Kekuasaan Raja Sanjaya

1. Kekuasaan Raja Sanjaya
Sanjaya menjadi penguasa Galuh setelah ia mampu menyingkirkan Purbasora dari kedudukannya sebagai raja Galuh. Namun masih sulit menetapkan tahun kekuasaannya di Galuh. Dalam seri Nusantara dan Kretabhumi disebutkan, Sanjaya berkuasa pada tahun 645 – 654 Saka. Tetapi didalan Kitab Pararatwan Jawadwipa disebutkan dari tahun 645 – 647 menjadi penguasa Sunda sedangkan di Galuh ditulis sejak tahun 647 – 654 menjadi penguasa Sunda dan Galuh.

Didalam thesisnya tentang Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan, Nana Supriatna, mengemukakan : Eksistensi Sanjaya di Jawa Barat diperoleh dari prasasti Canggal (732 M), menerangkan mengenai seorang raja bernama Sanjaya yang mendirikan tempat pemujaan untuk Dewa Siwa di daerah Wukir. Dia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya adalah pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa atas kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian utara. Jika dihubungkan dengan kekuasaan di Sunda dan Galuh, maka ia menguasai sebagai besar Pulau Jaya.


Akan tetapi apabila isi prasasti tersebut dihubungkan dengan isi Carita Parahyangan yang menerangkan tentang berkuasanya Sanna di Galuh, Sanjaya adalah raja Galuh yang menggantikan Sanna setelah dia berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang merebut tahta raja Sanna.

Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, yakni Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan yang diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat itu menjadi bagian dari kerajaan Galuh.

Sanjaya menggantikan Tarusbawa, sebagai raja Sunda pada tahun 723 M. Ia menikahi Teja Kencana, Cucu Tarusbawa. Pada tahun yang sama Sanjaya berhasil merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora. Hak sebagai penguasa Galuh didapatkan dari garis keturunan Sena – Sanna, ayahnya. Dengan demikian di Jawa Barat, Sanjaya berhasul menyatukan kembali wilayah Tarumanaraga (Sunda – Galuh). Ia pun berkedudukan di Pakuan.

Dalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, Sanjaya dianggap mampu menaklukan Indrawarman, raja Sriwijaya, yang menutut sebagaian Tarumanagara, sebagai sesama keturunan Linggawarman dari Tarumanagara.

Selain menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Medang, Sanjaya memilki kekuasaan yang telah diakui oleh Prabu Narayana (Iswara) di Kalingga Selatan. Kalingga memiliki wilayah yang meliputi sebagai besar Jawa Timur. Hal ini dilakukan melalui cara menaklukan raja-raja kecil sebelum melakukan ekspansi ke Sumatera. Sedangkan Prabu Iswara memiliki wilayah sebelah timur dari Progo Utara.



Jika dilihat dari peta Pulau Jawa, praktis Sanjaya menguasa sebagai besar Pulau Jawa sehingga ia berhak menyandang gelar sebagai penguasa Pulau Jawa.


2. Konsolidasi Galuh
Pasca perebutan tahta yang akhirnya menewaskan Purbasora, Sanjaya mengirimkan untusan (patih) untuk menghadap Danghiyang Guru Sempakwaja, ayahnya Purbasora di Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya meminta agar Demunawan, putra Sempakwaja mau dijadikan ‘piparentaheun’ wakil Sanjaya yang bertugas menjalankan roda pemerintahan di Galuh.
 
Permintaan Sanjaya tersebut bertujuan agar perselisihan diantara keturunan Sempakwaja dan Mandiminyak dapat terselesaikan dengan baik, karena keduanya masih tunggal keturunan Wretikandayun, pendiri kerajaan Galuh. Alasan lainnya dapat ditemukan didalam naskah Nusantara III/1, hal 158, sebagai berikut :
...Sanjaya menjadi raja Galuh Pakuan pada tanggal 4 bagian gelap Caitra tahun 645 saka. Sejak waktu itu Sanjaya menjadi raja Sunda dan Galuh. Tetapi kaum kerabatnya tidak senang melihat Sanjaya menguasai raja-raja daerah di Galuh. Terutama Sang Resiguru Sempakwaja dan Sang Demunawan paling tidak senang melihat Sanjaya menjadi penguasa di daerah-daerah sekitar Galuh dan melihat Galih menjadi bawahan (mandalika) Kerajaan Sunda. (RPMSJB, Jilid kedua, hal. 66)
Sempakwaja mengkhawatirkan permintaan ini sebagai jebakan agar Demunawan turun ke Galuh untuk kemudian dibunuh. Alasan lainnya terkait dengan keteguhan hatinya, ia tidak rela anaknya diperintah raja Sunda. Dahulu Wretikandayun, ayah Sempakwaja sudah bersusah payah memerdekakan Galuh dari Sunda, dengan dijadikannya Demunawan sebagai piparentaheun di Galuh sama halnya dengan mengulang kembali kekuasaan Sunda di Galuh.


