Kebataraan dan Kerajaan Galunggung

Di mulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. 

Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Sempak WajaBatara Kuncung PutihBatara KawinduBatara WastuhayuResi Guru Sudakarmawisesa dan Batari Hyang Janapati yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari "Kebataraan" menjadi "Kerajaan".

Selain itu, kebataraan ini memberikan amanah yang dikenal dengan Amanah Galunggung, yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci dan ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah terjamah musuh, berarti kerajaan sudah runtuh. Salah satu isi dari Amanah Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak 632), yaitu :

... na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa...
artinya :
... bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita....

Selain bersifat kebataraan, Galunggung juga membawahi sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Diantara kerajaan-kerajaan bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Saunggalah Kuningan, Kerajaan Kajaron, dan Kerajaan Kalanggara.


BATARA DAN RAJA YANG MEMERINTAH DI DARAH GALUNGGUNG 
I. BATARA DANGHYANG GURU SEMPAKWAJA   (SAMPAI TAHUN 29 M)
Sempak Waja dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama).  Nama asli beliau tidak diketahui, tetapi kemudian terkenal dengan nama Sempakwaja dikarenakan giginya ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus Kerajaan Galuh dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung. Sempak Waja memiliki permaisuri bernama Pohaci Rababu alias Dewi Wulansari (berasal dari pertapaan Kendan). Dari pernikahannya itu, Sempakwaja memiliki tiga orang putera, yaitu :
1. Purbasora alias Jaya Brata Kusuma lahir tahun 643, menikah dengan Citra Kirana putranya Resiguru Padmahariwangsa Raja Indraprahasta ke 13, 629 – 641 Caka (732–744 Masehi) 12 tahun, mempunyai anak :
1.1. Prabu Wijaya Kusuma Cipancar Limbangan.
1.2. Wiradi Kusuma alias Sunan Pameuret Cipancar Sumedang
1.3. Dewi Komalasari alias Ratu Komara alias Sunan Baeti alias Sunan Pancer alias Nini Balagantrang.

2. Demunawan alias Rd. Hindi alias Seuweukarma alias Rahyangtang Kuku alias Sang Resiguru Demunawan alias Pandita As Suhada, lahir tahun 646, Raja Saunggalah ke - I masa pemerintahan antara 645–696 Caka (748–797 M) memperistri Sari Legawa, putrinya Resi Jantaka alias Resi Di Denuh alias Resiguru Wanayasa alias Rahyang Kidul di Galuh dan isterinya Sawitri,  mempunyai anak :
2.1 Tambak Wesi Raja Saunggalah ke - 2, masa pemerintahan selama 51 tahun,  696–747 Caka (797–847 Masehi) alias Ki Anjali (Guru Teupa Panday Omas Kamenteng Darmaraja Sumedang) dalam masa  Prabu Ciung Wanara berkuasa.
2.2. Tambak Baya, yang ahli menulis lontar.
2.3. Sari Banon Kencana, yang diperisteri oleh Jagat Jaya Nata putranya Rsi Jantaka dan Dewi Sawitri  

3. Sari Arum yang diperisteri oleh Tambak Wesi Raja Saunggalah ke - 2, masa pemerintahan selama 51 tahun,  696–747 Caka (797–847 Masehi) alias Ki Anjali (Guru Teupa Panday Omas Kamenteng Darmaraja Sumedang) dalam masa  Prabu Ciung Wanara berkuasa, mempunyai anak :
3.1. Adi Hata
3.2 Kertanegara alias Kretamanggala, Raja Saunggalah ke 3, 0747 – ...Caka (847–... Masehi)

Di tahun 661 Masehi, permaisurinya Pohaci Rababu alias Dewi Wulansari melahirkan seorang anak laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik Sempakwaja yang bernama Amara alias Mandiminyak, dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara alias Mandi Minyak serta diberi nama Bratasenawa alias Sang Sena. 

Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu sebagai istri walaupun dia telah berselingkuh dengan adiknya sendiri. (lihat Kerajaan Galuh, mulai sub-Wretikandayun).




Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut kembali oleh Sanjaya (anak Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu memerintah di Kerajaan Sunda. 

Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan (anaknya yang ditunjuk menjadi Raja ke 1 Kerajaan Saunggalah Kuningan) untuk bergabung menjadi satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh. 

Suasana panas tak terelakan lagi, dimana antara Kerajaan Saunggalah Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada dalam posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu segera mengakhiri perselisihannya dengan damai.

Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109 tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya itu, keadaan di bagian timur dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian.

Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat, Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung PutihBatara Kawindu, dan Batara Wastuhayu. Masa kekuasaan dari 3 raja tersebut belum diketahui jalan sejarahnya, hingga muncul kembali pada sekitar tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.

Kebataraan Galunggung
Pengaruh Galunggung terhadap perkembangan sejarah di tatar Sunda tidak terlepas dari eksistensi Resi Demunawan untuk menyatukan Sunda dengan Galuh, terutama ketika masa Sanjaya dan Manarah. Resi Demunawan mempersatukan Sunda dengan Galuh melalui perkawinan Manarah, Banga dan keturunan Saunggalah. Pengaruh dari Galunggung tersebut terlihat pula pada proses terbentuknya Perjanjian Galuh.

Pasca Resi Demunawan, Galunggung masih tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mengingat sejak pertama diperintah oleh Sempakwaja, Galunggung sudah menjadikan dirinya "Negara Agama" atau “Kebataraan”.

Kerajaan Galunggung telah ada pada Jaman Sempakwaja, putra Wretikandayun, pendiri Galuh (670). Daerah Galunggung diberikan Wretikandayun kepada Sempakwaja seiring dengan diangkatnya Amara – Mandiminyak, adik Sempakwaja sebagai putra mahkota Galuh. Sempakwaja diberi gelar Resiguru di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru. 

Menurut RPMSJB : “Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh Singaparna (berbahasa sunda berhuruf arab) dan berasal dari bagian akhir ada ke-19 masih menyebutkan tokoh Sempak Waja diantara generasi pertama Kerajaan Galunggung. Ia masih dikenal dan disebut dalam berbagai mantra dan do’a. Ia sudah “didewakan” orang” (Buku Ketiga, hal.18). Mungkin yang dimaksudkan sudah “didewakan” sama halnya dengan pemahaman saat ini, yakni “dianggap orang suci”, karena peranannya dimasa lalu.

Galunggung dari masa kemasa memainkan peranan yang cukup penting, terutama sebagai pengimbang Galuh dan Sunda. Pada tahun 723 M, Sempakwaja pernah menyerahkan Galunggung beserta daerah bawahannya kepada putranya, Resi Demunawan sebagai bagian dari pembentukan Saunggalah. Resi Demunawan dikenal pula dengan sebutan Sang Seuweu Karma atau didalam carita Parahyangan dikenal dengan sebutan Rahiyang Kuku.

Kekuasaan Galunggung dalam tradisi silam dianggap sebagai sumber ilmu, karena ia dirikan sebagai “Kebataraan”. Galunggung menurut Fragmen Carita Parahyangan memiliki batas sebelah utara gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar, dan sebelah selatan Ciwulan.


Geger Hanjuang
Sri Jayabupati digantikan oleh puteranya, yaitu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana, berkuasa pada tahun 1042-1065 M, didalam Fragmen Carita Parahyangan disebutkan : 
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun. Darmaraja dikenal pula dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena dimakamkan di Winduraja.
Pengganti Darmaraja adalah Prabu Langlangbumi yang bertahta pada tahun 1065 – 1155 M. Fragmen Carita Parahyangan menyebutnya : 
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan puluh dua taun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatang keun gemah ripah.
Pada masa pemerintahan Langlangbumi dianggap membawa kerajaan Sunda pada kesentausaan. Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti yang ditemukan di Galunggung dekat bukit Geger Hanjuang, oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. 

Prasasti tersebut kemudian disebut Prasasti ‘Geger Hanjuang’ atau Prasasti ‘Galunggung’. Prasasti Geger Hanjuang sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26. Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuna yang cukup terang untuk dibaca. Walaupun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun.

