Perjanjian Galuh

Sanjaya sebelum memenuhi panggilan Sena, ayahnya untuk menjadi raja di Medang, berinisiatif untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh, dihadiri oleh anggota kerabat kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling berkuasa di Pulau Jawa, sebab Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya, sedangkan Demunawan yang memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya. Semua ia lakukan untuk menunjukan rasa hormatnya kepada Sena, ayahnya.



Menurut para penulis RPMSJB musyawarah di Galuh terjadi pada tahun 731 M, dan menetapkan :
(1) daerah sebelah barat Citarum sampai keujung kulon menjadi hak waris keturunan Tarusbawa ;
(2) daerah sebelah timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua antara Tamperan yang menguasai bagian selatan dan Demunawan yang menguasai bagian utara, termasuk bekas Galunggung dan Saung Galah ;
(3) bagian tengah akan tetap diperintah oleh Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh – Kalingga ;
(4) daerah sebelah timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan keturunan dari keluarga Kalingga. (Jilid 2, Bag. 4 hal. 72).

Semula Galuh diserahkan kepada Premana, namun Premana lebih memilih untuk menjadi pertapa sehingga pada akhirnya dijalankan oleh Tamperan, demikian pula Sunda. Sanjaya sejak 732 M di kerajaan Sunda digantikan oleh Tamperan. Kemudian Premana diceritakan terbunuh di pertapannya.

Riwayat kekuasaan Tamperan di Galuh terganggu oleh masalah Dewi Pangrenyep. Masalah ini menjadi masa kelam bagi hubungan Sunda – Galuh dan keturunan selanjutnya, memicu pula kemarahan Sanjaya untuk kembali menguasai Galuh. (Selanjutnya dalam uraian tentang Galuh).

Membahas raja-raja Sunda tentunya agak sulit dilepaskan dari cerita Galuh. Hal ini bukan hanya awalnya berasal dari Tarumanagara, namun akibat hubungan perkawinan dan pewaris dari kerajaan kembar tersebut maka banyak raja Sunda yang sekaligus bertahta sebagai raja Galuh.

Perbedaan Sunda dengan Galuh disebut-sebut berakhir pada masa Rakean Wuwus. Hal ini akibat dari pencampuran perkawinan antara keturunan Banga dan Manarah. Sunda dengan Galuh benar-benar dianggap bersatu kembali pada abad 13 masehi, bahkan pada abad ke – 14 sebutan untuk Sunda dengan Galuh menjadi tunggal, yakni Sunda.

Kisah Tamperan, pengganti Sanjaya di Sunda dikisahkan pula dalam alur cerita Galuh. Tamperan disebutkan sebagai pemegang tahta Kerajaan Sunda ketiga. Ia putra Sanjaya dari Tejakencana, cucu dari Tarusbawa.

Tamperan menggantikan ayahnya karena Sanjaya dipanggil Sena, untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja Medang di Bumi Mataram. Tamperan disebut-sebut memerintah Sunda sejak tahun 732 M – 739 M, namun ada yang berbendapat bahwa sebenarnya Tamperan tidak pernah menjadi Raja Sunda, karena raja Sunda masih tetap Sanjaya. Tamperan hanya memegang jabatan Duta Patih Sunda di Galuh, berdomisili di Purasaba Galuh.

Tamperan didalam Carita Parahyangan dan berita Nusantara III dianggap memiliki tabiat yang kurang baik. Diberitakan mengganggu Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah, hingga melahirkan Banga. Ia pun disebut-sebut membunuh Permana Dikusumah. Dari akumulasi perbuatannya ia dibunuh Sang Manarah, anak Permana Dikusuma.

Kisah perilaku dan masa kepemimpinan Tamperan diceritakan didalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
- Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
- Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga.
- Sang manarah males pati.
- Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
- Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah.
- Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
- Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
 
Dari carita Parahyangan memang ada perbedaan status Manarah dengan alur yang dikisahkan versi RPMSJB. Manarah disebutkan putra dari Permana Dikusumah, sedangkan Banga memang anak Tamperan.

Tamperan wafat pada tahun 739 M. Posisinya di Galuh digantikan Manarah, sedangkan Banga, anak Tamperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu Sunda sudah berada dibawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan maksud dari buku sejarah Jawa Barat, kerajaan Sunda pernah berada dibawah kontrol Galuh terhitung sejak adanya perjanjian Galuh, yakni tahun 739 M sampai dengan 759 M.



