Kerajaan Taruma Nagara
KERAJAAN TARUMA NAGARA
PENGANTAR
Sebelum Salakanagara ramai diperbincangkan Kerajaan Tarumanagara lebih dahulu disebut-sebut para akhli sejarah sebagai kerajaan awal di tatar pasundan. Padahal berdasarkan dugaan awal, keberadaan Salakanagara jauh lebih dulu dibandingkan Tarumanagara. Entah bagaimana, Tarumanagara pun dianggap sebagai kerajaan yang didirikan kaum pendatang, para saudagar dari India.
Sebelum Salakanagara ramai diperbincangkan Kerajaan Tarumanagara lebih dahulu disebut-sebut para akhli sejarah sebagai kerajaan awal di tatar pasundan. Padahal berdasarkan dugaan awal, keberadaan Salakanagara jauh lebih dulu dibandingkan Tarumanagara. Entah bagaimana, Tarumanagara pun dianggap sebagai kerajaan yang didirikan kaum pendatang, para saudagar dari India.
Sekalipun demikian, kepopuleran Tarumanagara didalam sejarah lisan masyarakat sekarang belum dapat mengalahkan cerita tentang Galuh dan Pajajaran, bahkan masih banyak yang menafsirkan bahwa raja-raja Tarumanagara bergelar Purnawarman, sama dengan anggapan bahwa raja-raja Pajajaran bergelar Siliwangi (Silihwangi).
Kesalahan dalam cara mempersepsi raja-raja Tarumanagara yang bergelar Purnawarman dimungkinkan, mengingat Purnawarman disebut-sebut sebagai raja yang paling terkenal, mampu memperluas wilayah Tarumanagara, dan banyak di abadikan didalam bentuk Prasasti.
Sekalipun demikian, masih banyak para akhli sejarah Jawa Barat, yang masih menyisakan pertanyaan tentang asal-usul Tarumanagara, apakah dari India atau pribumi asli yang menggunakan adat istiadat Hindu ?.
Keberadaan Tarumanagara
Sebagai bukti keberadaan Tarumanagara diketahui dari peninggalan berupa Prasasti yang saat ini baru ditemukan tujuh buah dan beberapa arca, batu menhir, perhiasan, batu dakon, kuburan tua, tempayan, dan logam perunggu. Sedang sumber rujukan kisah yang sering dijadikan bahan diskusi berasal dari Naskah Wangsakerta.
Mungkin sulit juga diakui keberadaanya jika tidak dikuatkan berita dari luar. Berita ini menurut sejarah jawa barat tercantum didalam berita-berita dari China. Seperti berita perjalanan Fa-Hsien, Dinasti Sui dan Dinasti Tang.
Pada tahun 413 M (Jaman Purnawarman) Fa-Hsien, pendeta Budha dari China. semula ia berniat berlayar ke Srilanka, namun kapalnya terkatung-katung hingga 90 hari, kemudian ia tiba di Ya-va-di dan menetap selama lima bulan. Selama di Ya-va-di ia lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Budha. Kisah ini kemudian ditulisnya dalam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.
Berita kedua lainnya terkait dengan hubungan diplomatic, yakni berita dari Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 (masa raja Candrawarman dan Suryawarman) telah datang utusan dari To-lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Sedangkan Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 (masa raja Linggawarman) telah datang utusaan dari To-lo-mo. Dari berita dipercayai para akhli, bahwa yang dimaksud dengan To-lo-mo adalah Tarumanagara.
Berdasarkan sumber-sumber diatas para akhli sejarah menyimpulkan tentang aspek-aspek social dari kehidupan raja-raja dan pendudukan Tarumanegara.
Tarumanagara mengalami puncak kejayaannya ketika dipimpin Purnmawarman. Ia dianggap raja gagah perkasa, pemberani. panglima perang, membekas dihati rakyat dan tokoh agama sebagai raja yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, serta rajin memberikan hadiah kepada para Brahmana.
Jika tidak ditemukan beberapa prasasti, keraguan terhadap keberadaan Tarumanagara akan sama dengan keraguan terhadap Salakanagara. Untungnya Purnawarman termasuk raja yang sangat rajin mengabadikan kejayaannya didalam Prasasti, sehingga tidak mengalami kebuntuan sejarah, sebagaimana yang dialami Salakanagara.
Prasasti terpenting yang mengabarakan keberadaan Purnawarman dimuat dalam prasasti Ciaruten, menjelaskan : “Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara”.
Prasasti ini cukup kuat menunjukan Tarumanagara memang pernah ada, sekalipun lokasi dan tanda tanda fisik kedatuannya masih belum diketahui, namun patut diduga, Tarumanagara berada di wilayah Pantai Bekasi. Prasasti inipun menunjukan pula Purnawarman sebagai raja Tarumanagara, sehingga wajar jika Purnawarman dianggap pendiri Tarumanagara.
Keyakinan yang menganggap Purnawarman pendiri Tarumanagara akan menjadi tak terelakan jika tidak ditemukan Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat abad ke 5 M. Prasasti tersebut menunjukan Purnawarman bukan raja pertama, karena masih ada pendahulunya, yakni Rajadirajaguru. Runtutan kisah ini menjadi tersambungkan jika dihubungkan dengan Kisah Tarumanagara didalam Naskah Wangsakerta, yang dibuat pada abad 17 M (*)
PERCANDIAN BATU JAYA
Situs Batujaya terletak wilayah Karawang Jawa Barat + 45 km di sebelah timur kota Jakarta. Situs Batujaya secara umum memiliki peninggalan arkeologi, dilahan yang seluas sekitar 5 km persegi, berada pada lahan-lahan persawahan serta sebagian kecil yang terletak disekitar pemukiman. Tidak jauh dari lokasi Situs terdapat Sungai anak Citarum.
Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150 – 400 M. Dengan demikian candi yang terletak di Situs Batu merupakan Candi tertua yang ada di Indonesia.
Situs Batujaya ditemukan pada tahun 1985 setelah ada laporan dari masyarakat setempat. Serangkaian penelitian dan penanganan peninggalan budaya tersebut hingga tahun 2006 telah tercatat sebanyak 24 bangunan kuno yang masih dalam bentuk Unur, atau gundukan tanah yang didalamnya terdapat reruntuhan bangunan kuno, diduga berupa candi. (Pada kunjungan dsaya terakhir, maret 2010 penduduk memperkirakan sudah ditemukan 26 bangunan yang masih berbetuk Unur).
Ciri-ciri yang tampak pada sejumlah bangunan yang digali menampilkan sejumlah bentuk profil, bentuk relung, serta sejumlah bagian bangunan yang merupakan bangunan candi. Hingga kini dari sekitar 24 sisa bangunan yang ada, baru 4 buah tengah ditangani, 2 bangunan telah selesai dipugar.
Nama-nama bangunan yang ada disesuaikan dengan nama yang diberikan oleh masyarakat setempat, seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan atau dengan nama desa tempat bangunan tersebut berada, seperti bangunan Segaran untuk bangunan yang ditemukan diwilayah Segaran, Telagajaya untuk bangunan yang ditemukan di wilayah Telagajaya.
Dekat dari unur-unur tersebut biasanya terdapat cekungan tanah yang dikenal dengan nama kobak (kolam), letaknya agak lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitar. Ukuran cekungan tersebut bervariasi, mulai dari 5 m x 5m hingga 25 m x 25 m. Pada Musim penghujan cekungan tersebut tergenang air. Cekungan-cekungan tersebut ada kaitannya dengan keberadaan bangunan itu sendiri.Gambaran umum beberapa unur (candi) di Situs Batujaya adalah sebagai berikut :
Candi Jiwa
Bangunan Segaran 1 atau dikenal juga dengan nama Candi Jiwa terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, berjarak sekitar 200 m kearah barat dari jalan Kaliasin. Badan bangunan ini masif, tidak memiliki ruangan., ber ukuran 19 m x 19 m dan tinggi 4,7 m, dengan orientasi kearah tenggara baratlaut. Pada bagian kakinya terdapat profil bangunan berbentuk pelipit rata (patta) dan pelipit penyangga (uttara) serta pelipit setengah lingkaran (kumuda).
Candi Jiwa pada bagian fondasi bangunan tidak ditemukan tanda adanya bekas pintu. Pada permukaan atas bangunan membentuk pola yang melingkar dengan diameter sekitar 6 m. gejala ini menimbulkan pertanyaan apakah susunan bata melingkar itu merupakan bagian dari stupa atau merupakan bentuk lapik dari sebuah teras. Di bagian permukaan atas, pada keempat sisinya menampakkan permukaan yang bergelombang yang seolah-olah sengaja dibuat. Tidak tampak tanda adanya bagian atau komponen bekas atap bangunan.
Susunan bata bangunan candi terdiri dari dua lapis, lapisan bagian luar dan dalam, sehingga diduga bahwa bangunan dibangun dua kali atau mungkin pernah diperluas atau diperbesar. Sementara itu pada keempat sisinya ditemukan bekas-bekas relung masing-masing dengan pasti apakah dahulunya relung-relung tersebut merupakan tempat menempatkan arca.
Pada saat ini bangunan candi Jiwa telah selesai dipugar sesuai dengan bentuk aslinya saat ditemukan. Sekelilingnya telah diberi pagar besi. Pada tahun 2008 Candi Jiwa telah menjadi pusat perayaan Bhakti waisak umat Buddha dari Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
Candi Blandongan
Bangunan Segaran V atau penduduk setempat lebih mengenal dengan sebutan Candi Blandongan, terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya. keseluruhan candi merupakan salah satu yang terbesar bila dibandingkan dengan unur-unur yang lainnya.
Penelitian terhadap bangunan Candi Blandongan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1992 s.d. 1998. Pada saat itu telah berhasil menampakkan denah berbentuk bujursangkar. Tangga naik terletak di sisi timurlaut, tenggara, barat daya dan barat laut bangunan. Disisi kiri kanan tangga naik terdapat pipi tangga. Bangunan bata ini pada umumnya telah mengalami kerusakan, disebabkan factor usia tetapi masih ada bagian yang menjadi rujukan dalam pemugaran. Anak tangga dilapisi dengan batu andesit yang dibentuk dan berukuran sama dengan ukuran batat (8x15x40 cm). Pada tangga naik teratas terdapat ruang. Ruang ini berukuran 2 m x 2,3 m berfungsi sebagai pintu menuju bagian dalam halaman candi. Lantai ruangan ini dilapisi dengan batu kerikil yang dicampur dengn semacam adonan lepa yang berwarna putih dan dicampur dengan bubukan kerang.
Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bagunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan sutu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalannya sekitar 1,75 m. Bagian luar tembok keliling ini terdapat hiasan-hiasan pelipit datar, pelipit kemuda, pelipit sisi genta dan hiasan kerucut terpotong.
Dinding luar tembok keliling ini mungkin dahulunya dilapisi dengan lepa yang berwarna putih, karena sisa-sisa lepa dapat ditemukan dibeberapa tempat, misalnya pada bagian bawah pelipit kemuda dengan ketebalan sekitar 0,5 cm. Dibagian luar tembok keliling denahnya tidak luas, tetapi terdapat penampil berukuran 1,5 m menjorok ke luar sekitar 40 cm, terletak diantara tangga naik dan sudut bangunan. Sudut luar bangunan juga menjorok ke luar sekitar 50 cm seperti bentuk bastion sebuah benteng.
