Prabu Aji Putih Raja Kerajaan Tembong Agung 671-721 Masehi (Versi Sejarah Darmaraja)


Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun. 

Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh mempersunting Dewi Minawati atau Dewi Minasih atau Putri Candraresmi Resi Makandria, melahirkan Sempak Waja, Jantaka dan Mandiminyak. Menginjak usia tua Wretikandayun turun tahta dari Keprabuan, kerajaan tidak diwariskan kepada Sempakwaja atau Jantaka, oleh sebab fisiknya tidak sempurna, Sempakwaja bergigi ompong dan Jantaka mempunyai penyakit Hernia. 

Mandiminyak mempunyai kesempurnaan dibandingkan saudaranya Sempakwaja dan Jantaka yang lahir dalam keadaan cacat fisik, Mandiminyak pemuda yang tampan rupawan, cerdas dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya. Oleh sebab itu mengangkat Mandiminyak menjadi Pemangku Kerajaan Galuh Pakuan. Sempakwaja dan Jantaka keluar dari keraton menetap di Gunung Agung yang sering disebut Gunung Galunggung.

Wretikandayun menyadari atas sikap anak sulungnya Sempakwaja dan  anak kedua Jantaka keluar dari keraton oleh sebab merasa dianaktirikan. Untuk mengobati kecemburuan Sempakwaja dan Jantaka maka  Wertikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu atau Wulandari persembahan dari kerajaan Saunggalah dan setelah menikah Sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra Purbasora.

Sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri, setelah menikah Jantaka dan Dewi Sawitri mengikuti kakaknya Sempakwaja bermukim di Galunggung,  namun karena merasa tidak enak hati tinggal di Galunggung pindah ke Denuh dan melahirkan Arya Bimaraksa. Arya Bimaraksa diasuh dari bayi, diasah sejak kanak-kanak.  Diasuh, diasah, dan dididik dengan ilmu panemu, jampe pamake, tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah berani. 

Setelah cukup dewasa Arya Bimaraksa dijodohkan dengan putrinya Prabu Purbasora yaitu Dewi Komalasari yang dalam kitab Waruga Jagat disebutnya Ratu Komara. Umur Arya Bimaraksa  berbeda sedikit dengan mertuanya Prabu Purbasora putranya Sempakwaja dari isterinya  Pwah Rababu atau Wulandari.

Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan Bratasenawa atau Sena menjadi pemangku kerajaan Galuh, penobatan tersebut mendapat reaksi dari kalangan pengagung, karena Bratasenawa lahir tidak melalui perkawinan yang syah, tetapi hasil perselingkuhan Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu atau Wulandari isteri Sempakwaja yang tidak lain kakak iparnya Prabu Mandiminyak sendiri.

Arya Bimaraksa dan Purbasora mengumpulkan pasukan dengan merekrut rakyat Limbangan dan rakyat Sumedang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh. Sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapi sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora dan menetap di Kerajaan Keling atau Kalingga Utara.

Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Arya Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya melahirkan : Adji Putih,  Usoro, Siti putih, dan Sekar Kencana. Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa. 

Sementara Bratasenawa mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga, Kemudian Candraresmi menobatkan Bratasenawa menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga Utara, kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Sanjaya. Kehadiran Sandjaya di Kalingga Utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa sebagai penguasa sah Galuh.

Berita tersebar ke setiap tempat, bahwa Sanjaya anak Bratasenawa mengumpulkan pasukan untuk merebut kekuasaan Kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Keraton Galuh dikepung oleh pasukan Sanjaya, diakhiri dengan perang besar. Prajurit keraton terdesak yang akhirnya Purbasora tewas. Sedangkan Arya Bimaraksa meninggalkan peperangan menuju kepatihan untuk menyelamatkan keluarganya, oleh sebab mendapat kabar kepatihan akan dikepung pasukan Sanjaya.

Kenyataan isterinya Arya Bimaraksa yaitu Dewi Komalasari dan kakak iparnya Wiradikusuma, dan Jaksa Wiragati,  tidak ada diruangan kepatihan, oleh sebab telah lebih dulu meninggalkan kepatihan untuk menyelamatkan diri, melewati daerah yang sukar ditemukan musuh dan melewati gunung-gunung dan sampai di hutan Seger Manik, yang sekarang berada di Sagara Manik Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan. Dan ditempat itu ada makam Dewi Komalasari atau Ratu Komara atau Sunan Pancer dan kakaknya Wira Dikusuma atau Sunan Pamret, makam Jaksa Wiragati dan Petilasan Prabu Purbasora.

