Sekilas Kerajaan Talaga Majalengka

SEKILAS KERAJAAN TALAGA
Prabu Ajiguna Linggawisesa (Kerajaan Sunda) dari Permaisuri Ratu Uma Lestari, memiliki putra yaitu :
1. Ragamulya Luhur Prabawa yang menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda.
2. Suryadewata.

Prabu Ajiguna Linggawisesa menikahi putra Prabu Citraganda raja Sunda, sedangkan ibu kota negara saat itu berada di Sunda. Ia tewas ketika sedang berburu di dalam hutan. Oleh karena itu ia dijuluki sang mokta in (mokteng) Wanaraja. Kemungkinan hutan tersebut yang menjadi daerah Wanaraja (Garut) sekarang. 

Suryadewata karena anak ke dua tidak menggantikan kedudukan ayahnya, namun menjadi raja daerah di Galuh, karena pada saat itu Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu.

Salah seorang putra Prabu Suryadewata adalah Suddhayasa, yang menganut agama Budha Mahayana aliran Sarwastiweda. Aliran Sarwastiweda adalah agama Budha yang lebih mengutamakan puji-pujian kepada Sang Budha Gautama.

Suddhayasa kemudian mendirikan perguruan (padepokan) agama Budha di Gunung Bitung, di kawasan Majalengka. Oleh karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Batara Gunung Bitung.

Padepokan Suddhayasa semakin berkembang dengan banyaknya pengikut ajaran Budha di Gunung Bitung. Setelah Sudayosa wafat digantikan oleh putranya yang bernama Dharmasuci. Karena semakin pesatnya perkembangan Gunung Bitung akhirnya Darmasuci mendirikan kerajaan bercorak Budhisme, kemudian diberi nama Talaga. Prabu Dharmasuci menjadi Raja Pertama di Kerajaan Talaga dengan gelar Rajaguru. Kerajaan Talaga merupakan kerajaan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang berkuasa saat itu Prabu Niskala Wastu Kancana.

Dalam kegaiatan keagamaan, atas restu serta dukungan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, Kerajaan Talaga menjadi pusat agama Budha di seluruh Jawa Barat.

Kerajaan Budha Talaga semakin maju dan berkembang tahta kerajaan dipegang oleh Prabu Talagamanggung putra Rajaguru Darmasuci. Prabu Talagamanggung segenerasi dengan Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh. Karena pada saat itu Prabu Wastu kembali memisahkan Sunda - Galuh. Kerajaan Sunda diberikan kepada Prabu Susuk Tunggal putra dari Dewi Ratna Sarkati, sedangkan kerajaan Galuh diberikan kepada Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana) putra dari Mayangsari (lihat Tanjeur na Juritan Jaya di Buana)

Dari permaisurinya, Prabu Talagamanggung memperoleh putra :
1. Sang Pangulah, yang hidupnya lebih tertarik mendalami keagamaan dan bertekad menjadi Bhiksu.
2. Simbar Kancana, yang terkenal oleh kecantikannya, sehingga diibaratkan sebagai bidadari yang bermukim di negeri Talaga.
Karena banyak sekali yang meminang Simbar Kancana, Prabu Talagamanggung terpaksa memutuskan bahwa putrinya disayembarakan melalui "Adu ketangkasan antar satria." Lomba tersebut adalah :
1. Hari pertama, berupa keterampilan perang tanding adu senjata : tombak, gada, pedang dan keris, sambil menunggang kuda.
2. Hari kedua, berupa keterampilan menangkap harimau dan babi hutan yang masih liar di dalam hutan, dengan ketentuan siapa yang lebih banyak buruannya itulah pemenangnya.
3. Hari ketiga, berupa keterampilan menggunakan panah, dengan sasaran seekor bunglon yang digantungkan ekornya, sehingga bunglon tersebut terus bergerak.

Pada akhir pertandingan, pemenangnya adalah seorang kesatria Palemban Gunung bernama Sakyawira. Ia adalah putera seorang menteri Urusan Laut Kerajaan Palembang, yang mahir dan terampil berbagai ilmu kesatriaan, serta menyenangi hidup bertualang. Setelah menikah, Sakyawirya diangkat menjadi Patih Utama, sebagai orang kedua di Kerajaan Talaga.

Sebagai seorang pelaut, Sakyawirya kurang memperhatikan etika budaya kerajaan pegunungan seperti Talaga. Ia kurang menyenangi kehidupan yang larut dalam nilai-nilai keagamaan seperti istrinya.

Karena Sakyawirya gemar berburu, ia berperingai kejam, tidak mengenal belas kasihan. Dengan menggunakan fasilitas sebagai patih utama, banyak sekali gadis-gadis desa yang menjadi korban sasaran nafsunya. Kelakuannya yang melanggar etika lama-kelamaan diketahui oleh pembesar Kerajaan.

Sakyawirya berambisi untuk menjadi raja. satu-satunya jalan adalah dengan meniadakan raja secara terselubung. Untuk mencapai tujuannya, Sakyawirya bersekutu dengan Patih Citrasinga. Ia menjanjikan jabatan Patih Utama kepada Patih Citrasinga jika telah berhasil menyingkirkan Prabu Talagamanggung.

Rencana penyingkiran Prabu Talagamanggung ditugaskan kepada seorang prajurit bayangkara, Sang Centangbarang yang berasal dari Kerajaan Galuh, Sang Centangbarang menyanggupi karena diiming-iming hadiah yang sangat besar.

Ketika Centangbarang sedang bertugas kawal di sekitar keraton, ia menyelinap di kegelapan malam. Ketika Prabu Talagamanggung turun dari keraton, dengan secepat kilat menghujamkan tombak ke dada Sang Prabu. Prabu Talagamanggung mengerang kesakitan dan tewas seketika. Centangbarang segera melarikan diri dalam lindungan malam gelap gulita. Centangbarang dihujani anak panah dan tombak para penawal, akan tetapi ia selamat meloloskan diri ke dalam hutan belantara.

Untuk menghindari kecurigaan keluarga, Sakyawira segera menugaskan Patih Citrasinga dengan pasukan pengawal untuk menangkap dan membunuh si pembunuh, namun Patih Citrasinga dan pengawalnya kehilangan jejak.

Jenazah Prabu Talagamanggung dikremasi dengan upacara resmi kenegaraan. Upacara tersebut dihadiri oleh para pembesar utusan dari Kerajaan Galuh, raja-raja daerah sekitarnya, dan ribuan umat Budha Sarwastiwada Kerajan Talaga. Setelah upacara pembakaran jenazah Prabu Talagamanggung, Simbar Kancana oleh kakaknya (Bhiksu Panglurah) dinobatkan menjadi penguasa Kerajaan Talaga, pemerintahan sehari-hari dengan sendirinya dikuasai oleh Sakyawira sebagai Raja.

Setiap hari Prabu Sakyawira berburu, dengan maksud mencari persembunyian Centangbarang. Ia khawatir rahasianya dibocorkan oleh Centangbarang.

Berita tentang Prabu Talagamanggung yang dibunuh, telah sampai ke Keraton Surawisesa Galuh. Untuk melindungi Talaga sebagai kerajaan bawahannya, Prabu Dewa Niskala menugaskan putranya, Kusumalaya (Ajar Kutamangu) untuk menyelidiki Centangbarang.

Sebagai orang pusat juga sebagai cicit Mahaprabu Wastu, dengan segala kecermatan dan penyelidikan yang baik akhirnya Centangbarang berhasil ditemukan oleh Sang Kusumalaya. Centangbarang yang merasa kecewa oleh Sakyawira yang tidak menepati janjinya, bahkan berbalik mengerjanya, kemudian menceritakan maksud dan tujuan pembunuhan terhadap Prabu Talagamanggung kepada Kusumalaya.

Secara sembunyi-sembunyi Kusumalaya mempertemukan Centangbarang dengan Simbar Kancana. Setelah segalanya terungkap, di malam harinya Ratu Simbar Kancana menghampiri suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan dendam yang tiada tara dan segenap keberanian, ia menggunakan patrem (tusuk sanggul yang tajam) yang ditikamkan ke tenggorokan suaminya berkali-kali. Sakyawira tewas seketika di tempat tidur. Malam itu juga Patih Citrasinga dan pengikutnya ditangkap oleh Senapati Raksanagara dan Mantri yudhanagara, mereka diadili dan dihukum mati.  Dari SakyawiraSimbar Kancana tidak memiliki keturunan. 

Ratu Simbar Kancana kemudian menikah dengan KusumalayaSedangkan dari Kusumalaya ia mempunyai anak :
Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlayya memiliki delapan orang putra:
1. Betara Sokawayana (Sunan Parung)
2. Mangkurat Mangkureja (Sunan Cihaur)
3. Mangkurat Mangunnagara (Sunan Bungbulang)
4. Sang Kerok Batok (Sunan Cengal)
5. Sang Suryakusumah (Sunan Jerokaso)
6. Raden Kultul Putih (Sunan Santoan Luar)
7. Dalem Ciburang (Ratu Kamana)
8. Dalem Tegal Cau 

Betara Sokawayana / Sunan Parung (1440 hingga 1490) hanya memiliki satu anak perempuan
1. Ratu Suniya Larang / Ratu Parung, menikah kepada Raden Ranggamantri, putra Raden Mundingsari Ageung, cucu Raden Pamanharasa (Prabu Siliwangi), buyutnya Menak Kancana Prabu Niskaladewa dari Kerajaan Pajajaran.  Dan Raden Rangga mantri  Narpati di Talaga dengan gelar raja Pajajaran "Prabu Pucuk Umun" (1490 - 1550), pada tahun 1529 Raden Ranggamantri dan Ratu Sunialarang masuk Islam oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana / Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati. Raden Rangga Mantri  sang narpati yang dikenal sebagai Sunan Pucuk Umum (Penguasa Bale Baru).