Pada bagian dalam tembok keliling terdapat halaman yang dibuat dari bata dilapisi dengan kerikil yang diaduk denganadoanan lepa berwarna putih. Karena termakan usia , lapisan ini sudah terkikis dan yang tampak adalah lantai bata. Lapisan kerikil ini masih tersisa dekat dengan sudut selatan halaman. Selain itu terdapat dua buah batu andesit yang permukaannya datar. Tepat di tengah halaman terdapat bangunan inti. Bangunan inti kini hanya menyisakan bagian kaki yang denahnya bujursangkar dengan ukuran 9,2 m x 9,2 m. Sudut-sudutnya menonjol seperti bastion pada sebuah benteng. Permukaan atasnya sudah rusak terdapat semacam saluran air pada masing-masing sudut.
Sejak pertama kali penelitian sejak 1996 hingga sekarang (saat pemugaran) berhasil ditemukan sejumlah benda-benda suci yang biasa digunakan pada upacara keagamaan. Benda-benda tersebut ditemukan pada relung di sisi baratdaya bangunan, berupa amulet dari bahan tanah liat yang dibakar, tertera mantera-mantera dan penggambaran tokoh dalam Agama Budha.
Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bangunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalan 1,75 m.
Berdasarkan pengamatan pada fisik bangunan, ada usaha untuk menata bangunan yang sudah rusak. Gejala ini tampak dari tekhnik penyusunan bata, ada yang diletakan ada pula yang ditumpuk. Bata yang diletakan menunjukkan keaslian bangunan.
Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150-400 M. Bangunan Candi Blandongan sekarang ini masih dipugar (tahap akhir) oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Propinsi Banten.
Sejarah Situs Batujaya
Sejarah Indonesia kuno telah mencatat bahwa peradaban yang mula-mula muncul di Indonesia adalah peradaban bercorak Agama Hindu, yang berlangsung di dua pusat yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Dari prasasti-prasasti yang paling awal yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, meskipun tidak menyebutkan angka tahun yang lengkap, dapat diketahui bahwa kerajaan yang pertama kali berkembang diwilayah ini adalah kerajaan Tarumanegara yang berdiri sekitar abad ke IV Masehi. Prasasti-prasasti tertua yang menyebutkan keberadaan Prasati Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Lebak, Prasasti pasir Jambu (Koleangkak) dan Prasati Pasir Awi.
Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumpu, Desa tugu kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Transkipsi prasati Tugu :
• Pura rajadhirajena guruna, Pinabahuna Khata Khyata, Puri prapya Candrabhagaenavam yayau, Pravarddharmana Dvavinsad Dvavinsad.
• Dhvajabhutena Crimata purnavarmmana caitrasukla, Trayodsyam dinais siddhaikadhvin sakali, Ayata sastrasahasrena dhanusam sasatena ca, Dyayinsena nadi ramya gomati nirmaladaka, Vhrahmanairgga sahasrena prayati krtadaksina.
Terjemahan :
(Raja Purnawaran yang bijaksana berhasil membuat dua sungai (kali), yaitu Candrabhaga dan Gomati hingga mengalir ke laut, dengan panjang ± 6.122 tumbak, dimulai tanggal 8 paro-petang bulan caitra (±21 hari). Selamatnya dengan menghadiahkan 100 ekor sapi).
Prasasti-prasasti itu berdasarkan ukuran batunya, dapat diketahui dibuat disitu. Sedangkan dari gaya tulisan dan bahasa prasasti berasal dari kurun waktu abad V Masehi. Tulisan menggunakan huruf Pallawa dengan Bahasa Sansekerta. Adanya penggunaan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa merupakan bukti bahwa pada masa itu telah terjadi kontak budaya antara Tarumanagara dengan kerajaa-kerajaan di India.
Dilokasi Situs batujaya hingga tahun 1993 telah ditemukan candi berjumlah 24 buah. (terakhir pada mei 2010 sudah ditemukan 26 bangunan masih dalam bentuk unur dan dimungkinkan masih banyak lagi). Selain itu di wilayah pantai utara Karawang terdapat pula pusat percandian yaitu di situs Cibuaya, di Desa Cibuaya dengan temuan candi berjumlah 6 buah bangunan. Dapat dibayangkan bahwa pada masa lampau di wilayah (Karawang dan sekitarnya) pernah ada suatu komonitas yang cukup besar jumlahnya dan memiliki kemampuan tekhnologi yang cukup tinggi sehingga mampu menciptakan sejumlah besar bangunan yang terbuat dari material bata, tentunya sebelum membangun, masyarakat setempat harus menguasai tekhnologi pembuatan bata, baik tentang pemilihan bahan baku, proses pembuatan hingga pembakaran pada suhu cukup tinggi. Disamping itu di daerah kecamatan Perwakilan Cibuaya pada tahun 1952-1957 juga pernah ditemukan 2 buah arca Wisnu.
Menurut penelitian secara ikonografinya diduga bahwa kedua arca tersebut berasal dari abad ke VII-VIII. Selanjutnya pada tahun 1975 ditemukan fragmen arca Wisnu yang lain yang diduga juga sejaman dengan kedua arca tersebut. Kehadiran sejumlah besar bangunan yang mempunyai cirri-ciri budaya Budha di situs Batujaya dan Hindu di situs Cibuaya itu sendiri merupakn hal penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, karena dapat dikatakan bahwa telah berkembang masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha pada abad ke V-VIII di wilayah Jawa Barat.
