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka telah direstui keluarga kerajaan, sehingga tak lagi ada masalah dengan status kedua kerajaan, kecuali untuk melangsungkan pernikahan. Selanjutnya Hayam Wuruk mengirim surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana dan menawarkan agar upacara pernikahan dilakukan di Majapahit.
Tawaran Majapahit tentunya masih dipertimbangkan, terutama oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Pertama, masalah lokasi atau tempat pernikahan. Pada waktu itu adat di Nusantara menganggap tidak lajim jika pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Kedua, ada dugaan alasan ini merupakan jebakan diplomatik Gajah Mada yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Namun Linggabuana hanya melihat adanya rasa persaudaraan dari garis leluhurnya, sehingga ia memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit. Rombongan kerajaan kemudian berangkat ke Majapahit, dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kegamangan Prabu Hayam Wuruk
Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain Gajah Mada untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Niat tersebut untuk memenuhi sumpahnya yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Pada masa itu seluruh kerajaan di Nusantara sudah ditaklukkannya kecuali kerajaan sunda, maka timbulah niatnya.
Gajah Mada dalam melaksanakan maksud tersebut membuat alasan, bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. ini di sampaikan kepada Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada pun mendesak, agar Hayam Wuruk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk negeri Sunda kepada Majapahit. Dari hal itu diharapkan agar Sunda mau mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana menjadi bimbang. Ia terjebak dalam dilema, antara cinta dan perlunya mentaati saran Gajah Mada. Disisi lain, Gajah Mada adalah Mahapatih yang paling diandalkannya.
Peristiwa selanjutnya dikisahkan didalam Kidung Sunda, dalam bentuk Sinom, sebagai berikut :
• ‘Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
• Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih AnepakÄ›n untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Kegagalan Diplomatik
Ketika mengetahui adanya keraguan dari pihak Majapahit, maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke lingkungan keraton Majapahit disertai tiga pejabat lainnya dan 300 orang pasukan. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang jika niat Gajah Mada dilanjutkan. Raja Sunda mengira bahwa Hayam Wuruk ingkar janji.
Ketika mengetahui adanya keraguan dari pihak Majapahit, maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke lingkungan keraton Majapahit disertai tiga pejabat lainnya dan 300 orang pasukan. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang jika niat Gajah Mada dilanjutkan. Raja Sunda mengira bahwa Hayam Wuruk ingkar janji.
Utusan itu bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vaza-vazal Majapahit. Dalam kisah tersebut diceritakan pula dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan kerajaan Sunda yang kecewa, setelah mendengar, bahwa kedatangan mereka (sunda) dianggap hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui keunggulan Majapahit, bukan karena undangan untuk menikahkan seperti janji sebelumnya. Akhirnya pertengkaran ini ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Kemudian pulanglah utusan Sunda ke pasanggrahan Bubat, dengan meninggalkan pesan, Raja Sunda akan memberi kabar dalam waktu dua hari tentang syarat yang disampaikan Majapahit.
Kemarahan utusan sunda dikisahkan dalam Kidung Sunda, dengan menggunakan bahasa Jawa pertengahan :
• Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karÄ›pmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
• Abasa lali po kita nguni duk kita anÄ›kani jurit, amrang pradesa ring gunung, Ä›nti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
• Mantrimu kalih tinigas anama LÄ›s Beleteng angÄ›masi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burÄ›ngik, padâmalakw ing urip.
• Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharÄ›pta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu tÄ›mbe yen antu.
Dalam bahasa Sunda :
• “Hé Gajah Mada, naon maksudna anjeun gedé bacot ka kami? Kami mah rék mawa Rajaputri, sedeng anjeun kalah miharep kami mawa upeti kawas ti Nusantara. Kami mah béda. Kami urang Sunda, can kungsi éléh perang.
• Kawas nu poho baé sia baheula, nalika anjeung keur perang di wewengkon pagunungan. Perang campuh diuudag urang Jipang. Terus patih Sunda datang deui sahingga pasukan dia mundur.
• Mantri sia nu dua nu ngaranna Les jeung Beleteng dikadék nepi ka paéh. Pasukan sia bubar jeung kalabur. Aya nu labuh ka jurang sarta ti kakarait kana cucuk rungkang. Maranéhna paéh kawas lutung, owa, jeung setan, lalumengis ménta hirup.
• Ayeuna sia gedé sungut. Bau sungut sia kawas kasir, kawas tai anjing. Ayeuna kahayang sia teu sopan sarta hianat. Nuturkeun ajaran naon salian ti hayang jadi guru nu ngabohong jeung milampah rucah. Nipu jalma budi hadé. Mun paéh, roh sia bakal asup naraka!”