Sedangkan Patih Arya Bimaraksa berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak patih Arya Bimaraksa, Patih Arya Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Cakrabuana, Gunung Penuh, Mandalasakti, Gunung Sangkanjaya, Gunung Nurmala. 

Berdasarkan cerita rakyat turun-temurun yang ada di Cipancar Sumedang, ketika masih kecil Aji Putih dan adik-adiknya Usoro, Siti Putih dan Sekar Kencana juga berada di Sagara Manik dengan kedua orang tuanya yaitu Arya Bimaraksa dan Dewi Komalasari. Aji Putih dan ayahnya Arya Bimaraksa lalu mendirikan Padukuhan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas, dan selanjutnya pindah lagi ke Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja.

Padepokan banyak didatangi orang, yang sengaja untuk belajar ilmu pengetahuan. Murid-muridnya diajari ilmu agama, ilmu bertani, agar bisa menanam padi, kacang, ketela pohon dan umbi-umbian demikian juga  bisa memelihara peternakan seperti kambing, sapi, domba, munding dan sebagainya. Akhirnya dusun-dusun bermunculan di sepanjang aliran sungai Cihonje, sungai Cibayawak dan sungai Cimanuk. Tegalan-tegalan dibuatkan rumah-rumah panggung, pasir-pasir ditanami bambu, tanah yang lengkob dibuat kolam, sungai dirumat, air dilokat agar menyuburkan lahan-lahan pertanian.

Prabu Aji Putih menyatukan pedusunan-pedusunan di daerah Lemah Sagandu dan sekitarnya. Ketika purnama bulan Muharam tahun Saka, Prabu Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung, lokasinya di daerah Muhara Leuwihideung, tidak terlalu jauh  dari sungai Cimanuk dan Sungai Cihonje. Bangunan keraton bahan-bahannya terbuat kayu beratapkan injuk, model susuhunan julang ngapak menghadap alun-alun maya datar. 

Setelah mendirikan keraton lalu Aji Putih dan ayahnya Arya Bimaraksa membangun padepokan bertempat di daerah Muhara Leuwihideung dikenalnya Bagala Asih Panyipuhan. Bagala artinya tempat, Asih artinya silih asah, silih asuh dengan sesama. Panyipuhan artinya membersihkan batin dari segala dosa. Lalu Arya Bimaraksa menitipkam padepokan kepada putranya Astajiwa, oleh sebab mendapat undangan dari Prabu Permana Dikusuma atau Resi Ajar Padang yang berkeraton di Ciduging Darmaraja. Dan Arya Bimaraksa diangkat sebagai mandatnya Prabu Permana Dikusuma di Kerajaan Galuh Pakuan di Kawali atau dalam bahasa sunda diwalikeun (diwakilkan).

Pekarangan keraton Tembong Agung yang dikelilingi dengan pagar kayu, disebelahnya Bale Agung dan Bale Alit yaitu tempat berkumpulnya para petinggi kerajaan dan tempat tinggalnya keluarga Raja. Setelah dinobatkan menjadi Raja Tembong Agung Aji Putih mempersunting Ratna Inten Nawang Wulan yang pintar menari ronggeng dan digelari Ronggeng Sadunya, putrinya Jagat Jayanata atau Jaksa Wiragati putranya Jantaka. Nawang Wulan adalah masih cucunya juga Prabu Demunawan Raja Indraprahasta Kuningan dari isterinya Saribanon Kancana. 

Dalam mengangkat para petinggi kerajaan,  Prabu Aji Putih mengangkat para petingginya dari garis keluarga atau adik-adiknya yaitu : Astajiwa diangkat menjadi patih, Darma Kusuma diangkat menjadi ahli kenegaraan, sedangkan Siti Putih dan Sekar Kencana menjadi pengawas para emban di keputren. 

Prabu Guru Aji Putih dari permaisurinya Ratna Inten Nawang Wulan mempunyai 5 orang anak : Brata Kusuma gelar Prabu Tajimalela, Sakawayana alias Zainal Mustopa alias Embah Jalul,  Harisdarma alias Abidin Muja Hairi alias Embah Khotib di Limbangan Garut, dan Langlangbuana alias Jagat Buana. 