Hubungan antara kawasan percandian Situs Batujaya dengan Kerajaan Tarumanagara didasarkan atas tafsiran salah satunya isi prasasti Tugu tersebut, bahwa Kerajaan Tarumanagara wilayah kekuasaan meliputi (masa pemerintahan Raja Purnawarman) setidak mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten. Apabila perkiraan ini benar adanya, maka Situs Batujaya merupakan komplek percandian yang masuk dalam kategori tua di Indonesia (untuk sementara tertua di Indonesia, yang diperkirakan dibangun sejak abad ke 4 Masehi).
Kerajaan Tarumanagara pada akhir abad ke 8 M mulai mengalami kemunduran. Hal ini diperkuat oleh berita Cina bahwa sesudah Tahun 669 M, Kerajaan To-lomo tidak mengirim utusan ke Cina lagi. Dengan mundurnya Kerajaan Tarumanagara dan muncul 2 kerajaan baru yang semula merupakan kerajaan bawahan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang berkembang pada masa yang bersamaan (abad VII). Kerajaan Sunda daerah kekuasaannya disebelah Timur Sungai Citarum. Selama pergeseran politik dari lenyapnya Tarumanagara dan munculnya Galuh dan Sunda tidak banyak berubah dalam kehidupan keagamaan.
Penelitian tahun 2005 yang merupakan bagian integral dalam penelitian arkeologi di situs Batujaya menunjukkan bahwa okupasi lahan di areal situs Batujaya diketahui telah dilakukan sejak periode Tembikar Buni (Buni Pottery Complex) dan terus berlangsung hingga periode Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Ekskavasi pada beberapa lokasi terpilih berhasil menemukan sejumlah kerangka manusia beserta bekal kuburnya yang semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah para pendukung kompleks Tembikar Buni. Selain itu ditemukan pula fragmen-fragmen tembikar Arikamedu (India) berada pada lapisan yang sama dengan fragmen-fragmen tembikar Buni termasuk sisa-sisa kerangka manusianya.
Budaya dan Religi
Situs Batujaya yang berlatar Agama Buddha dengan tinggalannya berupa percandian sebanyak 24 buah dikawasan seluas 5 km ini kini tertata dengan baik. Sehingga banyak menarik perhatian masyarakat dan telah menjadi objek wisata yang sering dikunjungi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat yang bertujuan ingin mengetahui situs ini. Disamping itu, situs Batujaya telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian di bidang kebudayaan, sejarah dan pariwisata.
Baru-baru ini pada tanggal 1 Juni 2008 umat Buddha dari propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten menyelenggarakan perayaan Puja Bhakti Waisak ke 2552 BE atau tahun 2008 untuk mengenang kembali perjuangan Bodhisatva Sidharta dalam mencapai kesempurnaan hidup menjadi Buddha di pelataran Candi Jiwa dan Candi Blondongan,di situs Batujaya.
Untuk melengkapi keperluan para wisatawan baik dalam dan luar negeri, Pemerintahan Propinsi Jawa Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat telah membangun Site Museum Batujaya secara permanen, terletak ditepi jalan Desa Segaran atau ± 200 meter sebelah selatan Candi Jiwa. Disamping untuk keperluan wisatawan, gedung ini untuk menyimpan dan sekaligus memamerkan temuan-temuan artefaktual. Koleksi yang dipamerkan di museum ini berjumlah ± 165 buah artefak berupa keramik, gerabah, fosil tulang binatang, dan fosil tumbuhan, replica kepala arca manusia dan binatang, manik-manik kaca dan tanah liat (terakota), bernagai bentuk bata. Disamping itu juga dipamerkan buku-buku yang berisi kepurbakalaan Situs Batujaya. (*)
PENDIRI TARUMA NAGARA
Prasasti yang ditemukan di Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya Bekasi, ditulis dalam huruf palawi menerangkan, bahwa : Purnawarman telah menggali saluran sungai Gomati dalam waktu 20 hari, namun pada bait pertama menyebutkan, : “dahulu sungai Chandrabaga digali oleh Rajadirajaguru…”. Prasasti ini cukup kuat menjelaskan “Purnawarman” bukan raja pertama. Karena menyebut adanya Rajadirajaguru, pendahulunya. Paling tidak Rajadirajaguru adalah pendahulu Purnawarman.
Tentang Rajadirajaguru diuraikan dalam Naskah Wangsakerta, ia disebut-sebut nama aslinya adalah Sang Maharesi Jayasingawarman, berasal dari Calankayana, India, tiba pada tahun 270 Saka (348 M) di Jawa Barat bersama para pengikutnya, karena negaranya dikalahkan oleh Raja Samudragupta, Magada, India. Kemudian menetap di tepi Sungai Citarum yang termasuk Wilayah Salakanagara. Pada waktu itu Salakanagara diperintah oleh Dewawarman VIII. Kelak Sang Maharesi menjadi menantu Dewawarman VIII.
Karena kemasyhurannya, desa tersebut semakin hari semakin bertambah penduduknya, bukan karena bertambahnya anak, melainkan juga banyak penduduk dari desa lain yang menetap disana. Lama kelamaan desa tersebut menjadi sebuah Negara. Ia beri nama Tarumanagara.
Sang Maharesi Jayasingawarman kemudian menjadi Rajadirajaguru yang memerintah Tarumanagara, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa, memerintah Tarumanagara sejak 280 Saka (358 M) dan wafat dalam usia 60 tahun.
Jika menyimak penundukan Salakanagara kedalam kekuasaan atau menjadi dibawah perlindungan kerajaan Tarumanagara, memang agak aneh. Karena sebelumnya Tarumanagara termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara. Tapi tentunya suksesi ini dilakukan tanpa pertumpahan darah dan jauh dari tanda-tanda adanya perebutan kekuasaan.