Di pasanggarahan Bubat, raja Sunda setelah mendengar kabar terakhir adanya rencana Gajah Mada, ia tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazaal. Ia pun dihadapkan pada posisi yang dilematis, antara perlunya merajut duduluran dengan pentungnya mempertahankan harga diri, kemudian raja Sunda memberikan putusan “Demi membela kehormatan, rela gugur seperti seorang ksatria, lebih baik mati dari pada hidup tetapi dihina orang lain”. Mendengar putusan Sang Raja, serentak para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membela sampai titik darah penghabisan.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya. Ia memerintahkan agar istri dan anaknya (Dyah Pitaloka) pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja dan menyambut serangan Majapahit.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya. Ia memerintahkan agar istri dan anaknya (Dyah Pitaloka) pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja dan menyambut serangan Majapahit.
Perang Bubat
Terjadinya suatu peperangan biasanya didahului dengan kegagalan diplomatik. Demikian juga pada peristiwa Bubat. Masalahnya semakin meruncing ketika Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut. Wajar jika Hayam Wuruk merasa ragu, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang paling diandalkannya.
Sebelum Prabu Hayam Wuruk memberikan putusan, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat. Lantas ia pun mengancam Linggabuana untuk mengakui hegemoni Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Peristiwa dan dialog tersebut digambarkan, sebagai berikut :
• […], yan kitâwÄ•dîng pati, lah age marÄ•ka, i jÄ•ng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sÄ•mbah, sira sang nataputri.
• Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahÄ•n tuhanira, nora ngong marÄ•ka malih, angatÄ•rana, iki sang rajaputri.
• Monng kari sasisih bahune wong Sunda, rÄ•mpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinÄ•bateng paprangan, srÄ•ngÄ•n si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi
[ […], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri. – Maka ini terdengar oleh Sri Raja (Sunda) dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!” – “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit.]
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan yang sangat kecil, terdiri dari pengawal kerajaan (Balamati) dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda.
Didalam pertempuran tersebut ada seorang perwira Sunda yang pura-pura mati. Setelah suasana agak reda lantas ia memberitahukan peristiwa terakhir itu kepada ratu dan putri Sunda di perkemahan. Selanjutnya ratu dan putri Sunda melakukan mati bela. Sedangkan istri para perwira Sunda menyongsong ke medan perang. Dihadapan jenazah suaminya merekapun melakukan mati – bela.
Peristiwa ini diabadikan didalam Kidung Sunda, dengan Pupuh II (Durma), digambarkan :
• Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui.
• Pasukan Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna.
• Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina
Menurut Berita Nusantara II/2, peristiwa tersebut terjadi pada hari selasa – Wage sebelum tengah hari. Semua orang Sunda yang dibubat itu telah binasa. Tak ada seorangpun yang tersisa. Adapaun para pembesar yang gugur di Palagan Bubat, adalah :
• RakeyanTumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri (mantri muda), Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri Usus, yaitu bhayangkara sang prabu, Rakeyan Senapati Yuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya Patih Mandala Kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakean Nakoda Braja yang menjadi panglima laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan. Ki Juruwastra, Ki Mantri Sabrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking. Lalu Sang Prabu Maharaja Linggabuana ratu Sunda dan rajaputri Dyah Pitaloka bersama pengiringnya.
Pasca Palagan
Berita Nusantara II/2 mengisahkan, Prabu Hayam Wuruk tiba bersama pengiringnya dan Gajah Mada di Bubat. Kemudian ia meneliti dan memperhatikan mayat orang-orang Sunda satu demi satu. Ketika matanya tertatap sesosok mayat, ia melihat Sang Putri telah terbujur kaku, maka sangatlah luka hatinya. Ia terisak menahan tangis. Kemudian semua mayat itu dimasukan kedalam bandusa (peti mati) dan diberi tulisan yang memuat nama masing-masing.
Peristiwa ini dilukiskan dengan pilu didalam Kidung Sunda, sebagai berikut :
• Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakÄ›n aneng made sira wontÄ›n aguling, mara sri narapati, katÄ›mu sira akukub, perÄ›mas natar ijo, ingungkabakÄ›n tumuli, kagyat sang nata dadi atÄ›mah laywan.
• WÄ›nÄ›sning muka angraras, netra dumÄ›ling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marÄ›ka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
• Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parÄ›ng prapta kongang mangkw atÄ›mah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agÄ›sang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
• Palar-palarÄ›n ing jÄ›mah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrÄ›ti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lÄ›nglÄ›ng amrati cita.
• Sangsaya lara kagagat, pÄ›tÄ›ng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag panÄ›dÄ›ng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arÄ›rÄ›b-rÄ›rÄ›b pawraning gÄ›lung lukar.
• (Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
• Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
• Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
• Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana)
Prabu Hayam Wuruk keluar dari tenda Sang Putri. Dari kejauhan nampak berkibar dua panji, yakini panji kerajaan Majapahit dan Sunda. Ia pun menugaskan Sang Patih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara kematian secara kebesaran esok harinya. Ketika semua mayat dimandi sucikan dan diperabukan, tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan, menyaksikan dengan penuh haru. Kelak di Sunda dibuat patung pribadi Sang Maharaja. Selanjutnya Hayam Wuruk memerintahkan para darmayaksa untuk menemui Bunisora dan mengirimkan surat untuk memintakan maaf atas peristiwa Bubat. Hayam Wuruk berjanji pula, tidak akan pernah terjadi lagi Majapahit menyakiti hati Urang Sunda untuk yang kedua kalinya.