Dari kekhawatiran itu pada akhirnya Sempakwaja menolak secara halus. Sempakwaja mengemukakan, : Jika Sanjaya ingin dianggap pantas memerintah Galuh, maka Sanjaya harus terlebih dahulu mengalahkan (nyandoge) tiga tokoh kepercayaan Sempakwaja, yakni Pandawa, Wulan dan Tumanggul.

Ketiganya masing-masing raja didaerah Kuningan, raja Kajaron dan raja Kalanggara di Balamoha. Kekuasaan yang dipegang Sanjaya dianggap tidak ada apa-apanya jika Sanjaya belum mampu menaklukan raja di Jawa Tengah dan sekitar Galuh. Jika Sanjaya mampu menguasai mereka maka Resiguru Demunawan, putra Sempakwaja, masih ua Sanjaya, pantas mempertuan Sanjaya. Namun jika Sanjaya tidak mampu menundukan mereka maka Sempakwajalah yang akan menentukan penguasa Galuh.

Dialog dan persyaratan tersebut di tulis di dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Carek Rahiang Sanjaya: “Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna.” 
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: “Na aya pibejaeun naon, patih?”
“Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang Purbasora.”     
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru. Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.  Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji  Terus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.”
Menurut penulis Carita Parahyangan tersebut, Sanjaya tidak mampu mengalahkannya, bahkan sebaliknya Sanjaya dipukul mundur dan dikejar hingga kembali ke Galuh. Rupa-rupanya Sempakwaja sudah dapat mengukur kemampuan Sanjaya, sehingga permintaan itu pun ditolak dengan cara yang disyaratkannya.

Peristiwa tentang kekalahan Sanjaya dikisahkan pula dalam naskah ini, sebagai berikut :
Eleh Rahiang Sanjaya diuber-uber, nepi ka walungan  Kuningan. Rahiang Sanjaya undur. 
“Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran.” 
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh,  Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile.
 Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?”
“Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”   
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Sanjaya pasca kekalahannya tersebut dilaporkan langsung kepada Danghyang Guru Sempakwaja. Pada akhirnya Sanjaya menyerahkan penunjukan penguasa Galuh tersebut kepada Danghyang Guru. Untuk itu Sempakwaja menunjuk Premana Dikusumah, cucu Purbasora dari putranya yakni putra Patih Wijayakusumah. Dengan demikian Sanjaya pun menerima usul tersebut. Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana Dikusuma.

3. Saung Galah
Sempakwaja sebagai penguasa Galunggung ia berniat untuk mengimbangi kekuatas Sanjaya di Galuh, resminya dijalankan oleh Permana Dikusumah. Untuk keperluan tersebut ia menunjuk Demunawan, putranya sebagai raja Layuwatang, sedangkan Sang Pandawa dimintakan sebagai guruhaji [rajaguru] di Layuwatang dan menyerahkan Kuningan kepada Demunawan, menantunya.

Demunawan dikenal juga sebagai Sang Seuweukarma atau Rahiyangtang Kuku. Sebagai seorang resiguru ia memiliki cakupan wilaha yang luas, maka pada pada tahun 723 Demunawan dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan. Wilayah Galunggung dan kerajaan kecilnya dijadikan wilayah dibawah Saung Galah, terletak di lereng Gunung Ciremai sebelah selatan. Sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadu Gede Kuningan, sebelah utara Waduk Darma.