Prosesi penundukan Salakanagara kepada Tarumanagara dimungkin terjadi secara alamiah. Pertama, Rajadirajaguru raja Tarumanagara munggaran adalah menantu Dewawarman VIII, Ia menikah dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi. Kedua, pada episode berikutnya Tarumanagara lebih maju dibandingkan Salakanagara, sebagai akibat banyaknya para pendatang yang menetap di Pataruman. Proses alamiah ini membentuk Tarumanagara menjadi kota yang ramai.
Pembagian Strata sosial
Dari pernikahan Sang Rajaresi dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi, mempunyai anak bernama Darmayawarman dan Nagawarman. Kelak sepeninggal Sang Rajadirajaguru, Darmayawarman diangkat menggantikannya, dengan gelar Rajaresi Darmayawarmanguru.
Sang Rajaresi memerintah Tarumanagara selama waktu 13 tahun, dimulai dari tahun 304 Saka (382 M). Ia disebut juga Sang Lumahing Candrabaga, karena ia dipusarakan di Candrabaga. Kemudian ia digantikan putranya yang bernama Purnawarman.
Kedudukan Sang Rajaresi di Tarumanagara bukan hanya sebagai pengendali pemerintahan, ia juga pemimpin semua agama yang ada di Tarumanagara. Sama dengan posisi ayahnya dan kesejarahan terbentuknya Tarumanagara. Posisi ini sangat menentukan dalam mengelola sosial kemasyarakatan, bahkan tidak berlebihan jika digunakan sebagai jendela untuk mengetahui sejarah tentang Sunda Wiwitan.
Dari naskah Wangsakerta ada dua catatan penting yang pernah dilakukan Sang Rajaresi, yakni membagi strata sosial kemasyarakatan dan upaya merubah pola pikir penduduk Tarumanagara untuk tidak lagi menganut agama yang dianut nenek moyangnya.
Pertama, Sang Rajaresi membagi kasta penduduk Tarumanagara menjadi empat kasta, yakni Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Hal ini dimungkinkan, sama dengan yang dianut dalam kepercayaan Hindu, mengingat Sang Rajaresi termasuk penganut Hindu yang taat. Namun ia pun membedakan golongan penduduk kedalam tiga golongan, yakni golongan nista, madya, dan utama.
Penggolongan masyarakat menjadi golongan nista, madya dan utama, hemat saya sama dengan cara Belanda menetapkan penggolongan penduduk di Hindia Belanda. Namun di Tarumanagara dimungkinkan untuk memberikan hak dan perlakuan yang istimewa kepada raja Tarumanagara dan keluarganya serta kepada kaum Brahmana, dalam rangka menjalankan tugas keagamaan.
Sedangkan di Hindia Belanda pemerintahan waktu itu mengelompokan masyarakat menjadi golongan Eropa, Timur asing dan Pribumi untuk keperluan pendudukan hukum. Penggolongan demikian didudukan pula dalam bentuk-bentuk aturan (hukum). Seperti memberlakukan Hukum perdata barat untuk Golongan Eropa dan Hukum adat untuk pribumi.
Memang jika hanya aturan penundukan hukum adalah masalah kebebasan menentukan, tetapi parahnya, aturan ini mempengaruhi didalam cara pemberian layanan pemerintah kepada masyarakat. Seperti penggunaan fasilitas umum dan pengelompokan sekolah. Sadar atau tidak sadar dapat dikatagorikan pada tindakan diskriminatif.
Saya kurang mendapat Informasi yang jelas mengenai penerapan dan tingkat upaya menggiring kepatuhan warga Tarumanagara terhadap kebijakan ini. Namun tentunya, kebijakan ini memberikan hak yang istimewa kepada raja dan para brahmana yang menjalan tugas keagamaan.
Kedua, Sang Rajaresi berupaya merubah paradigma cara keberagamaan masyarakat Tarumanagara agar tidak lagi menganut agama nenek moyangnya. Upaya Sang Rajaresi ini sangat penting untuk ditelaah lebih jauh, karena masih banyak para ahli sejarah dan penganut agama lain yang mensinkretiskan masyarakat tatar sunda dan parahyangan padaan dahulu sebagai penganut Hindu dan penyembah rokh nenek moyang.
Secara resmi sentuhan dengan budaya luar (India) sudah mulai nampak ketika Dewawarman I menggantikan Aki Tirem. Namun sampai saat ini tidak diketahui adanya benturan, kecuali dari tutur tinular yang mengisahkan lahirnya penanggalan Saka Sunda.
Didalam Naskah Wangsakerta dijelaskan pula, sentuhan budaya Hindu di Jawa Barat ini menandakan sejarah Jawa Barat memasuki masa kerajaan dengan konsep kerajaan yang kemudian bersumber dari tradisi India. Namun tidak berarti seluruh masyarakat di tatar sunda beralih agama menjadi agama yang dianut raja-rajanya. Karena di jaman pemerintahan Sang Rajaresi ditemukan agama (ageman) yang tidak sama dengan agama yang dianut rajanya. Agama ini oleh Sang Rajaresi disebut sebagai agama yang memuja rokh nenek moyang.
Sampai saat inipun belum ada nama resmi dari agama tersebut, apalagi dengan adanya penetapan yang dituangkan dalam SK Menteri, agama ini digabungkan dalam wadah aliran kepercayaan, yang pembinaannya tidak dilakukan oleh Departemen agama. Jika ditenggarai dari istilah yang saat ini berkembang, maka lebih tepat jika dikatagorikan pada agama Urang Sunda Wiwitan (Wiwitan = awal = asal mula).
Berdasarkan peninggalan arkeologis dan naskah-naskah Sunda buhun, agama sunda wiwitan dapat dikatagorikan monoteisme. Dalam perkembangannya ada juga pengaruh ajaran agama lain. Konon kabar, keaslian agama urang sunda dapat dilihat dari agama yang dianut masyarakat Kanekes (Baduy tangtu) Banten.