Tentang Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada, memang ada kelanjutannya dalam Kidung Sunda, dalam Pupuh III (Sinom), dalam bahasa Sunda, sebagai berikut :
• Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu.
• Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida.
• Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga Samadi, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala).
• Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
Versi lainnya dimuat dalam Pustaka Nusantara II/2, yakni : Akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik PrabuHayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya. Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua.
Kemudian ada juga versi yang menjelaskan, bahwa akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (ada juga yang menyatakan moksa), pada tahun 1364 M. Namun didalam Pustaka Nusantara II/2, dijelaskan, bahwa : akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik PrabuHayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya. Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua.
Persitiwa Bubat terjadi pada hari Selasa – Wage sebelum tengah hari. Semua urang Sunda yang datang di pasangrahan Bubat dibinasakan. Tak seorang pun yang tersisa. Tetapi Bumi Sunda tidak pernah dapat dikuasai Majapahit. Karena hasrat Majapahit untuk menaklukan Sunda tak pernah dapat terlaksana.
Sedemikian kokohnya harga diri Urang Sunda. Semoga generasi penerusnya memiliki “pamadegan” yang sama. Teu lali kana purwadaksina, kalawan mibanda ajen diri salaku teureuh para ksatria Sunda. Karena suatu bangsa menjadi tidak ada artinya jika tidak memiliki harga diri dan jati diri. (***)
PASCA BUBAT
Pasca tragedi Bubat dikisahkan dalam versi Berita Nusantara II/2. Menurut buku ini, “Prabu Hayam Wuruk tiba bersama pengiringnya dan Gajah Mada di Bubat. Kemudian ia meneliti dan memperhatikan mayat orang-orang Sunda satu demi satu. Ketika matanya tertatap sesosok mayat, ia melihat Sang Putri telah terbujur kaku, maka sangatlah luka hatinya. Ia terisak menahan tangis. Kemudian semua mayat itu dimasukan kedalam bandusa (peti mati) dan diberi tulisan yang memuat nama masing-masing”. (RPMSJB, Jilid ketiga hal, 35)
Adapun nama-nama para kesatria Sunda yang gugur di Bubat, sebagai berikut :
• RakeyanTumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri (mantri muda), Gempong Lotong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Panghulu Sura, Rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri Usus, yaitu bhayangkara sang prabu, Rakeyan Senapati Yuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya Patih Mandala Kidul, Sang Mantri Patih Wirayuda, Rakean Nakoda Braja yang menjadi panglima laut Sunda, Ki Nakoda Bule pemimpin Jurumudi kapal perang kerajaan. Ki Juruwastra, Ki Mantri Sabrang Keling, Ki Mantri Supit Kelingking. Lalu Sang Prabu Maharaja Linggabuana ratu Sunda dan rajaputri Dyah Pitaloka bersama pengiringnya.
Prabu Hayam Wuruk keluar dari tenda Sang Putri. Dari kejauhan nampak berkibar dua panji Majapahit dan Sunda. Ia pun menugaskan untuk menyelenggarakan upacara kematian secara kebesaran esok harinya. Ketika semua mayat dimandi sucikan dan diperabukan, tampak ribuan penduduk dari daerah sekitarnya memenuhi lapangan, menyaksikan dengan penuh haru.
Selanjutnya Hayam Wuruk memerintahkan para darmayaksa dan utusan dari setiap agama menemui Sang Bunisora (adik kandung Parbu Maharaja), untuk mengirimkan surat berisi permintaan maaf atas peristiwa Bubat. Hayam Wuruk berjanji pula, tidak akan pernah terjadi lagi Majapahit menyakiti hati Urang Sunda untuk yang kedua kalinya.
Menurut versi yang dimuat dalam Pustaka Nusantara II/2, dikisahkan, :
• Sakweh ing amtya, tanda senapati, wadyabala, kuwandha raja, dolaya manacitta mapan Bhre Prabhu wilwatika i sedeng gering ngenes, Marga nira gering, karena kahyun ira masteri lawan Dyah Pitaloka tan siddha.
Akibat peristiwa Bubat itu Prabu Hayam Wuruk sakit lama karena menyesal. Keluarga Kerajaan Majapahit seperti ayah, ibu dan adik-adik Prabu Hayam Wuruk meyakini bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa bubat. Yang menyebabkan Sri Rajasanagara sakit parah itu adalah prakarsa Sang Mangkubumi Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa sang Mangkubumi harus ditangkap. Tetapi rencana tersebut dapat diketahui sehingga ketika pasukan Bhayangkara kerajaan datang di puri Gajah Mada, sang mangkubumi telah lolos tanpa seorang pun mengetahui tempat persembunyiannya.