Isi prasasti tersebut, sebagai berikut :
tra ba i gune apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu(k) ku batari hyang pun
Menurut RPMSJB (1983 – 1984) : Prasasti tersebut  bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya ialah : Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang. - Karena tidak disebutkan paksa (separuh bulan) dalam prasasti ini digunakan sistem amanta (perhitungan tanggal dari bulan baru ke bulan baru) yang hitungan tanggalnya diteruskan sampai 30. Perhitungan menurut tarih Masehi kira-kira tanggal 21 Agustus 1111 masehi. (RPMSJB, buku ketiga, hal 17). RPMSJB menjelaskan pula, bahwa :  Rumatak oleh penduduk setempat disebut Rumantak, bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan. Berita serupa dapat di temukan dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor.

Sedangkan tokoh Batari Hyang diduga sebagai penguasa Kerajaan Galunggung waktu itu, adalah keturunan dan ahli waris Resiguru Sempakwaja pendiri Kerajaan Galunggung. (Ibid).

Amanat Galunggung
“Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah”. Demikian cuplikan dari Amanat Galunggung yang dikenal pula dengan sebutan Amanat Prabu Darmasiksa.

Amanat ini disampaikan oleh Prabu Darmasiksa raja Saunggalah kepada Rajaputra yang kelak menggantikannya di Saunggalah, sebelum Prabu Darmasiksa pindah ke Pakuan (1187) untuk menjadi raja Sunda yang ke-25. Dari kropak 632, yang ditulis pada daun lontar, diketahui, Rajaputra dimaksud adalah Sang Lumahing Taman.

Isi kropak 632 yang dijelaskan tersebut adalah dari “ajaran pembuat parit Galunggung”, sedangkan tokoh pembuat parit Galunggung dalam prasasti Geger Hanjuan dikenal dengan nama “Batari Hyang”. Ajaran ini digunakan oleh Prabu Darmasiksa untuk menasehati putranya, namun nasihat tersebut ditujukan pula untuk semua anak cucunya, keturunannya kelak.

Jika dicermati lebih jauh, naskah ini memuat tentang tata politik pada jaman dahulu kala, sedangkan fungsi Kabuyutan digunakan sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Dari naskah ini diketahui peran Kabuyutan pada waktu itu, yakni merupakan salah satu pilar penting dari keberadaan negaranya, merupakan pusat kekuatan gaib raja dan kerajaannya.

Dalam periode lainnya kabuyutan disebut dangiang Sunda, tempat harga diri urang sunda dipertahankan, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja, bahkan dianggap sakral. Sehingga jika gagal melindungi kabuyutan Galunggung, ia (rajaputra) lebih hina dari derajatnya kulit lasun ditempat sampah. Demikian pentingnya kabuyutan bagi kelangsungan negara menurut pemahaman urang Sunda dimasa silam.

Kegaiban raja dan kerajaannya yang dimaksud mungkin menyangkut kekuatan spiritual dari nilai-nilai yang ada dan diajarkan didalam lingkup kabuyutan. Ia bisa menjadi tuntutan perilaku para pemimpin dalam menjaga negerinya dan menjaga tradisi Sunda.

Amanat Galunggung bukan suatu judul naskah yang langsung ditulis demikian, namun disebutkan bagi sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy Garut. Penamaan terhadap kumpulan naskah menjadi ‘Amanat Galunggung’ diberikan oleh Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah ini pada tahun 1987. 

Menurut RPMSJB : Isi kropak tersebut yang dijelaskan sebagai “ajaran pembuat parit di Galunggung” (Batari Hyang) justru merupakan nasehat Darmasiksa kepada putranya sebelum ia berangkat ke Pakuan” (Buku ketiga, hal 20)

Naskah yang dikatagorikan sebagai salah satu naskah tertua di Nusantara ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah. Naskah ini menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda.

