Salakanagara: Kerajaan Tertua di Nusantara

Adalah Kerajaan Salakanagara yang belakangan ini dikenal sebagai kerajaan pertama di Nusantara, jauh lebih dulu dari Kerajaan Kutai di Kalimantan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kerajaan tertua dan pertama di Nusantara.

Namun sebagian masyarakat masih menganggap bahwa Kerajaan Salakanagara hanya mitos, namun setelah membaca artikel ini, Anda boleh berpikiran apapun karena itu adalah hak Anda.

Dari artefak-artefak kuno sejak zaman pra-sejarah, telah terbukti bahwa wilayah Nusantara, memang sudah didiami oleh kelompok-kelompok manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi, bahkan sebelum zaman es terjadi. Namun belum ada peneliti di jagat ini yang tahu dengan pasti, dari peradaban apa mereka, dari kerajaan apa mereka, atau dari mana asal mereka.

Jauh sebelum Kutai, jauh sebelum Salakanagara, jauh sebelum Gunuug Padang Cianjur, jauh sebelum Atlantis, jauh sebelum Lemurian atau jauh lagi sebelumnya, bisa jadi sudah ada kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara, karena wilayah ini terdapat sinar matahari yang selalu menerangi sepanjang tahun, yang dapat membuat tumbuhan dan hewan dapat hidup.

Namun bukti adanya sebuah kelompok, kerajaan atau sejenisnya, harus tetap dapat dibuktikan secara ilmiah, walau kerajaan itu sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Tapi hal itu masih sulit bagi peneliti dunia karena artefak-artefaknya yang sudah hilang dan info mengenainya sangat-teramat minim, masih penuh tanda tanya, bahkan tak ada lagi yang tersisa.

Pada artikel yang agak panjang pada kali ini, akan menyeret Anda ke ruang dan waktu masa lampau, masa silam, kuno, dimana kerajaan pertama di Nusantara mulai berdiri.

Daerah itu bernama Salaka untuk kemudian menjadi sebuah kerajaan awal di wilayah Nusantara. Bernama: Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta – Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta), Salakanagara berdiri pada abad-1 Masehi yang diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara!

Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad.

Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara. Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam Salakanagara, suatu cara penyebutan waktu/jam yang juga berbahasa Sunda.


Situs dan Artefak Awal berdirinya Kerajaan Salakanagara
Awal berdirinya Kerajaan di abad-1 ini, berada di daerah Teluk Lada, Pandeglang (sekarang masuk provinsi Banten), kota yang ketika terkenal dengan hasil logamnya. Salakanagara artinya “Negara Perak”, didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi).

Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata “panday” dan “geulang” yang artinya pembuat gelang. Pada masa kini Pandeglang merupakan wilayah administrasi kabupaten di provinsi Banten.

Seorang sejarawan Sunda, Dr. Edi S. Ekajati, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah kota Merak sekarang. Dalam bahasa Sunda, Merak artinya “membuat perak”.

Tatar Pasundan memang memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, nama ahli dan sejarawan yang membuktikannya antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tubagus H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Semua itu menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.


Salaka Nagara (130-362), diyakini sebagai Kerajaan pertama di wilayah Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. 

Pendiri Salakanagara adalah Dewawarman. Sedangkan pendiri kerajaan sesudahnya yaitu Tarumanagara, adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata, karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain.

Kerajaan Salakanegara ini sudah ada pada abad pertama tahun masehi dan diyakini merupakan kerajaan pertama di Nusantara. Pendiri Salakanagara berasal dari Aki Tirem, yang kemudian dikenal pada masa kini sebagai Aki Tirem Luhur Mulia atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Angling Dharma dalam nama Hindu dan Wali Jangkung dalam nama Islam.

Sementara itu, seorang bernama Dewawarman adalah duta keliling, pedagang, sekaligus perantau dari Kerajaan Pallawa (kerajaan dinasti Palawa / Pallava Empire), di Bharata (India) yang akhirnya menetap.

Di Salakanagara, kelompok marga atau wangsa Warman itu berinteraksi dengan warga setempat, dan terjadilah akulturasi kebudayaan, termasuk akulturasi sistem pemerintahan dan akhirya ia menikah dengan puteri penghulu, Aki Tirem.

Adalah Aki Tirem (Sang Aki Luhur Mulya), penghulu atau penguasa kampung setempat ini yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Aki Tirem yang bernama Dewi Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati) diperisteri oleh Dewawarman.

Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman akhirnya menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya di Palawa, India.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan yang kemudian menerima warisan untuk memimpin kelompok Salaka dan mendirikan kerajaan yang lebih bercorak India, bernama Salakanagara (Negeri Perak) pada tahun 130 Masehi, beribukota di Rajatapura.

Jadi, tokoh awal yang berkuasa di daerah Salaka ini adalah orang lokal bernama Aki Tirem. Konon, kota Rajatapura inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus pada tahun 150, yang terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang, kini di sebelah barat provinsi Banten.


Kerajaan-kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Salakanagara
Setelah Kerajaan Salakanagara terbentuk, kemudian mulailah terbentuk beberapa kerajaan-kerajaan kecil lain yang berada disekelilingnya, mereka berkoalisi, yang mana diantaranya bisa jadi bermula dari seorang sesepuh yang dituakan atau yang berpengaruh, pemuka agama atau tuan tanah, hingga dari keturunan Raja Dewawarman sendiri.

Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya ini, akhirnya berhasil bergabung dengan Kerajaan Salakanagara dan sekaigus menjadi daerah kekuasaannya pula. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki julukan atau sebutan sebagai “Mandala” yaitu kerajaan atau daerah bawahan, diantaranya adalah :

1. Kerajaan Agnynusa (Pulau Krakatau)
Kerajaan Mandala Agny Nusa (Nusa Api / Negeri Api) merupakan kerajaan kuno yang terletak di Pulau Krakatau, Selat Sunda, atau tepat di kaki Gunung Krakatau. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan di Pulau Krakatau, yang berada di Selat Sunda ini. Peninggalan kerajaan ini pastinya sudah musnah karena letusan besar Krakatau pada tahun 1882 yang akhirnya membuat pulau itu terpecah-pecah dan menjadi Kepulauan Krakatau.


2. Kerajaan Aghrabinta (Pulau Panaitan)
Kerajaan Mandala Aghra Binta adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Pulau Panaitan, yang berada di Selat Sunda.  Nama ibukotanya adalah Aghrabintapura. Pulau ini berada di bagian selatan Selat Sunda yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pesisir Ujung Kulon, Pulau Jawa.

Memiliki panjang sekitar 19 km dengan lebar sekitar 12 km dan menjadikannya sebagai pulau yang terbesar di Selat Sunda.


Dari data arkeologi dari Pulau Panaitan ditemukan arca Siwa, Ganesha dan Lingga Semu/Lingga Patok. Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan.

Sekarang arca itu disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Panaitan yang berada di Selat Sunda dekat lepas pantai Ujung Kulon ini.

3. Kerajaan Nusamandala / Mandalanusa (Pulau Sangiang)
Kerajaan Mandala Nusa / Nusa Mandala ini merupakan sebuah kerajaan Hindu yang berkedudukan di Pulau Sangeang (kini disebut: Pulau Sangiang).
Pulau ini juga masih berada di Selat Sunda, tepatnya di sebelah barat lepas pantai kota kota Cilegon.


Pulau Sangiang memiliki panjang sekitar 4,7 km dan lebar 3,5 km, yang berada sekitar 10 km dari lepas pantai kota Cilegon di Pulau Jawa.

Jadi, jika Anda sedang menaiki kapal Ferry menyebrang dari Jawa ke Sumatera, pulau yang terlihat agak besar ini akan tampak disebelah kiri ketika Anda sedang berada ditengah-tengah pelayaran. Tidak jelas juga mengenai asal-usul kerajaan di Pulau Sangeang yang berada di Selat Sunda ini.

4. Kerajaan Hujung Kulon (daerah Ujung Kulon)
Kerajaan Mandala  Hujung Kulon adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berkedudukan di Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. Berdiri sekitar abad 2 Masehi dengan wilayah kekuasaan sekitar Kabupaten Pandeglang sekarang.

Dari buku “Sejarah Jawa Barat” (Yuganing Rajakawasa) karya Drs. Yoseph Iskandar, bahwa raja daerah Kerajaan Hujung Kulon yang pertama adalah Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, adiknya Dewawarman I. Sementara adik dari Dewawarman yang seorang lagi, yaitu Sweta Liman Sakti diangkat menjadi raja daerah di Tanjung Kidul.