Ratu Suniya Larang / Ratu Subanglarang dari Istana Parung Champaga, ditikah oleh  Raden Ranggamantri, putra Raden Pamanahrasa (Prabu Siliwangi), mempunyai anak  :
1. Raja ke tiga Haurkoneng (Ratu Galuh Panyocok), oleh sebab adanya Galugu Citanduy, kerajaan terendam berubah menjadi Rawa Lakbok, (1550-1560 M). Ketika ia menjadi Narpati di Talaga, kerajaan Talaga menjadi pengikut Kesultanan Demak dan diambil alih oleh Dipati Carbon sesuai isi kesepakatan Keraton Ciburang (1557 M)
2. Ariya Kikis / Sunan Wanaperih (1560-1565 M).
3. Ariya Tjutjuk / Dalem Lumaju Agung (Bupati Majaagung).
4. Pangeran Singalodra / Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan Umbul Luar)
5. Dalem Pantungung / Santoan Patra Djenar.(Girilawungan)
6. Dalem Panaekan / Siriwati.

Berujar ujar Ratu Sabda Radja Kandjeng Sunan Ariya Kikis memberi perintah dalam pertemuan di Pesanggarahan Besar Kerajaan Talaga (1561), bahwa seluruh Dalem agar mandiri dalam rangka berusaha mengolah wilayah masing-masing negara urusan bala keprajuritan Kapindo setiap tahun di bulan Syafar Para Dalem bersama Ketua Pradjurit Utama, harus hadir di pertemuan besar setiap tahun. Kebijaksanaan ini diterapkan langkah demi langkah Perebutan kekuasaan antara Sultan Demak, Pajang dan Mataram yang mempengaruhi ketentraman umat.


KERAJAAN TALAGAMANGGUNG
Raden Panglurah
Ketika Raden Panglurah tidak ada di keraton karena sedang melakukan tetapa di Gunung Bitung sebelah selatan Talaga. Ratu Simbar Kencana mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama Palembang Gunung, berasal dari Palembang. Patih Palembang Gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu Sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya, Sunan Talaga Manggung.

Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama Citra Singa, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang. Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar kenaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi Sunan Talaga Manggung baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, dia diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “Biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa karena ia durhaka.” Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit anggota badannya sampai ia mati.

Palembanga Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada, hilang dengan seisinya, hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan Situ Sangiang Talaga. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada di antaranya yang memberitahukan kepada Ratu Simbar Kencana, bahwa kematian ayahandanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapatkabar itu maka Simbar Kencana membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya.. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya, digorok, oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah Palembang Gunung itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka diangkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan. Sedatangnya ke Sangiang dia merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya tampak situ saja dan setelah dia mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (Desa Kagok).


Ratu Simbar Kencana
Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayahandanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar Kencana sendri.

Dan dia akan menyusul ayahandanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, dia menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut dia beserta pengiringnya turun ke Situ Sangiang dan turut menghilang. Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya Sunan Parung.


Sunan Parung
Batara Sokawayana atau Sunan Parung  mempunyai putra istri bernama Ratu Parung (Ratu Sunia Larang), melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Ranggamantri putranya Raden Munding Sari Ageung, putra Prabu Siliwangi dari isterinya Padmalarang atau Padmawati

Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum. Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari semula beragama Budha, yang dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah. 

Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti Prabu Pucuk Ulum.  Prabu Pucuk Umum mempunyai putra bernama Sunan Wanaperih yang akhirnya menjadi raja bertempat di Walang Suji (Desa Kagok). 

Sunan Wana Perih mempunyai putra Ampuh Surawijaya Sunan Kidak. Setelah Sunan Wana Perih meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada Ampuh Surawijaya dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.


Raden Ragamantri dan Ratu Sunyalarang
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadat, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta'ala.

Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu : Prabu Haur Kuning; Aria Kikis, Sunan Wanaperih; Dalem Lumaju Ageng Maja; Sunan Umbuluar Santoan Singandaru; Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagai batu nisan.


Pangeran Aria Kikis (Sunan Wanaperih / Sunan Ciburang)
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih) putera kedua Ratu Parung (Ratu Sunyalarang). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanu I atau yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah ( lagi susah ), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.

Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.

Kesepakatan Keraton Ciburang Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.

Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.

Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan Talaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung (Caruban) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu.Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis). Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang Talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”

Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati. 

Sunan Wanaperih mempunyai 7 orang putra, lima putera dan dua puteri, di antaranya :
1. Sunan Giri Laya
2, Dalem Cageur Darma
3. Dalem Kulanata Maja
4. Sang Senapati Raden Apun Surawijaya
5. Nyi. Ratu Radeya
6. Nyi. Ratu Putri
7. Pangeran Ngabehi Aria Wangsa Goparana
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning. Makam Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning, Desa Banjaran Kec. Banjaran Kab. Majalengka sedangkan Ratu Putri menikah dengan Syekh Sayid Faqih Ibrahim (Sunan Cipager) putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya. Dari Talaga Majalengka Dalem Kulanata Maja berhijrah ke Sumedang, sampai akhir hayatnya.


JEJAK SEJARAH KERAJAAN TALAGAMANGUNG 
I. SILSILAH TALAGA MENURUT BACAAN BABON TALAGA
Betara Gunung Picung / Sang Ciptapermana II hing Sunda Galuh and Alas Talaga (1053 tug to 1073),  mempunya anak 6 orang :
  1. Rahiyang Cungkilak di Alas Talaga.
  2. Rahiyang Benda di  Sunda Galuh.
  3. Rahiyang Gombang di Panjalu.
  4. Sang Romahiyang Ratu Ponggang di Gunung Padang / Gunung Bitung.
  5. Sang Watugunung / Prabu Dharmasuci / Sanghiyang Talagamaggung di Alas Talaga.
  6. Sang Romahiyang Mayang Karuna di Curug Dadap Gunung Bitung.

II. ALAS TALAGA INGIN MANDIRI LEPAS DARI KERAJAAN SUNDA
Sang Watugunung / Prabu Dharmasuci I (1073-1136) sebagai Raja ketika beranjak dewasa dengan gelar Sanghiyang Talaga Manggung, hingga mencapai usia 50 tahun belum dikaruniai seorang putra kandung, beliau mengangkat anak :
Anak angkat bernama Abiseka Guru Gantangan (1136-1146) anak Begawan Bagaswara dari Kahiyangan Mahameru, setelah keluar dari kependetaan untuk menjalankan Tapa Wadat Brahma Caria yang dikenal dengan Begawan Garasiyang. Sang Katong Dharmasuci Abirawa / Prabu Talagamangagung di Alas Talaga.

Ketika Sang Abirawa lahir di Mayapada di bulan setelah gempa terjadi, Djaladara Madiya Buana bengkah, dan selanjutnya membangun pertanian besar Cilutung dan Talagasaat di sebelah utara Alas Talaga. Kemudian setelah menjadi lahan pertanian padi ketan dibawa Panglima Tan Bong Siu (tahun 1209) ke Talaga, Tegalan tersebut dirubah menjadi pesawahan sampai sekarang disebut Sawah Tegal. Prabu Dharmasuci moksa ketika Dharmasuci belum dewasa, dan setelah cukup  umur Begawan Garasiang menikah dengan Narpati.

III. BERDIRINYA KAPRABUAN ALAS TALAGA
Sang Katong Prabu Dharmasuci Abirawa (1146-1219) memiliki dua putra :
  1. Purwayana Kancanadewa / Raden Panglurah, setelah memeluk agama Buddha, ia dikenal sebagai Kang sarwatiwasda Dharmasakiya Dang Purwayana; Sebelum menimba ilmu di Nalanda Sriwijaya, ia menikah dengan Ratu Mayangsari dari Kaputren Baruhjaksi, seorang wanita bernama Cantrika putrinya Begawan Garasiang yang melahirkan seorang putri bernama Mayangkaruna, yang diurus sejak kecil oleh kakeknya Begawan Garasiang. Ketika sedang menuntut ilmu di Nalanda Sriwijaya hanggarbeni tertarik kepada putri Champa nagari yang bernama Ratu Kaniya. Selama di Nalanda, ia berteman dengan seorang Bhiksu yang dijuluki Dharmasakiya Wira Nalanda Bhiksutam Dang Sambhara Bhumi. Sinatria pinandita terah Isyana Syailendra sering diundang ke Talaga dan dikenalkan dengan mendiang ayahnya Prabu Dharmasuci. Raja terkesan dengan kecerdasan para Bhiksu dan akhirnya diangkat menjadi kepala keraton dan diberi gelar Patih yang mengurusi Kawah Candradimuka, tempat Olah Krida Calon Tamtama Karadjaan di Walangsudji.
  2. Simbar Kencana.

III. MENDIRIKAN KERATON WALANGSUDJI DI ALAS TALAGA
Ratu Simbarkancana di Walangsuji Alas Talaga (1295-1305 M), singgasana yang kedua dari (1338-1379 M).
a. Patih Palembang Gunung, seorang biksu Buddha Mahayana alias Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi. Setelah melakukan pembunuhan terhadap Prabu Talagamaggung, ia diangkat sebagai Penguasa kota Walangsuji (1267 hingga 1295) dinamai Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah Warih, tidak menurunkan keturunanan. Tercatat dengan saudara misannya Djayakatwang  dalam penyerbuan Prabu Kartanagara (Kala Gemet) di Kerajaan Singosari.

Pa Lemban Gunung artinya menebar benih Padi Huma oleh jasa Patih Palembang Gunung Alas Talaga akrab dengan pertanian baru yaitu Padi Ketan, menggantikan pohon Djawawut (Kunyit) peninggalan Sanghiyang Ronkob, Pertanian Padi terutama Huma (ladang), Budidaya Padi Huma (ladang), Tembikar yang disebut Pariuk untuk memasak Pa, Kalapa = KalaiPa (nasi ketan tanpa amburatel), juga dibudidayakan.

Usaha budidaya tanaman Padi dilakukan oleh Patih dalam satu sebuah tempat bernama Dharmalarang yang dipimpin oleh seorang ahli pertanian Cina dari negara Sriwijaya yang diberi gelar Raden Panji. Letaknya di situ Ci Pamintar sekarang persawahan antara desa Sangiyang dan desa Darmalarang. Ketika kekuasaan Talaga dipegang oleh Andana warih, dia melakukannya politik pintu terbuka, yang terutama ditujukan kepada pedagang Pa dari Chunghua (Nagri Atas Angin) yang dipimpin oleh Tan Bong Siu, mantan Panglima Perang Kerajaan Beng. Ia kabur ke Talaga karena kalah perang oleh kerajaan Chin. Sejak saat itu perbatasan di Talaga penuh dengan orang Tionghoa; pengaruh agama Buddhisme Mahayana - Konfusianisme dan Budaya Tiongkok sangat kuat.