Menurut keterangan pu’un di Kanekes, ageman Sunda Wiwitan menganggap adanya Sang Hyang Keresa (Tuhan yang Maha Kuasa), yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Tunggal), Batara Jagat (Penguasa Jagat) dan Batara Seda Niskala (Yang maha Ghaib). Dalam paradigma agama Sunda Wiwitan, alam ini dibagi tiga, yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas), Buana Tengah (Tempat manusia) dan Buana Larang (neraka).
Naskah Carita Parahyangan menyebutkan ageman Urang Sunda Wiwitan sebagai agama Jatisunda, berasal dari kata wiwitan-mula-mula – awal – pokok. Sedangkan saripati dari ajaran ini belum sedemikian dikenal, mengingat adanya sikap yang tertutup dari para penganutnya saat ini. Hal ini disebabkan adanya pengalaman di masa lalu yang tidak mengenakan bagi para penganut ageman ini. Mungkin ketertutupan ini yang akgirnya menimbulkan spekulasi dari para penganut agama lain untuk menempatkan ageman Jatisunda sebagai yang tidak dikatagorikan agama, bahkan ada yang sinis menyebutnya atheis, sehinga mereka menganggap perlu diajak untuk masuk agamanya.
Upaya serius yang dilakukan Sang Rajaresi (Tarumananagara) dilakukan pula melalaui cara mengajarkan agamanya kepada para penghulu desa yang ada disekitar Tarumanagara. Iapun mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Namun upaya ini tidak seluruhnya membuahkan hasil, karena masih banyak penduduk disekitar Tarumanagara yang menganut agama nenek moyangnya. (**)
MASA KEEMASAN
Masa keeamasan Tarumanagara disebut-sebut terjadi pada jaman Purnawarman, bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhima prakarma Suryamaha purusa Jagatpati. Pembangun Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvaja buthena (panji segala raja), atau sering disebut Maharaja Purnawarman, berkuasa pada tahun 317 Saka (395 M), meningal pada 356 Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang Lumah ing Tarumadi.
Kemasyhuran Tarumanagara diabadikan didalam Prasasti jaman Purnawaraman, tentang dibangunnya pelabuhan dan beberapa sungai sebagai sarana per-ekonomian ; pada masa Purnawarman, Tarumanagara menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang belum mau tunduk.
Prasasti-prasasti tersebut juga menjelaskan tentang raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang 6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang, bahkan pada perkembangan berikutnya, Tarumanagara mampu melebarkan sayap kekuasaan nya.
Perluasan daerah Tarumanagara dilakukan melalui jalan perang maupun jalan damai, berakibat wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin Rajadirajaguru dan Raja Resi.
Pada jaman ini pula, masalah hubungan diplomatic ditingkat. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Hal yang sama dapat ditenggarai dari masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.
Membangun Wilayah
Kisah Purnawarman secara terperinci diuraikan didalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah pertama yang dilakukannya, ia memindah kan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jaya singapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398 sampai 399 M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal Tarumanagara.
Raja Tarumanagara pada masa Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tercatatat beberapa sungai yang diperbaikinya :
• ....Pada tahun 410 M ia memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon, termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.
• …Pada tahun 334 Saka (412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yang mengalir hingga istana raja.
• …Tahun 335 Saka (413 M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa (Cimanuk).
• …Tahun 339 Saka (417 M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru, kakeknya.
• …Tahun 341 Saka (419), memperdalam kali Citarum yang merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.
Proses dan hasil pembangunan beberapa sungai diatas menghasilkan beberapa implikasi, yakni dapat memperteguh daerah-daerah yang dibangun sebagai daerah kekuasaan Tarumanagara. Kedua, karena sungai pada saat itu sebagai sarana perkenomian yang penting, maka pembangunan tersebut membangkitkan perekonomian pertanian dan perdagangan.
Politik dan Keamanan
Sejak pra Aki Tirem wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya Dewawarman I
berkenalan dengan masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.
Konon kabar ketika masa Salakanagara, pemberantas an perompak dianggap sulit, bahkan menurut cerita rakyat, ketujuh putra Dewawarman yang terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau para perompak. ParaIndia. perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan, sehingga Sang Dewawarman menganggap perlu untuk membuka jalur diplomatik dengan Cina dan Gangguan para perompak dialami juga ketika jaman Purnawarman, bahkan wilayah laut jawa sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal diganggu atau dirampas, yang terakhir para perompak berhasil menyandera dan membunuh seorang menteri kerajaan Tarumanagara dan para pengikutnya.
Untuk menghancurkan para perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah tersebut menjadi aman, karena Purnawarman menghukum mati setiap perompak yang tertangkap.
Untuk meneguhkan hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yang menikah dengan keluarga raja lain. Purnawarman memiliki permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-istri lainnya dari Sumatra, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.
Dari permaisuri ini kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama diberinama Wisnuwarman, kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera terdapat raja besar yang bernama Sri Jayanasa, dari kerajaan Sriwijaya (pada saat itu masih dibawah kerajaan Melayu), ia adalah keturunan Purnawarman.
Pemberontakan Cakrawarman
Pada saat Purnawarman meninggal Tarumanagara membawahi 46 raja-raja kecil. Sungguh kekuasaan yang besar dan perlu raja yang mampu dan kuat untuk melanjutkan kekuasaan ini. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yakni Wisnuwarman, dinobatkan tahun 356 Saka (434 M), Ia memerinta selama 21 tahun.
Wisnuwarman meneruskan kebijakan ayahnya, namun ia jauh lebih bijaksana dibandingkan Purnawarman yang dianggap bertangan besi. Untuk menjaga eksistensi Tarumanagara, penobatan ini diberitahukan keesegenap Negara sahabat dan bawahannya.
