Kerajaan Sunda Abad 669 s/d 1579 M

Kerajaan Sunda berdiri hampir bersamaan dengan kerajaan Galuh. Dan akhirnya karena seolah kerajaan kembar, maka kemudian sering dsebut dengan kerajaan Sunda Galuh, Disebut demikian karena kedua kerajaan ini kadang bersatu,kadang dipecah lagi dan kemudian disatukan lagi. Demikian juga, pusat pemerintahannya kadang di Galuh kadang juga di Pakuan. Karena itu kerjaan ini sering disebut juga dengan kerajaan Sunda Galuh. Tetapi karena kebanyakan lokasi ibukotanya di Pakuan maka kerajaan dan wilayah kerajaan ini kemudian lebih banyak disebut sebagai Kerajaan Sunda. Dan terakhir lebih dikenal dengan nama Pajajaran.

Kedua kerajaan ini selama berkuasa ratusan tahun luput dari saling serang menyerang. Tidak pernah ada perebutan wilayah kekuasaan. Perjanjian atau perbatasan wilayah dipegang demikian erat, satu sama lain tidak pernah saling menyerang. Perjodohan antar anggota istana keluarga yang membuat mereka begitu akrab.

Tentang sejarah kerajaan Sunda awal belum ada naskah yang menceritakan secara detail. Hal ini berbeda dengan sejarah Sunda berlatar belakang kerajaan Galuh. Naskah Carita Parahiyangan telah memberi keterangan agak rinci tentang sejarah berdirinya kerajaan Galuh ini, yang erat kaitannya dengan kerajaan Kendan di era kerajaan Tarumanagara.

Setelah kerajaan Sunda dan Galuh dipersatukan lagi oleh Rakeyan Jambri atau Maharaja Sonjaya, seolah sejarah mengerucut, menuju pembahasan satu kerajaan yang satu yaitu Kerajaan Sunda. Dan independensi Galuh tetap dipertahankan. Seolah ada penghormatan yang lebih terhadap Galuh ini, karena keterkaitan sejarah yang mungkin sangat erat. Jika dikatakan Sunda itu Galuh atau Galuh itu Sunda, karena begitu erat hubungan kedua kerajaan ini sejak awal berdirinya. Dan karena kelanjutannya juga diperintah oleh keturunan yang sama, Dinasti Wretikandayun. Karena setelah Prabu Tarusbawa tidak mempunyai anak laki laki, karena perkawinan, kemudian raja diganti oleh Prabu Sonjaya, yang nota bene merupakn keturunan dari Wretikandayun.

I.A. Silsilah Raja-Raja
Setidaknya ada 3 naskah primer yang menceritakan tentang raja raja kerajaan Sunda, yaitu: Naskah Carita Parahiyangan, Naskah Amanat Galunggung (meskipun tidak detail) dan naskah Wangsakerta.

Naskah Carita Parahiyangan adalah naskah yang menceritakan silsilah kerajaan Sunda yang berlatar belakang kerajaan galuh. Meskipun tidak disebutkan kapan berkuasanya, tetapi lebih menekankan kepada lamanya berkuasa. Dan dalam naskah ini disebutkan semua raja raja yangberkuasa dikerajaan sunda secara berurutan.

Dalam naskah amanat Galunggung, hanya diceritakan tentang silsilah yang berkaitan dengan  Prabu Darmasiksa yang menjadi peran utama nasehat nasehat dakam naskah ini. Sedang dalam naska Wangsakerta disebutkan tentang tahun tahun kekuasaan sang Raja, dan relatif lebih banyak memberi penjelasan.

I.A.1. Dalam Naskah Carita Parahiyangan
Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah kerajaan Sunda  dengan latar belakang sejarah Galuh. Karena itu raja sunda awal hanya  disebut Tohaan Sunda saja. Sedang sejarah Galuh awal dibahas dengan tuntas.
Dalam  sejarah, kerajaan Sunda dan Galuh kemudian dipersatukan oleh Sanjaya atau Rakeyan Jambri, turunan Galuh yang menjadi pewaris  dari istrinya dan menjadi penguasa Sunda. Dan ketika Galuh dapat dikuasai, maka Sanjaya dapat dianggap menjadi yang pertama di tanah sunda yang dapat mempersatukan kembali tatar sunda. Disamping itu Sanjaya juga mewarisi tanah Jawa. Ayahnya, Prabu Sena yang tersingkir dari Galuh kemudian menjadi penguasa di tanah Medang (Jawa). Sehingga seluruh jawa dibawah kendalinya. Kekuasaannya dari Ujung kulon hingga Ujung Galuh (Surabaya).

Karena kudeta dari Sang Manarah (Ciung Wanara) maka wilayah jawa kemudian dibagi menjadi 3 bagian. Sunda, Galuh dan Medang. Sunda dibawah kendali cucu Sanjaya yang bernama Hariang Banga, Galuh menjadi milik Ciung Wanara. Dan anak Sanjaya dari istrinya yang lain, Rakeyan Panangkaran, mewarisi tanah Medang (Jawa).
Raja-Raja Galuh
• Wretikandayun
• Rahiangtang Mandiminyak berkuasa menjadi  raja 7 tahun
• Sang Sena. Berkuasa menjadi raja  7 tahun,
• Rahiang Purbasora. Berkuasa menjadi raja  7 tahun
• Rakean Jambri. bergelar Rahiang Sanjaya, Berkuasa menjadi raja  9 tahun
• Rahiang Tamperan Berkuasa menjadi raja  7 tahun
• Sang Manarah, Berkuasa menjadi raja  80 tahun
• Sang Manisri Berkuasa menjadi raja  60 tahun
• Sang Tariwulan Berkuasa menjadi raja  7 tahun
• Sang Welengan Berkuasa menjadi raja  7 tahun

Raja-Raja Sunda
• Tohaan Sunda (Maharaja Tarusbawa)
• Rahiyang Sonjaya
• Rahiang Banga Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Rakean di Medang Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Rakeanta Diwus Berkuasa menjadi raja 24 tahun
• Rakeanta Wuwus Berkuasa menjadi raja 72 tahun
• Nu hilang di Hujung Cariang Berkuasa menjadi raja 4 tahun
• Rakean Gendang Berkuasa menjadi raja 23 tahun
• Dewa Sanghiang Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Prebu Sanghiang Berkuasa menjadi raja 11 tahun
• Prebu Datia Maharaja Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Nu hilang di winduraja Berkuasa menjadi raja 23 tahun
• Nu hilang di Kreta Berkuasa menjadi raja 92 tahun
• Nu hilang di Winduraja, Berkuasa menjadi raja 18 tahun
• Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, Berkuasa menjadi raja tahun
• Nu hilang di Taman,  Berkuasa menjadi raja 6 tahun
• Nu hilang di Tanjung, Berkuasa menjadi raja 8 tahun
• Nu hilang di Kikis, Berkuasa menjadi raja 22 tahun
• Nu hilang di Kiding, Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Aki Kolot, Berkuasa menjadi raja 10 tahun
• Prebu Maharaja, Berkuasa menjadi raja 7 tahun
• Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
• Prebu Niskalawastu kancana, Berkuasa menjadi raja 104 tahun
• Sang Haliwungan, nyaeta Sang Susuktunggal Berkuasa menjadi raja 100 tahun
• Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya,  Berkuasa menjadi raja 39 tahun
• Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Berkuasa menjadi raja  14 tahun
• Prabu Ratudewata, nu hilang kasawah-tampian-dalem. Berkuasa menjadi raja 8 tahun
• Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. anu hilang ka Pengpelengan. Berkuasa menjadi raja 8 tahun
• Tohaan di Majaya, Sang Nilakendra, Berkuasa menjadi raja 16  tahun
• Nusia Mulya.


I.A.2. Dalam Naskah Amanat Galunggung
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, maka manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng) Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kem-bang maka manak Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang…… ²)
(Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan) Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan,2)bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana3), Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang  berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas4) (turunan ke-9), sanak-saudara)
Dalam amanat Galunggung, dari pengantarnya mengutarakan tentang amanat yang turun temurun dari Prabu Hariang Banga hingga Prabu Darmasiksa, Dengan demikian pada naskah ini hanya diceritakan hingga kepada Prabu Darmasika, dari Hariang Banga yang dikatakan sebagai yang membuat parit atau pertahanan Pakuan.  Dan d naskah ini kebanyakan hanya diceritakan gelar setelah ia meninggal.
• Rahiyang Banga
• Rahingta Wuwus
• Maharaja Dewata
• Baduga Sanghiyang,
• Prabu Sanghiyang
• Sang Lumahing rana
• Sang Lumahing Winduraja
• Sang Lumahing Tasikpanjang
• Sang Lumahing Ujung Kembang
• Rakeyan Darmasiksa.

Perbandingan dengan Carita Parahiyangan
• Rakeanta Wuwus
• Nu hilang di Hujung Cariang
• Rakean Gendang.
• Dewa Sanghiang.
• Prebu Sanghiang.
• Prebu Datia Maharaja
• Nu hilang di winduraja.
• Nu hilang di Kreta
• Nu hilang di Winduraja,
• Sang Rakean Darmasiksa,


I.C. Profil Raja-Raja Kerajaan Sunda Galuh
I.C.1. Profil Raja-Raja Kerajaan Galuh
Setelah diungkapkan diatas, bahwa pembahasan dari kerajaan Sunda sangat erat kaitannya dengan pembahasan kerajaan Galuh. Karena Raja kedua dari kerajaan Sunda, Maharaja Sonjaya berasal dari Kerajaan Galuh.
Karena ikatan perkawinan, menjadikan kerajaan ini akhirnya menjadi kerajaan yang sangat erat perhubungannya, sehingga nantinya yang berkuasa di kedua kerajaan ini mempunyai darah yang sama yaitu keturunan Sunda dan keturanan Galuh.
Dan Sang Maharaja Sonjaya inillah yang mempersatukan kembali tanah bekas kerajaan Tarumanagara ini menjadi kerajaan yang utuh kembali. Meskipun pada perkembangannya ada kalanya berpisah kembali, tetapi karena ikatan perkawinan kemudian kerajaan ini melebur menjadi kerajaan yang utuh. Meskipun tetap dipertahankan indenpendensinya masing masing. Seolah tidakpernah ada konflik diantara kedua kerajaan ini, meskipun tetap ada. Tetapi untuk jarak ratusan tahun seolah kerajaan ini sepi dari konflik intern. Karena berbagai konflik selalu diselesaikan dengan jalur perkawinan dari keluarga besar Sunda Galuh ini. Jadi pada perjalanan selanjutnya seolah sudah tidak ada benang pemisah antara kedua kerajaan ini, karena yang berkuasa adalah dari keturunan yang sama.