Jika dihubungan dengan Prabu Darmasiksa yang diceritakan dalam naskah Amanat Galunggung, menyebutkan Darmasiksa pernah memerintah Sanggalah II. Nama keraton tersebut sama dengan nama Keraton Resi Demunawan di Kuningan, yakni Saunggalah. Pada periode berikutnya berubah menjadi Saunggatang atau Saungwatang, terletak di Mangunreja. Ketiga nama tersebut berarti sama, yakni Rumah Panjang, suatu julukan yang wajar disebutkan pada masa itu untuk sebuah Keraton.

Didalam penelusuruan tentang hubungan Saunggalah I dengan Saunggalah II ditafsirkan, bahwa Saunggalah II kelanjutan dari Saunggalah I. Pendapat ini tentu akan mempengaruhi terhadap penafsiran Prabu Darmasiksa, sehingga ia disebut-sebut masih keturunan Resi Demunawan.

Beberapa penafisran sejarah mencoba menghubungkan bibit buit Rakyan Darmasiksa, pada akhirnya menyimpulkan muasal leluhurnya dari Kendan. Jika kita menyoal masalah Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh, sehingga tak heran jika banyak masyarakat yang menafsirkan Amanat Galunggung terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu. Konon kabar, ajaran Sunda Wiwitan yang sekarang dijadikan tetekon hidup justru berkembang di wilayah ini, tidak di Pakuan, yang kadang pacaruk dengan ajaran lain sehingga susah menemukan identitas dari ajaran Sunda Wiwitan.

Didalam carita Parahyangan disebutkan Darmasiksa, atau Prabu Sanghyang Wisnu memerintah selama 150 tahun, namun di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. Sebagai bahan perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya. Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).

Menurut Carita Parahyangan yang mengisahkan sejarah Galuh, naskah yang diberi nama Amanat Galunggung memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M.

Masa ini terkait dengan kisah perebutan tahta Galuh oleh sesama keturunan Wretikandayun, yakni antara anak-anak Mandi Minyak disatu pihak dan anak dari Sempak Waja dan Jantaka. Sehingga secara politis, Sanggalah dijadikan kunci penting dalam menyelesaikan pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun.

Kemudian masalah eksistensi Sanggalah, tentunya tidak dapat pula dilepaskan dari eksistensi Demunawan yang memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh teureuh Kendan. Karena sekalipun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu mempengaruhi pola kebijakannya. 

Teka-teki tentang pengaruh dan kewibawaan Demunawan, yang dituruti semua pihak yang bertikai di Galuh inilah yang mungkin dapat dijadikan sandaran, bahwa Demunawan memang seorang tokoh agama, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Saunggalah I, mempunyai suatu “ajaran”. Kemudian dianut pula oleh keturunannya yang menjadi Raja di Saunggalah I (Kuningan) dan kemudian pindah menjadi raja di Saunggalah II (Mangunreja / Sukapura) yaitu Prabu Guru Darmasiksa.

Prabu Guru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I. Letak wilayah tersebut disinyalir di desa Ciherang, Kadugede, Kuningan. Kemudian diserahkan kepada puteranya dari istrinya yang berasal dari Darma Agung, yang bernama Prabu Purana (Premana).

Amanat Prabu Guru Darmasiksa dari setiap halaman, diberi nomor sesuai terjemahan yang diberikan oleh Saleh Danasasmita (1987). Sistematika rangkuman tersebut terbagi dalam 4 bagian, yakni : (1) Amanat yang bersifat pegangan hidup / tetekon hirup. ; (2) Amanat yang bersifat perilaku yang negatif (non etis) ditandai dengan kata penafian “ulah” (jangan) dilakukan. ; (3) Amanat yang bersifat perilaku yang positif (etis) ditandai dengan kata imperatif “kudu” (harus) ; (5) Kandungan nilai, sebagai interpretasi penulis.


RESI GURU SUDAKARMAWISEA (SAMPAI TAHUN 1111 M)
Resi Guru Sudakarmawisesa memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati (puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati). Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta Kebataraan Galunggung pada permaisurinya itu, sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk mendalami keagamaan.


DEWI CITRAWATI  / BATARI HYANG JANAPATI (1111 - 1152 M)
Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan oleh Dewi Citrawati yang bergelar Batari Hyang Janapati yang berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan bawahan Sunda. Sejak masa Batari Hyang Janapati itulah pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan, sehingga disebut Kerajaan Galunggung.
 