Pada awal pemerintahan Wisnuwarman sudah beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Hingga kemudian diketahui, bahwa actor intellectual upaya pembunuhan itu adalah Cakrawarman, pamannya sendiri, adik Purnawarman.
Cakrawarman dimasa Purnawarman menjabat sebagai panglima angkatan perang. Ia sangat setia mendampingi kakaknya dalam upaya melebarkan sayap kekuasaan Tarumanagara. Ia dianggap orang kedua di Tarumanagara. Sepeninggal Purnawarman Ia diharapkan para pengikutnya untuk menggantikan Purnawarman.
Upaya makar sebenarnya tidak akan pernah terjadi jika Cakrawarman tidak berambisi dan yakin terhadap kepemimpinan Wisnuwarman yang mampu melanjutkan kekuasaan Purnawarman. Keraguannya sangat beralasan, mengingat Cakrawarman tidak bertabiat seperti ayahnya, yang tegas dan tanpa kompromi terhadap lawan-lawannya. Namun patut diakui, sejak masa Wisnuwarman keadilan dan kemakmuran Tarumanagara bisa dapat tercapai.
Upaya makar yang dilakukan pula oleh para pejabat istana yang setia kepada Cakrawarman, seperti Sang Dewaraja (wakil panglima angkatan perang), Sang Hastabahu (kepala bayangkara), Kuda Sindu (wakil panglima angkatan laut), serta pejabat angkatan perang dan para pejabat kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara.
Cakrawarman akhirnya terbunuh dalam suatu pertempuran di sebelah selatan Indraprahasta, tidak jauh dari Sungai Cimanuk. Ia terbunuh oleh pasukan Bhayangkara Indraprahasta, kerajaan dibawah Tarumanagara yang setia kepada Wisnuwarman. Sejak peristiwa tersebut, pasukan bhayangkara Tarumanagara selalu dipercayakan kepada orang-orang Indraprahasta. Kepercayaan demikian berlangsung hingga pada peristiwa Galuh, ketika terjadi pemberontakan Purbasora terhadap Sena. Negara Indrapahasta yang dibangun Resi Sentanu itu dibumi hanguskan oleh Sanjaya.
Peristiwa pengancuran Indraprahasta oleh Sanhaya diabadikan dalam Nusantara III/2, sebagai berikut :
• Ikang rajya Indraprahasta wus sirna dening Rahyang Sanjaya mapan kasoran yuddha nira. Rajya Indraprahasta kebehan nira kaprajaya sapinasuk kadatwan syuhdrawa pinaka tan hana rajya manih i mandala Carbon Ghirang. Wadyanbala, sang pameget, nanawidhakara janapada, manguri, sang pinadika, meh sakweh ira pejah nirawaceca. Kawalya pirang siki lumayu humot ring wana, giri, iwah, luputa sakeng satrwikang tan hana karunya budhi pinaka satwakura.
[Kerajaan Indraprahasta itu telah musnah oleh Rahyang Sanjaya karena kalah perangnya. Seluruh Kerajaan Indraprahasta ditundukan termasuk keratonya hancur lumat seakan-akan tidak ada lagi kerajaan didaerah Cirebon Girang. Angkatan perang, pembesar kerajaan, seluruh golongan penduduk, penghuni istana, para terkemuka, hampir seluruhnya binasa tanpa sisa. Hanya beberapa orang yang berhasil melarikan diri bersembunyi di hutan, gunung dan sungai yang terluput dari musuh yang tidak mengenal belas kasihan seperti binatang buas].
Pemberian Otonomi
Kisah penumpasan pemberontakan Cakrawarman memberikan pelajaran terhadap pihak keraton dan raja-raja dibawah Tarumanagara untuk tidak mengulang peristiwa yang sama. Keteguhan kekuasaan selanjutnya dirubah, dari yang bersifat tangan besi dijaman Purnawarman menjadi perilaku adil dan bijaksana. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyat dan mengayomi raja-raja yang ada dibawah kekuasaannya.
Suri ketauladan Wisnuwarman digambarkan ketika menggagalkan upaya Kup Cakrawarman. Secara bijak ia mengadili orang-orang suruhan Cakrawarman untuk memberitahukan actor intelectualnya. Ia memperlakukan tersangka dengan baik dan secara cerdik dijanjikan tidak akan dihukum mati. Kemudian iapun mendapatkan informasi tentang actor intellectual dimaksud.
Kebijaksanaan yang ia miliki dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya, Indrawarman dan Candrawarman. Sang Maharaja Indrawarman bergelar Sang Paramartha Sakti Maha Prabawa Lingga Triwikrama Buanatala. Berkuasa selama 60 tahun, sejak 377 sampai dengan 437 Saka (455 – 515 M), sedangkan Indrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman bergelar Sang Hariwangsa Purusasakti Suralaga Wangenparamarta, berkuasa selama 20 tahun, sejak tahun 437 sampai dengan 457 saka (515 – 535 M).
Pada masa pemerintahannya memang banyak penduduk yang beragama Wisnu, namun tidak pernah terdengar adanya benturan, Situasi keagamaan digambar-kan tidak ada yang saling curiga dan cemburu (tan hanekang irsya). Peristiwa yang dapat dianggap monumental ketika menyerahkan pemerintahan raja-raja daerah kepada trah turunanan masing-masing, atas dasar kesetiaan kepada raja Tarumanagara. Peristiwa ini terjadi pada 454 Saka (532 M).