IV. TERAH SUNDA GALUH DI KERAJAAN WALANGSUDJI TALAGA
Demi menghilangkan sakit hati setelah wafatnya Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlaya tidak kembali  ke Istana Walangsuji melainkan pindah di Buni Asih Puri yang terletak dilereng utara desa Cimeong (sekarang desa Wates) menghadap ke barat Parakan Muncang, Gunung Cakrabuana dan Gunung Tampomas di Sumedanglarang.

Yang menjalankan roda pemerintahan di kota Talaga dibantu oleh istrinya Raden Kusumhlaya dan kembali bekerja di Pasanggrahan Agung. 

Di Pasanggrahan Agung, dua pasang pengantin melakukan upacara pernikahannya. Pasangan pertama Ratu Mayang Karuna, putranya Raden Purwayana Kancana Dewa (Begawan Garisiang), menikah dengan Raden Mundingsari Ageng, putranya Prabu Jaya Dewata, cucunya Prabu Niskala Dewa dari negeri Padjadjaran (kemudian mereka dibawa pindah dan tinggal di kaki Gunung Sanggabuana, Lereng Selatan (Lembur Talaga, Kecamatan Tanjungsari, Bogor).  Pasangan kedua adalah Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlaya. Dalam pertemuan Agung ini Ratu Simbar Kencana mengucapkan sandi prabawa : "Yen isuk Jaganing Geto “Talaga Ngadaun Ngora”.

Ratu Simbarkancana dan Raden Kusumahlayya memiliki delapan orang putra:
  1. Betara Sokawayana (Sunan Parung)
  2. Mangkurat Mangkureja (Sunan Cihaur)
  3. Mangkurat Mangunnagara (Sunan Bungbulang)
  4. Sang Kerok Batok (Sunan Cengal)
  5. Sang Suryakusumah (Sunan Jerokaso)
  6. Raden Kultul Putih (Sunan Santoan Luar)
  7. Dalem Ciburang (Ratu Kamana)
  8. Dalem Tegal Cau (Sunan Corenda Sumedang Larang)

Betara Sokawayana / Sunan Parung (1440 hingga 1490) hanya memiliki satu anak perempuan, yaitu :
Ratu Suniya Larang / Ratu Parung, menikah kepada Raden Ranggamantri, putra Raden Mundingsari Ageung, cucu Raden Pamanharasa (Prabu Siliwangi), buyutnya Menak Kancana Prabu Niskaladewa dari Kerajaan Pajajaran.  Dan Raden Rangga mantri  Narpati di Talaga dengan gelar raja Pajajaran "Prabu Pucuk Umun" (1490 - 1550), pada tahun 1529 Raden Ranggamantri dan Ratu Sunialarang masuk Islam oleh uwaknya Pangeran Cakrabuana / Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati. Raden Rangga Mantri  sang narpati yang dikenal sebagai Sunan Pucuk Umum (Penguasa Bale Baru).

Ratu Suniya Larang dari Istana Parung Champaga, ditikah oleh  Raden Ranggamantri, putra Raden Pamanahrasa (Prabu Siliwangi), mempunyai anak  :
  1. Raja ke tiga Haurkoneng (Ratu Galuh Panyocok), oleh sebab adanya Galugu Citanduy, kerajaan terendam berubah menjadi Rawa Lakbok, (1550-1560 M). Ketika ia menjadi Narpati di Talaga, kerajaan Talaga menjadi pengikut Kesultanan Demak dan diambil alih oleh Dipati Carbon sesuai isi kesepakatan Keraton Ciburang (1557 M)
  2. Ariya Kikis / Sunan Wanaperih (1560-1565 M).
  3. Ariya Tjutjuk / Dalem Lumaju Agung (Bupati Majaagung).
  4. Pangeran Singalodra / Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan Umbul Luar)
  5. Dalem Pantungung / Santoan Patra Djenar.(Girilawungan)
  6. Dalem Panaekan / Siriwati.

Berujar ujar Ratu Sabda Radja Kandjeng Sunan Ariya Kikis memberi perintah dalam pertemuan di Pesanggarahan Besar Kerajaan Talaga (1561), bahwa seluruh Dalem agar mandiri dalam rangka berusaha mengolah wilayah masing-masing negara urusan bala keprajuritan Kapindo setiap tahun di bulan Syafar Para Dalem bersama Ketua Pradjurit Utama, harus hadir di pertemuan besar setiap tahun. Kebijaksanaan ini diterapkan langkah demi langkah Perebutan kekuasaan antara Sultan Demak, Pajang dan Mataram yang mempengaruhi ketentraman umat.


SUNDA GALUH : RANGKAIAN KEJADIAN DI TALAGA BERDASARKAN BABAD HING WALANG SUJI (BABON TALAGA)

1. Narayan Adhikusumah alias Betara Gunung Picung alias Sang Ciptapermana II Terah  Sunda Galuh dan Alas Talaga (Mp. 1003-1073 Masehi).

2. Pada tahun 1076 Masehi, Sang Watugunung alias Prabu Dharmasuci alias Sanghiyang Talagamaggung di Alas Talaga memisahkan diri dari kekuasaan Sunda Galuh, beliau menyebarkan pendidikan Hindu Maisanawa di Alas Talaga yang saya cirikan sebagai pendirian kembali Kahiyangan Argalingga dan benteng Kapanditaan di Lembur Pendetan Sanghiyang Rongkob (Sanha Maya Puruhita) Gedung Puri Nulad Puri Kahiyangan Mahameru.

Pada usia sembilan belas tahun, dia belum diberi hadiah dari Sang Widhi Wasa, meskipun dia telah bekerja untuk Raja Suya di Puri Kahiyangan Ageng dan Puri Argalingga, tetapi isternya tetap belum  mempunyai anak, akhirnya mengadopsi seorang bayi yatu Abiseka Guru Gantangan putranya Begawan Bagaswara saka Kahiyangan Mahameru. Ki Abiseka adalah seorang sinatria pinandita yang telah menguasai ilmu-ilmu  dan  ajaran Hindu Dharma dan telah menyelesaikan studinya di Rig Veda dan Jayur Veda, Upanishad dan Bhagawatgita, sehingga ia adalah seorang sinatria yang terampil dalam akhlak dan budi pekerti, disebut juga Sinatria Pinandita yang luasnya daya nalarnya dan sastranya; raja menempatkan anaknya ke Perguruan Garasiyang yang dikenal sebagai Ajar Garasiyang.

Sanghiyang Talagamaggung dibangun keprabuan Puri Kahiyangan Agung untuk Ibukota negara. Kawasan hutan Talaga merupakan kampung yang menghubungkan satu sama lain  jalan yang dilintasi  dibuat menggunakan batuan dari gunung Kahiyangan Argalingga, terus ke Cibunut terus ke Pasir Bitung naik ke Kaputren Baruhjaksi dan Citaman, turun ke Puri Kahiyangan, ke barat, di Paguron Garasiyang, turun ke Citando tempat tandu membawa orang. Turun dari Sindang Palay ke kota Walangsudji dan Banjaran tempat para Prajurit Wadiya Balad berkemah. Di arah utara terdapat hutan tutupan tempat berburu binatang yang disebut Suniya ing daksina, dekat dengan daerah Kancana tempat Wadiya Ponggawa keraton dan Gunungmanik tempat telik sandi Yudha berada.

Dari Gunung Manik turun ke pesisir kuno Djaladara Madiya yang disebut Banjaransari dimana tempat latihan para prajurit Wadiya Balad bertanding.

Turangga yang digunakan adalah kuda kacang, walaupun kecil, linghas trengginas. Alas Talaga hingga Gunung Picung dan Gunung Candana hingga Gunung Padang / Gunung Bitung masih merupakan tanah huma petani Djewawut (Kunyit) jasanya Sanghiyang Rongkob yang telah hilang sama sekali akibat Prahara Ciremai di Padabeunghar. (sekarang disebutnya dusun Pendetan dan Apuy yang artinya terbakar api). 

Para cacah saking Padabeunghar nyaralametkeun diri nya ngababakan di sisi Alas Talaga Beulah kulon kidul sisieun dalan utami hing Kraton Sunda Galuh lan Kabataraan Gunung Picung (nepikeun kaayeuna ngarana tetep Blok Babakan di tengah kota Talaga lebah Kidul-Kulon)

Warga Padabeunghar menyelamatkan diri dengan membuat pemukinan baru di sisi Alas Talaga si sebelah Barat Daya, di sisi jalan utama Keraton Sunda Galuh dan Kabataraan Gunung Picung  (sampai sekarang masih disebut Blok Babakan  di tengah kota Talaga  di sebelah  Barat Daya).

3. Prabu Dharmasuci Abirawa (Mp. 1196-1269) melanjutkan Sanghiyang Talaga Manggung ketika ia berusia tujuh belas tahun setelah Sanghiyang Talaga Manggung meninggal; sebelum tinggal di Puri Agung, ia adalah Abiseka Guru Gantangan narpati (1162. 1196). Prabu Dharmasuci Abirawa, Raja Puri Kahiyangan Agung, dan tilem  (moksa) di Setu Sangiyang.

4. Dalam tahun 1209 masuknya pertanian Pa (Ketan), Kalaipa (Kalapa), Garabah Pariuk di bawa ke Talaga oleh Bhiksu Budha Mahayana disebut juga Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi, dan pedagang  China name Tan Bong Siu bekas panglima kerajaan Beng yang kalah perang oleh karajaan Chin. Sang Bihiksu di Talaga dikenal sebagai  Ki Pa-Lemban – Gunung (tukang menyemaikan padi Ketan di Gunung).

5. Dalam tahun 1268 Dharmasuci Abirawa membuat usaha melestarikan budidaya Tanaman Padi Bulu Bagolo di Setu Ci Pa-Mintar terhalang sebelah Timur Puri Kahiyangan Agung yang disebut talatah Dharmalarang dipimpin seorang ahli pertanuan bangsa Cina dari  Sriwijaya yang diberi gelar Raden Pandji  (makamnya di sisi utara dusun atau Desa Darmalarang).

Tanaman Padi Bulu Bagolo merupakan cikal bakal semua tanaman Padi (Padi Ranggeuyan/ Padi Geugeusan) utamanya yang sekarang di tanam dipahumaan (sawah darat) ditatar Sunda;  dan turunanya yang disebut Cere (Pa murag) Seperti Segon, Poslen, Delanggu, Solok dan turunan-turunannya seperti IR-12 – 21 dstnya yang ditanam dalam sawah tanah Basah. 

