Prabu Aji Putih Raja Kerajaan Tembong Agung 671-721 Masehi (Versi Sejarah Umum)

Prabu Aji Putih adalah raja pertama Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang. Prabu Aji Putih memimpin kerajaan Tembong Agung. Kemandalaan Tembong Agung awalnya didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang.

Dan kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja dan pada paro terang bulan 14 Muharam tahun 678 masehi didirikan Kerajaan Tembong Agung.

Prabu Guru Aji Putih adalah putra Arya Bimaraksa putra Resi Jantaka yang beristerikan Ratu Komara alias Ratu Arta Arma Arta Arma Arsuta alias Dewi Komalasari alias Sunan Pancer putra Prabu Purbasora anak dari Wretikandayun. 

Prabu Guru Aji Putih menikah Dewi Nawang Wulan atau Dewi Ratna Inten putrinya Jaksa Wiragati alias Jagat Jayanata putra kedua Arya Bimaraksa dan Saribanon Kencana putra pertama Prabu Resi Demunawan Raja Saunggalah ke 1 Kuningan antara 748–797 Masehi. Jadi pernikahan antara Prabu Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan adalah pernikahan diantara keluarga karena menikahi putri pamannya yaitu Jagat Jaya Nata alias Jaksa Wiragati kakaknya Arya Bimaraksa ayahnya Prabu Aji Putih. Begitu juga mertua isteri Sari Banon Kencana putrinya Praburesi Demunawan adalah uwak isteri dari pada Prabu Aji Putih, karena Prabu Resi Demunawan putranya Sempakwaja kakaknya Prabu Purbasora kakeknya Prabu Aji Putih.

Buah Perkawinan Prabu Aji Putih dan Dewi Nawang Wulan melahirkan empat orang anak, yang sulung bernama Brata Kusuma atau Batara Tuntang Buana atau Batara Cakrabuana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Ajisaka alias Zainal Mustopa alias Embah Jalul, yang ke tiga Harisdarma alias Abidin Muja Hairi alias Embah Khotib di Limbangan Garut dan yang bungsu Jagat Buana alias Langlang Buana.

Wilayah Kerajaan Tembong Agung begitu juga makam Prabu Aji Putih, makam Arya Bimaraksa alias Sanghyang Resi Agung dan makam isterinya Prabu Guru Aji Putih yaitu Dewi Nawang Wulan kini telah terendam Bendungan Jatigede.

Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Kerajaan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku,  dan mendirikan Kerajaan Tembong Agung di kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada sejak abab ke 7 masehi. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih.  Beliau adalah putranya Ratu Komara atau Dewi Komalasari putrinya Prabu Purbasora Raja Galuh Pakuan antara 716-723 masehi dan Arya Bimaraksa putranya Resi Jantaka. Jadi Prabu Aji Putih adalah cucunya Prabu Wretikandayun, karena Prabu Purbasora dan Resi Jantaka putra-putranya Prabu Wretikandayun Raja Galuh Pakuan Pertama antara 612-702 masehi.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, di dalam kisah tradisional masyarakat Sunda dan Sumedang khususnya, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih pada tanggal 14 Muharam tahun 678 masehi sampai dengan tahun 721 masehi.

Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, jaman Prabu Tajimalela diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi atau aku dilahirkan untuk memberikan penerangan. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. 

Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung  (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Haji Aji Putih antara 678-721 masehi. Kemudian pada masa Prabu Tajimalela antara 721-778 masehi, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam. Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan, artinya Aku dilahirkan, untuk menerangi. 

Dalam sejarah Nusantara pra Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Raja Galuh Pakuan yang berkuasa yaitu Prabu Permana Dikusuma antara 724-725 masehi dan Tamperan atau Rakeyan Panaraban antara 724-739 masehi. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti.