Sebelum Dewi Citrawati menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk menjadi pendamping dari Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22). Namun hasratnya itu tidak kesampaian, karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi Citrawati.

Karena itulah, setelah Dewi Citrawati alias Batarari Hyang Janapati berkuasa di Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan Prabu Langlangbumi di Kerajaan Sunda.

Wilayah pedalaman yaitu desa antara Galuh, Sunda, dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan. Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin memanas. Dewi Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan (Galuh-Galunggung-Sunda) tidak mampu mengatasi gangguan perampok tersebut.

Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi Citrawati selalu cemas dalam menjalankan pemerintahannya. Beliau takut apabila terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana pun, Kebataraan Galunggung masih teralu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang telah mengacuhkan cintanya.

Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda,  Dewi Citrawati membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat. Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka bentuk pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi Kerajaan. Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Dengan demikian, saat itu kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.

Pada tanggal  21  Agustus  1111 M,  tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat sebuah prasasti di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan Linggawangi (sekarang Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti tersebut kemudian disebut sebagai prasasti Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta. Pada prasasti tersebut, Dewi Citrawati alias Batari Hiyang Janapati menuliskan :
tra ba igune apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu(k) ku batari hyang pun
Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hyang
Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang SiksakandaNg Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) yang ber ibukota di Pakuan.

Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan penawaran damai. Melalui perundingan damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan bahwa wilayah barat Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan dipimpin oleh Dewi Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2 kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung.

Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati menobatkan puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa sebagai pemegang kekuasaan Galunggung.


BATARA DANGHYANG GURU DARMAWIYASA (1152-1157 M)
Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh ibunya.

Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera yang bernama Prabu Darmakusuma dan Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
           
Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada di bawah kekuasaan Sunda, dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.

Raja-raja selanjutnya Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15 M, sejarah kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.


SRI GADING ANTEG
Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya  sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.

Sejarah penting yang tercatat pada masa pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari Rumatak ke Dayeuh Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa, Tasikmalaya).


DALEM SUKAKERTA
Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika Pajajaran  mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk Kerajaan Galunggung.

Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung adalah agama Islam dikarenakan peranan daripada Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar Pasundan.


PRABU RAJA DI PUNTANG (DALEM SANTOWAN)
Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Lepasnya kerajaan Galunggung dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.

Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka kerajaan, Prabu Rajadipuntang mengamanatkan harta pusaka tersebut pada anak bungsunya yang bernama Sembah Dalem Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman baru diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu wilayah pemukiman tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit), kemudian melalui ilmu yang dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan yang berada di seberang sungai Ciwulan (bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan tersebut disebut Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk disitu). Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Naga, yang penduduknya merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung Naga sampai saat ini merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Sebagai masyarakat yang berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam menentukan curah hujan.

Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman dalam cara bercocok tanam.

Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).


PERKKEMBANGAN SELANJUTNTYA DI WILAYAH GALUNGGUNG 
Di masa ini,  wilayah Priangan  sedang mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Dampak dari pergolakan ini adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan Mataram.

Wirawangsa sebagai penguasa daerah wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan serta membantu Kesultan Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur (bupati Priangan yang membangkang kepada kekuasaan kesultanan Mataram). Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati Ukur, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541 oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota negeri yang awalnya di Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa. 

Di mulai pada abad ke 7 M sampai abad ke 12 M di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, terdapat Pemerintahan Kebataraan di sekitar Gunung Galunggung dengan ibukotanya adalah Rumatak.

Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.


Kebataraan ini cukup istimewa yaitu dengan memiliki kekuasaan mengabisheka raja-raja Galuh atau dengan kata lain Raja Galuh baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. 

Selain itu, Kebataraan ini memberikan amanah yang dikenal dengan Amanah Galunggung, yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci dan ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah terjamah musuh, berarti kerajaan sudah runtuh. 

Salah satu isi dari Amanah Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak 632), yaitu :
...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa.
artinya :
...bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita.
Selain bersifat Kebataraan, Galunggung juga membawahi sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Di antara kerajaan-kerajaan bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Kuningan, Kerajaan Kajaron, dan Kerajaan Kalanggara.


