Tokoh Pendiri Kerajaan Galuh



Wretikandayun dikenal sebagai raja Galuh pertama bahkan dianggap pendiri Galuh pasca Kendan. Wretikandayun diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun 534 Saka atau 612 M, saat ia baru berumur 21 tahun.

Pada masa pengangkatannya Galuh masih berada dibawah kekuasaan Tarumanagara (masa Maharaja Kertawarman, Raja ke-8). Kemudian pada tahun 670 M, Wretikandayun berhasil membawa Galuh menjadi kerajaan yang berdaulat lepas dari kekuasaan Sunda (di. Ex Tarumanagara).

Wretikandayun tidak memilih pusat kegiatan pemerintahan di Kendan atau Medang Jati, sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, tetapi memilih suatu daerah baru yang subur, diapit dua hulu sungai, Citanduy dan Ciwulan. Saat ini dikenal dengan sebutan Karang Kamulyan, terletak di Cijeungjing Ciamis. Tempat tersebut kemudian ia namakan Galuh (Permata).

Pada masa Wretikandayun nyaris tidak ada petumpahan darah, baik didalam Galuh maupun dengan Negara lain. Hal ini disebabkan pengalamannya dalam memimpin Galuh yang sangat lama (612 – 702 M), iapun akhli melakukan diplomasi, bahkan ketika memerdekakan Galuh tidak setetes pun darah tertumpah.

Dimasa kepemimpinan Wretikandayun Galuh dapat memerdekakan diri dari Sunda. Ia sendiri mengabdi sejak jaman Kertawarman, raja ke-8 sampai dengan jaman Linggawarman, raja ke-12.

Dalam Carita Parahyangan dijelaskan Wretikandayun berjodoh dengan Pwah Bungatak Mangalele (Manawati) dengan gelar Candraresmi. Dari pernikahannya ia memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (620M), Jantaka (622M) dan Amara (624 M). Namun Sempakwaja dan Jantaka memiliki cacat tubuh. Oleh karena itu yang dianggap layak meneruskan kekuasaan Wretikandayun adalah Amara, dengan gelar Mandiminyak.

Sebenarnya jika sejarah tersebut digali lebih jauh lagi, ada perbedaan sifat dari putra-putra Wretikandayun. Sempakwaja dan Jantaka lebih tekun mempelajari masalah keagamaan, sedangkan Amara lebih senang berpesta dan berpesiar.

Untuk meredam masalah, Wretikandayun menempatkan Sempakwaja sebagai resiguru di Galunggung, kemudian bergelar Danghiyang Guru. Galunggung dalam kisah lainnya disebutkan sebagai nagara ‘Kabataraan” atau negara yang berlandaskan agama. ia menjadi pengimbang penting dari kerajaan Galuh.

Sempakwaja dari perkawinannya dengan Rababu melahirkan Purbasora dan Demunawan. Sedangkan Jantaka dijadikan Resiguru di Denuh, dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Denuh ada di Galuh Selatan. Ia memiliki putra yang bernama Aria Bimaraksa, senapati Galuh dikenal dengan nama Ki Balangantrang.

Wretikandayun memiliki umur panjang, ia wafat pada tahun 702 M dalam usia 111 tahun. Ia memeritah Galuh sejak usia 21 tahun menggantikan ayahnya Sang Kandiawan.


1. Pewaris Tahta Kerajaan Galuh
Wretikandayun telah mengangkat Amara, putra bungsunya sebagai putra Mahkota, dengan gelar Mandiminyak, kemudian naik tahta menggantikan ayahnya pada tahun 702 M. Mandiminyak bertahta di Galuh pada tahun 702 M sampai dengan 709 M.

Tradisi pengangkatan putra bungsu sebagai putra mahkota di Galuh bukan hal baru, karena Sang Kandiawan pun mengangkat Wretikandayun, putra bungsunya. Pengangkatan Mandiminyak tentunya memiliki alasan, karena Sempakwaja, putra pertama tanggal giginya, sedangkan Jantaka, putra kedua menderita hernia maka putra bungsunya ini dianggkat untuk menggantikannya.

Mandiminyak dikenal tampan dan cakap. Ia paling disayang oleh Wretikandayun. Ditunjang dengan perkembangan Galuh yang makin pesat, Mandiminyak dikenal sering berpesta dan pesiar. Sedangkan kedua kakaknya memiliki keadaan yang sebaliknya, mereka memiliki cacad tubuh, lebih senang mendalami ilmu keagamaan. Latar belakang dari perbedaan ini di kemudian hari merubah perjalanan hidup para keturunan Wretikandayun, terutama yang ada hubungannya dengan perjalanan kesejarahan Galuh.

Penulis carita Parahyangan mulai mencatat sejarah kelam ketiga keturunan Wretikandayun pada peristiwa pesta ‘bulan purnama’ di keraton Galuh. Saat itu Rabbabu, istri Sempakwaja datang di keraton untuk menghadiri pesta, namun tidak disertai Sempakwaja, karena diberitakan sakit, sementara kedua putranya, yakni Purbasora dan Demunawan bertugas mengurus ayahnya.