Baru beberapa tahun kemudian setelah Prabu Hayam Wuruk mempersunting puteri raja Wengker, Ratu Ayu Kusumadewi, ia memberi ampun kepada sang Mangkubumi dan mengundangnya untuk menepati jabatannya yang semua. Ada juga versi lain yang menjelaskan, bahwa akibat peristiwa Bubat ini hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (ada juga yang menyatakan moksa), pada tahun 1364 M.
Keteguhan Janji
Hayam Wuruk memang telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak lagi menyerang Sunda, namun sebagai antispasi dan kewaspadaan, Mangkubumi Bunisora masih belum merasa yakin atas janji yang disampaikan Hayam Wuruk. Ia tidak mau terjadi lagi peristiwa seperti Bubat, pura-pura diajak bersaudara namun diperih pati.
Sebagai bentuk kewaspadaan, Sang Bunisora menyiagakan angkatan perang dan angkatan lautnya. Armada Sunda ditempatkan di tungtung Sunda, yaitu di kali Brebes (Cipamali) yang menjadi perbatasan Sunda dengan Majapahit. Namun Hayam Wuruk menepati janjinya dan tidak menyerang Sunda untuk yang kedua kalinya. Konon kabar, janji ini dibuktikan pula, ketika Prabu Hayam Wuruk hendak melakukan ekspedisi ke Sumatera, ia terlebih dahulu memberi kabar kepada Hyang Bunisora bahwa kapal-kapal Majapahit akan melewati perairan Sunda.
Pentaatan Raja-raja Sunda terhadap perjanjian ini juga diwariskan untuk tidak berniat menyerang Majapahit. Hal ini dibuktikan oleh raja Sunda untuk tidak menyerang Majapahit, ketika terjadi perang Paregreg (1453-1456 M), yaitu peristiwa perebutan tahta Majapahit oleh para keturunannnya. Pada masa perang Paregreg Kawali sudah berada dibawah kekuasaan Wastu Kancana, putra Linggabuana.
Demikian pula pada masa sesudahnya. Ketika itu Majapahit dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindrawardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi ketimur, yakni ke Panarukan, Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang. Gelombang para pengungsi ada juga yang menuju ke barat, ke daerah Galuh dan Kawali. Rombongan yang terkahir ini di pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Mitos atau larangan.
Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwarikan kepada Dewa Niskala. Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak dua larangan’ dengan cara menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan salah satu rombongan para pengungsi. Hal tersebut ditentang oleh lingkungan kerabat Galuh, termasuk oleh saudara seayah, yakni Prabu Susuktunggal (raja Sunda di Pakuan). Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga Susuktunggal mengancam akan memutuskan segala hubungan kekerabatannya dengan Galuh. Mungkin ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang cukup besar, karena adanya peristiwa ini maka pada tahun 1482 M, kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, untuk kemudian pusat pemerintahan Sunda beralih ke Pakuan, Jayadewata sendiri dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Terakhir
Kisah Bubat tidak hanya dituliskan oleh sejarawan Belanda, melainkan juga oleh sejarawan lokal, seperti buku Kidung Sundayana, serta sejarah lisan yang diceritakan secara turun temurun. Kisah Bubat juga menciptakan beberapa mitos, seperti tentang hulanjar, larangan laki-laki keturunan keraton Galuh untuk menikahi dengan perempuan keluarga Majapahit, atau ketiadaan nama jalan yang sesuai dengan nama negara para pelaku sejarah. Namun mitos tersebut sedikit demi mulai luntur. Perkawinan antar suku (bahkan antar bangsa dan antar agama) dianggap hal yang wajar, masalah hulu lanjar pun secara moralitas masih dilarang jika tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku umum.
Suatu kisah yang dikisahkan atau dari kepandaian penulis dalam memaparkan suatu peristiwa adakalanya mampu merubah paradigma pembaca. Tak salah jika suatu buku dinyatakan sebagai sumber ilmu, karena ia mampu merubah pemikiran para pembaca. Demikian pula tentang penulisan sejarah Tragedi Bubat, banyak versi yang berkembang. Dari yang benar-benar menceritakan latar belakang suatu peristiwa, maupun tulisan yang bersifat rekaan, karena tak iklas tokohnya berlacak buruk,, termasuk untuk tujuan komersil, maka sangat bijaksana jika referensi buku dan kesejarahan yang dipelajari tidak cukup hanya dari satu sumber.
Tragedi Palagan Bubat telah menciptakan motivasi bagi para penulis pasca proklamasi untuk menciptakan keutuhan negara sebagai suatu kesatuan wilayah Indonesia yang kuat, dan dijauhkan dari sifat sentimen kesukuan. Hal ini bisa terlaksana jika satu pihak tidak merasa mendominasi sejarahnya terhadap pihak lain. Upaya yang paling radikal (mengakar) dilakukan pula ketika beberapa pihak menyatakan bahwa Tragedi Bubat itu tidak pernah ada, buku yang mengisahkan Palagan Bubat, seperti Kidung Sundayana disinyalir diciptakan untuk memecah belah bangsa Indonesia, bahkan dibuat oleh orang Belanda yang menginginkan terjadinya perpecahan dikalangan Bumi Putra.