I.C.1.a.  Tokoh-Tokoh Penting Pra-Kerajaan Galuh
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, asal usul kerajaan Galuh diceritakan dengan detail. Dan isah ini dimulai dengan menceritakan kerajaan Kendan yang didirikan oleh Sang Resi Guru Manikmaya.
Ndéh nihan Carita Parahiyangan. Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra. Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra; Sang Apatiyan  Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.
(Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.)
Dalam naskah tersebut diceritakan tentang nama nama tokoh: Sang Resiguru, Rajaputra, Sang Kandiawan, hingga Wretikandayun.   Berikut ini adalah penjelasan dari tokoh tokoh yang menjadi cikal bakal dari kerajaan Galuh.

a.1. Sang Resi Guru
Sang Resi guru adalah gelar untuk Resi Manikmaya. Ia berasal dari keluarga calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah mengembara  mengunjungi beberapa negara, seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa sapi (Ghohnusa) atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan lain-lain.
Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke-7, Maharaja Suryawarman  (mp. 535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah  perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja  resi guru di daerah ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.

a.2. Rajaputra
“Sang Resi Guru boga anak Rajaputra”, demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut. Rajaputra merupakan gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang.  Ia terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman  diangkat menjadi senopati Kendan, dan akhirnya  diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang ke-2.Penobatannya berlangsung  pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan,  keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya. Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.

a.3. Sang Kadiawan
Sang Kandiawan merupakan anak dari Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar    Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan,  ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan  diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.
Setelah ia  dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan  pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M).
Sang Kandiawan  mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun.  Kelima anak sang Kandiawan  dalam naskah ini dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,
Tahun 612 M,  Sang Kandiawan  mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa  di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di Menir.

a.4. Bagawat Resi Makandria
Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Bagawat Resi Makandria, yang nantinya menjadi mertua dari Wretikandayun, raja pertama dari Galuh. Dalam cerita ini seolah mengajarkan kepada generasi sunda berikutnya, bahwa bertapa saja bukan penyelesaian hidup terbaik di dunia ini, manusia harus berupaya untuk berusaha dan mewujudkan keturunan.
Hana paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, nyayang di titrayatra Bagawat Resi Makandria.  Dihakan anakna ku salakina. Diseuseul ku éwéna. Carék éwéna, "Papa urang, lamun urang teu dianak, jeueung Bagawat Resi Makandria. Ditapa sotéh papa, ja hanteu dianak."Carék Bagawat Resi Makandria, "Dianak ku waya, ja éwé ogé hanteu." Ti inya carék Bagawat Resi Makandria, "Aing dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan." Datang siya ka Kéndan. Carék Sang Resi Guru, "Na naha siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?" "Pun samapun [8], aya béja kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami kapupulihan ku Paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang hanteu di na anak."
Carék Sang Resi Guru, "Leumpang siya ti heula ka batur siya deui, anaking Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na pideungeuneun satapa, anaking." Leumpang Pwah Rababu, datang ka baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya wedadari geulis, ti inya nyieun manéh Pwah Manjangandara, na Bagawat Resi Makandria nyieun manéh Rakéyan Kebowulan, sida pasanggaman. Carék Sang Resi Guru, "Étén [9] anaking, Pwah Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka Pwah Aksari Jabung." Ti inya leumpang Pwah Sanghiyang Sri ngajadi, inya Pwah Bungatak Mangaléngalé.
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna. Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.” Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.” Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka Kendan.” Manehna datang ka Kendan. Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati. Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh, anaking.” Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku   rabi. Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama. Carek Sang Resi Guru: “Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung.” Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak Mangalengale.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi denga banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk memiinta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.  Dari kisah ini kemungkinan penulis ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.

I.B.1.b.  Raja Raja Galuh
Dalam naskah Carita parahiyangan juga diceritakan dengan tentang proses pendiri kerajaan Galuh. Galuh didirikan oleh Sang Wretikndayun. Meskipun ia merupakan putra bungsu dari 5 bersaudara, tapi dia terbukti menjadi yang tercaakap diantara kakak kakaknya.
Tentang proses pencapaianya menjadi raja, bukan karena kebetulan, tetapi dari usaha yang keras dalam memenangkan sayembara. Kelima putra Sang Kandiawan bersepakat, bahwa yang pertama kali memenangkan hasil buruan, maka dialah yang berhak menjadi raja, menggantikan ayahnya. Hal ini diceritakan dengan jelas dalam naskah Carita Parahiyangan.
Carek sang Mangukuhan: “Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan.” Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun. Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh. Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara. Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.
Dalam suatu hari kelima orang putra Sang Kandiawan, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun  mengadakan acara berburu ke suatu tempat  berbukit (tegalan) di dekat pertapaan Bagawat Resi Makandria.  Acara berburu  itu dipimpin oleh putra tertua, yaitu: Sang Mangukuhan, dan berkata: “Mari adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).”
Dan sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal  (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima orang tersebut, dan kebowulan tertumbak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.

b.1. Wretikandayun 
Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, disilihan ku Sang Wretikandayun di Galuh, mirabi Pwah Bungatak Mangaléngalé. Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang Karungkalah nyieun manéh panggérék, Sang Katungmaralah nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba nyieun manéh padagang. Ku Sang Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan, Rahiyangtang Kulikuli; sang Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang Surawulan; Sang Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi; Sang Sandanggreba diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit. Sang Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh Rahiyangta ri Menir. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu nyieunna Purbatisti.
(Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen, harita teh nya nyusun Purbatisti)
Wretikandayun merupakan raja pertama dan pendiri kerajaan Galuh. Ayahnya, Sang kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati  setelah menjadi raja selama lima belas tahun dari tahun 597 sampai tahun 612 M, kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya, Wretikandayun di Galuh.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya yang menjadi resi pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Pada awalnya ia  menjadi rajaresi di Menir, dan kemudian diangkat menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya. Wretikandayun tidak berkedudukan di  di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh.
Ketika ia dinobatkan sebagai raja Kendan, penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masaudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M).  Dan ketika tahta Tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka). Dan wilayah Tarumanagara di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali brebes sekarang). 
Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini  kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.

Saudara Sang Raja
Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih menjadi  tukang moro (Tukang berburu), Kakak ketiganya, Sang Katungmaralah memilih menjadi  tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula), dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).
Tetapi kemudian ketika Wretikandayun diangkat menjadi Raja Galuh, keempat saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah kekuasaannya: Sang Mangukuhan diangkat dmenjadi penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan berkuasa selama 80 tahun. Sang Karungkalah diangkat menjadi penguasa di Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang kurang bagus. Sang Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik. Sang Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun.
Istri dan Anak Anaknya diganti ku Rahiangtang Mandiminyak. Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh. Carek Sang Resi Guru: “Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan. Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya manehna pibatureun hidep tatapa.” Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit. Carek Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang bodas etah?” Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi di talaga Candana. Carek Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?” Sampingna dileled ku sumpit, beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan. Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.
Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).

Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru) di Galunggung.
Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan)  Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya : “Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di Telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.

Rahiyang Kidul
Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622 M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut Selatan).
Rahiyang Mandiminyak
Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M,  Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.

b.2. Rahiyang Mandiminyak (mp. 702-709 M)
Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang mandiminyak menajdi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak  berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga  posisi Rahiyang Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun  703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan.
Ketika menjadi putra mahkota  terjadi skandal yang dianggap mempermalukan istana Galuh. Telah terjadi skandal antara Rahiyang Mandiminyak dan Pwah Rababu pada saat acara penjamuan. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya. Dan untuk meredam gejolak kemudian Rahiyang Mandiminyak disingkirkan ke kerajaan istrinya berasal, Kerajaan Kalingga. Mandiminyak  menikah dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga. Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.
Dan ketika ayahnya meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja Galuh, menggantikan ayahnya. Mandiminyak berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu.

b.3. Rahiyang Sena (mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Mandiminyak.  Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya (Mandiminyak meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima oleh kakak seibunya, Purbasora, yang  merasa lebih berhak naik tahta Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.

b.3.1. Kudeta Purbasora
Karena merasa mempunyai hak tahta  dari Semplak Waja sebagai putra pertama Wretikandayun, maka Purbasora kemudian merebut kekuasaan (mengkudeta) dari tangan Sena pada tahun 716 M.
Pada awalnya rencana kudeta ini diketahui oleh Sena. Karena itu  Sena  lalu mengundang tentara dari kerajaan Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Tetapi justru Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari kerajaan indraprahasta (kerajaan mertuanya), Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M.
Dalam situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, ke negeri istrinya Sanaha, di Kalingga Utara (Medang Bumi Mataram) yang waktu itu diperintah  oleh mertuanya dan juga istri ayahnya, Parwati.

b.3.2. Menjadi Raja di Kalingga Utara (Medang Bumi Mataram)
Setelah dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, Rahiyang Sena kemudian melarikan diri ke negeri istrinya, Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Di Bumi Mataram ini ia mewarisi tahta dari istrinya,  menjadi raja di Medang Bumi Mataram tersebut.

Medang bumi mataram beribukota di sekitar daerah Yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah jawa timur sekarang.  Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang Bumi Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. BerdasarPrasasti Mantyasih tahun 907 M atas nama Dyah Balitung menyebut nama Rakai mataram sang ratu Sanjaya. Tetapi dalam Prasasti canggal tahun 732 M, menyebut raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.
Jadi ada korelasi sejarah dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti yang ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.

b.4. Rahiyang Purbasora (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora bergelar  Prabu Purbasora jayasakti mantraguna menjadi Raja di Galuh yang ke-4, setelah berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun  716 M. Ia mewakili orang yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan di Galuh.
Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh, Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong, disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang bernama Dewi Citrakirana. Diceritakan bahwa Purbasora dianggap type ideal Raja Galuh waktu itu, dan patihnya bernama Bimaraksa, atau yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, merupakan anak dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).
Rahiyang Purbasora terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat idealis. Latar belakang idealis dan juga pada awalnya termarjinal, Prabu purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang leBih mengacu pada agama dan moralitas, bahwa sang Raja, Prabu Sena bukan orang yang cocok menjadi raja. Prabu Purbasora masih menganut idealisme kekuasaan di galuh. Ayahnya tidak berkuasa hanya alasan  giginya ompong, padahal dia adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang harus berkuasa di tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua, Jantaka Rahiyang Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak Raja jatuh pada pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia sehat, tetapi secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat skandal dengan ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru yang menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.
Secara moral lingkungan kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja Sena berada dalam masa yang rendah, dan masyarakat Galuh seolah mencibir keadaan istana yang penuh dengan skandal, dan telah terjadi pembenaran. Meskipun Prabu Sena tidak bersalah atau patut disalahkan, karena ia hanya hasil skandal. Tetapi masyarakat seolah tidak mau tahu dan hal ini berkembang menjadi bahan ejekan masyarakat. Hal inilah kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora. Disamping sangat dihormati secara moral, Purbasora oleh masyarakat justru dianggap sebagai tokoh ideal untuk menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa, purbasora adalah cucu pertama dari Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan kudeta terhadap Sena seolah didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat cepat dapat dilakukan.
Pada tahun-tahun pertama berkuasa, ia mencoba menghancurkan basis-basis kekuasaan Prabu Sena. Dan ketika sudah merasa aman dia berkuasa ia memulai melakukan langkah-langkah untuk memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa Purbasora ini keberadaan Galuh mulai diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya juga sangat mumpuni. Dengan bantuan dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat dengan mudah menguasai kerajaan Galuh dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu Purbasora tidak memprediksi kudeta dari keponakannya, Sanjaya, yang justru datang tidak diduga duga. Purbasora hanya berkuasa selama 7 tahun (716-723 M), dan kemudian digulingkan oleh keponakannya, Sanjaya (Rakeyan Jambri), putra Sena, penguasa yang dikudeta sebelumnya.

b.5. Rahiyang Sanjaya
Rahiyang Sena dari istrinya Sannaha mempunyai seorang anak yang bernama Rakeyan Jambri, yang dikemudian hari terkenal dengan nama rahiyang Sanjaya.  Ia lahir pada tahun 683 M, yang berarti ketika ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun.
Ia kemudian berencana untuk menuntut balas dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta ayahnya. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan untuk pergi ke Kuningan untuk menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul juga menyarankan untuk pergi ke kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana istri Sanjaya berasal.
Di Galuh, Sanjaya juga menemui opsisi  Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan teman ayahnya, Rahiyang Sena,  untuk meminta pusaka darinya  yang merupakan lambang kekuasaan Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal  Sanjaya berkata : ”saya putra Prabu Sena, saya mau menanyakan tentang pustaka kepunyaan Rubuyut  Syawal, yang isinya ‘Retuning Balad sarewu”, yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan Sang Resi Guru. ”Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang merupakan sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.

Kudeta Sanjaya terhadap Rahiyang Purbasora pada tahun 723 M
Setelah mendapat  pusaka dari Rubuyut Syawal, yang diselamatkan dari kudeta Prabu purbasora. Maka Sanjaya mulai menyusun kekuatan untuk mengkudeta Prabu Purbasora. Meskipun ia telah menikah dengan cucu Tarusbawa dari kerajaan Sunda,  ia belum berani menyerang galuh. Dan hasratnya dilaksanakan setelah Prabu Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M, dan ia menggantikan menjadi raja di Pakuan atas nama istrinya.
Rencana serangan terhadap Rahiyang Purbasora di Galuh,  disusun sangat hati hati dengan bantuan Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari Rubuyut Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin oleh paman istrinya,  Patih Anggada.
Serangan dilakukan pada malam hari  dengan diam-diam dan mendadak yang menyebabkan seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil  meloloskan diri hanyalah menantunya yang menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan, yang bernama Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa  ini yang dikemudian hari  terkenal dengan nama Aki Balangantrang, memainkan peranan penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari turunan sanjaya, yang diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat sering disebut dengan Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya menjadi batu sandungan Sanjaya berikutnya.
Dengan demikian pada tahun yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah Sunda, yaitu kerajaan sunda dan kerajaan Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat dipersatukan lagi oleh Sanjaya.