Suatu hal yang perlu diteladani, pembagian atau penyerahan pengawasan pusat ke daerah masing-masing bukan suatu barang baru di tatar sunda. Hanya saja banyak ragam proses yang perlu dilalui. BIasanya perlu ada desakan, tekanan dan permintaan agar pusat mau memberikan otonomi. Dalam peristiwa Tarumanagara justru sebaliknya, pemberian otonomi kepada raja-raja dibawahnya dilakukan ketika Negara dalam keadaan yang stabil. Peristiwa ini digambarkan didalam naskah Wangsakerta (Jawa dwipa Sarga 1) dan disebut adanya perubahan paradigma raja-raja tarumanagara, dari tangan besi kearah pengendoran kekuasaan.
Tindakan monumental tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti ketika jaman Raja Suryawarman, yang ditemukan didaerah Pasir Muara (Cibungbulang). Isi prasasti tersebut sebagai berikut :
Ini sabdakalanda rakryan juru pangambat
wi kawihaji panyca pasagi marsa
Ndeca barpulihkan haji sundaIni tanda ucapan
rakyan juru pangambat (tahun) 458 pemerintahan
daerah dipulihkan kepada raja sunda.
Karakter Kepemimpinan
Dari kearifan masa lalu, saya melihat adanya penerapan leadership yang berbeda antara masa Purnawarman dengan Wisnuwarman. Masa Purnawarman kepemimpinan Tarumanagara dijalan kan secara tangan besi. Ia tanpa ampun menghukum setiap para pelanggar hokum dan penganggu ketertiban. Namun ia pun mampu menjaga hubungan baiknya melalui jalur diplomatik dengan kerajaan lainnya. Bahkan masalah reward dan punishment sangat kentara dijalankan. Hal ini dapat ditenggarai dari setiap selesainya membangun suatu daerah niscaya ia memberikan hadiah kepada warga maupun brahmana.
Konsep lain dari kearifannya dapat pula ditenggarai dalam cara-cara Purnawarman menjaga hubungan baik dengan para Brahmana, bahkan ia membangun tempat tempat suci seperti diwilayah Indraprahasta. Hubungan raja brahmana demikian dapat mensinergikan antara masalah duniawi (raja) dan masalah akhirat (brahma).
Dalam cara-cara mempertahankan kejayaan tersebut di jaman Wisnuwarman dilakukan dengan cara yang benar-benar adil dan berani mendelagasikan pengawasan dan kebijakannya kepada raja-raja bawahan. Iapun memberikan punishment yang seimbang dengan tingkat kesalahan para pelanggarnya. Hal ini terbukti pada cara-cara memberikan hukuman terhadap para pemberontak. Namun tentunya, masalah kepercayaan (dipercayai dan dapat memegang kepercayaan) merupakan factor analisa yang pentinga ia lakukan, sehingga tanpa perangpun Ia mampu mempertahankan kejayaan Tarumanagara.(**)
PEMISAHAN GALUH
Didalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Jawa Barat disebutkan Tarumanagara ketika pada masa Sudawarman sudah mulai nampak anti klimaks dari masa keemasan Tarumanagara. Sudawarman, raja Tarumanagara ke IX, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramertaresi Hariwangsa. Ia berkuasa sejak tahun 550 sampai dengan 561 saka (628 – 639 M) dan dikenal sebagai raja yang berbudi luhur.
Kemunduran atau gejala meredupnya kejayaan Tarumanagara mulai nampak pada masa Sudarwana, konon dimungkinkan terjadi, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh raja-raja sebelumnya tidak disertai hubungan dan pengawasan yang baik. Akibanya para raja bawahan merasa tidak terlindungi dan tidak diawasi.
Sudawarman secara emosional juga tidak menguasai persoalan di Tarumanagara, sejak kecil ia tinggal di Kanci, kawasan Palawa. Sehingga masalah Tarumanagara menjadi asing baginya. Memang ia dapat menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta, telah teruji kesetiannya terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir tentang : bagaimana cara menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang sedang naik daun. Seperti ditenggara terdapat Kerajaan Galuh, didirikan tahun 612 M, sebelumnya termasuk Wilayah Tarumanagara. Galuh didirikan oleh Wretikandayun, cucu dari Kretawarman, raja Tarumanagara kedelapan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika pengganti Sudarwan, yakni Dewamurti dapat bertindak arif. Ia dianggap sebagai raja yang kasar dan tidak mau berbelas kasihan, cenderung menebar aib didalam keraton Tarumanagara. Hingga pada akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kretawarman, raja Tarumanagara ke VIII, yang ia permalukan. Barjagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya, menantu Dewamurti.
Sundapura
Kemudian Sang Nagajaya mewarisi tahta mertuanya dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupujayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajan dibawah Tarumanagara. Nagajaya memerintah Tarumanagara sejak tahun 562 sampai dengan 588 saka (640 – 666 M). Setelah wafat digantikan oleh Linggawarman, dinobatkan sebagai raja ke 12 Tarumanagara pada tahun 588 saka atau 666 M, dengan gelar Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian ia digantikan menantunya, yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, sebelumnya ia raja sundapura. Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M).
Karena melihat pamor Tarumanagara yang terus merosot, Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa).
Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan Tarumanaga dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.
Letak Sundapura
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Sundapura diduga keras berada di daerah Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, : “telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Naman ini berasal dari negeri Bharata).
Pemisahan Galuh
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh. Padahal leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena ada perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri.
Keinginan melepaskan diri ini bukan seuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena Galuh telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman Purnawarman. Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada cerita berikut dikisahkan, : akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Dan memecah kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan Wretikandayun. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.
Dalam tahun 670. berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan). Cag heula.(***)
Disadur dan disarikan dari :
Buklet Situs Batujaya, Kabupaten Karawang – Propinsi Jawa Barat, Penyusun Dra. Heni Fajria Rif’ati – Drs. Eddy Sunarto, Penyunting/Editor Dra. Wana Sundari. Pemda Jabar – Dinas Kebudayaan dan Parawisata.
Post a Comment