Pendapat dan penafsiran demikian mungkin perlu dikaji kembali, karena cepat atau lambat kebenaran tersebut akan terkuak. Sejarah tidak akan pernah dapat dihapuskan dan akan di uji sesuai kemampuan setiap generasi dalam mengungkap kesejatian sejarahnya. Tak perlu juga malu untuk mengungkapkan jika kupasan sejarah tersebut dibuat dalam koridor yang ada didalam bingkai ke Indonesiaan. Karena apapun masalahnya, Indonesia sebagai suatu bangsa telah memiliki perjalanan sejarahnya. Dari semua itu kita bisa bercermin, tentang mana yang baik dan perlu dilanjutkan dan mana yang buruk dan perlu ditinggalkan. Cag Heula (***)
AMANAT WASTUKANCANA
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Palagan Bubat pada tahun 1357. Wastu Kancana adalah satu-satunya ahli waris Linggabuana yang masih hidup, karena ketiga saudaranya telah wafat.
Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia satu-satunya ahli waris Prabu Maharaja yang masih hidup. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya (Sang Bunisora), Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja Sunda di Kawali pada tahun 1371 dalam usia 23 tahun.
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing dan diajarkan masalah kenegaraan dan keagaamaan, oleh Sang Bunisora. Ajaran tentang kesejatian hidup yang kemudian dikenal masyarakat sebagai Wasiat (wangsit) Kancana tentunya tidak terlepas dari pengaruh bimbingan Sang Bunisora, yang memang dikenal sebagai rajaresi. Di dalam Carita Parahyangan ia diberi gelar Satmata. Salah satu Wali yang diberi gelar Satmata dalam Babad Tanah Jawi adalah Sunan Giri.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal – Tuhan Yang Maha Esa. (Yosef Iskandar : 2005).
Peranan Sang Bunisora tersebut membentuk pribadi Wastu Kancana menjadi orang yang bijak dan religius. Penulis Carita Parahyangan menguraiakan bahwa :
“Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas.” (Sekalipun umurnya masih muda namun perilakunya seperti yang sudah banyak pengalaman, sebab ratu taat kepada Satmata, mentaati pengasuh nya, Hyang Bunisora, yang mendiang di Gegeromas).
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan Kehidupan Wastu Kancana, dan bagaimana rakyat mencintainya. Uraian tersebut seolah-olah memuji-muji perilakunya, bahkan dapat dijadikan contoh generasi penerusnya. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. – Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. — Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. — Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. — Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. — Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. — Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. — Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Pada masa Wastu Kancana ada peristiwa yang cukup penting, yakni peristiwa Perang Paregreg ; masuknya pengaruh islam ke Tatar Sunda yang di bawa oleh Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh, putra Sang Bunisora, dan tibanya Laksmana Ceng Ho di Pelabuhan Cirebon. Didalam rombongan tersebut terdapat Syekh Hasanudian yang kemudian turun di Karawang serta mendirikan Pesatren Quro.
Wasiat Wastu Kancana.
Keberadaan Wastu Kancana di Kawali ditegaskan dalam dua buah prasasti. Hal ini sekaligus juga menunjukan adanya eksistensi kerajaan Sunda di Kawali. Prasasti di Astana Gede dimaksud memuat, sebagai berikut :
Prasasti Kawali 1 :
00 nihan tanpa kawa-
Li nu siya mulia tanpa bha-
Gya parebu raja wastu
Mangadeg di kuta kawa-
Li nu mahayu na kadatuan
Surawisesa nu margi sa-
Kuliling bdayeuh nu najur sagala
Desa aya ma nu pa(n) deuri pakena
Gawe rahhay pakeun heubeul ja-
Ya dina buana 00
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit [pertahanan] sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan [memajukan pertanian] seluruh negeri. Semoga ada [mereka] yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Prasasti Kawali 1 tentu tidak bisa dipisahkan dari Prasasti Kawali Ke 2. Intinya menjelaskan sebagai berikut :
Prasasti Kawali 2 :
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n)jeur
na juritan.
[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].
Keberadaan Wastu Kancana di Kawali ditegaskan dalam dua buah prasasti. Hal ini sekaligus juga menunjukan adanya eksistensi kerajaan Sunda di Kawali. Prasasti di Astana Gede dimaksud memuat, sebagai berikut :
Prasasti Kawali 1 :
00 nihan tanpa kawa-
Li nu siya mulia tanpa bha-
Gya parebu raja wastu
Mangadeg di kuta kawa-
Li nu mahayu na kadatuan
Surawisesa nu margi sa-
Kuliling bdayeuh nu najur sagala
Desa aya ma nu pa(n) deuri pakena
Gawe rahhay pakeun heubeul ja-
Ya dina buana 00
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit [pertahanan] sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan [memajukan pertanian] seluruh negeri. Semoga ada [mereka] yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Prasasti Kawali 1 tentu tidak bisa dipisahkan dari Prasasti Kawali Ke 2. Intinya menjelaskan sebagai berikut :
Prasasti Kawali 2 :
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n)jeur
na juritan.