Kerajaan Galunggung adalah kerajaan di Tatar Pasundan. Tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya membuka Rajyamandala Galunggung (kerajaan bawahan Galunggung). Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada zaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang. 


Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah Pamijahan dengan Syekh Abdul Muhyi (abad ke 17 M) sebagai tokoh ulama panutan.


BATARA DAN TOKOH YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN GALUNGGUNG, ANTARA LAIN :
1. BATARA DANGHIYANG GURU SEMPAKWAJA (SAMPAI TAHUN 729 M)
Dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama). Nama asli beliau tidak diketahui, tetapi kemudian terkenal dengan nama  Sempakwaja dikarenakan giginya ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus Kerajaan Galuh dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung.

Beliau memiliki permaisuri bernama Pohaci Rababu (berasal dari pertapaan Kendan). Dari pernikahannya itu, Sempakwaja memiliki dua orang putera, yaitu :
1.  Purbasora, lahir tahun 643 kemudian merebut tahta Galuh.
2.  Demunawan, lahir tahun 646.

Di tahun 661, permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik Sempakwaja yang bernama Amara, dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara serta diberi nama Bratasenawa. Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu sebagai istri walaupun dia telah berselingkah dengan adiknya sendiri. (lihat Kerajaan Galuh, mulai sub-Wretikandayun).

Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut kembali oleh Sanjaya (anak Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu memerintah di Kerajaan Sunda. Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan (anaknya yang ditunjuk menjadi raja Kerajaan Kuningan) untuk bergabung menjadi satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh. Suasana panas tak terelakan lagi, dimana antara Kerajaan Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada dalam posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu segera mengakhiri perselisihannya dengan damai.

Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109 tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya itu, keadaan di bagian timur dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian.

Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat, Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.

Masa kekuasaan dari 3 raja tersebut belum diketahui jalan sejararahnya, hingga muncul kembali pada sekitar tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.


2. RESIGURU  SUDAKARMAWISESA (SAMPAI TAHUN 1111 M)
Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati (puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati). Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta Kebataraan Galunggung pada permaisurinya  itu, sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk mendalami keagamaan.


3. DEWI CITRAWATI (TAHUN 1111 - 1152 M)
Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan oleh Dewi Citrawati yang bergelar Batari Hyang Janapati yang berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan bawahan Sunda.

Sebelum Dewi Citrawati menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk menjadi pendamping dari Prabu Langlangbumi raja Sunda yang berkuasa tahun 1065 - 1165 M. Namun hasratnya itu tidak kesampaian, karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi Citrawati.

Karena itulah, setelah Dewi Citrawati berkuasa di Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan Prabu Langlangbumi di Kerajaan Sunda.

Wilayah pedalaman yaitu desa antara Galuh, Sunda dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan. Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin memanas. Dewi Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan (Galuh - Galunggung - Sunda) tidak mampu mengatasi gangguan perampok tersebut.

Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi Citrawati selalu cemas dalam menjalankan pemerintahannya. Beliau takut apabila terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana pun, Kebataraan Galunggung masih terlalu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang telah mengacuhkan cintanya.

Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda, Dewi Citrawati membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat. Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka bentuk pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi Kerajaan. Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Dengan demikian, saat itu kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.

Pada tanggal  21  Agustus  1111,  tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat sebuah prasasti di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan Linggawangi (sekarang Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti tersebut kemudian disebut sebagai prasasti Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta. Pada prasasti tersebut, Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati menuliskan :
tra ba i gune apuy na-sta gomati sakakala rumata-k disusu(k) ku batari hyang pun
artinya :
Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hyang
Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksa kandaNg Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) yang ber ibukota di Pakuan.

Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan penawaran damai. Melalui perundingan damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan bahwa wilayah barat Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan dipimpin oleh Dewi Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2 kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung.

Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati menobatkan puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa sebagai pemegang kekuasaan Galunggung.