6. Dalam tahun 1265 Ratu Simbar Kancana, dikawinkan oleh Prabu Dharmasuci dengan Patih Palembang Gunung sinatria terah Isyana yang diberi nama Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshu tama Sambhara Bhumi (semasa mudanya disebut Satriya Indrayana sahabatnya Rakey Pikatan Danur Rayana buyutnya SMR Rakeyan Pikatan). 

Kawah candradimuka wadiya balad Wirautama Walangsudji dirobah menjadi Istana Kapatihan, Puri dan Taman tempat tinggal Ratu Simbar Kancana dibuat disebelah  di sisi barat laut keraton, tepatnya di sisi Cipamintar disebat Kaputren Cigumawang. 

Di  Sebelah Barat Daya Kaputren ada sebuah hutan tutupan yang disebut Kebon Wana yang isinya tanaman yang menghasilkan bahan sogan (wana) sepertu Kesumba (warna merah tua) , Ki Beusi (bahan tinta pena warna hitam), Cangkudu (warna coklat), Burahol (warna biru) dan  salam (warna coklat tua) yang digunakan oleh Ratu Simbar Kancana untuk menyelup hasil sentegan (tinun), Jamang (baju laki-laki), Cinde Manik  (samping), Cinde Cagak (celana) dan Ambetan (kain penutup dada - leher).

7. Dalam tahun 1269 M, terjadi pembunuhan Prabu Dharmasuci Abirawa yang dilakukan oleh Ki Centangbarang suruhan Patih Palembang Gunung. Ki Centangbarang seorang abdi dalem kesayangan yang dipercaya untuk mengurus semua pusaka dan rahasia kerajaan termasuk senjata awisan konta yang disebut Cis. Ki Centangbarang seorang anak Santana Jero yang jadi teman bermainnya Prabu Dharmasuci (Ki Abirawa) dari sejak kecil sampai dewasa, yang sama-sama mendapatkan atikan kesinatriaan dari Begawan Garasiyang (Ajar Garasiyang). 

Dan Ki Centangbarang itu, bukan nama aslinya tetapi gelar kepangkatan abdi dalem keraton sama dengan gelar Girang Serat (Bendahara Raja) di keraton Pakuan. Ki Centangbarang diberikan kekuasaan di Citando tempat berkumpulnya para bebahu dan tunggangan  Joli, Tandu, Jampana, Dongdang Agung, sampai kuda tunggang para ahli jurit pengawal Istana.

8. Setelahnya kejadian pembunuhan Prabu Dharmasuci, Palembang Gunung mengangkat dirinya menjadi penguasa keraton Walangsuji (1267 - 1295), namanya diganti menjadi  Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah Warih, dan matinya dibunuh oleh Ratu Simbar Kancana lehernya ditusuk dengan Ampel (tusuk konde) yang biasanya digunakan oleh para  putri karaton yang berupa pisau kecil sebesar jari kelingking dari besi aji panjangnya, dan gagangnya dari Rusa  ditretes manik-manik, yang sewaktu-waktu bisa jadi senjata penutup untuk menjaga kehormatan diri. 

Selama sang Andana Warih bertahta di Keprabuaan Walang Suji di Alas Talaga diterapkan aturan-aturan baru, yaitu  : Agama resmi nagari Walangsuji yaitu Budha Mahayana, rakyat tidak boleh memjual Pa (Padi Ketan / Padi Huma) ke Kota tapi mesti ke Pangagung (membuahkan sistim Pejabat Mantri Lumbung), tiap-tiap rakyat Alas Talaga diwajibakan membayar Pa-Jeg (Pajak) ke nagara berupa hasil pertanuan ditambah sacaeng Pa-rabon (Pajak Panghasilan) dari hasil lahan pertanian Sabahu tanaman Pa, mesti disetorkan sacaeng.  Wihara atawa Klenteng Agung dibangun di blok Karang Anyar sedangkan kuburan Budha / Bong disediakan  di Pasir Cicanir sampai ke Citungtung ditambah dengan pemakaman Banusan Gede di sebelah utara (Jaman Islam disebutnya Astana Gede).

9. Di Tahun 1292. Prabu Kertanagara alias Sang Kalagemet jatuh oleh panyerbuan Djayakatwang dan  dibantu oleh Radja Wurah Warih (Palembang Gunung).

10. Ratu Simbar Kancana dinobatkan menjadi penguasa Kraton Walangsuji - Alas Talaga (1297-1328, lalu dilanjutkan tahta ke 2,  1338-1379).

11. Di tahun 1328 sampai dengan 1338 M Ratu Simbar Kancana, di dadanya tersembur darah Palembang Gunung mengalami peyakit radang payudara (kanker payudarakah?), berorbat ke salah seorang Sinse yaitu Adjar Kutamanggu alias Pa-Linggih (bekas penjaga pedagang Padi Tan Bong Siu) yang maguron di Kutamanggu Karajaan Saunggalah (Kuningan). Selama sakit Ratu Simbar Kencana mengasingkan diri di Gunung Cupu Mandalayu (Desa Cageur - Cipasung - Darma Kuningan) namanya diganti menjadi Nay Lara Amis sebab bau boroknya tercium dari jauh sampai dua tumbak. Tahta Talaga diwakilkan ke Ratu Mayang Karuna, putri  angkatnya Begawan Garasiyang / Ki Abiseka Guru Gantangan, selama sepuluh tahun.

12. Dalam tahun  1338, Ratu Simbar Kancana menikah kedua kalinya ke sang Pandita Adjar Kutamanggu; yang sejatinya bernama Raden Kusumahlaya putranya Prabu Ningratkancana dari Karaton Sunda Galuh Madiya atau Kawasen Surawisesa. Sesudah menikah Ratu Simbar Kancana; dinobatkan menjadi penguasa Keradjaan Talaga (1339- 1406). Sandi Atma “Talaga Ngadaun Ngora” digelar dalam pesta rajah suya meniko.

Ratu Mayang Karuna putranya Purwayana Kancana Dewa menikah dengan Raden Munding Sari Ageung putranya Prabu Pamanah Rasa alias Prabu Jaya Dewata, putranya Prabu Ningrat Kencana, putranya Prabu Niskala Wastu Dewa dari kerajaan Pajajaran (1239 M); selanjutnya dibawa pindah ke Pajajaran dan tinggal di sisi gunung Gunung Sanggabuana sebelah selatan yang ditata seperti keadaan puri Baruhjaksi diberi nama dusun Talaga (adanya di desa Cibeureum Kacamatan Tanjungsari Bogor Timur).

13. Betara Sokawayana alias Prabu Parunggangsa, putra pertama Ratu Simbar Kencana dan Kusumahlaya, menjadi Narpati Alas Talaga (1406-1456 M).

14. Ratu Talaga Sunyalarang, putranya tunggalnya Betara Sokawayana alias Prabu Parunggangsa  dari isterinya Mayasari putranya Prabu Langlang Bhuana Saunggalah Kuningan menjadi Narpati Talaga (1456-1514 M).

15. Raden Ranggamantri putranya Raden Jaka Puspa alias Prabu Munding Sari Ageung meneruskan Ratu Sunyalarang yang ditikahinya  (1514-1534 M).

16. Raden Ranggamantri  alias Prabu Pucuk Umun putranya Prabu  Mundingsari Ageng dengan Ratu Talaga Ratu Sunyalarang diislamkan oleh uwaknya yaitu Pangeran Walangsungsang dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dalam tahun 1469 Masehi (pamekaran dakwah ajaran Islam ke raja-raja Sunda - Galuh di wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Gelar Prabu Pucuk Umun (pemingpin Hindu yang Utama) diganti memjadi  Sunan Pucuk Umum (pemimpin baru umat). Islam yang dibawa oleh Pangeran Walang Sungsang baru merupakan Islam Syahadah belum masuk kepada Islam Syariat dan  Ibadat.  Tata kehidupan di masyarakat masih menganut ajaran Hindu - Budha tetap hidup tidak dirubah.

Pada tahun 1917 diadakan rundingan oleh Para Ulama Talaga mengenai kemusyrikan-kemusyrikan yang dilakukan oleh para peziarah di Situ Sangiang, maka diputuskeun di Sangiang mesti ada makam keturunan Kerajaan Talaga Manggung, agar ritual penyembahan ke situ bisa hilang, maka pilihan diputuskan bahwa kuburan Batara Sokawayana yang berlokasi di Desa Champaga Kecamatan Talaga dialihkan makamnya ke Situ Sangiang. Sidang pertemuan dipimpin oleh para Kiyai Terbuka keturunan Sayed Ibrahim Cipager," Kata Rd. Sastradilaga - Ulama Talaga.

Tahun 1922 jasad Prabu Parunggangsa alias Batara Sokawayana alias Sunan Parung yang masih utuh, akibat pengaruh ajian ilmu Batara Karang yang dipunyai, dan jasadnya dialihkan dari Champaga ke Sangiang. Rd. Djayadipradja menjadi saksi wakil keturunan Ratu Laubarangsari, dan mertuanya Rd. Sastradilaga jadi saksi wakil keturunan Pangeran Natadilaga / Sunan Maro, dan banyak  saksi lainya yang waktu itu disaksikan juga oleh 20 orang termasuk   Rd. Acap Kartadilaga menantunya Rd. Natadiputra saksi wakil keturunan Pangeran Dipati Wiranata.

Di tahun 1921 di pinggir Situ Sangiang ada kuburan Islam ditemukan oleh tukang ngala Howe (Penjalin), ditengah-tengah kuburannya ditanami pohon Howe (Penjalin), pohon howenya tidak bisa dipotong dengan golok. Berdasarkan mimpi (wangsit) yang keterima oleh juru kuncinya makam di Sangiang Bapa Uho (1961), ketika mengantar  Esu Sutrisno bin Djoyowinangun (73 tahun) berjiarah ke Sangiang,  itu makam adalah tempat dikburkannya  jasad Raden Ranggamantri, beliau meninggal sesudah berusaha menyelam di situ Sangiang dengan pinggangnya diikat dengan tali yang panjangnya kira-kira seratus depa. 