Pada saat itu daerah kekuasaanya meliputi 13 wilayah, yakni Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdon, Pagergunung, Muladarma dan Batutihang. Empat daerah tersebut dikepalai oleh seorang Guru Haji, sedangkan wilayah lainnya dikepalai oleh Buyut Haden, didalam naskah Wangsakerta disebutkan Kyagheng atau Kiageng, Kigede, Sanjaya harus teguh pada janjinya kepada Sempakwaja, ia tidak mengganggu adanya perluasan wilayah tersebut, terutama dengan diproklamirkannya Saung Galah. Dengan kekalahannya pada waktu Nyandoge maka ia harus tetap menerima syaratnya, bahkan ia dianggap belum layak untuk diakui kelebihannya oleh Demunawan.
Menurut Nusantara III/1 : Sanjaya telah berhasil menaklukan daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur pada tahun 724 M. Daerah tersebut kebanyakan pendukung Demunawan yang memusuhi Sena yang sedang berkuasa di Bumi Mataram. Sanjaya kemudian secara ekspansif menyapu daerah pinggirian kekuasaan Demunawan. Pada kesempatan itu pula ia melunasi hutangnya untuk mengalahkan Sang Wiragati dan kawan-kawan yang pernah mengalahkannya di Kuningan.
Serangan Sanjaya tersebut sebenarnya hanya bertujuan menebus kekalahan, bukan untuk menguasai. Untuk kemudian ia kembali ke ibukota Galuh. Demunawan melihat adanya penambahan kekuatan Sanjaya dibanding pada masa lalu, sehingga daerah manapun yang ia inginkan diniscayakan dapat ditaklukan. Namun Sanjaya masih tetap berupaya untuk bersikap baik kepada Demunawan.

Alasan Sanjaya ini dikemukakan di dalam Kretabhumi I/2, sebagai berikut :
"Rasika tanana katakut ring Sang Demunawan ing Saung galah, tathayan mangkana sira tatan angga malurug ring kadatwan uwa nira. Hetunya ayayah nira ya ta Sang Prabhu Senna haneng Medang ri Bhumi Mataram ri Jawa Wetan kumonaken ajna nihangta : kinon ta sarika dibyaguna ring santana pratisantana nira. Haywa ta sira lumage wwang sanak ya ta Sang Demunawan. Rumataketta muwang hatut madulur parasparopasarpana. Gorawa ning wwang atuha".
Naskah tersebut menjelaskan, bahwa sebenmarnya Sanjaya tidak merasa takut terhadap Demunawan, namun ia tidak berniat menyerang Saung Galah. Hal ini disebabkan adanya perintah dari Prabu Sena, ayahnya, agar ia bersikap mulia kepada sanak kekuarganya dan tidak boleh memerangi kerabatnya, yakni Demunawan.

Memang dalam beberapa, naskah Wangsakerta selalu menggambarkan adanya rasa hormat Sanjaya kepada orang tuanya. Hal ini yang selalu dijadikan alasan untuk tidak melakukan penyerangan terhadap Galuh. Padahal ia dikenal sebagai raja yang paling ekspansif dan pemberani.

Hikmah dari sikapnya ini membuahkan hasil, pada tahun 674 saka atau 725 M, Demunawan mengakui kekuasaan Sanjaya di Galuh, bahkan dikisahkan pula kedatangan Demunawan ke Galuh yang disambut diperbatasan oleh Sanjaya. Para penulis menjadikan peristiwa ini sebagai titik awal berkuasanya Sanjaya di Galuh.

Penulis carita Parahyangan menggambarkan peristiwa pertemuan tersebut, sebagai berikut : 
"Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngagayakeun gempungan jeung para patih, raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan. 
“Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya. Cokot emas sakati, lima boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya.” 
Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung para patih sakabeh. 
“Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun ngabageakeun Sang Seuweukarma, lantaran enya eta Rahiang Kuku.” 
“Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka Galunggung, dipapag, dihormat disayagian cai pikeun sibanyo.”
Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.

Didalam Carita Parahyangan dituliskan tentang pesan Sanjaya kepada Tamperan, putranya : 

Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” artinya Rahiang Sanjaya menasehati putranya, Rakean Panaraban, Rahiang Tamperan : ‘Jangan mengikuti agama ku, karena itulah yang menyebabkan aku ditakui orang banyak’.

Kekuasaan Raja Sanjaya
Sanjaya menggantikan posisi Tarusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M (645 Saka), bergelar Maharaja Bimaparakarma Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Mungkin Sanjaya adalah satu-satunya raja Sunda yang memiliki kekuasan melebihi Purnawarman. Sanjaya sangat pantas jika ia disebutkan sebagai penguasa Pulau Jawa pada masa abad ke 8 M.

Posisi dan kekuasaan Sanjaya di Pulau Jawa didapatkan dari trahnya sebagai keturunan dan perkawinan, karena :

Pertama, sebagai raja Sunda ia dapatkan setelah menikah dengan Teja Kencana, Cucu Tarusbawa, putra mahkota Sunda. Teja Kencana kemudian diangkat sebagai penguasa Sunda bersama-sama dengan Sanjaya pada tahun 723 M.