PERJANJIAN GALUH
Perjanjian Galuh merupakan upaya dari para keturunan Wretikandayun, pendiri Galuh untuk menyudahi perseteruan. Ketika itu pasukan Manarah dengan pasukan Sanjaya sudah saling berhadapan untuk saling berperang. Masalah ini dipicu oleh terbunuhnya Tamperan di Galuh oleh Manarah. Namun berkat peran Resi Demunawan mereka mau berunding di Kraton Galuh.
Didalam Nusantara III/1, dijelaskan, bahwa isi dari perjanjian Galuh tersebut, sebagai berikut :
- Menyudahi permusuhan (mawusana panyatrawanan) diantara yang sedang berperang
- Mengadakan perjanjian  persahabatan (mitrasamaya), beker jasama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparo pakara) diantara mereka
- Tidak boleh mengadakan pembalasan (paribhaksa) terhadap sesamanya karena mereka itu masih satu keturunan (tunggal kawitan)
- Semua prajurit yang tertawan harus dibebaskan
- Bila timbul perselisihan di antara mereka harus diselesaikan diantara mereka harus diselesaikan (telas aken) dengan damai (apakenak) dan bermusyawarah (mapulungrahi) dengan semangat persaudaraan (kaharep paduluran)
- Hubungan kekerabatan tidak boleh putus dan harus saling mengasihi
- Tidak boleh saling menyerang dan merebut kota-kota (para pura) masing-masing
- Menghormati hak ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu), yaitu :
1. Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum kebarat dirajai oleh sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya ;
2. Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Sang Suratoma alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabuan ;
3. Resi Guru Demunawan menguasai negeri Saung Galah dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung ;
4. Sanjaya memerintah di Jawa Tengah. (RPMSJB, Jilid Kedua, hal. 79)
Untuk mengukuhkan persaudaraan diatas kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya yakni Kencana Wangi dengan Manarah, sedangkan Kencana Sari dinikahkan dengan Banga. Dari pernikahan ini maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah. Dengan demikian maka dikemudian hari keturunan Wretikandayun bersatu kembali. Kelak perbedaan keturunan ini terhapuskan akibat perkawinan antara keturunan Manarah dan Banga. Hal ini terjadi pada masa Rakean Wuwus.


SUNDA MERDEKA
Banga menggantikan Tamperan sebagai Raja Sunda keempat sejak tahun 739 M sampai dengan 766 M. Namun ada juga pendapat bahwa Banga raja Kerajaan Sunda yang ketiga karena Tamperan sebenarnya tidak pernah berdomisili di Sunda, ia hanya menjabat sebagai Duta Patih Sunda di Galuh.

Akibat Perjajian Galuh terpaksa kedudukan Banga harus berada dibawah Galuh. Perjanjian ini dirasakan Banga sangat merugikan posisinya. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora. Sanjaya sebagai kakeknya Banga tentu merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut. Kemudian ia secara diam-diam menganjurkan Banga untuk memperkuat kerajaan Sunda.

Banga melaksanakan ide kakeknya, setahap demi setahap ia menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada disebelah barat Citarum, hingga iapun menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan Mahardika.

Tindakan Banga menyulut kemarahan Manarah. Sekali lagi Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah kedudukan Sunda dan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai Negara yang merdeka.

Peristiwa ini menempatkan Resi Demunawan sebagai orang yang bijaksana dan memiliki visi yang baik. Resi Demunawan pada Perjanjian Galuh menempatkan Sunda di bawah Galuh. Hal tersebut merupakan upaya maksimal pada saat itu. Setelah keadaan memungkinkan ia memenuhi janjinya untuk mensejajarkan Sunda dengan Galuh sehingga dapat tercipta kerukunan yang abadi.

Bangga meninggal pada tahun 766 M, berumur masih relatif masih muda, yakni 42 tahun. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, ia dilahirkan pada tahun 724 M, sehingga ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun.


PERPADUAN KERAJAAN SUNDA DAN KERAJAAN GALUH
Manarah bergelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara yang ia dapatkan pada saat dilangsungkannya Musyawarah Galuh. Ia penguasa Galuh terhitung sejak tahun 739 – 783 M, untuk kemudian mengundurkan diri dan memilih jalan bertapa sampai ia meninggal dunia (manurajasunya).

Sejak masa Manarah berkuasa di Galuh tidak ada gejolak yang menggoyahkan tahta Galuh. Mungkin karena sebelumnya Banga berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, kemudian melepaskan dari Galuh dan menjadi negara merdeka.