Berdasarkan cerita Raden Djayadipradja (dongeng sepuh), Raden Ranggamantri ketika menyelam hanya bisa bergantungan satu tumbak dari pucuk pohon bambu bitung yang tumbuh di pekarangan Puri Ageng yang moksa. Sesudah naik  ke  darat beliau ngalemar (makan sirih) lalu bersuci dan  sidakep sinuku tunggal mengheningkan cipta rasa dan karsa menghadap ke situ, tidak lama kemudian kira-kira waktu tunggang gunung (antara pukul 16.00 - 17.00 sore hari), beliau meninggal dan dikuburkan di sana juga serta pohon howe yang melilit dipinggangnya yang dipake untuk menyelam, dan rupanya pohon howe tersebut sirungan (tumbuh) lagi. Ini howe dipakai oleh ahli Maenpo (silat) Ujungan, sebab sangat manjur untuk memukul musuh dan kalau howe kemasukan  roh karuhun katanya bisa berdiri. (Wallohu a’lam).
  
17. Ratu Sunya Larang dari kerajaan Parung Champaga, yang ditikah oleh Raden Ranggamantri, mempunyai anak 6 orang, yaitu :
  1. Prabu Haurkoneng (Ratu Galuh Panyocok) tanggal 3 oleh adanya  Banjir sungai Citanduy kerajaan tenggelam berubah menjadi Rawa Lakbok, (Mp. 1550-1560). Ketika Prabu Haurkoneng menjadi  Narpati di Talaga, kerjajaan Talaga menjadi vatsal Kasultanan Demak namun menjadi bagian dari wilayah Cirebon oleh  Dipati Cirebon berdasarkan perjanjian  Karaton Ciburang (1557 Masehi)
  2. Ariya Kikis alias Sunan Wanaperih (Mp. 1560-1565).
  3. Ariya Tjutjuk alias Dalem Lumaju Agung (Bupati Majaagung).
  4. Pangeran Singalodra alias Dalem Santoan Luar Singandaru (Sunan Umbul Luar).
  5. Dalem Panungtung alias Santoan Patra Djenar (Girilawungan).
  6. Dalem Panaekan alias Siriwati

18. Ariya Kikis alias Sunan Wanaperih (Mp 1560-1565), 
  1. Dalem Kulanata (Maja).
  2. Dalem Cageur (Darma Kuningan).
  3. Pangeran Apun Surawijaya (Sunan Lemah Abang).
  4. Ratu Aradeya ditikah oleh Ariya Saringsingan (Lurah Prajurit pilih tanding cucunya Mantri Citrasingha meninggal di Banjaran Girang). 
  5. Ratu Putri Cipager ditikah oleh Sayid Ibrahim bin Syekh Muhyi Pamijahan Tasikmalaya.
  6. Dalem Wangsa Goparana Padaherang Cianjur, yang kemudian hijrah ke Sagala Herang kabupaten Subang, menurunkan para Bupati Cianjur dan Wanayasa.


RAJA-RAJA TALAGA MAJALENGKA
1. RAJA TALAGA KE I : BATARA GUNUNG BITUNG
 


Nama  : Rhakean  çuddhayocha (Sudhayasa)
Gelar   : Batara Gunung Bitung 
Masa Pemerintahan  : Abad Ke 13 Masehi. Memerintah Selama 2 windu (16 tahun)

Nama Istri   : Tidak diketahui
Nama Ayah  : Rahyang Surya Dewata
Nama Ibu     : Dewi Ajar Sukaresi
Anak             :
1. Sunan Cungkilak
2. Sunan Benda
3. Sunan Gombang
4. Ratu Ponggang Sang Romhiyang
5. Darma Suci I
6. Mayang Karuna

Rujukan :
Kitab Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara (parwa III sargah 2 ), Karya Pangeran Wangsakerta Cirebon ,yang dibuat Tahun. 1677 M
..........// sang prabhu a-jighuna linggawiçesa gumantyaken dumadi raja lawasnya pitung warça / ing saharsa limangatus limang puluh lima tika ning saharsa rwangatus nemang puluh rwa / ikang çakakala // ing pasanggaman ira sang prabhu ajiguna linggawiçesa lawan ratu umma lestari maputra pirang siki jalu lawan stri // rwang siki pantaranya ya ta sang panuha ya ta sang prabhu ragamulya luhur prabhawa / atawa sang aki kolot ngaran ira waneh // putra dwitiya ya ta ratu samanta i mandala ghaluh yatiku raden suryadewata / atawa sang mokteng wanaraja i bhumi ghaluh ngaran ira waneh // ya ta pejah ri kala  maburu satwa haneng i tengah wana // satulunya putra prathama ya ta prabhu raga gumantyaken rama nira dumadi mamrati i bhumi jawa kulwan salawas ira sapuluh warça / ing saharsa rwangatus nemang puluh rwa tka ning sa harsa rwangatus pitung puluh rwa / ikang çakakala // satuluyna prabhu ragamulya luhur prabawa mmaputra pirang siki rwang siki pantaranya yatiku prabhu maharaja linggabhuana / atawa sang mokteng bubat aranira waneh // dwitiya sang patih mangkubhumi çuradhipati / athawa bunisora / athawa sang mokteng ghegheromas ngaran ira waneh  // i sedeng mangene putra ning raden suryadewata hana pirang siki / salah tunggal pantaranya raden çuddhayoca / athawa bhatara gunung bitung ngaran ira waneh // raden çuddhayoca naher dumadi f dang upasakagóng budhayana sarawastiwada i ghunung bitung // hana pwa putra sang bhatara ghunung bitung raden darmasuci ngaran irakweh pariwara mwang sisya nira // matangyan sira madeg rajaguru budhayana sarwastiwada i mandala talaga sapinasuk galuh pandeça // ri hawusnya prabhu darmasuci pejah ginantyaken dening swaputra nira madeg raja talaga yatiku prabhu talagamanggung ngaran ira // ....


Terjemahan teks yang berwarna merah (kurang lebih) mengisahkan :
Putra raden surya dewata ada beberapa orang, salah satu diantaranya raden sudhayoca (sudhayasa) atau bathara ghunung bitung di sebutnya// raden sudhayasa menjadi pengamal agung budhayana sarwastiwada di ghunung bitung // salah satu putra   barthara ghunung bitung adalah raden darmasuci setelah dia berhenti menjadi raja guru budhayana sarwastiwada di negri talaga // setelah darmasuci meninggal maka yang menggantikannya adalah Prabhu  Talagamanggung. (Penterjemah . H Asep Deni H.A 05/03/17)

Silsilah Rhakean  Sudhayasa
Prabu Citraganda memerintah di Kerajaan Sunda (termasuk Galuh dan Galunggung) sampai tahun 1311 Masehi. Pengganti Prabu Citraganda, puteranya, Prabu Linggadewata. la memegang kekuasaan di Kerajaan Sunda , sampai tahun 1333 Masehi.

Sebagai pengganti Prabu Citraganda,  adik iparnya, Prabu Ajiguna Linggawisesa. Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda : Ratna Uma lestari.

Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu AjigunaLinggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1. Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot;
2. Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3. Suryadewata, (Sang Mokteng Wanaraja)

Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat tahun 1340 Masehi. Kemudian digantikan olehputeranya, Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang memerintah di Kerajaan Sundasampai tahun 1350 Masehi

Sementara, putera ke tiga dari pasangan Prabhu Ajighuna linggawisesa dan Dewi Ummu Lesthari, yang bernama Rd Surya Dewata menikah dengan Dewi Ajar Sukaresi, putri cantik yang masih keturunan Raja pajajaran. sementara Suryadewata sendiri lebih memilih menjadi pertapa dan sebagai penasehat kerajaan. Dari pernikahan itulah mempunyai anak yang bernama Rhakean (çuddhayoccha) / Sudhayasa atau Batara Ghunung Bitung, yang merupakan pendiri Kerajaan Talaga.


Berdirinya Kerajaan Talaga

Kerajaan bercorak  “budha sunda” hal itu di buktikan dengan adanya beberapa peninggalan berupa patung patung budha yang masih tersimpan di museum talagamanggung.

Talaga berdiri pada tahun 1400-an  Masehi. Yang didirikan oleh Rd. Sudhayasa di Ghunung Bitung , sebuah perbukitan desa wangkelang kemantren Cingambul  Kecamatan Cikijing. Dari nama itulah Rhakean Sudhayasa dijuluki sebagai Bathara Ghunung Bitung. Yang artinya “Bathara (orang pintar) dari Gunung Bitung.”

Pada awalnya, Rhakean Sudhayasa termasuk orang yang tidak betah tinggal di keraton. Beliau memutuskan untuk pergi ke Gunung Bitung dan  menjadi pertapa disana, sambil  mengamalkan ajaran “budhayana sarwastiwada”.

Selang beberapa bulan sejak beliau bermukim di Gunung Bitung, masyarakat mulai mengetahui bahwa di Gunung Bitung ada seorang Resi Mumpuni, sehingga mereka tertarik untuk berguru pada beliau.

Berita itu tersebar kemana mana, sehingga tak hanya masyarakat sekitar Gunung Bitung saja yang ingin berguru pada beliau, tetapi dari dareah lain pun berdatangan, sehingga dibuatlah “Padepokan” (tempat berguru) dengan nama "Mandala Gunung Bitung". Dari situlah Sang Bhatara Ghunung Bitung memperoleh gelar Dang Upacaka Agung Budhayana Sarwastiwada. Atau kurang lebih berarti “Sang Pengamal Agung Ajaran Budha Sarwastiwada.”

Pada kesehariannya Raden Sudhayasa tak hanya mumpuni dalam mengamalkan ajarannya, tapi piawai juga dalam kepemimpinan dan ilmu  ketata negaraan. hingga para pengikutnyapun mengangkat beliau menjadi pemimpin dalam hal ber masyarakat. Dan mengangkat beliau menjadi seorang raja  dengan gelar  Raja Guru Bathara Ghunung Bitung.

Setelah beliau menikah beliau makin mengmbangkan ajarannya. Dan kepemimpinannya pun  sangat dirasakan adil pramapta oleh pengikutnya. Karena semakin hari semakin banyak pengikutnya , beliau memindahkan padepokannya ke sebuah daerah dekat danau yang bernama Situ Sanghiyang (sekarang terletak di Kec Banjaran Kab Majalengka). Yang kemudian diberi nama Wewengkon “Talaga” (daerah dekat danau).