Kedua, Sanjaya pewaris syah tahta Galuh, dapatkan dari ayahnya, yakni Sena (Bratasenawa) putra Mandiminyak (Amara), dan cucu Wretikandayun. Kedudukan di Galuh Ia dapatkan pada tahun yang sama ketika menjadi raja Sunda.
Tentang masa berkuasanya Sanjaya di Sunda dan Galuh disebutkan dalam seri Pararatwan Jawadwipa, yakni di Sunda sejak 645 – 647 Saka, sedangkan menjadi penguasa Sunda dan Galuh sejak 647 – 654 Saka.

Ketiga, Sanjaya adalah cicit Maharani Sima, Ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa, ayahnya dengan Sanna, ibunya, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis perkawinan Bratasenawa dan Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.

Keempat, atas persetujuan Parwati (neneknya), Sanjaya berjodoh dengan Sudiwara, putri Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.


Hubungan dengan Kalingga
Didalam thesis Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan, oleh Drs. Nana Supriatna, M. Ed, dikemukakan : Eksistensi Sanjaya di jawa barat diperoleh dari prasasti Canggal (732 M). Prasasti tersebut menerangkan mengenai seorang raja bernama Sanjaya yang mendirikan tempat pemujaan untuk dewa Siwa di daerah Wukir. Dia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya adalah pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa atas kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian utara.

Apabila isi prasasti tersebut dihubungkan dengan Carita Parahyangan yang menerangkan mengenai berkuasanya Sanna di Galuh (Ciamis), Sanjaya adalah raja Galuh yang mengganti kan Sanna setelah dia berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang memberontak terhadap raja Sanna.

Dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, yakni Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan yang diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat itu menjadi bagian dari Galuh.

Pada masa Tarusbawa di Sunda, hubungan Sunda dengan Kalingga belum sedemikian erat, bahkan Wretikandayun memanfaatkan hubungan Galuh dengan Kalingga sebagai faktor penting untuk memerdekakan Galuh sebagai negara yang merdeka. Hubungan Galuh – Kalingga dipererat dengan pernikahan Parwati, putri Maharani Sima dengan Mandiminyak (Amara), putra Wretikandayun. 



Pada masa selanjutnya, hubungan Sena, putra Mandiminyak diikat pula dengan tali pernikahan. Kemudian diperkuat pula dengan pernikahan Sanjaya dengan Tejakencana.

Dalam cerita tentang Galuh, Sena adalah pewaris syah atas tahta Galuh. Tahta tersebut ia dapatkan dari Mandiminyak, ayahnya. Sena dikenal sebagai orang yang memiliki budi baik, namun dikarenakan kelahiran Sena hasil smarakarya antara Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu (istri Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak), maka ia kurang diterima dilingkungan keluarga Galuh.

Masalah smarakarya tersebut disinyalir pula sebagai pemicu Pisuna Galuh yang dipimpin Purbasora. Akhirnya pada tahun 716 M Purbasora merebut tahta Galuh. Hanya saja Sena berhasil melarikan diri ke Mataram.

Peristiwa ini disebut-sebut sangat menyakitkan keluarga Kalingga Utara. Ratu Parwati menghibur menantunya tersebut dengan cara menyerahkan tahtanya kepada Sanaha, putrinya dan Sena, menantunya. Kemudian Sanaha dan Sena berkuasa selama 16 di Mataram, terhitung sejak 716 – 732 M.

Pada masa terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun. Pada masa tersebut ia lebih memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa dibeberapa kerajaan, seperti Sunda, Galuh, Mataram dan Kalingga. Sebagai upaya merebut tahta Galuh dari Purbasora, ia pergi ke Denuh menemui Resiguru Wanayasa dan iapun menyiapkan diri di Denuh. Dari Denuh kemudian ia menuju Pakuan untuk menemui Terusbawa, kakek mertuanya. Iapun disarankan untuk lebih berhati-hati, karena pada masa itu Galuh memilki pasukan bayangkara yang berasal dari Indraprahasta, yang dikenal cukup tangguh dan teruji.

RPMSJB menjelaskan, sebagai ujian bagi Sanjaya, kemudian Terusbawa memerintahkan Sanjaya untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda. Hal ini bukan hanya sekedar membebaskan Sunda dari gangguan bajak laut yang direstui Sriwijaya, melainkan pula bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak dikemudian hari mampu menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda.

Pada masa lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Dewawarman V (252 – 276 m) penguasa Salakanagara kelima harus gugur diperairan ketika melakukan pemberantasan bajak laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama ketika ia memerintah Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya. Sama halnya dengan Cheng Ho ketika ia harus membersihkan Palembang dari kekuasaan bajak laut pada tahun 1407 M.

Tarusbawa memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar kenagara-negara lain yang melindungi para bajak laut.