Yang menjadi  landasan ideologi kerajaaan Tembong Agung ada 5 perkara yang disebut Panca Prabakti Abdi Nagara. Artinya yang menjadi pokok utama mengabdi kepada negara ada 5 perkara dan diterangkan dalam cerita-cerita lisan yang turun temurun. Dan yang disebut lima  perkara itu adalah : Pancer, Tanjer, Uger, Jejer dan Lilingger.

Pancer artinya teguh pada pendirian, tidak terbawa arus atau tidak mempunyai pendirian.

Tanjeur, sasmitanya besar kemauannya atau keberaniannya dalam membela negara dan kepentingan rakyatnya. 

Uger, perlambangnya pedoman dalam menjalankan pemerintahannya harus taat kepada aturan Tuhan, aturan Agama, aturan Negara, aturan Hukum dan aturan Tradisi. 

Jejer, simbolnya jajaran pemerintahan yang meliputi skill dan sistem. Dalam menempatkan para petinggi keraajan meskipun berdasarkan dari garis keluarga, tetapi disesuaikan dengan keahlian masing-masing, sebab jika menentukan petinggi tidak sesuai dengan keahliannya maka tinggal menunggu kehancuran.

Lilinger yaitu visi dan misi tegasnya rencana kedepan dan tujuan-tujuan jangka panjang. Perkara itu yang menjadi pokok dalam menempatkan dan memekarkan Kerajaan Tembong Agung.

Tata cara pemasrahan tahta kerajaan kepada raja baru didasari faktor umur, paling rendah 22 tahun. Cara-cara menguji bakat dan kemampuan calon raja diuji melalui cara-cara spiritual salah satunya untuk menempa mentalnya, sebagaimana dijelaskan dalam cerita-cerita lisan yang tumbuh di wilayah Darmaraja dan sekitarnya. Oleh sebab Darmaraja dahulu luas sekali wilayahnya di timurnya Gunung Jagat, Gunung Mandalasakti, Gunung Pareugreug dan di baratnya  Gunung Lingga. Wilayah tersebut merupakan energi mistik alam semesta yang merangkum peta kesuburan lahan Tembong Agung. Tembong artinya nampak, kelihatan. Agung yaitu adi luhung.

Berdasarkan sumber lain, Kerajaan Tembong Agung sejaman dengan Kerajaan Galuh Pakuan antara 640-724 masehi, Kerajaan Sunda antara 669-1311 masehi dan Kerajaan Medang Kahiangan antara 670-678 masehi yang berada di suku Gunung Tampomas. 

Cerita rakyat yang turun temurun menjelaskan riwayat Prabu Guru Aji Putih setelah turun dari tahta keprabuan menyerahkan kekuasaan kepada putranya Brata Kusuma dengan gelar Prabu Tajimalela atau Batara Cakrabuana atau resi Tungtangbuana. Sesudah turun dari tahta keprabuan, Aji Putih menetap di Bagala Asih Panyipuhan terletak di Cipaku, silibnya pakuning alam, pakuning bumi dan penguat bumi, penguat alam rasa alam pikir, akal dan rasa. 

Menurut pandangan rakyat Darmaraja sikap tukuh Cipaku adalah pendapat yang hakiki, merah tetap merah, putih tetap putih. hitam tetap hitam, dalam berperilaku tetap dalam kepribadiannya. Kepribadian suri teladan leluhur dijelaskan dalam cerita yang menggambarkan keteguhan dan kearifan Prabu Aji Putih dalam menghadapi perubahan-perubahan jaman.

Sewaktu Prabu Aji Putih mengasingkan diri ke tempat sunyi di Kamandalaan Cipeueut, beliau mendengar suara tanpa wujud : "Suatu waktu jalan kearifan akan tidak ada penghalang dari pintu Mekah sampai ke pulau gosong Afrika. Manusia berduyun-duyun mencari kearifan, tetapi tidak tahu yang disebut Arif. Buka isinya dariku".  Sejak saat itu Aji Putih siang malam, pagi  sore, berbicara dengan batin dirinya atau berpikir dalam alam pikir dan alam rasa dirinya sendiri, penasaran untuk membuktikan wangsit Ghoib dari leluhurnya penuh dengan rasa penasaran.