Disitulah beliau membangun  padepokan sekaligus tempat untuk mengatur tata pemerintahan yang dibantu oleh para putra putrinya.

Tampuk pemerintahan Batara Ghunung Bitung berlangsung 2 windu (16 tahun). dan diawal berdirinya Kerajaan Talaga, Talaga merupakan negara yang berdaulat, atau bukan negara bagian dari negara manapun, sementara dukungan dan bantuan dari Kerajaan Galuh dan Cirebon terus mengalir sebagai negara sahabat dan karna adanya ikatan saudara antara Kerajaan Galuh dan pendiri Kerajaan Talaga.

Kerajaan Talaga meliputi wilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Talaga (dan Banjaran), Cikijing (termasuk Cingambul), Bantarujeg, Lemahsugih, Maja (termasuk Argapura) dan bagian selatan Majalengka (Cigasong dan Girilawungan).

Pemerintahan Batara Gunung Bitung sangat baik. Agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama budha sunda.  Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km, tepatnya jalur jalan Talaga – Salawangi di daerah Cakrabuana. Pembangunan lainnya berupa perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi semua saluran pengairan di daerah Cikijing.

Raja berputera 6 orang yaitu : (1) Sunan Cungkilak, (2) Sunan Benda, (3) Sunan Gombang, (4) Ratu Panggongsong Ramahiyang (ada yang menulis Pagongsong Romahiyang), (5) Prabu Darma Suci I, dan (6) Ratu Mayang Karuna.

Setelah meletakkan jabatan, pemerintahan Kerajaan Talaga selanjtunya dilanjutkan oleh Prabu Drama Suci I. Dan Batara Gunung Bitung kembali bertapa di gunung bitung daerah pertama yang beliau tinggal di wilayah Talaga. 


2. RAJA TALAGA KE II : PRABU DARMA SUCI I 


Nama  : Tidak diketahui
Gelar : Prabu Darma Suci I
Masa Pemerintahan : Abad Ke 13 Masehi, hingga wafat di awal abad ke 14 (Wawacan Nusantara)
Nama Istri   : Tidak diketahui
Nama Ayah  : Batara Gunung Bitung
Nama Ibu     : Tidak Diketahui
Anak             :                                   
1. Begawan Garasiang
2. Prabu Talagamanggung

Catatan :
Prabu Darmasuci I disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam masa pemerintahannya (abad XIII) agama budha  berkembang dengan pesat. Nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Apakah kunjungan tamu-tamu tersebut merupakan hubungan kekeluargaan saja, ataukah ada hubungan perdagangan atau politik, tidak banyak diketahui.


Peradaban Seni dan Budaya di Talaga
Prabu Darmasuci I juga yang pertama mengikrarkan Kerajaan Talaga yang berdaulat dan menetapkan Keraton Talaga berada di dekat Situ Sangiang sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Talaga. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan patung prunggu “Amulet” (lambang negara) kerajaan talaga yang bernama Guriyang Buntutan (Guru Hiyang dari Talaga) yang berbentuk “Singha Mitologi” dengan kaki depan bagian kiri mengangkat. Dan adanya benda peninggalan berupa Batu Pentasbih (Batu Palungguhan) tempat penobatan Raja dan Putra Mahkta Kerajaan Talaga yang masih tersimpan di halaman Museum Talagamanggung

Dan beberapa Peninggalan lainnya  yang masih ada dari Kerajaan Talaga masa pemerintahan Prabu Darmasuci I ini antara lain benda-benda perunggu, gong, dan harnas atau baju besi. Pada awal abad ke 14 Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera, yaitu
(1) Bagawan Garasiang, dan (2) Prabu Talaga Manggung.

 
3. RAJA TALAGA KE III :  PRABU TALAGA MANGGUNG

Nama : Rd. Talagamanggung
Gelar : Prabu Darma Suci II
Masa Pemerintahan : Abad Ke 14 M
Nama Istri : Nay Ambet Kasih (tapi beberapa literature mengatakan nama istri Darma Suci II tidak diketahui)

Nama Ayah  : Darma Suci I
Nama Ibu   : Tidak Diketahui
Anak       :    
1. Rd Panglurah
2. Nyimas Dewi Simbarkancana

Di Arcakan Sebagai : Arca budha yang bersikap dhayana mudra (kedua tangan terletak dipangkuan dengan kedua telapaknya meghadap ke atas), bergaya siam, dengan ciri ciri, mengenakan mahkota dikepalanya, berwajah syaumnya (tenang)
Sumber Rujukan   : Wawacan Talaga, Wikipedia, Wawacan Nusantara,

Catatan :

Ketika memerintah, Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bertempat di Talaga. Keratonnya sendir terletak di Sangiang. Pada masa pemerintahannya, Talaga mengalami kemajuan yang pesat. Secara sosial-ekonomi masyarakatnya semakian mapan. Oleh karena itu, banyak orang dari negara dan daerah lain kemudian menetap di Talaga.

Prabu Talagamanggung mepunyai dua orang anak yaitu :
1. Raden Panglurah
Sejak kecil Raden Pangkurah rajin melatih diri di Gunung Bitung. Sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Majalengka. Ia bertapa di bekas pertapaan uyut beliau, Bathara Ghunung Bitung. Raden Panglurah adalah seorang sosok putra raja yang meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan spiritual.

2. Dewi Simbarkancana
Karna kecantikannya Simbarkancana yang luar biasa, selain paras yang cantik beliau juga sering mempelajari ilmu beladiri dan ilmu  ketata negaraan dari ayahnya. Banyak sekali para pangeran negara tetangga dan para petinggi negri Talaga yang menaruh hati padanya.


Dan demi menjaga hal hal yang tidak diinginkan, maka  Prabhu Talagamanggung memutuskan untuk mengadakan syaembara adu ketangkasan bela diri memanah dan berburu, bagi para pria yang berharap menjadi suami Dewi Simbarkancana.

Singkat cerita syaembara dimenangkan oleh seorang bangsawan asal Cirebon yang bernama Sakyawira yang diberi gelar Palembangghunung.

Catatan : ada 2 versi tentang Sakyawira
1. Ada yang menyatakan bahwa Sakyawira berasal dari Negri Palembang sehingga bergelar Palembangghunung.
2. Ada yang menyatakan bahwa Sakyawira berasal dari Cirebon, dan karna keahliannya dalam mengelola pertanian di Pegunungan wilayah Talaga, maka raja memberi gelar Palembangghunung {pa-lemban-gunung - ahli mengelola pertanian padi di pegunungan}

Karna keahlian dalam mengatur strategi kenegaraan dan mahir dalam mengelola pertanian di Kerajaan Talaga, Palembangghunung diangkat sebagai Mahapatih Agung Kerajaan Talaga, setelah resmi menikah dengan Dewi Simbarkancana.

Tragedi berdarah di Talaga

Akan tetapi rupanya posisi jabatan itu tidak membuat puas hati Palembanggunung. Yang bersikeras ingin mendapatkan posisi jabatan puncak di Kerajaan Talaga yaitu menjadi Raja, maka Palembangunung mulai mengatur strategi membuat gerakan rahasiah bersama beberapa prajurit setia Prabu Talagamanggung yang berhasil dia bujuk sehingga berbolot padanya. Diantaranya Citrasinga seorang petinggi Kerajaan dalam hal ini bertindak  sebagai mediator yang menyampaikan strategi palembang gunung pada eksekutor. dan Centangbarang, merupakan penjaga  gudang senjata di lingkungan  keraton kerajaan Talaga yang dalam hal ini bertindak sebagai pelaku pembunuhan (eksekutor) prabu Talagamanggung.

Akhirnya strategi Palembanggunung berhasil dilaksanakan dan prabu Talagamanggung tebunuh terkena sabetan senjata “cis” semacam  tombak kecil atau tombak bergagang pendek yang merupakan “pusaka” Kerajaan Talaga kala itu. Jenazah Prabu Talagamanggung diurus sesuai ajaran budha Kahiyangan. Abu jenazahnya dilarungkan di Situ Sangiang.

Kekosongan kepemimpinan di Negri Talaga, dimanfaatkan oleh Palembanggunung untuk menggantikan posisi raja di kerajaan Talaga.

Suasana berdukapun menyelimuti kerajaan talaga, dan akibat rasa trauma yang mendalam dikalangan keluarga keraton,  akhirnya Dewi Simbarkancana tidak mau tinggal di Keraton sagiang dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Talaga dari Keraton Sangiang ke Walang Suji (Desa Kagok Kecamatan Banjaran Kab Majalengka sekarang). Dan akhirnya Keraton Sangiang di musnahkan sementara puing puing bekas Keraton Dihanyutkan ke danau Situ Sangiang bersama abu jenazah Prabhu Talagamanggung

 
RAJA TALAGA KE IV : RATU SIMBAR KANCANA
A. Rd Panglurah
Sebelum melanjutkan ke Raja (Ratu Talaga ke IV)  alangkah baiknya kita mengenal dulu satu tokoh yang sangat berpengaruh di Talaga yaitu Raden Panglurah.
Semenjak tragedi berdarah yang menimpa ayahanda beliau Prabu Talagamanggung, beliau mendatangi adik tercinta Nyimas Dewi Simbarkancana. Kesedihan tak bisa tergambarkan menyelimuti ke dua putra-putri raja Talaga ini.


Menurut peraturan kerajaan kala itu, bahwa sepenninggal Raja, maka takhta Kerajaan harus diteruskan oleh Rd. Panglurah sebagai anak tertua sekaligus Putra Mahkota, namun karena beliau adalah sosok Putra Raja yang tidak gila harta dan jabatan, maka beliau berniat meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan spiritual keagamaan (Minandhita). maka dengan sangat senang hati, tampuk kepemimpinan  Kerajaan Talaga di berikan pada adik tercinta yaitu Nyimas Dewi Simbarkancana yang beliau anggap mempunyai   jiwa kepemimpinan yang sangat baik dan dipercaya bisa melanjutkan tatanan pemerintahan di Talaga.