Penguasa 2 Kerajaan : Sunda dan Galuh
Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh, Sanjaya dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara.  Dalam urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh ia merupakan raja urutan ke-5.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi / hasrat untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh.  Ia melakukan penyerangan hanya  untuk menghapus  dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora, ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.
Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di tanah Galuh, yang menjadi  batara/ rahiyang di Galunggung, yaitu Sempak waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya.
Karena itu kemudian sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk menemui Sempak waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.
Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh.
Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja  disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.
Batara dangiang Guru berkata : “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.  Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.” (Rahiyang Sanjaya pergilah dapatkan oleh diri sendiri, Kalahkan Guruhaji Pagerwesi, kalahkan Wulan, Sang Tumanggal,  kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan guruhaji Balitar,  Dan pergilah  Rahiyang Sanjaya, kalahkan  Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa  di Kuningan. Mereka memenangkan kesaktian, yang menjadikan Sang Wulan, Sang Tumangga dan Sang Pandawa di Kuningan tidak menjadi bawahan Batara Dangiang Guru (Sempak waja). Kalau  terkalahkan kamu bener-benar sakti.
Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya measa tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang ketiga serangkai di  Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan. Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.
Dan kekakalahan ini kemudian dilaporkan ke Batara Dangiang Guru, dan ia dikejar-kejar oleh pasukan  Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.

b.6. Raja raja galuh Setelah Rahiyang Sonjaya
...Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta Galunggung, tiwetana Jawa. Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeungdulurna Rahiang Banga. Sang manarah males pati. Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh. Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah. Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge. Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapan puluh taun, lantaran tabeatna hade. Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun. Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, penguaasa Galuh, spesifik hanya diceritakan hingga Sang Welengan. Selanjutnya ia bercerita tentang penguasa dari Kerajaan Sunda. Karena seolah Galuh dan Sunda sudah melebur menjadi satu.

b.6.1. Temperan Barmawijaya (732-739 M).
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau Bhumi mataram).. Temperan berkuasa  selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M,  yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang manarah.
Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh  menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resiguru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 Masehi.
Ketika Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan istana  untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan. Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap  Permanadikusumah.
Premana Dikusuma ketika meninggalkan istana,  juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun. Temperan mewarisi watak buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal  dengan Dewi Pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan membuahkan  kelahiran Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri keduanya.

a. Kudeta Sang Manarah
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari  Sanjaya  yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya, Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satu-satunya keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa laskar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk Hariang Banga, sang putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (Dewi Pangrenyep) termasuk Hariang Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, Hariang Banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh.

2. SANG MANARAH (739-783 M)
Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah  Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.
Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.

a. Ki Balangantrang
Ki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia / burut).  Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hapir seluruh keluarga Purbasora, ia yang waktu itu menjadi patihnya berhasil menyelamatkan diri. Ia juga merupakan kakek dari Sang Manarah, karena Naganingrum nmerupakan anaknya.
Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini  dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian  berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan. Ia dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang  yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat  diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan tersebut.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (Dewi Pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, Hariang Banga dapat membebaskan Temperan dan Dewi Pangreyep dari tahanan.
Tetapi tindakan Hariang Banga ini  diketahui oleh pengawal, yang segera memberitahu Sang manarah. Karena itu kemudian terjadi pertempuran antara Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Hariang Banga.  Sementara itu Tamperan dan Dewi Pangrenyep yang melarikan diri kemudian terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.

b. Serbuan Sanjaya Dari Bhumi Mataram ke Galuh
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan  besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh. Dilain pihak,  Manarah telah menduga  bahwa sanjaya tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siaga dengan pasukan  yang juga didukung oleh pasukan sisa Indraprahasta (kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi Wanagiri), dan raja-raja daerah Kuningan yang pernah ditaklukan oleh Sanjaya.
Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra Sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun  meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan  atas prakarsa  rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai : Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkandengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Hariang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh  hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manuraja suniya, mengundurkan diri  dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa  hingga akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun. 
                              
3. Guruminda Sang Minisri (mp.782-799 M)
Dalam Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang Manarah, yang menggantikannya adalah Sang Minisri,  yang berkuasa selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama 17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan 799 M.
Sang Minisri bergelar Prabu Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan mertuanya, Sang Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799 M, Sang Minisri menikah dengan Purbasari, putri dari Sang Manarah.  Guruminda Sang minisri dalam cerita Pasundan terkenal dengan nama Lutung kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya banyak diceritakan dalam kisah lutung kasarung tersebut. Ia kemudian digantikan oleh  Sang Tariwulan atau Prabu kertayasa.

4. Sang Tariwulan Prabu Kertayasa (mp. 799-806 M)
Sang Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7 tahun, dari tahun 799 sampai dengan tahun 806 M.
Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara, merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya Rakeyan Hujung Kulon menikah dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda menantunya, Rakeyan Hujung Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran hujung Kulon bergelar Prabu Gilingwesi.
Karena kakaknya, Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta galuh jatuh pada adiknya, Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.

5. Sang Welengan (806-813 M)
Sang Welengan dan bergelar Prabu  Brajanagara Jayabhuwana, menjadi penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu Kertayasa. Dalam Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia berkuasa di Galuh selam 7 tahun.

6. Prabu Linggabhumi (813-852 M)
Prabu Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan tidak diceritakan. Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan. Ia menjadi penguasa Galuh menggantikan Sang Welengan.  Setelahnya tahta Galuh kemudian diserahkan  kepada suami adiknya, Rakeyan Wuwus atau yang terkenal dengan gelar Prabu Gajah Kulon, cicit Banga yang menjadi raja Sunda ke-8.

7. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891 M)
Prabu gajah Kulon menjadi penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya,  Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit dari banga yang mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh bersatu kembali.
Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu adik perempuan rakeyan Wuwus  menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggatikan kedudukannya sebagai raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana atau Arya Kedatawan.
Dengan demikian sejak tahun 852 M, kerajaan Sunda dan galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara kerabat keraton Pakuan, Galuh dan Saunggalah. Dan terpecah lagi pada masa setelah Prabu Niskala Kancana, yang membagi kekuasaan bagi kedua anaknya, Prabu Susuk tunggal di pakuan sedang Prabu dewa Niskala di Galuh.
Dan kedua kerajjaan ini kemudian disatukan lagi oleh cucu Niskala wastu Kancana, yaitu Jayadewata, yang kemudian berghelar Sri baduga Maharaja. Dan era tersebut kemudian terkenal dalam sejarah Sunda disebut sebagai era Pakuan Pajajaran ataau Pajajaran saja, yang dinisbatkan kepada nama ibukotanya, pakuan Pajajaran.
Keturunan Sang Manarah  berkuasa hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (mp. 813-852 M). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adikny, yaitu Rakeyan  Wuwus Prabu Gajah Kulon (mp. 819-891 M), cicit dari Hariang Banga  yang menjadi raja sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 kedua kerajaan pecahan Tarumanegara itu diperintah oleh keturunan Hariang Banga, sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keratin Pakuan, Galuh,

I.B.2. Profil Raja-Raja Kerajaan Sunda
Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena twah siya, mo makéyan agama bener.
Rakéyanta ri Medang lawasniya adeg ratu tujuh tahun.
Rakéyanta Diwus lawasniya ratu opatlikur tahun.
Rakéyanta Wuwus lawasniya ratu tujuhpuluhdua tahun.
Sang lumahing Hujung Cariang, lawasniya ratu telu tahun, kaopatna panteg kena salah twah, daék ngala éwé sama éwé.
Rakéyan Gendang lawaniya ratu telulikur tahun.
Déwa Sanghiyang lawasniya ratu tujuh tahun.
Prebu Sanghiyang lawasniya ratu sawelas tahun.
Prebu Ditiya Maharaja lawasniya ratu tujuh tahun.
Sang lumahing Winduraja lawasniya ratu telulikur tahun.
Sang lumahing Kreta lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah rampés, turun na kretayuga.
Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu
Dalapan welas tahun.
Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan.
Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa.
Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun.
Manak Sang lumahing Taman lawasniya ratu genep tahun.
Manak deui Sang lumahing Tanjung, lawasnija ratu dalapan tahun.
Manak Sang lumahing Kikis, lawasniya ratu dwalikur tahun.
Sang lumahing Kiding, lawasniya ratu sapuluh tahun.
Manak Aki Kolot, lawasniya ratu sapuluh tahun.

I.B.1. Maharaja Tarusbawa
Tarusbawa merupakan raja kerajaan Sunda pertama, yang  berkuasa dari tahun 699 sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap sebagai bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Tohaan Sunda dalam naskah ini artinya raja sunda. Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah berikutnya.
Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta Tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  kemudian memindahkan ibukota  kerajaan yang baru  di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang).
Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian mendirikan ibukota baru.
Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Linggawarman kepada menantunya, Tarusbawa. Dari sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dan sejak itulah, Kerajaan Sundamulai dikenal dalam panggung sejarah.
Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanyamenjadi raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta Tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  melakukan beberapa kebijakan, diantaranya  memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, (Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada) yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.  Dalam Naskah  Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura  Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.
Dengan membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk mengembalikan kejayaanTarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya).  Tetapi, pada waktu itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang berkuasa di Galuh, yang telah berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya wilayah  dibagi 2, dengan bantuan besannya dari Kalingga, Ratu Sima.
Untuk menghindari perpecahan, akhirnya disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan kekuasaan. Tarusbawa disebelah barat citarum sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.
Putra Tarusbawa terbesar, dan sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.
Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang kemudian digantikan Sanjaya,suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.

I.B.2. Maharaja Sanjaya
Setelah Tarusbawa  meninggal (w. 723 M), Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya  berhasil merebut kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya, Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda  dan galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.
Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh, Sanjaya dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara.  Dalam urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh ia merupakan raja urutan ke-5.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi / hasrat untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh.  Ia melakukan penyerangan hanya  untuk menghapus  dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora, ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.
Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di tanah Galuh, yang menjadi  batara/ rahiyang di Galunggung, yaitu Sempak waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya.
Karena itu kemudian sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk menemui Sempak waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.
Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh.
Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja  disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.
Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya measa tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang ketiga serangkai di  Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan. Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.
Dengan kekalahan ini Sanjaya akhirnya harus mengikuti kemauan dari Batara Dangiang Guru.


I.B.3. Temperan Barmawijaya
Temperan  mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau Bhumi mataram).. Temperan berkuasa  selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M,  yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang manarah.
Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh  menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resi guru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 Masehi.
Ketika Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan istana  untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan. Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap Permana Dikusuma.
Premana Dikusuma ketika meninggalkan istana, juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun. Temperan mewarisi watak buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal  dengan pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan membuahkan  kelahiran Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri keduanya.

a. Kudeta Sang Manarah
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari  Sanjaya  yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya, Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh.

I.B.4. Hariang banga (739-766 M)
Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara  Manarah dengan Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh  Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diangkat menjadi raja sunda pada  tahun 739 Masehi, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), sang banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan setelahnya.
Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum

IV.B.5. Rakeyan Medang Prabu Hulu Kujang. (mp. 766-783 M),
Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang. Sebelum menjadi raja, Rakeyan Medang menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Ia merupakan putra dari Hariang banga dari istrinya Dewi Kencana Sari (keturunan Demunawan). Ia tekenal dengan nama  Rakeyan Medang, karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya).
Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang bernama Dewi Samatha. Sang putri kemudian menikah dengan Rakeyan Hujungkulon.  Karena Rakeyan Medang  tidak mempunyai anak laki-laki, maka  tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.

IV.B.6. Rakeyan Hujung / Hulon Prabu Gilingwesi (mp. 783-795 M).
Rakeyan Hujung Kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
Rakeyan Hujung Kulon berasal dari galuh, putra raja Galuh, Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.
Dari negeri ayahnya, tahta Galuh jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara pada tahun 795 M.

I.B.7. Rakeyan Diwus / Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara naik tahta kerajaan Sunda pada tahun 795 M, menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu Giling Wesi. Ia berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M.
Setelah meninggal,  kemudian digantikan oleh putranya, rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon.