Tidak diketahui banyak mengenai kerajaan Hujung Kulon ini. Penamaannya hingga kini masih dipakai sebagai nama daerah bernama Ujung Kulon sebagai cagar alam untuk Badak Jawa.

5. Kerajaan Tanjung Kidul (daerah Ciracap, Sukabumi)
Kerajaan Mandala Tanjung Kidul adalah sebuah Kerajaan bercorak Hindu yang didirikan di Selatan Jawa Barat, hingga Cianjur sekarang. Rajanya ialah Swetalimansakti, adik dari Senapati Bahadura dan Dewawarman I.

Jika dilihat dari kata “Tanjung Kidul” yang berarti “ujung selatan”, maka bisa jadi pada masa kini daerah itu bernama “Ujung Genteng” yang berada di Ciracap, dekat Pelabuhan Ratu, yang pada masa kini masuk Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara yang mulai menguasai beberapa kerajaan di pulau-pulau kecil wilayah Selat Sunda hingga ke bagian selatan Jawa Baratbahkan daerah Cianjur. Beberapa peneliti juga mengatakan bahwa kekuasaan Salakanagara sampai ke pantai pesisir di Lampung,
Pulau Sumatera.

Beberapa peneliti juga mengatakan bahwa kekuasaan Salakanagara sampai juga hingga ke seberang Selat Sunda, yaitu di Pulau Sumatera. Seperti di wilayah pulau-pulau yang berada di Teluk Lampung dan pesisir Lampung,  seperti di Bakauheuni, Rajabasa, Panjang dan sekitarnya.

Dari kerajaan-kerajaan yang ada dibawah kendalinya tersebut, itu artinya seluruh Selat Sunda berhasil dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari “Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara” atau “Raja Penguasa Gerbang Lautan” (Yogaswara, 1978:38).

Kerajaan Salakanagara yang dibentuk dari tahun 130 sampai dengan tahun 362 dan mulai menguasai beberapa kerajaan-kerajaan kecil ini, memiliki beberapa Raja setelah sepeninggalan Aki Tirem, dengan nama gelar raja yang sama, yaitu dari Dewawarman-I sampai dengan Dewawarman-IX.

Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I – IX). Kerajaan Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.

Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.

Gunung Salak, termasuk gunung purba. Mungkin penamaannya berasal dari Kerajaan atau wilayah bernama “Salaka” untuk kemudian menandakan batas wilayahnya dengan Kerajaan Tarumanagara.

Dari daerahnya di pesisir barat pulau Jawa ke wilayah timur, jika dimaknai dari penamaannya, Negara “Salaka”, mungkin saja daerah ini kemudian menjadi penamaan untuk Gunung Salak hingga saat sekarang, sebagai tanda batas timur dari sebuah Kerajaan bernama Salaka Nagara atau Negara Salaka, sebagai batas dari Kerajaan Tarumanagara yang akhinya terbentuk kemudian, di wilayah timurnya.

Mungkinkah? Bisa jadi. Karena sebagian pemerhati kerajaan ini memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata “Salaka” dan kata “Salak” yang hampir sama.

Pada masa kini di daerah Banten, Dewawarman lebih dikenal oleh sebagian masyarakat setempat dengan nama Prabu Angling Dharma dan Wali Jangkung.

Beberapa peninggalan Kerajaan Salakanagara :
  • Batu Menhir, di wilayah Desa Cikoneng, Pandeglang
  • Situs di Pulosari, Pandeglang
  • Situs di Ujung Kulon, Pandeglang, Banten Selatan
  • Situs Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
  • Batu Menhir, di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
  • Batu Menhir, di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari.
  • Kolam pemandian purba, di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
  • Tiga Batu Menhir, di sebuah mata air di Cihunjuran, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang
  • Batu Menhir, di Kecamatan Saketi lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang
  • Situs Batu Dakon, di Kecamatan Mandalawangi. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya yang berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan. Diambil dari penamaan “Dakon” karena mirip salah satu jenis permainan tradisional dari papan/batu berlubang-lubang yang biasa dimainkan oleh anak-anak.
  • Situs Batu Dolmen (disebut juga: Batu Ranjang), terletak di kampung Batu Ranjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Berbentuk sebuah batu datar panjang 250 cm, dan lebar 110 cm. Terbuat dari batu andesit yang dikerjakan sangat halus dengan permukaan yang rata dengan pahatan pelipit melingkar ditopang oleh empat buah penyangga yang tingginya masing-masing 35 cm.
  • Situs Batu Magnit, di puncak Rincik Manik (di puncak Gunung Pulosari), Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, adalah sebuah batu yang cukup unik, karena ketika dilakukan pengukuran arah dengan kompas di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu tersebut.
  • Situs Batu Peta, di Banten Selatan, yang sampai saat ini belum ada satu orang pun yang dapat menerjemahkan isi peta tersebut.
  • Patung Ganesha dan patung Shiwa, di lereng Gunung Raksa, Pulau Panaitan. Dapatlah diduga bahwa masyarakatnya beragama Hindu Shiwa.
Beberapa peneliti meyakini bahwa sebenarnya ada banyak situs dari kerajaan ini disepanjang pesisir pantai barat Banten, namun ksetelah Gunung Krakatau meletus, membuat banyak situs-situs itu musnah dan hanya menyisakan sedikit bukti peninggalannya.