 
B. Nyimas Dewi Simbarkancana

Nama : Simbar Kancana
Gelar : Ratu Nyimas Dewi Simbarkancana
Masa Pemerintahan : Abad Ke 15
Nama Suami   :
Pertama   : Palembang Gunung
Kedua       : Rd Kusumalaya (Ajar Kutamangu)
Nama Ayah : Prabu Talagamanggung
Nama Ibu  :
Anak      :
- Dari Palembang Gunung (tidak memiliki keturunan)
- Dari Rd Kusumalaya (Ajar Kutamangu)
1. Sunan Parung
2. Sunan Cihaur
3. Sunan Bungbulang
4. Sunan Cengal
5. Sunan Jerokaso
6. Sunan Kuntul Putih
7. Sunan Ciburang
8. Sunan Tegal Cau

Diarcakan : sebagai  arca budha yang bersikap Abhaya mudra (tangan kiri lurus ke samping badan, dan telapak tangan kanan menghadap ke depan), bergaya siam, dengan ciri ciri, mengenakan mahkota dikepalanya, berwajah syaumnya (tenang)
 .

Setelah Wafatnya Prabu Talagamanggung maka kekosongan kepemimpinan dimanfaatkan oleh Patih Palembanggunung untuk berkuasa dengan semena mena, sehingga kondisi Kerajaan Talaga mengalami keterpurukan dari segi kamanan, ekonomi sosial dan budaya

Berita terbunuhnya Prabu Talagamanggung menjadi berita duka bagi rakyat Talaga dan beritanya pun sampai ke negara negara tetangga  termasuk ke Negri Galuh.

Karena Negri Galuh ada ikatan saudara dengan pendiri Talaga dan keturunanya, akhirnya raja Negri Galuh yang dipimpin oleh Rd. Ningrat Kancana yang bergelar Prabhu Dewa Niskala  memberikan bantuan dengan mengirim team terlatih  untuk mengungkap kasus terbunuhnya Prabu Talagamanggung, yang dipimpin oleh anaknya sendiri  Raden Kusumalaya yang merupakan  seoang ahli strategi perang, seorang ahli pengobatan  dan mempunyai dasar dasar keagamaan yang kuat sehingga beliau mempunyai gelar Ajar Kutamanggu

Mulanya Dewi Simbarkancana,  tidak mengetahui bahwa kematian ayahnya didalangi suaminya. tapi setelah diselidiki, terungkap oleh Ajar Kutamangu  dan terbukti bahwa dalang dibalik itu adalah suaminya sendiri yang gila akan kekuasaan. maka Dewi Simbarkancana sangat marah , dendam dan  terpukul, karena merasa dikhianati oleh suami sendiri.

Akhirnya, hanya selang Kurang lebih 2 bulan sejak kematian Ayahanda tercinta, Dewi Simbarkancana membalaskan dendamnya, membunuh Palembanggunung dengan menggunakan “Patrem”  (Tusuk Konde) nya. Setelah sebelumnya mengalami perkelahian terlebih dulu.

Setelah Palembanggunung meninggal, atas persetujuan dari Rd. Panglurah sebagai Putra Mahkota Nyimas Dewi Simbarkancana dinobatkan sebagai Ratu pemimpin Kerajaan Talaga. 
Ratu Simbar Kancana Tokoh Emansipasi Wanita Di Tatar Talaga.

Kendati seorang putri, beliau memiliki sifat-sifat kepemimpinan sang Ayah. Sejak saat itulah emansipasi wanita mulai lahir di tatar Talaga. Dan Raden Dewi Simbarkancana pun menjadi Tokoh Wanita Pertama yang menjadi Ratu sebagai Pemimpin Pemerintahan Kerajaan di Talaga.

Beliau pun menikah kembali dengan  Raden Kusumalaya atau Raden Palinggih yang bergelar Ajar Kutamangu  dari Galuh, Putra kandung  Prabu Ningratkancana dan Ratu Nay Ratna Mayangsari .

Beliau berhasil mengungkap dan  menumpas habis komplotan bawah tanah Palembanggunung. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban, perekonomian, sosial dan budaya negara kembali menjadi stabil dan berkembang pesat.

Pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya (Ajar Kutamangu) melahirkan delapan orang putra,  yaitu :
  1. Sunan Parung
  2. Sunan Cihaur
  3. Sunan Bungbulang
  4. Sunan Cengal
  5. Sunan Jerokaso
  6. Sunan Kuntul Putih
  7. Sunan Ciburang
  8. Sunan Tegal Cau
 
5. RAJA TALAGA KE V : SUNAN PARUNG 
Nama  : Batara Sukawayana
Gelar : Sunan Parung
Masa Pemerinthan : 1450 – 1500 Masehi
Nama Istri :
Nama Ayah  : Rd. Kusumalaya (Ajar Kutamangu)
Nama Ibu   : Ratu Nyimas Dewi Simbarkancana
Anak            :
1. Nyimas Dewi Sunyalarang

Sumber Rujukan : 

- Wawacan Talaga, Wikipedia, Wawacan Nusantara, 
- tatangmanguny.wordpress.com, Situs makam Keramat Sunana Parung

Catatan :

Pencetus ke Tataprajaan di Talaga
Masa pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya pembagian wilayah yang disebut “kadaleman,” masing-masing “kadaleman” dikepalai oleh seorang Dalem. Kadaleman dimaksud antara lain Kadaleman Kulur, Girilawungan, dan Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.

Pada era Raja Sunan Parung, peradaban Islam sudah masuk ke Talaga, bahkan beberapa sumber mengatakan, Ratu Nyimas Simbarkancana, pada akhir hayatnya sudah memeluk agama Islam.


RAJA (RATU) TALAGA KE VI : RATU PARUNG DAN RANGGA MANTRI
Nama : Dewi Sunyalarang
Gelar  : Ratu Parung
Masa Pemerintah : 1500 - 1550 Masehi
Nama Suami : Rd. Ranggamangtri / Prabu Rangga Mantri / Pucuk Umun Raja Galuh Majalengka
Nama Ayah  : Sunan Parung
Nama Ibu     : Tidak diketahui
Anak             :
1. Prabu Haur Kuning
2. Arya Kikis
3. Dalem Lohmaja Ageng
4. Sunana Umbuluas Santoan Singandaru
5. Dalem Panungtung (Girilawungan)
6. Dalem Panaekan

Sumber Rujukan  : 
- Wawacan Talaga, Wikipedia, Wawacan Nusantara,  
- tatangmanguny.wordpress.com, Situs Makam Keramat Sunan Parung

Catatan :
Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya putrinya, Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.

Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putra Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Bagawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi (Sri Baduga Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung. Pusat pemerintahan di Walangsuji hanya bertahan selama tujuh tahun tiga bulan. Dewi Sunyalarang memandang bahwa Walangsuji kurang strategis untuk terus dijadikan pusat pemerintahan.

Perkembangan Agama Islam di Talaga
Pada 1529 Ratu Parung dan suaminya, Raden Ragamantri. mengucapkan syahadat. Mereka masuk agama Islam melalui Sunan Gunung Jati yang dibantu para mubalig Cirebon. Sunan Gunung Jati(Syarif Hidayatullah) lalu memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga.
Hasil pernikahan Ratu Parung (Dewi Sunyalarang) dengan Raden Ragamantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung. Akan tetapi, demi keamanan dan pengikisan oleh air, makamnya dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray desa Talagawetan. oleh Raden Acap Kartadilaga pada 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang. Kuburannya terletak di luar bangunan utama tempat penziarahan, persisnya di bawah pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan. (sumber : wawacan nusantara)



RAJA TALAGA KE VII : ARYA KIKIS 
Nama : Arya Kikis
Gelah : Sunan Wanaperih
Masa Pemerintahan : 1550 - 1590 Masehi
Nama Istri  : tidak diketahui
Nama Ayah   : Rd Ranggamantri (Pucuk Umun)
Nama Ibu    : Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
Anak  :
1. Delem Kulanata
2. Dalem Cageur
3. Rd Apun Surawijaya
4. Nyi Ratu Radea
5. Nyi Ratu Putri
6. Dalem Wangsagoprana

Sumber Rujukan  : 

Wawacan Talaga, Wikipedia, Wawacan Nusantara, tatangmanguny.wordpress.com,

Catatan :
a. Perang Talaga Melawan Demak pada Masa Pemerintahan Arya Kikis
Sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putra kedua Ratu Parung pada 1550 M. Arya Kikis adalah seorang narpati dan pendakwah Islam yang handal. Ia mewarisi ilmu-ilmu kanuragan dan keislaman dari Sunan Gunung Jati. Salah satu cucunya adalah penguasa Cianjur, yakni Raden Aria Wiratanudatar (Dalem Cikundul).

Diawali dangan ikut campur Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan di sisi lain kondisi rakyat Talaga begitu memerlukan perhatian pemerintah, akhirnya permintaan Cirebon-Demak untuk menarik upeti dari Talaga diabaikan. Merasa tak dihiraukan, koalisi pasukan Cirebon-Demak tiba-tiba menyerang Talaga. Terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan Cirebon dan Demak.

Di medan jurit, walau prajurit-prajurit Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibandingkan jumlah serta kekuatan Cirebon-Demak, namun pasukan Talaga dengan penuh semangat terus mengadakan perlawanan. Akhirnya semua pasukan Cirebon-Demak dapat diusir ke luar dari wilayah Talaga.


b. Kesepakatan Keraton Ciburang
Usai Perang Talaga ini, Kanjeng Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah memerlukan untuk datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga. Kedatangannya malah disambut dengan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat Talaga serta Galuh Singacala.

Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh raja-raja Galuh beberapa waktu sebelumnya, Kanjeng Sinuhun Cirebon berucap: bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah, tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadi Perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.

Kemudian Syarif Hidayatullah mengizinkan Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya, yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami Islam. Sementara itu Kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri; ada pun kepemimpinannya diayomi oleh Sunan Gunung Jati.

Ada pun Sunan Wanaperih memunyai enam orang anak, empat orang putra dan dua orang putri. (sumber : wawacan nusantara)


RAJA TALAGA KE VIII : RD. APUN SURAWIJAYA
Nama : Rd Apun Surawijaya
Gelar : Sunan Kidul
Masa Pemerintahan : 1590 - 1635 Masehi
Nama Istri : tidak diketahui
Nama Ayah  : Arya Kikis
Nama Ibu : Tidak diketahui
Anak     :
1. Dalem Salawangi
2. Sunan Cibalagung (cianjur)
3. Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy)
4. Dalem Tahu (Ciparanje)
 

Sumber Rujukan : 
- Wawacan Talaga, Wikipedia, 
- Wawacan Nusantara, tatangmanguny.wordpress.com,

Catatan :
Ketika masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya, Sang Narpati Talaga tetap setia dan patuh pada “Kesepakatan Ciburang” yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan satu nenek moyang merekatkan tali persaudaraan dan kekeluargaan kedua kerajaan tersebut.