[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].
Isi dari prasasti kedua ditafsirkan para ahli sejarah Sunda sebagai Wangsit (Wasiat) Wastu Kencana, ditujukan kepada generasi sesudahnya. Wasiat ini berisi tentang wasiat agar selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener), konon perbuatan ini jika dilaksanakan dapat menjadikan sumber kejayaan dan kesentausaan segenap manusia. Wasiat di dalam prasasti yang kedua memiliki makna yang universal. Mungkin jika diterapkan dalam teori kepemimpinan dapat memberikan arah yang jelas bagi perilaku pemimpin dalam melaksanakan amanah sehingga dapat dicintai rakyatnya.
Pokok – pokok ajaran kesejahteraan sejati diuraikan didalam kropak 632 dan 630, dikenal dengan sebutan naskah Siksa Kanda Ng Karesyan. Naskah tersebut sama dengan ajaran tentang tetekon hirup yang dikenal dalam yang dianut Batari Hyang – pembuat parit Galunggung, bahkan masih dijadikan ajarannya resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran.
Menurut RPMSJB, salah satu kunci ke arah kesejahteraan sejati itu dalam kropak 630 lembar 26 dan 27 diuraikan sebagai berikut :
Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu,
pepet byakta warta manah,
mana kreta na bwana,
mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.
Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta ;
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta ;
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta ;
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta ;
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta ;
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta ;
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta ;
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta ;
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta ;
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta ;
sang disi pageuh di kadisianna, kreta ;
sang rama pageuh di karamaanna, kreta ;
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.
Ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.
(Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa, maka sejahteralah dunia, maka sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan.
Demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugas nya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku akan sejahtera ; Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejahtera ; Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera ; Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejahtera ; Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera ; Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera ; Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera ; Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera ; Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera ; Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera ; Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera ; Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera ; Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejahtera ; Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejahtera.
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia). [Jilid Ketiga, hal 39]
Inti ajaran Siksa Kanda Ng Karesyian sebagaimana yang dimuat di dalam kropak 630 memberikan arti bahwa Jika setiap manusia berpegang teguh kepada kebenaran dan menjalankan kewajiban sesuai dengan tugasnya masing-masing maka akan mencapai kesejahteraan sejati. Kesejahteraan sejati dimaksud meliputi kejehteraan batin dan kesejahteraan lahir. Kesejahteraan batin jika manusia tidak mengingkari kebenaran, sedangkan kesejahteraan lahir dapat diperoleh jika dalam menjalankan tugasnya dilakukan dengan cara yang jujur dan bersungguh-sungguh. Itulah yang di wasiatkan Wastu Kancana kepada generasi sesudahnya.
Wasiat tentang kesejahteraan lahir mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia harus teguh dan memiliki dedikasi dibidang keahliannya. Konsep dan visi Wastu Kancana menurut hemat saya lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak orang yang bukan negarawan mengurusi masalah negara, para ahli agama banyak yang terjun menjadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.
Mungkin perlu direnungkan kembali tentang nilai-nilai luhur yang dinasehatkan Wastu Kancana. Nilai-nilai tersebut pernah menjadi jati diri urang Sunda. Hal nya sama dengan Naskah Darma Pitutur yang dimuat dalam korpak 630. Intinya mengajarkan, bahwa bertanyalah kepada ahlinya, serta serahkanlah suatu persoalan kepada ahlinya masing-masing. Tentang masalah keagamaan maka tanyakanlah kepada ahli agama – masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga – masalah kenegaraan bertanyaan kepada negarawan. Janganlah ahli agama turut campur memaksakan kehendak untuk mengurus negara – tukang dagang ikut-ikutan menentukan kebijakan politik, karena semua itu bukan bidangnya.
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara – barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.
Terakhir marilah kita renungkan Wasiat tersebut sebagai kearifan masa lalu. Karena : ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada catangnya.
Hana nguni hana mangke –
Tan hana nguni tan hana mangke –
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna –
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna –
Hana tunggak hana watang –
Hana ma tunggulna aya tu catangna.
KEMBALI KE PAKUAN
Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Niskala Wastu Kencana memiliki dua orang putra dari istri yang berbeda. Keduanya mewarisi tahta yang sederajat, yakni Sunda di Galuh dan Sunda di Pakuan. Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475, kerajaan Sunda dipecah, Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal (Pakuan).
Tantang penobatan Susuktunggal di Pakuan menurut Atja dan Ekadjati (1989:142), sebagai berikut : “setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Yoseph Iskandar – hal. 230).
Pembagian tahta Sunda sama sekali tidak memutuskan hubungan kekerabatan keturunan dari Wastu Kencana, bahkan politik kesatuan wilayah dibangun telah membuat jalinan perkawinan antar putra-putri keduanya yang masih terbilang sebagai cucu Wastu Kencana. Hal ini sebagaimana dilakukannya melalui pernikahan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal.
Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Ki Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Ki Gedeng Kasmaya menjadi penguasa tersebut menggantikan mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).