Selain situs-situs tersebut, ada juga petilasan di lereng Gunung Pulosari, yaitu Air Terjun Curug Putri, yang menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas.

Situs Benda Cagar Budaya Peninggalan Kerajaan Salakanagara 
di Cihunjuran Banten

Beberapa situs tersebut sangat kuno bahkan terlihat seperti dari zaman megalithikum. Dan beberapa diantaranya berada di lereng sebelah barat laut Gunung Pulosari, tidak jauh dari kampung Cilentung, Kecamatan Pulosari (sekarang). Situs berupa batu tersebut, menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis, dan prasasti Batutulis di Bogor.

Situs Benda Cagar Budaya Peninggalan Kerajaan Salakanagara di Cihunjuran Banten

Kolam purba yang menjadi sumber pengairan sawah, di dalamnya terdapat batu menhir sisa Kerajaan Salakanagara di Desa Cikoneng Banten

Makam yang diyakini warga setempat sebagai Makam Wali Jangkung Angling Dharma alias Dewawarman di Banten

Sedangkan dari data arkeologi dari Pulau Panaitan, ditemukan arca Siwa dan Ganesha di puncak Gunung Raksa. Arca tersebut diperkirakan dari abad pertama Masehi.

Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981.

Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.

Arca Shiwa ini sering dikatakan berbentuk statik dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya. Hal lain dari arca ini ialah tangan belakang yang memegang Trisula, yaitu senjata utama dewa Siwa. Badannya dipahat langsung bersandar pada Prabhmandala (sandaran arca) di belakang kepala.

Sikap duduk arca Siwa ini kakinya melipat dengan kedua telapak berhadapan diatas kepala Nandi.

Sikap duduknya digambarkan kurang lazim, bukan Yogamudra atau Semi-Yogamudra, karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam posisi bersila dengan ujung-ujung jari kaki “jinjit” di atas kepala Nandi.

Patung Siwa ini tanpa Candrakapala, dan hanya memakai mahkota berbunga dan anting-anting panjang berupa untaian Bunga Padma.

Kedua tangan bergelang dan kelat bahu pada kedua tangan, bagian depan bersikap Varadamudra dan memegang Bunga Padma.

Arca Siwa ini memakai Upawita (tali kasta) yang berbentuk ular dengan selempang berpola pita lebar yang diselempangkan pada badan serta berikat pinggang. Gambaran keseluruhan raut mukanya tampak halus. Kedua matanya tampak Samadi (tertutup) dengan mulut tersenyum.

Arca Siwa tersebut diduga oleh para arkeolog berasal dari abad ke-1 – 7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di pesisir utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).

Arca Siwa yang ditemukan dari Pulau Panaitan, Selat Sunda
Di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981.

Sementara itu, arca Ganesha di Pulau Panaitan meskipun digambarkan tanpa mahkota, namun penggambaran bagian-bagian utama/umum, tubuhnya cukup lengkap.

Arca Ganesha ini digambarkan dalam ukuran yang tidak proporsional, duduk di atas Batur. Belalainya menjuntai kemudian melengkung ke arah tangan kiri.


Patung Arca Ganesha yang ditemukan di Pulau Panaitan

Selain kedua arca tersebut, di Pulau Panaitan juga ditemukan Lingga Semu / Lingga Patok, namun tidak didapati atribut sebagai salah satu lambang emanasi Shiwa, sehingga Lingga di Pulau Panaitan ini dianggap hanya berfungsi sebagai patok batas tanah.

Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda, luasnya sekitar 17.500 Ha yang termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon.

Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ±26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial.


Kerajaan Tarumanagara (358–669)
Kerajaan Tarumanagara (358–669) mulai berdiri, Kerajaan Salakanegara menjadi “kerajaan daerah”
Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman IX atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara, yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman.

Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII dan IX, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman IX.

Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah hanya menjadi Kerajaan Daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara.

Kerajaan Tarumanagara berdiri dari abad 4 sampai 7 Masehi atau selama 311 tahun yaitu dari tahun 358–669 Masehi, dipimpin oleh Raja-raja sebagai berikut: Jayasingawarman (358-382), Dharmayawarman (382-395), Purnawarman (395-434), Wisnuwarman (434-455), Indrawarman (455-515), Candrawarman, 515-535), Suryawarman (535-561), Kertawarman (561-628), Sudhawarman (628-639), Hariwangsawarman (639-640), Nagajayawarman (640-666) dan Linggawarman (666-669).

Tampak dari nama raja-raja Tarumanagara diatas masih memiliki darah wangsa Warman yang berasal dari raja-raja di Kerajaan Salakanagara sejak masa sebelumnya. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Wilayah Kerajaan Salakanagara dan Kerajaan Tarumanagara beserta wilayah kekuasaanya
Di Pulau Jawa. Kerajaan Salakanagara menjadi kerajaan daerah
yang berada dibawah kekuasaaan Tarumanagara. 

Bukti adanya Kerajaan Tarumanagara Yang Tersisa Hingga Kini
Beberapa prasasti dari sisa Kerajaan Tarumanagara, yaitu :
  • Prasasti Kebonkopi I / Prasasti Tapak Gajah (foto), ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor.
  • Prasasti Kebonkopi II (hilang)
  • Prasasti Ciaruteun (foto), ditemukan ditepi sungai Ciarunteun dekat muara sungai Cisadane Bogor, prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta
  • Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.
  • Prasasti Cidanghiyang / Prasasti Lebak / Prasasti Munjul, ditemukan di Kampung Lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten pada tahun 1947. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.
  • Prasasti Jambu / Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Purnawarman.
  • Prasasti Pasir Awi (foto), ditemukan di daerah Sukamakmur Jonggol , juga tertulis gambar ranting pohon dan buah yang dihiasi sepasang telapak kaki sang raja.
  • Prasasti Tugu (foto), ditemukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain.
Salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara yang terkenal adalah Prasasti Kebonkopi I dan Kebonkopi II, namun Prasasti Kebonkopi II sudah hilang dicuri.

Prasasti Kebonkopi I dinamai juga sebagai “Prasasti Tapak Gajah” karena terdapat pahatan tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawata, wahana Dewa Indra.

Prasasti Kebonkopi I (wikimedia)

Hingga kini prasasti tersebut masih berada di tempatnya ditemukan (in situ). di Kampung Muara, termasuk wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor.

Prasasti ini berada pada koordinat 06°31′39.8″S 106°41′25.2″E dengan ketinggian 320 m di atas permukaan laut.

Area situs ini merupakan kawasan pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Ciaruteun di selatan, Sungai Cisadane di timur, Sungai Cianten di barat, serta muara Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di utara.

Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:
~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~    Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam
Terjemahan:
“Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”
Diawali pada tahun 1863, Jonathan Rig, seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (kini Bogor). Kemudian ia melaporkan penemuan prasasti di tanahnya. Penemuan prasasti ini dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional Indonesia) di Batavia (kini Jakarta).

Prasasti Kebonkopi I adalah salah satu dari tiga buah prasasti di kawasan ini yang penting nilainya bagi kesejarahan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5-7 M). Dua prasasti peninggalan Tarumanagara lainnya adalah Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Muara Cianten, keduanya ditemukan tidak jauh dari prasasti Kebonkopi-I ini. Itulah beberapa bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara.

Pustaka :
  1. wikipedia, Salakanagara, Tarumanagara, Prasasti di Tatar Sunda. 
  2. blospot, Mengenal Pendeglang
  3. Widi Purnama, kompasiana, Misteri Situs Menhir Cihunjuran
  4. Humas Pdg@wordpress, Kesinambungan Budaya Prasejarah Banten

Tidak ada komentar