I.B.8. Rakeyan Wuwus / Prabu Gajah Kulon  (mp. 812 - ….)
Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
Rakeyan Wuwus   menikah dengan putri Sang Welengan, Raja Galuh (mp. 806-813 M), yang bernama Dewi Kirana. Setelah Sang Welengan meninggal dunia, tahta Galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga Rakeyan Wuwus berkuasa atas Sunda dan Galuh, dan  Sunda Galuh berada di satu tangan lagi. Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Sunda Galuh dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah : Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah Kulon meninggal, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Hanya saja karena tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda, baru empat tahun memerintah ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.

I.B.9. Arya Kedathan / Prabu Darmaraksa (891-895 M)
Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik tahta degan merebut kekuasaan dari putra mahkota Batara Danghiyang Guruwisuda.
Selama berkuasa ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.

I.B.10. Rakeyan Windusakti / Prabu Dewageng (895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng Jayeng Buana, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Arya Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
Rakeyan Windusakti menikah dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi Sawitri.  Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti, mempunyai  dua orang putera, yaitu:  Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M. dengan gelar  Prabu Pucukwesi
                      
IV.B.11.Rakeyan Kamuning Gading / Prabu Pucukwesi (913-916 M)
Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

I.B.12. Rakeyan Jayagiri / Prabu Wanayasa (916-942 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.
Setelah mengkudeta kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan Jayagiri juga berusaha untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan Rakeyan Kamuning Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh, Rakeyan JayaDrata, yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya yang bernama Dewi Sundara.  Dan berbarengan dengan kudeta Jayagiri terhadap Kamuning Gading, di kerajaan Galuh terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.
Untuk menyempurnakan kekuasaanya, pasukan kerajaan Sunda kemudian diperintahkan oleh Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton Galuh. Tetapi ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua yang besar dan lengkap, dikerahkan untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuankedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
Karena tidak pernah dapat dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan sunda sebelah barat Citarum.
Rakeyan Jayadrata menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu, Rakeyan jayadrata mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut kekuasaan dari Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.

I.B.13. Rakeyan Watu  Agung / Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa  (942-954 M)
Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

I.B.14. Prabu Limburkancana  (954-964 M)
Prabu Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya Rakeyan Watuagung.
Ia merasa berhak tahta Sunda dan merebut kekuasaan sebagai balasan terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
Setelahnya, tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).

I.B.15. Rakeyan Sundasambawa / Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M)
Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.

I.B.16. Rakeyan Wulung Gadung / Prabu Jayagiri (mp. 973-989 M)
Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan wulung Gadung berkuasa di tanah sunda dari tahun 973 smpai 989 M.
Rakeyan Wulung Gadung menikah dengan Dewi Somya, yang merupakan putri dari Prabu Limbur Kencana, adik dari Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya, Rakeyan Sunda sambawwa tidak mempunyai anak, maka ia menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu Munding Ganawirya. Dari perkawinannya dengan Dewi Somya ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan gendang.
Rakeyan Wulung Gadung  ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).

I.B.17. Rakeyan Gendang / Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyanwulung gadung atau prabu Jayagiri, yang berkuasa selama 23 tahun..
Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang yang dikemudian hari menggantikan ayahnya menjadi raja sunda, dan Dewi Rukmawati, dinikahi oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan Galuh yang bertahta pada tahun 988-1012 M.
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)

I.B.18. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun. Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh, sehingga ia bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia kemudian mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 M. Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).

I.B.19. Prabu Sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang Ageung dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu Sanghiang” yang berkuasa selama 11 tahun.  Prabu Sanghiyang Ageung mewarisi tahta sunda dan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Sanghiyang yang meninggal dunia. Ia memerintah tanah sunda  dari tahun 1019 hingga 1030 M, dengan ibukota  di istana Galuh. Karena ia berkuasa atas Sunda dan galuh maka ia menyadang gelar Maharaja. Dan sebagai penguasa wilayah Kerajaan Galuh, ia percayakan kepada adik istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1019 M. Maharaja Sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030 M, tetapi Dewi Sumbadra berkuasa atas tanah Galuh hingga tahun 1065 M. Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.

I.B.20. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M). Dalam Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun. Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya.
Sri jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja : Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya Calakabhuana Mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
Sri jayabupati mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang dikemudian hari menggantikan sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima angkatan laut, Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak dari istrinya yang bernama Dewi Pertiwi), dan lainnya. Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.

a. Prasasti Peninggalan Sri jayabhupati
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte) :
D73
//0// Swasti  shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, ma-
D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97:
Sumpah denira prahajyan  sunda. Iwirnya nihan. 
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu.  Disebelah hilir dalam batas daerah  pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah)
Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda  lengkapnya tertera pada prasasti  ke-4 (D 98). Terdiri dari 20  baris, yang intinya menyeru semua  kekuatan gaib didunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya  kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal  menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan menantu dari Dharmawangsa.


I.B.21. Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)
Prabu Darmaraja dalam carita parahiyangan  dsisebut “Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja selama 23 tahun.   Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada tahun 1042 M. Ia berkuasa atas seluruh tatar sunda (Sunda, Galuh, Galunggung).
Pada awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh  saudara seayah, Wikramajaya,yang menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.  Tetapi pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima Angkatan Laut diganti oleh Wirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi Surastri, dan mempunyai beberapa orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai raja, Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan dan Wirayuda yang menjadi  Panglima Perang.
Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)

I.B.22. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)
Sang lumahing Kreta lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah rampés, turun na kretayuga.
Dalam Carita parahiyangan Prabu Langlangbumi disebut, “Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya yang sangat baik “lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”
Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda  menggantikan ayahnya, Prabu Darmaraja, dan berkuasa selama 90 tahun, sedangkan di galuh ia berkuasa selama 92 tahun.
Prabu langlangbumi lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155 M. Ia menikah dengan Dewi puspawati, putri dari Sang Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda, dan Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yang oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.
Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena di makamkan di kerta.Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M).

a. Hubungan Kerajaan Sunda, Galuh dan Galunggung
Sang  Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang bernama dewi Puspawati yang kemudian menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan Dewi citrawati, yang juga mengharap diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena hasratnya tidak tercapai, maka Dewi Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya, dewi Puspawati.
Karena melihat gelagat yang membahayakan, ayahnya, sang Resiguru Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi Citrawati dengan penguasa (raja)  Galunggung yang bernama Resiguru Sudakarenawisesa. Karena lebih memilih jalan hidup sebagai resi, maka Sudakarenawisesa menyerahkan tahta kerajaan Galunggung kepada istrinya, Dewi Citrawati, dengan gelar penobatan Batari hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Untuk mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut,  Maharaja Langlangbumi,  meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima, Suryanagara supaya diambil jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan :
• Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
• Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.

b. Prasasti Geger Hanjuang
Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya baris demi baris  sebagai berikut :
tra ba i gune apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu(k) ku batari hyang pun.
Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.
Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan (membangun parit pertahanan sebagai perlindungan). Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor.
Prasasti itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 M masih tetap dihormati. Dalam kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang kesejahteraan hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita.
Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya belum dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain.

c. Pelarian dari Kediri
Pada zaman (1065 - 1155 M) ada raja kediri yang melarikan diri ke tanah sunda, karena kalah perang, yang diungkapkan dalam Babad Galuh. Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu Langlangbumi diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ketatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad Galuh.

a. Perkembangan Politik di Luar Kerajaan Sunda di Masanya
a.1. Perang Besar Antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Sriwijaya Tahun 1103 M
Dalam naskah wangsakerta kitab Pustaka Rājya-Rājyai Bhumi Nusāntara diceritakan bahwa terjadi perang besar antara kerajaan Kediri an Kerajaan Sriwijaya padatahun 1103 Saka.  Perang terjadi di laut sebelah utara tatar sunda.

Raja Kediri, Sri Gandra yang bergelar Sri Kroncayyahanda Bhuwa(na)palaka pada tahun 1103 tahun Saka mempunyai keinginan untuk memperluas Kerajaannya. Kemudian ia    menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan disekitarnya. Dan ia berencana untuk menaklukan Sriwijaya. Disebutkan dalam amada lautnya yang besar berangkat beriringan menuju timur dan barat. Di sebelah timur ia banyak mengalami kemenangan. Tetapi serangannya ke wilayah barat, yang masih banyak dikuasai oleh Sriwijaya tersendat. Dan pertempuran terjadi di laut sebelah utara tatar kerajaan Sunda. Keinginan Raja Kediri untuk menakluan kerajaan Sriwijaya tidak tercapai. Daan akhirnya ia pulang dengan tangan hampa, karena serangannya dapat dihalau oleh tentara Sriwijaya.
Dan atas saran dari kerajaan Cina, agar kerajaan Kediri dan kerajaan Sriwijaya mengakhiri peseteruan dan melakukan perundingan untuk menjalin persahabatan pada tahun 1104 Saka. Dan perjanjian ini dilakukan di Sundapura, ibukota kerajaan Sunda. Dan hal ini disaksikan oleh beberapa utusan dari berbagai negeri, diantaranya: utusan dari Kerajaan Cina, utusan Kerajaan Yawana, Utusan Kerajaan Syangka, utusan Kerajaan Singhala, utusan Kerajaan Campa, utusan Kerajaan Ghaudi, dan beberapa utusan kerajaan dari Bumi Bharata.

I.B.23. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
Dalam Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan dalam Carita parahiyangan, karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan Sunda saja, yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat.
Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu selama 2 tahun, karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di sunda), dan di galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan wilayah Sunda ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan sekitarnya ia masih pegang sendiri.

Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan permaisurinya. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa. Ratna Wisesa menikah dengan  Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.

Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara meninggal  pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, jatuh ke menantunya, Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.

I.B.24. Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M)
Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu dalapanwelas tahun.
Dalam Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma hanya di sebutkan tempat meninggalnya “ Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa selama 18 tahun.
Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan mertuanya. Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3 kerajaan utama: Galunggung, Galuh dan Sunda).
Prabu Darmakusuma berasal dari Galunggung, ia merupakan cucu dari penguasa Galunggung, Batari Hiyang Janapati. Ia menikah dengan putri dari Raja Sunda, Prabu Menak Luhur, yang bernama Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Sang darmasiksa, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.        

I.B.25. Prabu Darmasiksa (mp. 1175-1297 M)
Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu
nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan Sanghiyang Siksa. Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun.

Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Dalam naskah wangsakerta kitab  Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara, disebut Prabu Ghuru Darmasiksa dengan gelar Prabu Sanghyang Wisnu atau disebut juga Sang Paramārtha Mahāpurusa
Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang berkedudukan di Pakuan.

Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.

Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.

I.B.25.a. Keluarga
Prabu Darmasiksa beristrikan putri dari Sriwijaya (Swarnabhumi), keturunan Maharaja Sanggramawijayottunggawarman yang sudah turun temurun. Dari perkawinannya dengan putri Swarnabhumi Raja Sunda berputera beberapa orang, dua orang di antaranya masing-masing yaitu,
•  Rakryan Jayagiri atau  Rakryan Jayadarma
•  Rakryan Saunggalah atau sang Prabhu Ragasuci kemdian disebut sang Mokteng Taman.

I.B.25.a.1. Rakryan Jayagiri atau  Rakryan Jayadarma
Rakryan Jayadarma menikah dengan keluarga Prabhu Jayawiçnuwardhana dari kerajaan Singashari, yaitu Dewi Singhamurti, yang merupakan putri dari  Mahisa Campaka. Dalam naskah Wangsakerta Dewi Singhamurti itu namanya Dyah Lembu Tal.
Dari perkawinannya dengan Dewi Singhamurti, Rakeyan Jayadarma mempunyai anak yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya. Yang dikemudian hari menjadi pendiri dan raja pertama  Wilwatikta atau kerajaan Majapahit, dengan gelar Kretarajasa Jayawardana atau Rahadyan Wijaya.
Rakryan Sunu Jayagiri Sang Jayadarmma tidak pernah menjadi Raja Sunda karena ia meninggal masih muda (ayahnya masih hidup). Karena itu, Dewi Singhamurti dengan putranya yaitu Raden Wijaya waktu masih kanak-kanak kembali ke negeri asalnya hidup bersama mertuanya yaitu Mahisa Campaka di Singashari.
Diceritakan bahwa ketika Raden Wijaya menginjak remaja, ia sangat pandai, mahir dalam segala ilmu, mahir memanah dan mahir dalam ilmu kenegaraan serta ilmu yang lainnya. Karena  Raden Wijaya  tinggal di keraton Singhasari bersama saudaranya yaitu Prabu Kretanagara, serta dia selalu belajar kepada beberapa menteri dan senapati, sang prabu, dan orang-orang yang mahir dalam ilmu pengetahuan. Karena itu, ketika Prabhu Kretanagara menjadi raja Singashari, Raden Wijaya dijadikan senapati angkatan perang Singhasari.