Memang proses permintaan Banga untuk melepaskan Sunda dari Galuh hampir menimbulkan kemarahan Manarah. Namun berkat jasa perantara Demunawan, yang mengemukakan alasan perlunya ada kesedarajatan antar keturunan Wretikandayun maka Manarah mau melepaskan Sunda sebagai Negara yang merdeka.

Bagi para kritikus sejarah memang ada anggapan yang mustahil tentang eksitstensi Demunawan yang telah memiliki cerita sejak masa pemberontakan Purbasora. Namun dalam Naskah Wangsakerta diceritakan, Demunawan wafat pada umur 128 tahun. Lebih tua dari umur Sempakwaja, ayahnya yang wafat pada umur 109 tahun dan Wreitikandayun, kakeknya yang wafat pada usia 109 tahun.


PENERUS GALUH
Manarah sebelum mengundurkan diri menyerahkan kekuasaanya kepada Manisri, suami Puspasari, salah seorang putri Manarah, disebabkan ia tidak memiliki putra laki-laki. Manisri berkuasa sejak tahun 783 sampai dengan 799 M, bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara.

Manarah didalam cerita Lisan dikenal sebagai tokoh Ciung Wanara, sedangkan Manisri dan Puspasari dikenal sebagai tokoh cerita Lutung Kasarung. Manisri dikenal dengan nama Guruminda, sedangkan Puspasari dikenal dengan sebutan Purbasari. Mungkin karena asal usul Guruminda tidak diketahui maka masyarakat tardisional dan para juru pantun menganggapnya sebagai Putra Sunan Ambu.

Sebagaimana dalam cerita lain, seperti cerita bawang merah dan bawang putih, atau cerita dari luar tentang Cinderela, status Purbasari dikonotasikan sebagai putri bungsu raja yang dianiayai kakak-kakak perempuannya. Disini pun ada semacam cerita yang menyangkut sentimen terhadap saudara tiri.

Misalnya Purbalarang sebagai kakak tiri ditempatkan sebagai si jahat yang mengucilkan Purbasari dari kehidupan istana. Hingga akhirnya datang Sang Lutung yang Kasarung menemukannya. Singkat cerita Purbasari mendapatkan takhtanya dan bersanding dengan lutung yang ternyata seorang kesatria (Guruminda).

Manisri kemudian digantikan oleh putranya, Sang Triwulan (799 – 806 M) digantikan lagi oleh Sang Welengan (806 – 813 M) dengan gelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Sepeninggalnya tahta Galuh diserahkan kepada Prabu Linggabumi (813 – 852 M).
Rupanya Manarah dan keturunannya sangat sulit memperoleh anak laki-laki, karena Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeyan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya.

Demikian pula sebaliknya, setelah Rakeyan Wuwus (Keturunan Banga) wafat pada tahun 891 M digantikan oleh Prabu Darmaraksa, adik Prabu Langlangbumi dari Galuh. Darmaraksa menikahi adik Raketan Wuwus, sebaliknya Rakeyan Wuwus menikahi kakak Darmaraksa.

Intrik keraton memang belum sedemikian reda, karena masih ada kerabat istnan Sunda yang tidak mau diperintah Urang Galuh. Pada tahun 895 M Peristiwa ini mengakibatkan di bunuhnya Darmaraksa oleh salah seorang Mantri.

Tahta Sunda – Galuh kemudian diserahkan kepada Windusakti atau Prabu Dewageung, putra Darmaraksa. Sejak saat itu kisah Galuh hampir kehilangan rekam jejak dan baru diberitakan kembali pada keturunan Sunda yang Ke – 20. Hal ini diungkapkan Pleyte (1915) dalam artikelnya tentang Sri Jaya Bupati, dalam buku “Maharaja Cri Jayabhupati Soenda’s Ouds Bekende Vorst”, yang mengulas mengenai prasasti Cibadak – Sukabumi.

Para akhli sejarah Sunda mensinyalir, hubungan dan perpaduan budaya Sunda – Galuh baru mencair pada abad ke 13, sebagaimana dengan penyebutan masyarakat Sunda untuk kedua penduduk ini. Kemudian pada abad 14 berita-berita luar sudah menggunakan istilah Sunda untuk masyarakat Sunda – Galuh. Perpaduan nama demikian terjadi secara alamiah, dimungkinkan akibat para tokoh dari daerah Sunda lebih terkenal di masa silam.
_____________
Sumber : 

- http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/perjanjian-galuh.html
- rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat, 1983-1984.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh 
- Tjarita Parahyangan 
- Drs. Atja – Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung 1968.