Aji Putih dan isterinya meninggalkan Bagala Asih Panyipuhan berangkat menuju pesisir pantai tujuannya daratan Teluk Persia tiada lain Negeri Mekah, maksudnya mau menyakinkan wangsit leluhurnya. Menurut cerita Aji Putih dengan isterinya melintasi lautan dari pelabuan Cirebon ke tempat yang dimaksud, oleh sebab dahulu Cirebon sudah menjadi pelabuhan paling tua di Pasundan tempat persinggahan dan perdagangan dari negeri Cina, negeri Arab dan negeri-negeri lainnya.  Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya sebaran keramik Cina dari masa Dinasti Tang antara 618–907 masehi.

Di teluk Persia bertemu dengan Sayyidina Ali, dari silaturahmi menjadikan pertemuan hubungan yang panjang akhirnya Aji Putih memeluk agama islam serta menjadi muridnya. Di negeri Mekah diajari ilmu sareat, hakekat, tarekat dan marifat. Sehari-harinya tidak pernah dari tasbeh kayu, baru menyadari yang disebut Bintang Kerti buktinya tasbeh. untuk menyempurnakan Islamnya. Prabu Aji Putih melakukan ibadah haji, gelarnya Haji Purwa Darmaraja, yaitu Haji yang paling dulu mempunyai gelar Haji di Keraton Darmaraja dan Prabu Guru Haji Aji Putih adalah orang Jawa yang masuk Islam dan berdakwah di wilayah bawahan Kerajaan Sunda Galuh.

Sebelum pulang ke tempat asalnya, Aji Putih menerima perintah dari gurunya harus mendirikan Mesjid Jami dan tempat-tempat berwudu. Sekembalinya dari negeri Mekah, Aji Putih melaksanakan perintahnya gurunya yaitu mendirikan mesjid atau surau terletak di suku Gunung Penuh, oleh sebab mesjid kosong malah rakyat di sana mencemooh sambil menertawai mendengar kata Mesjid, tandanya merubah keyakinan agama bukan pekerjaan yang mudah, tetapi memerlukan cara-cara yang halus agar tidak menyinggung perasaan, begitu juga bila menimbulkan konflik. Oleh sebab gagal dalam mendirikan mesjid atau masigit dalam bahasa sunda di tempat itu, tempat itu dinamakan Gunung Masigit. 

Setelah itu berpindah-pindah tempat sambil membuat tempat-tempat bersuci atau berwudu di 7 muhara, yaitu: Cikajayaan, Cikahuripan, Cilemahtamba, Cikawedukan, Cikatimbulan, Cimaraja dan Cisudajaya. Setelah mendirikan tempat-tempat bersuci atau berwudu, menetap di padepokan Cipeueut meneruskan tapak lacak ayahnya Aria Bimaraksa atau Sang Resi Agung. Sejak saat itu Cipeueut diganti namanya menjadi Cipaku. 

Padepokan  didatangi oleh orang-orang yang dengan sengaja datang untuk menuntut ilmu. Para cantrik dan muridnya dikenalkan kepada pokok-poko agama Islam, melewati falsifah aksara sastra yang disusupkan dalam rupa-rupa tradisi budaya.  Yang disebut Sanghyang Widi adalah Tuhan yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, tegasnya Allah lebih dahulu ada, supaya dan agar Marifatullah diajarkan sahadat : "Sir budi cipta rasa, sir raga papan rasa, dzat marifat wujud kula maring Allah, maring malaikat, maring khodan karomah suci, maring ingsun sajerning urip, La ilaha illallah Muhammadurrosulullah" 

Sejak saat itu murid-muridnya mulai mengenal kepada ajaran Islam, tetapi pada menyebutnya agama selam. Dalam satu waktu, Prabu Aji Putih menjelaskan perihal ibadah haji, lisannya : "Engkau tidak usah melaksanakan ibadah haji, jikalau tetanggamu tidak mempunyai pakaian, miskin sandang pangan, tetangga masih menjerit karena perutnya lapar sebab tidak ada makanan, cukup diwakili olehku. Jika engkau belum kuasa diperjalanannya, kamu cukup menjadi haji batin saja". 