I.B.25.a.2. Rakryan Ragasuci
Rakryan Ragasuci menikah dengan Darapuspa,  putri Maharaja Trailokyaraja Maulibhuçanawarmmadewa, Raja Melayu Dharmaçraya. Sedang kakaknya Darapuspa yaitu Darakencana menjadi istri Prabu Kretanagara dari Singashari. Dan kakandanya Darakencana yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmmadéwa dijadikan rajamuda pada waktu itu juga. Kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya.
Adapun perkawinan Sang Prabu Ragasuci dengan puteri Melayu Darapuspa berputera beberapa orang, salah satu di antaranya Sang Prabu Citraghanda Bhuwanaraja, yang menggantikan ayahnya yaitu Sang Prabu Ghuru Dharmasiksa menjadi raja Sunda.

I.B.25.b. Pesan sang Raja Prabu Darmasiksa kepada Cucunya, Raden Wijaya
Waktu pertama mulai Raden Wijaya menjadi raja Wilwatikta, mertuanya yaitu Sang Prabu Ghuru Dharmasiksa sudah berpesan kepada cucunya, “Janganlah kamu memaksakan kehendak atau ingin menyerang dan menguasai Bumi Sunda, karena sudah dikelilingi oleh saudaramu nanti kalau aku sudah meninggal. Karena negaramu sudah besar, aman, dan sentosa. Aku tahu keutamaan cucuku dalam keunggulan dan kemenangan atas musuhmu, nanti engkau akan menjadi raja besar. Itu adalah takdir dari Hyang Tunggal yang sudah menjadi suratannya. Seyogyanya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan Sunda saling berdekatan erat, bekerja bersama-sama, saling mengasihi di antara saudara! Karena itu janganlah saling menyerang kekuasaan kerajaan masing-masing, sehingga menjadi baik, selamat, dan sejahtera! Jikalau Kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Wilwatikta sedapat-dapatnya memberikan bantuan, demikian juga Kerajaan Sunda kepada Wilwatikta!” Kemudian amanat Sang Prabu Ghuru Darmasiksa selalu ditaati oleh Raden Wijaya dengan setia, serta menepati janjinya.
Demikianlah, sejak berdiri Kerajaan Wilwatikta sampai pada enam puluh tahun Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Wilwatikta senantiasa rukun bersaudara, tidak pernah ada permusuhan, tidak pernah terjadi penyerangan antara Sunda dan Jawa. Kelak dengan perbuatan tercela yang dilakukan oleh sang Patih Amangkubhumi Ghajah Madalah hancurnya persaudaraan antara orang Sunda dengan orang Jawa.
Pada permulaan Raden Wijaya menjadi raja, di Kerajaan Sunda yang menjadi raja adalah sang Prabu Guru Darmasiksa, yang bertahta pada seribu sembilan puluh tujuh (1097) sampai seribu dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Saka. Kemudian digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Ragasuci, yang memerintah selama enam tahun. Raja Sunda Prabu Ragasuci adalah saudara Raden Wijaya. Oleh sebab itu raja Wilwatikta pertama yaitu keturunan bangsawan, karena dari pihak ayahnya dia adalah cucunda Prabu Ghuru Darmasiksa yaitu raja Sunda dari ibunya. Dia adalah cucu dari Ratu Angabhaya (Pelindung). Kerajaan di Bumi Jawa Timur. Sedangkan saudaranya yaitu Sri Maharaja. Kretanagara menjadi raja besar di Bumi Nusantara. Selanjutnya Raden Wijaya telah membuat perjanjian yaitu perjanjian persaudaraan dengan semua raja-raja daerah di Bumi Jawa Barat karena mereka semua satu keluarga. Lebih-lebih Raja Sunda sang Prabhu Dharmasiksa adalah mertuanya, Raden Wijaya senantiasa menghormati dan mempersembahkan hadiah benda-benda berharga kepada ayahnya. Kemudian sang Prabu Ghuru memberkati cucundanya. Pada masa sang kakek Sanggramawijaya menjadi.  Raja Wilwatikta, di antara kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara saling bersahabat dengan erat seakan-akan bersaudara. Akhirnya Kerajaan Wilwatikta dijadikan kerajaan luar biasa di Bumi Nusantara. Setiap negara mengirimkan  utusannya, tinggal di negara sahabatnya.
Kelak oleh Patih Amangkubhumi Ghajah Mada semua sahabat Kerajaan Wilwatikta dijadikan taklukan Wilwatikta. Negeri yang tidak mau takluk kemudian dibuatnya bertekuk lutut. Tetapi tidak semua negeri di Bumi Nusantara  takluk kepada Kerajaan Wilwatikta. Semenjak Kerajaan Melayu takluk kepada Kerajaan Sriwijaya lama antaranya. Tetapi setelah itu Kerajaan Singhasari kemudian menyerang Swarnabhumi, dan Kerajaan Sriwijaya sendiri tidak kuat menahan serangan dari balatentara Singhasari. Bukankah Sri Kretanagara menjadi menantu Raja Melayu.. Karena itulah Kerajaan Singhasari menjadi pemimpin Kerajaan Melayu. Sedangkan balatentara Sriwijaya melarikan diri ke utara. Kemudian sesudah itu Sri Kertanagara mangkat, di Swarnabhumi berdirilah kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masingberkuasa sebagai. kerajaan merdeka.
Terutama di Swarnabhumi bagian utara beberapa kerajaan Islam berdiri, yang menurut kabar berada di tepi pantai. Salah satu di antaranya ialah kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Paseh di  daerah Swarnabhumi bagian utara. Rajanya disebutsultan karena agamanya Islam.Sultan Paseh yaitu Al Malik Assaleh nama gelarnya. Beliau menjadi Raja Pasai lamanya dua belas tahun, yaitu pada seribu dua ratus tujuh (1207) Tahun  Saka hingga pada seribu dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Saka. Sesudah beliau mangkat, kemudian digantikan olehputeranya yaitu Sultan Muhammad Al Malik Al Jahir namanya. Beliau menjadi sultan selama dua puluh delapan tahun, yaitu pada seribu dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Sakahingga seribu dua ratus empat puluh tujuh (1247) Tahun Saka.Kemidian digantikanoleh puteranya yaitu Sultan Ahmad dengan bergelar Sultan Ali Jainal Abiddin Al Jahir, dan seterusnya.

I.B.25.c. Amanat galunggung
Prabu darmasiksa merupakan tokoh utama dalam memberikan nasehat nasehat  pada naskah Amanat Galunggung.
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, maka manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng) Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang maka manak Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang  sakabeh, nguniwéh sapilancökan, mulah pabwang³) pasalahan paksa, mulah paködöködö, asing ra(m)pes, cara purih, turutan mulah ködö di tinöng di maneh, isos- isökön carekna patikrama, jaga kita dek jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat ti timur sakuriling désa, musuh alit, musuh ganal mu(ng)ku kahaja urang miprangkön si tepet, si bener,si duga,si twarasi, mulah sida döng kulakadang, mulah munuh tanpa dwasa, mulah ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun, jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku4) Sunda, Jawa, La(m)pung, Baluk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya höb nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi5), lamun miprangköna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan, awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade, pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalian , muliyana kulit di jaryan, madan na rajaputra, antukna boning ku sakalaih, jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun di manéh, na carita boning ku sakalih ngaranya, na kabuyutan, jaga hamo isös di mullah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning) dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan, jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna, patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha di carék aki lawan buyut, upadina pa(n)day bösi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti, lanang wadon, nguniwéh na raja puta – ködö di tinöng di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang ködöanakéh, upadina kadi tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sapa ta wruh ri puncaknya, asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang höböl nyéwana, jaga kita miprangkön si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran , gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna agama, hana kahuripana urang sakabeh, mulah kwaywa moha dicarékna kwalwat pun. Ujar Rekéyan Darmasiksa, ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa, maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan döng ti Darma-agung, aya mangsesya patemwan don ti sisima pun. Makangaran San Raja Purana, carek Sang Raja Purana, ah ra(m)pes6) carek dewata kami, sya Rekeyan Darmasiksa pun. Jaga diturutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kwalyat, ngalalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun, hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda, jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pamonang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek, si niti si nityagata, si aum, si hööh si karungrungan, ngalap kaswar semu guyu/ng/ téjah ambek guru 7) basa, dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkön pada janma, mulah sabda ngapus, iya pang jaya prang höböl nyewana ngaranya, urang ménak maka rampés agama, haat héman dina janma, mana urang ka(n)del kulina, mana urang dipajarkön ména(k) ku na rama, carék na patikrama, na urang lanang wadwan, iya tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa, apana urang ku twah na mana bö(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa, na muji manéh kéh onam sugan ku ra(m)pés na twah mana bönghar, na maka nyösöl sakalih ja urang hantö tapa, nyösöl manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah mana burungna na tapa, hamwa karampes lamu(n) dipindaha(n) na twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan twah ja rang dipuji ku /suku/ sakalih, si cangcingan si langsitan si paka, si rajön-lökön, si mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa ém ét imöt rajön-lökön pakapradana, iya bisa ngaranya, titis bö(ng)har waya tapa kitu tu rampes twah na ménak, jaga isös di carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy swarga tka /t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwat si mumulan, si ngödöhan, si bantölö, dungkuk peruk, supenan, jangkelék, rahéké, mémélé, bra/h/hélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria, kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hantö di kabisa, luhya mumulan , mo tö(ng)töing, manggahang, bara/ng/- hual, nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana, sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan, téréh kapidéngé ,mwa teteg di carék wahidan, sulit rusit, rawa-ja papa, katang-katang di kalésa di kawah ma ku Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi neluh, mulana mumulan sangkana réya kahayang, hantö di imah di maneh,7) ménta twah ka sakalih, méntaguna ka sakalih, hantö dibéré ksel hatinya, jadi nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri paywagya di nu bener, na twahra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré,ma(ng)sana jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung, bökah, ta karah nunjuk lang/ng/it,tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya, umösi ta karah lagu tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)d ukur, ngarasa maneh kaösi, aya si nu hayang,daék tu make hurip na urang réya, agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana, pahi döng ayöh ngarana, hantö alaönana, kitu tu agama dina urang réa; ngarasa manéh imah kaösi, löit kaösi (da)yöh kaösi dipaké sikara dipaké simangké, dipaké hulangga, mwa kabita na paré téya kéna hantö alaönana, hantö turutanönana, na urang r(é) ya sarwadöng ayöh ngawara ngarana, mwa karampés, jaga rang téoh twah, bwa tu höböl nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang éwéan, jaga  ngara(m)pas, jaga ngasupkön hulun, ja rang midukaan, nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun, Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma böhöla aya tu ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana guna tan hana ring demakan, galah dawa sinambung/ng/an tuna, galah cöndök tinug(e)lan tka, a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh hantö tapa lalo tandang marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya gösan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama, réya patingtiman, pipirakan, ider-ideran, bwaga di kuras hayang r(é)ya hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanto tapa, salah paké urang ménak, na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké, na raja sabwana salah paké, böki awor-awur tanpa wastu ikang bwana, carék Rekéyan Darmasiksa surung réya gösan mangkuk höwöng kénéh mo réya éwé, surung pritapa soné, höwöng kénéh hatö tapa, mu(ng)ku kasorang ja urang hantö tapa, kéna hantö dika-bisa hantö dikarajöna, ja ku ngarasa man éh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an ku  na urang hamo tu galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana, nu pridana, nu takut sapa, nurut dina ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah cöndök tinugelan t(é)ka ngarana, hatina tö 8)  burung/ng/ ön tapa kitu ma na urang pun. Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana (a)pya, hantö ti 9) burung/ng/ ön tapa kita lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalwaön di manéh, gena(h) dina kagölisan, mulah kasimwatan, mulah kasiwöran ka nu miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-onhkoh di pitinöng/ng/ön di manéh, iya ra(m)pes, iya gölis……..
(Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan 1) Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, 2)bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana 3), Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang  berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas4) (turunan ke-9), sanak-saudara semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung.