 
4. BATARA DANGHIYANG GURU DARMAWIYASA (1152 - 1157 M)
Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh ibunya.

Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera yang bernama Prabu Darmakusuma dan Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
          
Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada di bawah kekuasaan Sunda, dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.

Raja-raja selanjutnya Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15, sejarah kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.


6. SRI GADING ANTEG
Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya  sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.

Sejarah penting yang tercatat pada masa pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari Rumatak ke Dayeuh Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa, Tasikmalaya).


7. DALEM SUKAKERTA
Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika Pajajaran  mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk Kerajaan Galunggung.

Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung adalah agama Islam dikarenakan peranan daripada Sunan Gunung Jati (sultan Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar Pasundan.


8. DALEM SENTAWOAN / PRABU RAJADIPUNTANG
Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Lepasnya kerajaan Galunggung dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.

Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka kerajaan, Prabu Raja Dipuntang mengamanatkan harta pusaka tersebut pada anak bungsunya yang bernama Sembah Dalem Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman baru diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu wilayah pemukiman tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit), kemudian melalui ilmu yang dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan yang berada di seberang sungai Ciwulan (bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan tersebut disebut Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk di situ). Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Naga, yang penduduknya merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung Naga sampai saat ini merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Sebagai masyarakat yang berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam menentukan curah hujan.

Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman dalam cara bercocok tanam.

Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).


PERKEMBANGAN SELANJUTNYA WILAYAH GALUNGGUNG
Di masa ini,  wilayah Priangan  sedang mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Dampak dari pergolakan ini adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan Mataram.

Wirawangsa sebagai penguasa daerah wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan serta membantu Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur (bupati Priangan yang membangkang kepada kekuasaan Mataram). Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati Ukur, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541 oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota negeri yang awalnya di Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa. 



SITUS WALAHIR MAKAM LELUHUR GALUNGGUNG
Situs makam leluhur Kerajaan Galunggung. Lokasinya tidak jauh dari wisata Gunung Galunggung.

Situs makam Walahir yang berada di Desa Sukamulih, Kecamatan Leuwisari diyakini sebagai tempat pemakaman leluhur Kerajanaan Galunggung. Tidak heran, setiap hari makam Walahir sering dikunjungi peziarah dari berbagai tempat. Bukan hanya dari Tasikmalaya, tapi juga dari luar Daerah.

Komplek makam walahir yang luasnya sekitar 2 hektar ini berada di sebuah perbukitan. Areanya dipenuhi pepohonan besar, rimbun, dan sejuk, yang diperkirakan sudah tumbuh ratusan tahun. Pepohonan itu seakan menandakan bahwa situs makam ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Tidak jauh dari sana, terdapat situs geger hanjuang yang menurut bukti sejarah sudah ada sebelum tahun 1111 M. Selain itu, ada pula batu mahpar yang masih berkaitan dengan sejarah leluhur Kerajaan Galunggung


Salah seorang sesepuh dan tokoh masyarakat Desa Sukamulih, Suryatman manuturkan, berdasarkan penelusuran baru ditemukan sekitar 100 makam yang ada di Walahir. Prediksinya, terdapat ribuan makam yang tertimbun tanah karena letusan Galunggung.

Makam makam itu di antaranya makam-makam Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batari Hyang Janapati, Cigeuleum, Wirabuana, Eyang Kenong, Kuncung Manik, Langlangbuana, Eyang Sumedang, Ambu Sumaerah Wirakusumah, Haji Sembah Dalem Wirahadi Kusuma, Mama Kiai Haji Dera Kusumah, dan sejumlah makam leluhur Galunggung lainnya.

Selain pemakaman para leluhur, ada juga peninggalan lainnya yaitu tujuh buah batu satangtung yang disebut Linggabuana. Tujuh batu satangtung ini diyakini sebagai tempat berkumpulnya Prabu Siliwangi dan para resi untuk bermusyawarah.

Menurut kuncen setempat, dari penulusuran baru, ditemukan 100 makam yang berhasil ditemukan setelah melalui proses pemugaran. Selebihnya, diprediksi masih ada ribuan makam yang ada di sana, dan sebelumya tertimbun letusan Gunung Galunggung di masa lampau.