Memang ada peranan lainnya yang dilakukan Terusbawa dalam melatih Sanjaya, seperti merekomendasikan ke Gunung Sawal untuk meminjam buku Pustaka Ratuning Bala Sariwu. Buku tersebut digunakan Sanjaya pada saat memberantas bajak laut, serta digunakan sebagai acuan strategi dalam mengembalikan tahta Galuh dari kekuasaan Purbasora.

Tentang Pustaka Ratuning Bala Sariwu, konon kabar pernah digunakan oleh Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga yang termasyhur. Selain itu digunakan pula oleh Surawisesa dalam mempertahan Pakuan dari serangan gabungan Demak Cirebon. Mungkin yang dimaksud buku Pustaka tersebut semacam pelajaran ilmu perang peninggalan Purnawarman, namun dalam kisah lainnya buku ini disebut-sebut peninggalan Resi Guru Manikmaya (Kendan).

Sanjaya menggantikan posisi Terusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M. Pada tahun yang sama Sanjaya berhasil merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora. Dan membumi hanguskan kerajaan Indrapahasta, pendukung penting Purbasora, karena salah satu putri Indraprahasta adalah istri Purbasora.

4. Diplomasi Sanjaya
Sebagaimana cerita sebelumya, Sena adalah pewaris tahta Galuh yang diusir oleh Purbasora. Putra Sena, yaitu Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri telah menjadi cucu menantu Terusbawa raja Sunda. Ketika perebutan terjadi Sanjaya sedang berada di Mataram. Dengan kedatangan Sena dan terusirnya dari Galuh, sangat membangkitkan amarah Sanjaya, sehingga ia pun berupaya untuk menuntut balas.

Sena dikenal memiliki budi pekerti yang baik dan dianggap alim, sehingga tidak merespon peristiwa pengusirannya dengan melakukan balas dendam. Untuk mendukung keinginan Sanajaya, Sena menganjurkan Sanjaya agar berhati-hati dan tetap menghormati orang-orang tua di Galuh (Sempakwaja dan Jantaka). Sanjaya hanya diijinkan menyingkirkan Purbasora. Amanah tersebut diikuti oleh Sanjaya, ia perlahan-lahan melakukan infiltrasi dan membentuk pasukan khusus yang akan merebut Galuh kembali.

Sanjaya secara diplomatis menghubungi Jantaka, atau Resiguru Wanayasa. Ia meminta Jantaka secara baik-baik untuk menjadi manggala, mengadili dan menentukan pihak mana yang benar dan salah. Jantaka menyadari akan masalah ini, namun permintaan ini menjadikan posisi Jantaka serba sulit, karena dipihak Purbasora telah berdiri Bimaraksa, anaknya. Iapun kemudian menolak tawaran tersebut, ia berjanji akan bersikap netral dan meminta jaminan dari Sanjaya, bahwa keluarganya tidak akan pernah diganggu dalam masalah ini.


Masalah ini diceritakan dalam Carita Parahyangan :
Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia,  bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,  sarta anak saha sia teh?”.
Carek Rakian Jambri : “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”
“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang,  lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon,  jugjug Tohaan di Sunda.”
Sadatangna ka Tohaan di Sunda,  tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda.
Dalam Carita Parahyangan, peristiwa tersebut terjadi sebelum Sanjaya menjadi suami Tejakencana, bahkan jauh sebelum ia mendudukui tahta Sunda. Kemudian dukungan selanjutnya ia mintakan kepada raja Sunda, Terusbawa. Tentu Terusbawa tidak bisa dengan mudah memberikan dukungan secara riil, mengingat ia telah terikat hubungan persahabatan dengan Purbasora. Ia menyarankan agar Sanjaya bersikap hati-hati.

Tarusbawa memberikan rekomendasi pula agar Sanjaya meminjam Pustaka Ratuning Balad Sarewu kepada Rabuyut Sawal. Pustaka itu hasil ciptaan Resiguru Kendan, tentang bagaimana menggunakan pasukan yang banyak.

Kisah perjalanan ini diabadikan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. 
Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?”  

“Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal.  
Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.” 
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh.  Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.
Pada episode berikutnya memang sulit membuktikan dukungan Tarusbawa secara formal, hingga ia meninggal pada tahun 723 M. Sebagai pengganti Raja Sunda maka pada tahun 723 M dilantiklah Sanjaya berserta Tejakencana, istrinya. Kemudian Sanjaya mengangkat Anggada, adik sepupu Tejakencana sebagai patih.

___________
Sumber bacaan :
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
- Tjarita Parahyangan – Drs. Atja – Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung - 1968.

- http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/kekuasaan-sanjaya.htma