Ngarumpak Larangan
Kisah penyatuan kerajaan Sunda warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Galuh. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali sudah diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu dikatagorikan dengan pelanggaran moral.
Masalah moralitas di wilayah Galuh sangat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda, ditenggarai dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan.
Dari masing-masing kisah tersebut sebenarnya dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Pada periode berikutnya para keturunan Galuh menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga pada periode berikutnya sangat wajar, ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.
Kisah akhir dari suatu kerajaan di pulau Jawa tentunya hampir sama, antara lain melahirkan mitos-mitos yang terkait dengan kondisi sang raja atau keluarganya. Misalnya, munculnya mitos tentang Sabda Palon di Majapahit dan Wangsit Siliwangi di Pajajaran. Kedua mitos tersebut ditafsirkan sedemikian rupa dan ditautkan dengan kondisi kekinian, pada akhirnya melahirkan paradigma tentang akan munculnya Ratu Adil.
Mitos selanjutnya yang muncul juga dikaitkan dengan kisah Ratu Kidul yang sangat melegenda. Didalam RPMSJB menjelaskan, bahwa : Bondan Kejawan, putra Kertabumi dari selirnya, Wandan Bondr Cemara, mengungsi ke Mataram. Ia kemudian memperistri Nawangwulan ratu Mataram yang juga disebut Ratu Kidul. Dari perkawinan ini lahir Ratu Angin-angin atau Ratu Kidul yang kelak diperistri oleh Sutawijaya pendiri kerajaan Mataram”. (Jilid Ketiga, hal 51).
Memang agak sulit melacak kebenarannya, mengingat hanya beredar di kalangan masyarakat tradisional dalam bentuk sejarah lisan, pantun atau babad yang sarat dengan simbol-simbol, masih perlu ditafsirkan. Namun biarlah masalah tersebut hidup terus. Paling tidak dapat menjelaskan adanya ikatan sejarah dan benang merah antara masa kini dengan kearifan masa lalu.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Putri ini adiknya Banyakcatra atau Kamandaka, bupati Galuh di Pasir Luhur dan Banyakngampar bupati Galuh di Dayeuh Luhur.
Sayangnya Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Wanita terlarang (Istri larangan) di dalam tradisi Sunda pada masa itu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana rujukan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesian, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Sejatinya suatu larangan akan ditaati jika mengandung sanksi, karena suatu larangan tanpa sanksi hanya bersifat himbauan maka tidak memiliki alat pemaksa. Demikian pula di dalam hukum adat, seseorang akan dikenakan sanksi jika ia melanggar keseimbangan adat, dalam hal ini ada ketentuan adat yang dilanggar Dewa Niskala, yakni Purbatisti Prbajati (tradisi) keraton Galuh yang selalu diamanatkan oleh Wastu Kencana dan leluhur sebelumnya.
Peristiwa pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya tetsebut diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
• Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.
Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :
• //sang ningrat kancana / a-
• Thawa prabhu dewa niskala/
• Madeg ratu ghaluh pakwan
• Ing (1397-1404) ikang ca-
• Kakala//lawasnya/pitung warca/
• Mapan sira kawilang sang sa-
• Lah mastri lawan wanodya
• Sakeng wilwatikta/
(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis (hulanjar) dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].
Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.
Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lainnya memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :
• Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya.
• Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
• “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.”
• Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
• Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama.
• Lilana ngadeg ratu saratus taun.
• Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya.
• Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
• “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.”
• Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
• Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama.
• Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana tersebut berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Dari adanya peristiwa tersebut tentunya mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana tersebut bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Dari Kawali ke Pakuan.
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda menurut versi sejarah resmi terjadi akibat perselisihan penguasa Galuh dengan Sunda yang cenderung memutuskan hubungan kekerabatan keraton Surawisesa dan Pakuan. Hal tersebut dipicu oleh Dewa Niskala yang dianggap melanggar larangan dengan menikahi Hulanjar dan istri larangan. Untung saja Wastu Kancana sebelumnya telah mempersiapkan Jayadewata, cucunya untuk meneruskan tahta Sunda. Jika saja tidak dipersiapkan dimungkinkan hubungan Sunda dengan Galuh akan kembali sebagai hubungan sebelum dilakukannya perjanjian Galuh di Purasaba.
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda menurut versi sejarah resmi terjadi akibat perselisihan penguasa Galuh dengan Sunda yang cenderung memutuskan hubungan kekerabatan keraton Surawisesa dan Pakuan. Hal tersebut dipicu oleh Dewa Niskala yang dianggap melanggar larangan dengan menikahi Hulanjar dan istri larangan. Untung saja Wastu Kancana sebelumnya telah mempersiapkan Jayadewata, cucunya untuk meneruskan tahta Sunda. Jika saja tidak dipersiapkan dimungkinkan hubungan Sunda dengan Galuh akan kembali sebagai hubungan sebelum dilakukannya perjanjian Galuh di Purasaba.