Jangan benterok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri (saja). Camkanlah ujar patikrama, 5) bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak: musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan)6) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan7) di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi, 8) Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah 9) kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain. 10) Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi 11) (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur 12) kita sendiri dalam peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain 13 ) Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh ksar; lascar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut.
Bandingannya : pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan). Berkeras kepada keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak gunung. Siapa yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang dan lama berjaya.
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
(Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa, menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung pernah ia pun menikah dengan orang desa. (Putranya) bernama Sang Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi, 14) dia Rakeyan Darmasiksa.
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan, 15) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, 16)  agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17)  lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi. Dunia kemakmuran, 18) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, 19) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
yang bijaksana yang elalu berdasarkan kebenaran, yang bersifat hakiki,20) yang sungguh-sungguh, 21) yang memikat hati, 22) suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan23) sesama orang, jangan berbicara mengada-ada, 24) agar unggul perang dan lama berjaya namanya.
Kita merasa senang, 25) maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap26) bangsawan, 27) maka kita dikatakan orang mulia 28) oleh sang rama.
Menurut ajaran dalam patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Ada pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka orang lain akan memuji tapa kita, 29) maka puji sajalah diri sendiri,
(katakan:) barangkali karena sempurna amal maka menjadi kaya. Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal. Percuma (tidak akan diterima) jika amal itu dihilangkan  (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang lain; percuma kita menambah 30) amal bila mengharapkan dipiji oleh orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan, 31) ya berkemampuan namanya, benar-benar 32) kaya dan berhasil tapanya. Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik). Untuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, 33) lamban, kurang semangat, gemar tiduran, 34) lengah, tidak tertib, 35) mudah lupa, tak punya keberanian, 36) kecewa, luar biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak,) selalu berdusta, bersungut-sungut, menggertu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius,) mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang (tanpa disaring dahulu), tidak teguh memegang amanat,) sulit, rumit (mengesalkan) aib, nista.
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka) (dikuasai) oleh Sang Yamadipati. Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh, asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain, meminta
Kebajikan kepada orang lain. (Bila) tidak kesal hatinya, jadi mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita (adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang 41) namanya. Setelah berisi tiba saat 42) mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah berisi.
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka kehidupan orang banyak akan seperti peri-laku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah, saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa namanya. Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab nihil hasilnya, 43) Demikianlah peri-laku orang banyak; karena merasa rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah terisi, negeri44) telah ramai isinya, dijadikankekayaan, 45) dijadikan persediaan, 46) dijadikan perhiasan. 47) Tidak akan ada yang mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut ditiru.
Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya. Janganlah kita berwatak rendah, 48) pasti tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah memilih jodoh, 49) hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti hatinya.
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada sekarang, 50) Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya;51) ada jasa ada anugerah, tidak ada jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang disambung batang, 52) galah tusuk dipotong runcing.53)
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman, 54) banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak, 55) bertualang, senang (memelihara) ternak,  56) ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita tidak beramal (berkarya) baik.
Salah tindak para orang terkemuka, ya pemilik tanah, ya penguasa, ya pendeta, semuanya salah tindak, 57) ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini. Kata Rakeyan Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik 58) jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan bertapa.
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya, karena tidak memiliki keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri berbakat buruk, malah lalu kita jauhi, 59) percuma saja, (ibarat) galah panjang disambung batang namanya.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan, taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik mita bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju 60) kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan 61) (hal-hal) yang akan menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya sempurna, ya indah,....)


PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
Dalam bagian ini Rakean Darmasiksa lah yang banyak diungkapkan tentang kelebihannnya,“ ..... Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan.“Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.”


Rakeyan Darmasiksa atau  Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa. Ia naik tahta tahun 1175 M menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk Galuh, galuggung dan Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor) pada tahun 1187 M.

Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa merupakan titisan (jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna (Binajapanti)  dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan).

Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu :
• Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi
• Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah
• Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan Singasari. Dari perkawiannya memperoleh putra yang bernama rakeyan Wijaya atau raden Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai pendiri kerajaan majapahit.

a. Masa Kekuasaannya
Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M

b. Sebelum Menjadi raja Sunda
Sebelum menjadi raja sunda, Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di Saunggalah (Kuningan)   selama 12 tahun, mewakili mertuanya.  Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.

Pada awalnya ia berkuasa di Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian  memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak di daerah tasik selatan sebelah barat.

Sebagai pangeran, putra, Prabu darmakusuma  raja Sunda, ia kemudian  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1175 M.  Ia berkuasa  sebagai raja Sunda dan berkedudukan di Pakuan, sedang di Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya, Prabu ragasuci.

Disebutkan bahwa Rakeyan darmasiksa merupakan  penjelmaan dari ’Patanjala sakti’, yang semula menjadi  penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)  Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya yang bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat banyak).

c. Hubungannya dengan pendiri Majapahit, Raden Wijaya
Pabu Darmasiksa memiliki putra mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma  mempunyai istri yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri  Mahisa Campaka  dari kerajaan Singasari.

Dari perkawinan dengan Dyah Singamurti ini ia mempunyai anak  yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih terkenal dengan nama Rakeyan Wijaya, yang lahir di Pakuan (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena Jayadarma  meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah di Pakuan, akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Dengan meninggalnya Jayadarma  mengosongkan kedudukan putra mahkota. Karena anak dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari (jawa Timur), maka tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu Ragasuci.

Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci.

d. Nasehat Prabu Darmasiksa Terhadap Raden Wijaya
Prabu Darmasiksa masih  memiliki kesempatan  menyaksikan kelahiran Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya.  Menurut Pustaka II/2, Prabu Darmasiksa  pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada cucunya tersebut :

”Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanyarajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya mangkanajuga rajya sunda ring wilwatika”

Inti dari nasehat Darmasiksa ini menjelaskan tentang larangannya untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.

Mungkin dari nasehat inilah, dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama, atau Kidung Sunda, kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan wilayah taklukan majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang melawan Majapahit. Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih Gajah mada di kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini merupakan awal dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari  kemunduran dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan hingga abad ke-16 M.

E. Naskah Amanat Galunggung
Bukti tertulis peninggalan dari Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang sekarang dinamakan dengan naskah Amanat Galunggung.
Inti dari naskah amanat galunggung berisi :
• Keharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
• Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
• Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.
1. Tentang  gelar Dyah Singamurti, Dyah Lembu Tal, masih diperdebatkan dalam sejarah.
2. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng, yang berarti cucu dari Ken Arok dan Kendedes.
3. Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Ia juga merupakan keturunan Ken Dedes dari pihak ibu (turunan ke4). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci..

I.B.26. Rakeyan Saunggalah Prabu Ragasuci (mp. 1297-1303 M)
Prabu Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “Nu Hilang di Taman”.  Nama masih belum menjadi raja terkenal dengan nama Rakeyan Saunggalah, dan setelah menjadi raja bergelar Prabu Ragasuci. Ia  naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Karena sebelumnya, ayahnya,  Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).

Prabu Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota, karena kedudukan itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Karena Jayadarma meninggal ketika masih muda (usia 44 tahun), ia kemudian naik tahta menggantikan ayahnya.

Prameswarii Ragasuci yang bernama Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, dan merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama Citraganda, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
 Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.

I.B.27. Prabu Citraganda (1303-1311 M)
Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “Nu Hilang di Tanjung”. Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya tahun 1303 M, Prabu ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan galunggung) selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.

Ia merupakan putra dari Prabu Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Prabu Citraganda berprameswarikan Dewi Antini, yang merupakan putri dari Prabu Rajapurana.
Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Linggadewata. Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.                                      

I.B.28. Prabu Linggadewata (1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya “ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh  menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M). Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.

I.B.29. Prabu Ajigunawisesa (1333-1340 M)
Prabu Ajiguna Wisesa dalam Carita parahiyangan disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda (termasuk Galuh) selama 7 tahun dari tahun  1333 sampai dengan tahun 1340 M. Ia naik tahta menggantikan mertuanya Prabu Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang Hilang di Kikis). Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun. Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yaitu:
• Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan anak pertama, dan kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda.
• Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon.
• Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak bungsu. Ia diangkat  menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga.  Ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding atau dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang di Kidding”.

a. Cikal Bakal Kerajaan Talaga dan Sumedanglarang
Anak Prabu Ajiguna Wisesa yang ketiga yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh dianggap sebagai cika bakal kerajaan Talaga. Putra Suryadewata  yang bernama Suddhayasa, yang dikenal juga dengan nama Batara Gunung Picung atau batara gnung bitung dianggap menjadi cikal bakal kerajaan Talaga (Majalengka).

Batara Gunung Picung mendirikan kabataraan Gunungpicung di Talaga. Kabataraan di Gunung Picung diyakini sebagai kekuasaan kebataraan setelah kebataraan Tembong Agung, di Sumedang berubah menjadi kerajaan Sumedang Larang. Kekuasaan kabataraan gunung picung dari Batara Gunung Picung kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Sebelumnya Prabu Suryadewata, sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada Prabu Aji putih untuk membangun kabataraan Tembong Agung. Kabataraan Tembong Agung ini dikemudian hari menjadi kerajaan Sumedanglarang.


I.B.30. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M)
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Dalam Carita Parahiyaangan di sebutkan bahwa Sang Aki Kolot. Ia memerintah selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M). Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa terkenal juga dengan nama Sang Aki Kolot. Setelah meninggal, ia dikenal dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja  Linggabuana wisesa (mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.

I.B.31. Prabu Linggabuana Wisesa / Prabu Wangi (1350-1357 M)
Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretajuga.

Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357 M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.

Prabu Maharaja Linggabuana gugur di medan perang bubat, dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi. Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora. Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Bubat.

a. Pribadi
Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut :
”Di medan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.” juga tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (di daerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang. Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin  oleh Pati Gajah Mada  yang jumlahmya tidak terhitung.

b. Kebijakannya
Ia senantiasa  mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan  hidup rakyatnya di seluruh wilayah kekuasaanya. Kemashurannya juga sampai kepada negara-negara  di pula pulau dwipantara atau (nusantara namanya yang lain).
Kemashuran sang raja membangkitkan (rasa bangga kepada ) keluarga, mentri-mentri kerajaan, angkat perang dan rakyat pasundan. Oleh karena itu namanya mewangi. Selanjutnya ia kemudian bergelar Prabu wangi.

c. Perang Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya tercatat dalam suatu naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan geguritan Sunda.
Melihat rombongan Sunda yang tidak bersenjata lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda, sebagai pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.

d.Latar Belakang Perang Bubat
Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit  pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.

Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.

Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan :
• Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
• Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang  mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan).
• Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.
Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk  balas dendam.

e. Perang Bubat dan Karir Patih Gajah Mada
Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan  karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.

f. Yang Gugur Dalam Perang Bubat
 Dalam naskah Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
• Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
• Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya
• Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
• Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
• Gempong Lotong
• Sang Panji Melong Sakti
• Ki Panghulu Sura
• Rakeyan Mantri Saya
• Rakeyan Rangga Kaweni
• Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
• Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
• Rakeyan Juru Siring
• Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
• Sang Mantri Patih Wirayuda
• Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda)
• Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan)
• Ki Juru Wastra
• Ki Mantri Sebrang Keling
• Ki Mantri Supit Kelingking
*) Kidung Sunda merupakan sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa pertengahan yang berbentuk syair, dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Kidung Sunda ini  menceritakan tentang tragedy perang Bubat dengan detail.
*) Peristiwa bubat ini diyakini  merupakan akhir dari karier patih gajah Mada. Meskipun masih menjabat Patih, tetapi pengaruhnya mulai cepat berkurang.
**) Dari perkataan Patih Anipaken kepada Gajah Mada dalam Kidung Sunda, sangat jelas diungkapkan suatu perkataan yang menyebut kekalahan-kejkalahan pihak Majapahir dari kerajaan Sunda. Karena itu ketika rombongan raja Sunda tidak bersenjata lengkap, karena hanya mengantar penganten, maka timbul niat jahat dari gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda.