Sebagai seorang penguasa, Raden Apun Surawijaya berhasil meningkatkan kesejahteraan para petani. Pada masanya berbagai bendungan irigasi dibangun.


RAJA TALAGA KE IX : ARYA ADIPATI SURAWIJAYA
Nama  : Rd Arya Adipati Surawijaya
Gelar : Sunan Ciburuy
Masa Pemerintah : 1635 - 1675 Masehi
Nama Istri  : Ratu Kartaningrat (dari Kasepuhan Cirebon)
Nama Ayah   : Arya Kikis
Nama Ibu : Tidak diketahui
Anak :
1. Pangeran Adipati Suwarga
2. Pangeran Jayawirya
3. Pangeran Kusumayudha
4. Sunan Ciparanje (Subang)
5. Anonym
6. Dewi Tilanagara

Sumber Rujukan : 

- Wawacan Talaga, Wikipedia, 
- Wawacan Nusantara, tatangmanguny.wordpress.com.

Catatan :
Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan,(?) ataukah Arya Saringsingan (?) seorang senapati yang gagah dan berani.


Pada era Raden Arya Surawijaya, tatanan perekonomian di kerajaan talaga sangatlah berkembang dengan pesat, , hingga talaga menjadi jalan perdagangan Negara Negara di pulau Jawa maupun dari Eropa dan tanah China, terbukti dengan adanya peninggalan peninggalan kramik China, mata uang logam dan kain batik jawaan yang masih tersimpan di muaseum selain itu di talaga juga terdapat kuburan kuburan pedagang cina yang bermukim di talaga. 


Di bidang pertanian juga tak kalah pesatnya, terutama tanaman padi dan palawija, hingga kini beberapa bidang pesawahan kuno masih terpelihara di daerah Cikiray Talaga dan Komplek Sawahlega Cikijing.


RAJA TALAGA KE X : ADIPATI RADEN SUWARGA
Nama : Rd Adipati Suwarga
Gelar : Sunan Suwarga
Masa Pemerintah : 1675 - 1715 Masehi
Nama Istri :
1. Ratu Losari Cirebon
2. Nyimas Jitra (Nunuk)
Nama Ayah : Rd Arya Adipati Surawijaya
Nama Ibu : Ratu Kartaningrat
Anak :
1. Arya Saca Dilaga (dari Ratu Losari Cirebon)
2. Adipati Wiranata (dari Nyimas Jitra Nunuk)

Sumber Rujukan : 

- Wawacan Talaga, Wikipedia, 
- Wawacan Nusantara, tatangmanguny.wordpress.com.

Catatan :
a. Talaga Menjadi Dua Kerajaan
Sepeninggal Rd Adipati Suwarga, Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M. muncul protes dari putra Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Natadilaga merasa berhak untuk menjadi narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni :
1. Kesultanan Talagakidul, dipimpin oleh Adipati Wiranata;
2. Kesultanan Talagakaler, dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.

Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin kabupatian yang meliputi :
- Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putra ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
- Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, cucu Pangeran Arya Natadilaga;
- Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putra ke-4 Pangeran Adipati Wiranata;
- Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, cucu Pangeran Adipati Jayawiriya.

Keempat bupati dari empat kabupatian Talaga itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa bersama-sama mengurus Talaga.

b. Penggabungan Kabupatian Talaga dengan Kabupatian Sindangkasih
Pada awal bada ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda, tepatnya pada 1806, menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian (kabupaten) dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni 1818 Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang dikenal sekarang.


Sesuai dengan rencana Hindia Belanda, pengggabungan dua kabupaten itu mengharuskan bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah selebar lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga.

c. Pengubahan Status Bupati Talaga Menjadi Sesepuh Talaga
Karena sejak pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun (leluhur) Talaga. Disepakatilah bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang memunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika memunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.


Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga :
1. Pangeran Sumanagara (1820-1840), putra sulung Pangeran Arya Sacanata II;
2. Nyi Raden Anggrek (1840-1865), putri Pangeran Sumanagara;
3. Raden Natakusumah (1865-1895), putra Nyi Raden Anggrek;
4. Raden Natadiputra (1895-1925), putra Raden Natakusumah;
5. Nyi Raden Masri’ah (1925-1948), putri Raden Natadiputra;
6. Raden Acap Kartadilaga (1948-1970), suami Nyi Raden Masri’ah;
7. Nyi Raden Madinah (1970-1993), putri Daden Acap Kartadilaga;
8. Nyi Raden Padnalarag (1993-2014), putri Nyi Raden Madinah
9. Raden Apun Tjahya Hendraningrat (2014-sekarang) putra Nyi Raden Padnalarang
___________
Sumber:
Wawancara langsung dengan Rd Apun Tjahya Hendraningrat, Ketua Yayasan Talagamanggung
http://altekcomputermbojo.blogspot.com/2008/12/sejarah-kerajaan-talaga-pasca-masuknya.html
http://khairulummah.multiply.com/journal/item/1/Sejarah_Ringkas_Talaga_Manggung
http://kiwaras.blogspot.com/2008/01/sejerah-talaga.html


RANGKUMAN “TITI MANGSA” DARI KERAJAAN TALAGA HINGGA MENJADI KABUPATEN MAJALENGKA 
Majalengka adalah nama yang digunakan untuk sebuah  Kabupaten yang terletak di Jawa Barat. Sebagai Kota Kabupaten sudah tentu  daerah ini mempunyai sejarah serta asal-usulnya sendiri

Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha abad ke-13, di wilayah Kabupaten Majalengka terdapat sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Talaga, Masa kejayaan Keruajaan talaga yaitu, ketika di pimpin oleh seorang Raja yang bernama Prabhu Darmasuci II atau yang terkenal dengan sebutan Prabhu Talagamanggung,  karna itulah Keajaan talaga hingga kini sering disebut sebagai Kerajaan Talagamanggung.

Kerajaan Talaga di dirikan oleh seorang Raja Resi keturunan Galuh pakuan yang bernama Rhakeyan Sudhayasa atau bergelar Bathara Gunung Bitung. 

Terdapat banyak cerita rakyat tentang  kerajaan tersebut yang sampai dengan saat ini masih hidup di kalangan masyarakat Majalengka. Selain cerita rakyat yang masih diyakini juga terdapat situs, makam-makam dan benda-benda purbakala, yang kesemuanya itu selain menjadi kekayaan daerah juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah.
1.  Rhakean çuddhayocha (Sudhayasa) Batara Gunung Bitung (1350 – 1366)
2.  Prabu Darma Suci  I (1366 – 1386)
3.  Rd. Talagamanggung /
Prabu Darma Suci II (1386- 1410)
4.  Ratu Nyimas Dewi Simbarkancana (1410 – 1450)
5.  Batara Sukawayana / Sunan Parung  (1450 – 1500)
6.  Ratu Parung & Rd. Rangga Mantri (1500 – 1550)
7.  Arya Kikis (1550 – 1590)
8.  Rd Apun Surawijaya  / Sunan Kidul (1590 – 1635)
9.  Rd Arya Adipati Surawijaya / Sunan Ciburuy (1635 – 1675)
10. Rd Adipati Suwarga / Sunan Suwarga (1675 – 1715)
---------------------------------------
11. th 1716 Talaga di bagi dua wilayah dengan dipimpin oleh :
 i. Kesultanan Talagakidul, dipimpin oleh Adipati Wiranata;
ii. Kesultanan Talagakaler, dipimpin oleh Pangeran Natadilaga
12. pada tahun 1756 disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin kabupatian yang meliputi:
i. Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putra ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
ii. Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, cucu Pangeran Arya Natadilaga;
iii. Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putra ke-4 Pangeran Adipati Wiranata;
iv. Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, cucu Pangeran Adipati Jayawiriya
Para pemimpin ini kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Papat
13. Tahun 1806 pemerintahan kolonial belanda mengharuskan. empat kabupatian talaga mnjadi satu wilayah kabupaten yang dimpin oleh arya sacanata. Yang kemudian hari disebut sebagai Bupati Panuntung.
14. Tahun 1819 Berdasarkan Besluit Komisaris Jenderal Hindia Belanda Nomor 23 Tahun 1819 Tanggal 5 Januari 1819 tentang Pendirian Kabupaten Maja.
Regenschaft Maja bukan gabungan Talaga dengan Sindangkasih saja, tapi termasuk Rajagaluh, Palimanan, dengan Kedongdong. Ada tulisan yang menyebut Kabupaten Talaga dengan Kabupaten Maja agung, kala itu belanda mengharuskan gabung (regrouping) menjadi kabupaten Maja (1819-1840).
15. Tahun 1920 pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun (leluhur) Talaga. Disepakatilah bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang memunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II.

Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga :
---------------------------------------------------------------
1. Pangeran Sumanagara (1820-1840), putra sulung Pangeran Arya Sacanata II;
2. Nyi Raden Anggrek (1840-1865), putri Pangeran Sumanagara;
3. Raden Natakusumah (1865-1895), putra Nyi Raden Anggrek;
4. Raden Natadiputra (1895-1925), putra Raden Natakusumah;
5. Nyi Raden Masri’ah (1925-1948), putri Raden Natadiputra;
6. Raden Acap Kartadilaga (1948-1970), suami Nyi Raden Masri’ah;
7. Nyi Raden Madinah (1970-1993), putri Raden Acap Kartadilaga;
8. Nyi Raden Padnalarag (1993-2014), putri Nyi Raden Madinah
9. Raden Apun Tjahya Hendraningrat (2014-sekarang) putra Nyi Raden Padnalarang

Tahun 1840 Berdasarkan Staatsblad Nomor 7 tentang Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 2 Tahun 1840 tanggal 11 Februari 1840 tentang :
a. Perubahan Nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka;
b. Perubahan Nama "daerah Sindangkasih" menjadi Kabupaten Majalengka atau Pendirian Kota Majalengka sebagai ibukota Kabupaten Majalengka.