Kemunculan Kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh Kerajaan lain, Kerajaan Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Kerajaan Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Arya Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Kerajaan Galuh, sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula oleh Prabu Resi Demunawan penguasa Kerajaan Saunggalah, Praburesi Demunawan merupakan putra dari Resi Batara Sempakwaja penguasa Galunggung, ayahnya Prabu Purbasora atau kakeknya Prabu Aji Putih.

Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuno sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewawarman bertahta di Salakanagara antara 130–168 masehi. Agama Sunda atau Sunda wiwitan menganut paham monotheisme atau satu Tuhan, seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : Nya Inyana anu muhung diayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa Maha Kawasa di sagala karep inyana, yang artinya Dia yang Tinggi dan Kuasa keberadaannya, tidak mempunyai rupa dan tidak mempunyai raga, tidak tercium tetapi Maha Kuasa di atas segalanya.

Agama Sunda atau Sunda wiwitan mengajarkan Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Maha kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. 

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun, yaitu : Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas, Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah dan  Buana Larang : neraka, letaknya paling bawah.  Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. 

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Aji Putih menjadi Resi Guru di Cipeueut meneruskan pedepokan ayahnya Arya Bimaraksa atau Sang Resi Agung menganut ajaran Sunda Wiwitan atau Agama Sunda yang artinya Suci yang mengakui Sang Pencipta itu Tunggal. 

Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan, jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama Islam dengan gelar Haji, bahkan disebut Haji Purwa Darmaraja. Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru Islam yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Darmaraja yang berarti orang Darmaraja pertama berangkat Haji. Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang Sunda yang masuk islam dan berdakwah di wilayah bawahan kerajaan Sunda Galuh.

Prabu Guru Haji Aji Putih awalnya menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Ilmu Kacipakuan, yaiitu "Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh". 

Lalu ilmu kacipakuan itu disempurnakan oleh Prabu Haji Aji Putih setelah kembali dari tanah Mekah dan memperdalam agama Islam, yaitu : "Sir budi cipta rasa, sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula maring Allah, Malaikat, khodam karomah roh suci maring Ingsun sejeroning urip, la illaha ilallah Muhamad rasulullah". Artinya : getaran jiwa untuk menciptakan perasaan, getaran perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat marifat diri untuk mendekatkan dengan Allah, Malaikat, kharomah roh suci untukku selama hidup. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhamad utusan Allah.

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Arya Bimaraksa atau Sanghyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan isterinya.

Secara berurutan penguasa kerajaan Sumedang Larang yang beribukota di Ciguling Sumedang Selatan sebagai estapet Kerajaan Tembong Agung mulai dari jaman berkuasanya : Prabu Pagulingan atau Prabu Manggala Wirajaya atau Prabu Jagabaya Raja Sumedang Larang antara 998-1114 masehi, lalu diteruskan oleh putranya yaitu Prabu Mertalaya atau Prabu Pagulingan atau Haji Raja Mukti Raja Sumedang Larang antara 1114-1237 masehi.

Di dalam versi lain dijelaskan tentang Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, atas perintah Prabu Suryadewata antara 1340-1371 masehi putranya Ajiguna Linggawisesa Raja Kerajaan Kawali antara 1333-1340 masehi atau sejaman dengan Jayadinata, Pandita Sakti dan Prabu Tirta Kusuma atau Sunan Tuakan, Raja-raja Sumedang Larang yang berkuasa antara 1237-1462 masehi, putra-putranya Prabu Mertalaya atau Sunan Guling Raja Sumedang Larang yang berkuasa antara 1114-1237 masehi. 

Lalu dilanjutkan oleh Ratu Istri Rajamantri putrinya Prabu Tirtakusuma atau Sunan Tuakan namun tidak lama karena diboyong oleh Prabu Sribaduga Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi Raja Sunda Galuh yang beribukota di Pakuan Bogor antara 1486-1521 Masehi, dan diteruskan oleh adiknya Ratu Rajamantri yaitu Ratu Sintawati atau Ratu Patuwakan Ratu Sumedang Larang antara 1462-1530 masehi.

Salam Santun

Tidak ada komentar