I.B.32. Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati (mp. 1357-1371 M)
Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Paké, basa nu wastu dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka déwata [43]. Nu ditiru ogé paké
Sanghiyang Indra, rukuta. Sakitu, sugan aya nu dék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daék éléh ku satmata. Mana na kretajuga, éléh ku nu ngasuh.

Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (umur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M) dengan gelar Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata. Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang raja  gugur.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.

Ia juga dikenal dengan nama  Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.

Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia mempunyai anak, yaitu:
• Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang
• Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh
• Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh.
• Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya,  yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang,  atau ada yang menyebut dengan nama Prabu Siliwangi 1.

a. Permintaan Maaf Dari hayam Wuruk
Kekalahan sang raja Linggabuana  dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf  dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda.

b. Undang Undang  ”Larangan Estri ti Kaluaran”
Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang  mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.

I.B.33. Prabu anggalarang  Niskala wastukancana (mp. 1371-1475 M).
Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretajuga.
Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké Sanghiyang Indra, ruku ta. Sakitu, sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku satmata. Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh.
Nya mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas. Ku b éét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.
Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.

”Negara akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)” (Prabu Niskala wastu kancana dalam Prasasti Kawali)
Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M). Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja. Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (Pakuan) dan sunda sebelah timur (Galuh).

a. Pribadi
Wastukancana berkembang menjadi seorang  raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:
”Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang  gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar,  mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan  disebutkan bahwa anaknya, Prabu  Niskala  Wastu kancana  adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.

b. Istri dan Anak Anaknya
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan  Mayang sari, putri sulung  Prabu rahyang Bunisora.

Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.

Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana  mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.

c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa niskala
Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasadi timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.

c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa  cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.

Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).

Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.

Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.

Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.

Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).

Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun. Karena putra mahkota, Pangeran Wastukancana masih kecil, dan masih terguncang oleh kematian ayah, ibu dan juga kakaknya. Maka disepakati bahwa Pangeran Wastukancana akan diangkat menjadi raja setelah ia dewasa. Dan untuk mengisi kekosongan tahta, maka diangkatlah raja pendamping, yaitu pamannya sendiri, Mangkubumi Suradipati. Dan bergelar Prabu Bunisora.

Setelah mulai remaja Wastukancana kemudian melanglang buana ke Lampung, yang waktu itu masih dalam pengaruh kerajaan Sunda. Dan dari Lampung ini, ia kemudian menikah dengan putri Raja lampung, yang bernama Lara sarkati. Dan kemudian menjadi prameswari pertamanya ketika ia diangkat menjadi raja pada tahun 1371 M, pada usia 23 tahun. Dari perkawinannya ini ia kemudian mempuanyai anak yang bernama Sang Haliwungan, yang dikemudian hari menjadi raja Sunda di Pakuan, dengan bergelar Prabu Susuk Tunggal.

Niskala Wastukancana juga menikah putri sulung pamannya,Prabu Rahyang Bunisora, yaitu Mayangsari, yang kemudian menjadi prameswari keduanya. Dari perkawinannya ini ia mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.

Setelah melihat cukup dewasa dan juga dianggap sudah layak menjadi raja, akhirnya  Raja Bunisora berencana untuk menyerahkan kekuasaannya kepada keponakannya dan juga menantunya, Pangeran Niskala Wastukancana. Karena Prabu Bunisora mau fokus untuk menjalani tapa brata.
Dan Prabu Anggalarang secara resmi naik tahta pada tahun 1371 M pada usia 23 tahun dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M). Ia berkembang menjadi seorang  raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:

Akhir Kekuasaan dan Suksesi
Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

Prabu Dewa niskala, nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.

Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M) merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa  cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).

Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati., Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M)
”Negara akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)”   (Prabu Niskala wastu kancana dalam Prasasti Kawali)
Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

a. Pribadi
Wastukancana berkembang menjadi seorang  raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:
”Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang  gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar,  mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan  disebutkan bahwa anaknya, Prabu  Niskala  Wastu kancana  adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.

b. Istri dan Anak Anaknya
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan  Mayang sari, putri sulung  Prabu rahyang Bunisora.
Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.
Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana  mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.

c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa niskala
Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasadi timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.

c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa  cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.

I.B.34. Prabu Susuktunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan, kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.

I.B.35. Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata (mp. 1482-1521M)
Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring Rancamaya, lawasniya ratu telupuluhsalapan tahun. Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang lor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Pada tahun 1482 M, Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

a. Masa Muda
Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Marugul) waktu bersaing  memperebutkan  Subanglarang, istrinya yang beragama Islam.
Dalam berbagai hal orang sezamannya  teringat kepada kebesaran  buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.
b. Istri Istrinya
Pada mulanya ia  memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di Singapura.Subang Larang  adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura Karawang. Dari turunan  Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara.
Jaya Dewata juga memperistri Kentrik  Manik Mayang sunda,  putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
c. Menerima Tahta Sunda dan Galuh
Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran.
d. Palangka Sriman Sriwacana
Dalam carita parahiyangan  diberitakan  sebagai berikut:
”Sang Susuk Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana  Sri Baduga  Maharajadiraja Ratu haji  di Pakuan  Pajajaran nu  mikadatwan  sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal  ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja  ratu penguasa  di Pakuan Pajajaran  yang bersemayan di keraton Sri Bima Punta  Narayana Madura Suradipati yaitu istana  Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
e. Pindahnya Ratu Pajajaran
Pindahnya putri Ambetkasih, istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari keraton timur (galuh) ke Pakuan, bersama istri-istri Sri Baduga yang lain, terekam oleh  pujangga yang bernama Kairaga di Gunung Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah pantun dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan) :
”Tersebutlah Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintasi tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari keration timur  hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di sanghiyang pandai larang keraton penenag hidup, bergerak barisan depan disusul  kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan. Bergerak tandu kencana beratap cemara  gading bertiang emas bernama  lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang berkuncup singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading berpuncak getas yang  bertiang berpuncak emas dan panjang  sabirilen berumbai potongan benang”
f. Kebijakan dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama  yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi  raja adalah menunaikan  amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti  peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
”Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan  sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota  di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’, ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan  kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah  yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”
g. Perekonomian dan Perdagangan
Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga dengan komentar :
”The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda  hingga ke kepulaan  maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa  mencapai  1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)  dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.
h. Gelar Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata. Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud menyebutkan  salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang  Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga  menikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan  Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.


I.B.36. Prabu Surawisesa (Mp. 1521-1535 M)
Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padarén, kasuran, kadiran, kuwamén. Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu. Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka Medangkahiyangan. Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana. Lawasniya ratu opatwelas tahun.
(Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen. Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa. Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan. Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.)
Prabu Surawisesa menjadi raja kedua di era kerajaan Pajajaran, menggantikan ayahnya Sri Baduga Maharaja yang meninggal dunia pada tahun 1521 M. Ia merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu  dari Prabu Susuk Tunggal.   Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Prabu  Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
Surawisesa dalam kisah-kisah tardisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati, berasal dari kerajaan  Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar minggu, Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri Mental Buana, cicit Munding Kawati, yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak  di tepi Ciliwung.
Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Diantara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi  bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata  mengisahkan ’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita panji.
a. Sebelum Menjadi Raja
Sebelum menjadi raja, ketika masih menjadi pangeran, ia pernah diutus oleh ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Ia pergi ke Malaka  dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan  pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
b. Reaksi Dari Cirebon dan Demak
Perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis sangat  mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk  perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di  Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda  yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk Demak, terancam putus. Maka kemudian Sultan Trenggono yang di pimpin oleh Fatahillah, yang menjadi senapati Demak menyerang Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.
c. Medan Peperangan
Surawisesa mewarisi tahta kekuasaan dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh oleh Cirebon, yang di bantu oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran Sunda. Selama 14 tahun berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa mengalami kekalahan, seperti apa yang diungkapkan dalam naskah Carita Parahiyangan.
Pada awal masa kekuasaannya wilyah Islam hanya berkonsentrasi di Cirebon. Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan pemberontakan. Tetapi ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu Demak mulai melancarkan serangan di berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka sama-sama keturunan dari Prabu Jaya Dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah Sunda. Perlawaanan Cirebon yang dibantu Demak mulai intensif ketika Cirebon di kuasai oleh cucu Prabu Jaya Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang terkenal dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.
Sunan Gunung jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah tersebut masih belum bisa di taklukan.
Dalam Carita Parahiyangan, medan-medan pertempuran tersebut, adalah :
• Kalapa, yaitu daerah sekitar pantai sunda kelapa sekarang. Dalam Naskah caarita parahiyangan, pasukan Islam ipimpi oleh Arya Burah, ataau Fatahilah dalam versi Islam.
• Tanjung, daerah Tanjung juga  terdapat di Jakarta sekarang (atau sekitar  Pasar minggu, Jakarta,). Kemungkinan di daerah mertuanya di Tanjung barat yang berada di tepi sungai Ciliwung.
• Ancol Kiyi. Wilayah ini juga terdapaat di Jakarta sekarang, yaitu di wilayah Ancol.
• Wahanten Girang (Banten). Medan perang juga terjadi di Banten. Meskipun pada awalnya Banten  dapat dipertahankan , tetapi pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.
• Simpang
• Gunung batu
• Saung Agung, wilayah Saung Agung diyakini merupakan wilayah Wanayasa, Purwakarta sekarang. Dan wilayah ini dapat ia pertahankan.
• Rumbut
• Gunung
• Gunung Banjar
• Padang
• Panggaokan
• Muntur
• Hanum
• Pagerwesi. Nama Pagerwesi pernah diungkapkan juga dalam Naskah Bujangga Manik. Ketika ia berada dipincak gunung papandayan yang dikenal dengan Panenjoan. Ia melihat pegunungan dan wilayah wilayah kekuasaan Pajajaran. Di arah selatan adalah wilayah Danuh, di timur Karang Papak, di barat tanah Balawong, merupakan Gunung Agung, pilarnya Pager Wesi.
• Medang Kahiyangan. Medang Kahiyangan merupakan nama Sumedang sekarang. Sebelum menjadi nama kerajaan Sumedang Larang, Sumedang lebih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan. Nama Medang Kahiyangan juga dapat ditemui dalam naskah Bujangga Manik. Setidaknya ia 2 kali melewati Medang Kahiyangan ini.
d. Kerajaan pajajaran setelah tahun 1926 M
Jika sebelum tahun 1526 M, wilayah Pajajaran masih tetap utuh, kecuali Cirebon dan sekitarnya, yang telah memisahkan diri.  Tetapi setelah tahun 1526 M, beberapa wilayah sunda satu persatu wilayahnya dikuasai oleh Cirebon dan Demak, termasuk Banten.
• Pada tahun 1526 M, Banten direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten.
• Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta (sekarang jakarta), dan menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Banten.
• Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
• Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.


I.B.37. Ratu Dewata (mp. 1535-1543 M)
Prebu Ratudé wata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu. Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka. Datang na bancana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang. Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedang. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandita sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Samangkana ta précinta. Prebu Ratudé wata, lawasniya ratu dalapan tahun, kasalapan panteg hanca dina bwana.
(Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem. Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu. Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku tukangna, pituin Sunda eta teh. Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung. Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut. Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara. Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara, henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya.  Katelah ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya)
Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta menjadi raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim  dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian).
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
”Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupanya penulis naskah ini melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek :  Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

a. Hubungan Dengan Cirebon dan Banten
Pada masanya perjanjian perdamaian  Pajajaran Cirebon  masih berlaku. Tetapi ratu dewata lupa bahwa ia merupakan tunggul (pimpinan) negara yang harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk beluk dalam politik.
Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata  ini terjadi serangan mendadak  ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya. Ratu Dewata  beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa,  dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten  (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran  Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.
Penyerang tidak berhasil  menembus pertahanan kota tetapi 2 orang perwira (senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan sarendet.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu  ini dengan cepat bergerak ke utara  dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam zaman Sri Baduga  merupakan desa kawikuan yang dilindungi negara.
 
I.B.38. Prabu Sakti  (mp. 1543-1551 M)
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
(Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe. Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa, ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita. Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh).
Prabu Sakti  menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  1543-1551 M. Untuk mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.