Maksud Prabu Aji Putih sebenarnya bagus, karena mungkin pada waktu itu belum makmur semua rakyatnya sering kena paceklik tanaman akibat hama, begitu juga waktu itu perjalanan ke tanah suci bukan hal yang mudah dan perjalanannya pun berbulan-bulan, belum lagi menghadapi para perompak laut, jadi perlu siaga fisik dan jasmani. 

Begitu juga jangan sudah menjadi haji tetapi tidak menjadi haji yang marifatul ihsan, dan tidak semua muridnya mengerti, malah ada sebagian salah dalam menerapkannya, sampai akhirnya timbul pacaduan, katanya orang Cipaku tidak boleh melaksanakan ibadah haji, akibat salah dalam menerapkan petunjuk gurunya.

Aji Putih menegaskan sahadat kepada murid-muridnya, yang disebut sahadat ikrar jangji ruh dan jasadnya, jangji manusia kepada Tuhannya, janji manusia kepada rosulnya. Kalau sahadat sudah bersemayam dalam dirinya, imanya tidak akan tergoda atau tergoyahkan, teguh kepada keyakinan dan kepribadiannya. Selain engkau berjanji kepada diri sendiri, berjanji kepada Tuhanmu, berjanji kepada rosulmu, harus berjanji pula kepada leluhurmu sebab keturunan yang mewarisi, tegasnya orang yang dahulu hidup di dunia, yang mewariskan ilmu pengetahuan dan harta benda. Tidak akan ada yang sekarang, kalau tidak ada yang dahulu. sekarang lain dahulu, dahulu lain sekarang, tapi yang sekarang itu ada karena yang dahulu. 

Untuk mengentalkan hati murid-muridnya agar sayang kepada  tanah kelahirannya, diwarnai dengan Sahadat Cipaku, yaitu : "Sang Kuncung Batara wenang, Sanika ku Allah, langit ngait jagat rapak, tarima badan kaula sirna Adam, Hu Allah, Hu Allah, La ilaha illallah". Artinya : Sang Kuncung Batara wenang tegasnya sebagai abdi pelayan spiritual Maha Kuasa. Sanika ku Allah tegasnya atas kemauan Allah. Langit ngait jagat rapak tegasnya langit ibarat dikaitkan, alam raya ibarat dihamparkan. Tarima badan kaula sirna Adam tegasnya menerima bahwa kita hidup sesudah Adam pulang ke alam langgeng. Allah Maha Agung, tidak ada lagi yang wajib disembah kecuali Allah.

Selain itu, Prabu Adji Putih mengajarkan cara-cara meminta pertolongan Allah, menggunakan sasmita Alif. Tegasnya alif dijabar jadi a artinya akal, alif dijeer jadi i artinya iman, alif dipees jadi u tegasnya upaya. 

Meminta pertolongan Allah harus memakai akal, usaha dan iman. Akalnya segudang, pandai, berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan, tapi kalau tidak dibarengi dengan iman, banyak orang yang merusak kekayaan negara, merampas hak orang lain. Begitu juga imannya bagus, berusaha rajin, tetapi akalnya tidak dipakai, banyak orang yang tertipu dirinya sendiri dan oleh orang lain. Sebaliknya iman kuat, akalnya  pintar, tetapi malas berusaha kecuali mempunyai simpanan harta waris, banyak orang berkata tanpa bukti, tidak bisa mencari kifayah, akhirnya menunggu pemberian orang lain.

Falsifah alif disilibkan dalam tanda satu nisan kuburan yang sudah ada dari jaman sunda pra islam dahulu sekali, bagi orang Cipaku kalau meninggal tanda nisan kuburan harus satu, tegasnya simbol alif menunjukan bahwa Allah itu Maha Tunggal tidak ada duanya, keyakinan mesti ada dalam kepribadian, teguh dan kuat pendirian dalam aturan dan keyakinan, memiliki semangat tinggi dan tidak mudah goyah, berjalan dalam kepribadian yang hakiki. Petunjuk gurunya menambah keyakinan dan pengetahuan agama, serta menjadi ketentuan hidup sehari-hari. Aji Putih menyempurnakan ilmunya di Cipeueut, pasrah kepada Tuhannya menunggu titis-tulisnya kembali ke alam langgeng.

Salam Santun

Tidak ada komentar