Rababu di dalam cerita Parahyangan dilukiskan berparas elok, putri sang pertapa, sedangkan Mandiminyak dilukiskan berparas tampan. Keadaan ini yang mendorong keduanya saling jatuh cinta dan melakukan Smarakarya, hingga berhari-hari. Hubungan Mandiminyak dengan Rabbabu membuahkan seorang putra, kelak diberi nama Sena atau Bratasenawa.

Sempakwaja sangat menyayangi Rabbabu namun tidak mencintai anak Rabbabu hasil perbuatannya dengan Mandiminyak. Peristiwa demikian dilukiskan dengan apik di dalam Cerita Parahyangan, dan akan disamopaikan dalam bahasa Sunda Kiwari, sebagaimana yang diterjemahkan Atja (1968), sebagai berikut :
Carek Rahiang Sempakwaja : “Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah.”
Rababu tuluy leumpang ka Galuh. “Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea.”
Carek Rahiangtang Mandiminyak: “Anak aing maneh teh, Sang Salah ?”. Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: “Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan! ”
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak. “Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!”  Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.

Peristiwa Smarakarya di ‘pesta bulan purnama” tersebut tentu mendapat respon yang negatif dari kerabat keraton, dan membuahkan pergunjingan yang tidak baik bagi kalangan istana. Untuk meredakan masalah ini Wretikandayun menjodohkan Mandiminyak dengan Parwati, putri Kalingga. Konon Mandiminyak dikabarkan pindah ke Kalingga. Lain halnya dengan Purbasora dan Demunawan, putra Rababu dari Sempakwaja, mereka menaruh dendam, kelak antara putra Rababu dari Mandiminyak dengan Purbasora terjadi perebutan tahta.

Sebelum memerintah Galuh, Mandiminyak tinggal bersama istrinya untuk memerintah Kalingga. Pengalaman memerintah ini sangat kelak sangat membantu tugasnya, terutama dalam menyelesaikan masalah diplomatik dengan Negara lain. Ketika Wretikandayun mangkat maka Ia kembali dan tinggal di Galuh untuk menggantikannya, namun Parwati, istrinya masih tetep memerintah di Bumi Mataram Kuna, pecahan dari Kalingga.


Mandiminyak kemudian berupaya memperbaiki hubungan Galuh dengan Sunda yang sempat pecah ketika Galuh menyatakan memisahkan diri dari Sunda, bahkan Tarusbawa, raja Sunda menyatakan ketidak setujuannya kepada penguasa Sriwijaya berniat menyerang Kalingga. Disamping itu, Mandiminyak menjodohkan Sanjaya, cucunya, putra Sena dengan Teja Kencana, cucu Tarusbawa.

Posisi perkawinan ini menempatkan posisi Galuh sebagai kerajaan yang kuat, bahkan lebih kuat lagi ketika Sanjaya diangkat menbjadi raja Sunda menggantikan Terusbawa. Namun karena masalah alasan pengangkatan Mandiminyak dan buntut peristiwa pesta bulan purnama masih meninggalkan bekas dihati para putra Sempakwaja, maka maka Mandiminyak tidak sepenuhnya mendapat simpati dari kerabat Galuh. Kondisi ini pula yang menjadi sekam, kelak menyulut pemberontakan yang dilakukan Purbasora.

2. Sena atau Bratasenawa
Mandiminyak wafat pada tahun 709 M. Sepeninggalnya tahta Galuh dilanjutkan oleh Sena, putra dari hasil hubungannya dengan Rabbabu

Sena dikenal memiliki perangai yang berbeda dengan ayahnya. Sena dikenal taat beragama, ramah dan dihormati kaum agamawan. Sekalipun demikian, masih memiliki ganjalan, hal ini disebabkan peristiwa masa lalu masih tetap berbekas dihati kerabat Galuh.

Diriwayatkan pula Sena sangat menghormati Purbasora dan Demunawan sebagai kakak dari satu ibu. Namun sebaliknya Purbasora dan Demunawan sudah terlanjur sangat membenci. Sena bersahabat dengan Tarusbawa, raja Sunda. Mungkin juga karena Tarusbawa sahabat ayahnya dan kakek mertua Sanjaya, anaknya. Bahkan ketika Sanjaya merebut Galuh, Sena berpesan agar Sanjaya tetap menghormati orang-orang tua di Galuh.

Sena mengetahui akan terjadi pemberontakan yang dipimpin Purbasora. Secara diam-diam ia mengirimkan utusan ke Sunda untuk meminta bantuan Tarusbawa. Sayang, pasukan Sunda terlambat tiba di Galuh. sehingga Purbasora sudah mendahulu merebut Galuh.

Ketika Sena mengetahui Galuh telah dilumpuhkan Purbasora dan Demunawan, ia meloloskan diri ke Jawa Tengah. Sebagai putra Mahkota Kalingga Utara, iapun kembali ke Kalingga Utara yang waktu itu diperintah oleh Parwati, ibu mertuanya. Dengan terusirnya Sena dari Galuh, maka hubungan baik antara Kalingga dengan Galuh yang telah dirintis oleh Wretikandayun menjadi terpecah bahkan bermusuhan.

Sena memerintah Galuh selama 7 tahun dan berakhir pada tahun 716 M. Dengan terpaksa ia pun meletakan jabatannya sebagai penguasa Galuh dan membiarkannya dikuasai Purbasora.

Masa Sena di Galuh dilukiskan dalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut :
Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.

Referensi  :
- Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
- Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.