I.B.39. Prabu Nilakendra (mp. 1551-1567 M)
Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.
Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan. Lawasniya ratu kampa kalayan pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan beunghar. Lawasniya ratu genepwelas tahun.
(Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita. Dina jaman-jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta. Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat. Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi, Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu. Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean. Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borak-borak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana. Lilana jadi ratu genepwelas taun.)
Prabu Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang ke-5 menggantikan Prabu Sakti. Ia naik tahta pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

I.B.40. Prabu Nusya Mulya (mp. 1567-1579 M)
Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa [46], tembey datang na prebeda. Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam.
Prang ka Rajagaluh, éléh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, éléh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon [47], pun.
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan. Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang ka Jawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeh eleh ku urang Islam. Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun.
Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan dalam naskah Wangsakerta.
Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

I.C. Pusat Pemerintahan dan Daerah Kekuasaan Kerajaan Sunda
Ada 2 sumber penting yang membicarakan tentang letak ibukota kerajaan Sunda (kerajaan Pajajaran) yaitu Naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 M, dan Summa Oriental karya Tome Pires, penulis asal Portugis,
I.C.1. Letak Ibukota Pajajaran
I.C.1.a. Berdasar Naskah Perjalanan Bujangga Manik Prabu Jaya Pakuan
Dari kisah perjalanan Bujangga Manik yang paling berharga adalah kita bisa memperkirakan dengan jelas dimana lokasi Ibukota Pajajaran itu berada, dan juga jalan-jalan utama menuju ibukota, baik ke wilayah timur atau ke pelabuhan (pabeyan) kelapa (jakarta sekarang).
Dalam perjalanan pertama, setelah sang pangeran meninggalkan rumahnya di pakancilan, setelah melewati Umbul, ia kemudian sampai di  Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar,  pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus),,  aku pergi ke Tajur Nyanghalang  (sekarang Tajur),   turun menuju Engkih,  dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung).
Dan perjalanan kembalinya yang pertama, setelah dari kalapa (jakarta sekarang), ia berjalan melalui Mandi Rancan, Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), Samprok. menyeberangi Sungai Cipanas, melewati Suka Kandang, menyeberangi Sungai Cikencal, lewat Luwuk,  menyeberangi Sungai Ciluwer (Sungai Ciluar), sampai di Peteuy Kuru,  berjalan lewat Kandang Serang.,  Batur, menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampai di Pakuen Tubuy, melewati Pakuen Tayeum (Tayem sekarang) Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan,.
Pada perjalanan kedua, Bujangga manik mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang pertama. Dari Pakancilan, dan Umbul Medang, ia pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol. Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis.  Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin Bentik.
Pada perjalanan kedua, ia tidak pulang ke rumahnya di Pakancilan, tetapi ia memilih menjadi pertapa di tempat suci Karagcarencang  Hulu Sungai Cisokan Gunung Patuha.
Jadi jelaslah kita bisa menentukan lokasi dimana ibukota pajajaran berada, yaitu sekitar pakancilan, sebelah barat sungai Ciliwung, sebelah barat Nangka anak dan Tajur. atau sebelah selatan Tayeum atau Batur.
I.C.1.b. Berdasar Catatan Tome Pires

I.C.2. Pelabuhan Kerajaan Pajajaran

I.C.3. Nama Nama Negara Bagian / Wilayah di Kerajaan Sunda
Dalam Naskah perjalanannya ke tanah Jawa dan Bali, Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas batas wilayah suatu daeah dann nama kerajaan bawahan kerajaan sunda  diataranya:
• Galuh
• Saunggalah
• Karangpapak
• Pager Wesi.
• Danuh,
• Majapura.
• Pasir Batang
• Maruyung,
• Losari.
• Pada Beunghar,
• Kuningan,
• Talaga.
• Gunung Wangi.
• Mandala Dipuntang
• Sri Manggala,
• Saung Agung.
• Medang Kahiangan.
• Gunung Wangi,
• Sri Manggala.
• Saung Agung.,
• Hujung Barat.
• Gunung Anten.
• Batu Hiang.
• Kurung Batu.
• Sajra,
• Catih Hiang.
• Demaraja,
• Tegal Lubu,
• Bojong Wangi.
• Kujang Jaya.
• Karangiang,
• Karang.
• Rawa.
• Labuhan Batu.
• Wanten.

Dalam naskah Bujangga Manik tersebut diterangkan juga pebatasannya atau pilar atau penopangnya dari setiap wilayah itu.
• Pager Wesi (penopangnya: Gunung Agung),
• Majapura (penopangnya: Gunung Patuha),
• Pasir Batang (penopangnya: Gunung Pamrehan),
• Maruyung (penopangnya: Gunung Kumbang),
• Losari
• Pada Beunghar (penopangnya: Gunung Ceremay),
• Kuningan,
• Talaga (Walang Suji),
• Medang Kahiangan (penopangnya: Gunung Tampo Omas),
• Gunung Wangi (penopangnya: Gunung Tangkuban Parahu),
• Sri Manggala (penopangnya: Gunung Marucung),
• Saung Agung (penopangnya: Gunung Burangrang),
• Hujung Barat (penopangnya: Gunung Burung Jawa),
• Gunung Anten (penopangnya: Gunung Bulistir),
• Batu Hiang (penopangnya: Gunung Nagarati),
• Kurung Batu (penopangnya: Gunung Barang),
• Sajra (penopangnya: Gunung Banasraya),
• Catih Hiang (penopangnya: Gunung Catih),
• Demaraja (penopangnya: Gunung Hulu Munding),
• Tegal Lubu (penopangnya:  Gunung Parasi),
• Bojong Wangi (penopangnya :  batas Mener),
• Kujang Jaya, (penopangnya: Gunung Hijur),
• Karangiang, (penopangnya:  Gunung Sunda),
• Karang (penopangnya: Gunung Karang),
• Rawa (penopangnya: Gunung Cinta Manik),
• Labuhan Batu (penopangnya: Gunung Kembang),
• Wanten (penopangnya: Panyawung).
Dengan demikian Bujangga Manik cukup akurat menceritaan wilayah wilayah yang ada di kerajaan Sunda secara global.

I.C.3.a. Profil Kerajaan Wilayah Kerajaan Sunda
Telah dibahas sebelumnya, bahwa Bujangga manik telah memberikan info awal tentang wilayah wilayah yang ada di kerajaan Sunda. Meskipun tidak terlalu mendetail, tetapi infonya begitu berharga untuk penelusuaran sejarah sunda ke depan. Karena hingga kini belum ada data yang detail tentang penguasa pada wilayah wilayah tersebut. Jadi suatu kesempatan emas kaum muda sunda untuk menyelidikinya.

I.C.3.a.1. Mandala Puntang
Ngalalar ka Timbang Jaya, datang ka Bukit Cikuray, nyanglandeuh aing ti inya, datang ka Mandala Puntang.
(Berjalan melewati Timbang Jaya, pergi ke Gunung Cikuray, seturunku dari sana, pergi ke Mandala Puntang)
Dari kisah perjalanannya, Bujangga Manik berjalan dari Timbang jaya, melewati Gunung CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di tatar Sunda setelah Gunung Gede. (Gunung ini sekarang berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun).
Bujangga Manik ketika turun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang. Mandala Puntang adalah suatu kerajaan bagian dari kerajaan Sunda yang diperkirakan sekarang ada di Panembong Bayongbong Garut. Dan nantinya diperkirakan menjadi cikal bakal kerajaan   Timbanganten.
Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, kemudian Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, dengan ibukota di Tegal luar. Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.

I.C.3.a.2. Wilayah Danuh
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan, yang juga dipanggil Panenjoan, aku melihat pegunungan dari sana, jajaran (?) pemukiman di mana-mana, semua desa, semua pemukiman, peninggalan Nusia Larang yang mulia. Aku melihat mereka satu persatu. Di arah selatan adalah wilayah Danuh, di Timur Karang Papak,
Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran,  ke arah Selatan wilayah Danuh, di Timur Karang Papak, dan di Barat Balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.
Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung  mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
e. Wilayah Pager Wesi
di barat tanah Balawong, merupakan Gunung Agung, pilarnya Pager Wesi.
f. Majapura
Itu Gunung Patuha, penopang Majapura.
Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah Majapura.
Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan.  Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.
g. Pasir Batang
Itu Gunung Pamrehan, penopang Pasir Batang.
h. Wilayah Maruyung dan Wilayah Losari
Itu Gunung Kumbang, pilarnya Maruyung, ke arah utara wilayah Losari.
Bujangga Manik mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
i. Pada Beunghar, Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Itu Gunung Ceremay, pilarnya Pada Beunghar, di selatan wilayah Kuningan, ke baratnya Walang Suji, di situlah wilayah Talaga.
Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai  adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan  ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.
j. Kerajaan Padabeunghar
Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga Manik telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama kerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan  loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh  artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.
Seidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.
Sesampai di Saung Galah berangkatlah aku dari sana ditelusuri Saung Galah Gunung Galunggung di belakang, saya melewati Panggarangan melalui Pada Beunghar, Pamipiran ada di belakangku.
k. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui  kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan  bawahan keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari  Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.

Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile  atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma(ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya  masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali  pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang  menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun.  Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.

Masa Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.

Masa Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.

Ratu Selawati  (Sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.

l. Kerajaan Talaga
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian  Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang  mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi  dipindahkan ke Parung.

j. Medang Kahiangan (Sumedang sekarang)
Itu Gunung Tampo Omas, di wilayah Medang Kahiangan.
Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.
Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.

k. Wilayah Gunung Wangi
Itu Gunung Tangkuban Parahu, pilarnya Gunung Wangi.
Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah Gunung Wangi.
Gunung Tangkuban Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

l. Wilayah Sri Manggala
Itu Gunung Marucung, pilarnya Sri Manggala.

m. Wilayah Saung Agung
itu Gunung Burangrang, pilar dari Saung Agung.
Gunung Burangrang merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang  mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan  di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan).
Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Wilayah Hujung Barat
Itu Gunung Burung Jawa, pilarnya Hujung Barat.
Wilayah Gunung Anten
Itu Gunung Bulistir, pilarnya Gunung Anten.
Wilayah Batu Hiang
Itu Gunung Nagarati, pilarnya Batu Hiang.
Wilayah Kurung Batu
Itu Gunung Barang, pilarnya wilayah Kurung Batu.
Wilayah Sajra
Itu Gunung Banasraya, pilarnya wilayah Sajra, ke barat Gunung Kosala
Wilayah Catih Hiang
Itu Gunung Catih, pilarnya Catih Hiang. Wilayah Demaraja, Tegal Lubu, Sinday.
Itu Gunung Hulu Munding, pilarnya Demaraja, ke barat Gunung Parasi, pilarnya Tegal Lubu, ke timurnya Sedanura, yang menghadap wilayah Sinday.
Wilayah Rumbia
Ini Gunung Kembang, tempat segala macam pertapa, ti kidulna alas Maja, eta na alas Rumbia.
(Ke selatannya wilayah Maja, yang merupakan wilayah Rumbia. ti kidulna alas Maja, eta na alas Rumbia. ke selatannya wilayah Maja, yang merupakan wilayah Rumbia)
Wilayah Bojong Wangi
Ti baratna wates Mener, ta(ng)geranna Bojong Wangi.
(Ke baratnya batas Mener, pilarnya Bojong Wangi)
Wilayah Kujang Jaya.
Itu ta na Gunung Hijur, ta(ng)geranna Kujar Jaya.
(Itu Gunung Hijur, pilarnya Kujang Jaya)
Wilayah Karangiang
Itu ta na Gunung Su(n)da, ta(ng)geran na Karangkiang.
(Itu Gunung Sunda, pilarnya Karangiang)
Wilayah Karang
Itu ta na bukit Karang, ta(ng)geran na alas Karang.
(Itu Gunung Karang, pilarnya wilayah Karang)
Wilayah Rawa
Itu Gunung Cinta Manik, ta(ng)geran na alas Rawa.
(Itu Gunung Cinta Manik, pilarnya wilayah Rawa.)
Wilayah Labuhan Batu
itu ta na Gunung Kembang ta(ng)geran Labuhan Ratu.
(Itu Gunung Kembang, pilarnya Labuhan Batu)
Wilayah Wanten
Ti kaler alas Panyawung, ta(ng)geran na alas Wa(n)ten.
Ke arah utara wilayah Panyawung, pilar dari wilayah Wanten.