Jayadewata pada waktu itu masih berposisi sebagai Putra Mahkota Sunda Kawali dan sebagai Prabu Anom di Pakuan. Gelar Prabu Anom berdasarkan pada garis kekerabatan setelah menikah dengan putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Putra Mahkota karena ia putra dari Dewa Niskala.
Jayadewata sebelumnya melakukan pernikahan dengan dua cucu Wastu Kancana lainnya, yakni Ambetkasih, putri Gedeng Sindang Kasih dan Subanglarang, putra Gedeng Tapa. Pada masa itu ia masih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa,
Lalampahan Jayadewata di Cirebon ditafsirkan para sejarawan untuk menimba ilmu kenegaraan dan mendapat pengalaman lain sebagai bekal dikemudian hari. Kisah Sang Pamanah Rasa di dalam cara mendapatkan Ambetkasih di Sindangkasih misalnya, digambarkan sejarawan tradisional dengan sangat dramatis, bagaimana ia dapat mengalahkan Amuk Murugul yang sakti mandraguna dalam suatu lomba tanding satria, ia pun menyamar dengan nama Keukeumbing Rajasunu. Kisah ini dapat ditemukan dalam cerita pantun yang syarat dengan simbol-simbol. Namun dalam dunia nyata memang kedua tokoh benafr adanya. Amuk Murugul kemudian Menjadi raja Singapura (Cirebon) sedangkan Sang Pamanah Rasa menjadi raja Pajajaran.
Didalam kisah lainnya Subanglarang adalah Santriwati dari Pondok Quro Karawang, dari pernikahan tersebut lahir Walangsungsang. Putra dari Subanglarang kemudian menjadi penyebar agama Islam di Cirebon. Namun didalam naskah Wangsakera, Walangsungsang dianggap cucu dari Jayadewata. Dari epos sejarah ini banyak kisah dalam bermacam versi, Misalnya dikisahkan Jayadewata (Prabu Siliwangi) dikejar-kejar putranya supaya pindah ageman, bahkan tak kurang yang mengidentifisir Walangsungsang sebagai Kian Santang. Kekeliruan identifikasi ini berhenti sejenak setelah para penafsir mengalihkan nama Kian Santang kepada Sunan Rokhmat yang dimakamkan di Godok Garut, namun kisah ageman Prabu Siliwangi sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang menarik.
Rupanya kebesaran nama Prabu Siliwangi memang sangat menarik untuk diperbincangkan, tak pernah habis-habisnya, karena masyarakat tradisional di Jawa Barat seolah-olah tidak mau melepaskan kisah raja-raja Sunda jika tidak mengaitkan dengan nama Prabu Siliwangi. Akibatnya banyak versi dan banyak kisah, seolah-olah Prabu Siliwangi adalah raja Sunda seluruh jaman dan tokoh untuk semua kisah serta versinya.
Jayadewata adalah penguasa Sunda di Kawali yang kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya ke Pakuan. Pada masa muda lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala, yang mewarisi tahta ayahnya di Galuh. Sebagai raja Sunda di Galuh ia bergelar Prabu Guru Dewataprana. Kemudian mewarisi tahta mertuanya di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja.
Sumber utama tentang keberadaan Sri Baduga Maharaja berasal dari prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor. Namun kisahnya jauh lebih terkenal dalam cerita masyarakat dengan gelar Prabu Siliwangi.
Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :
• OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu
• diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri
• baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de-
• wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis-
• kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu
• ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka-
• ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga
• rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan-
• dawa (m) bumi OO
Terjemaahan
[Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].
Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :
• Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewataprana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa.
[Raja Pajajaran dinobatkan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Yoseph, hal. 226)
Dari dua kali pengangkatannya tersebut tentunya membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda. Kisah pengangkatannya di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan “disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, namun yang sering disebut-sebut oleh para sejarawan adalah Sang Pamanah Rasa, Sri Baduga Maharaja dan Prabu Siliwangi. Masyarakat di tatar Sunda merasa teu wasa untuk menyebut gelarnya, bahkan ada yang menganggap tidak sopan, sehingga dalam cerita Pantun dan Babad lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Suatu gelar yang diberikan kepada raja Sunda yang berjasa besar, yakni Prabu Wangi, diberikan kepada Prabu Maharaja yang gugur dalam palagan Bubat dan Prabu Wangisuta, gelar untuk Prabu Niskala Wastu Kancana.
Alasan lain tentang nama Sri Baduga disebut Siliwangi, menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia menggantikan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Dalam Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :
• “Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”
(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]
Penulis Carita Parahyangan menyebutnya dengan nama Sang Ratu Jayadewata. Kisah tersebut, sebagai berikut :
• Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun.
• Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahan Sunda di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda. Tentunya berhubungan dengan Prasasti Kawali yang menegaskan “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai “Dalem sipawindu hurip” yang berarti keraton yang memberikan ketenangan hidup. (***)
Sumber Bacaan :
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
• Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
• pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
• wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
Sumber Bacaan :
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
• Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
• pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
• wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
• wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
• wikipedia.org/wiki/Kawali, tanggal 5 April 2010.
Post a Comment