Sekilas Sejarah Galuh
Tokoh Resiguru dalam carita parahiyangan adalah Raja Resiguru Manikmaya suami Dewi Tirtakencana atau menantu Prabu Suryawarman penguasa Tarumanagara ke tujuh antara 515 -535 Masehi
Resi Manikmaya oleh Prabu Suryawarman diberi wilayah Kendan untuk penyebaran ajarannya, setelah pengikutnya banya Resiguru mendirikan Kerajaan Kendan sebagai negara bawahan Tarumanagara. Pada tahun 568 M, Resiguru wafat, sebagai penerus Kerajaan Kendan adalah Sang Baladhika Suraliman. Penobatan Rajaputra Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagean poek bulan asuji tahun 490 Saka atau 5 Oktober 568 Masehi
Dalam perkawinannya dengan Dewi Mutyasari putri Kerajaan Bakulapura (Kutai) keturunan keluaraga Kudungga, memiliki seorang putra dan putri. Yang putra diberi nama Kandiawan sebagai penerus tahta dan Kandiawati.
Prabu Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun, dari 568-597 Masehi. Selanjutnya tahta Kerajaan Kendan dipegang oleh Kandiawan. Sebelum ayahnya wafat, Kandiawan telah menjadi Raja daerah di Medang Jati, karena itu ia digelari Rahiyangta ri medang jati.
Setelah menjadi Raja, Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Kandiawan menjadi Raja Kendan hanya 15 tahun, yaitu dari 597-612 Masehi. Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, ia menjadi pertapa di Layungwatang daerah Kuningan. Sebagai penggantinya ia menunjuk putra bungsu yang bernama Wretikandayun yang saat itu sudah menjadi Rajaresi sebagai raja daerah di wilayah Menir.
Praburesi Kandiawan memilih Wretikandayun, oleh penulis Carita Parahyangan dengan selubung halus, menerangkan : Sang Mangukuhan memilih hidup menjadi peladang, Sang Karungkalah memilih hidup menjadi pemburu, Sang Karungmaralah memilih hidup menjadi penyadap dan Sang Sandanggreba memilih hidup menjadi pedagang.
Peladang, panggerek, panyadap dan padagang merupakan sindiran halus bahwa ke empat kakak Wretikandayun tersebut lebih memilih hidup untuk kepentingan pribadi, daripada kepentingan untuk ketatanegaraan dan ketatawilayahan.
Kerajaan Galuh adalah kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cisarayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Dalam Naskah Wangsakerta, Linggawarman adalah raja terakhir Tarumanagara. Linggawarman antara 666-669 masehi mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 masehi, Linggawarman wafat digantikan menantunya, Tarusbawa. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibu kota) Sundapura. Dalam tahun 670 masehi, Tarusbawa mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Prabu Tarusbawa menyetujui permintaan Wretikandayun, dengan daerah kekuasaan wilayah Citarum sebelah Timur. Praburesi Guru Wretikandayun merubah nama Kerajaan Kendan menjadi Kerajaan Galuh.
Wretikandayun, nama masih kanak-kanak sang Amara, Raden Daniswara, lahir 513 saka atau 619 Masehi, dinobatkan menjadi Raja usia 21-111 tahun. Rajaresi Wretikandayun memerintah di Galuh antara 640-702 Masehi.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan pada tanggal 14 Suklapaksa Caitra 534 Saka atau 23 Maret 612 Masehi, dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa. Setelah naik tahta Rajaresi Wretikandayun memindahkan ibukota kerajaan dari Kendan ke tempat yang baru yang diberi nama Galuh. Adapun untuk berbagi wilayah, batas sungai Citarum yang mengapit Kerajaan Sunda sepakat menjadikan sebagai batasnya, dan Cipamali berbatasan dengan Kerajaan Kalingga Utara.
Informasi awal tentang posisi ibukota Kerajaan Galuh, yang berpindah-pindah tempat, hingga kini menjadi polemik. Ada yang berpendapat Kerajan Galuh itu di Rawa Lakbok, ada juga yang berpendapat di Darma Kuningan dan lain-lain. Naskah Buku Cipaku Darmaraja Sumedang, memberikan informasi berbeda tentang keberadaan Ibukota Kerajan Galuh yang didirikan oleh Sang Wretikandayun 14 Suklapaksa Chaitra 534 saka atau 23 Maret 612 masehi, salah satu tempatnya di Ciduging Kecamatan Darmaraja Sumedang, yang lokasi ibukotanya berada dalam batas sungai Cipeles dan sungai Cimanuk. Dan batas kerajaan Galuh sebelah Timur dengan Kerajaan Kalingga diapit oleh sungai Cipamali.
Sang Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Dewi Manawati atau Candraresmi, dalam Naskah Carita Parahyangan disebut “Pwah Bungatak Mangale-ngale”. Candraresmi adalah puteri dari Resi Makandria seorang pendeta Hindu. Konon, Resi Makandria atau Markandria adalah sosok penyebar agama Hindu juga di Pulau Bali (Goh Nusa). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu :
- Anak pertama, Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja, Resiguru Galunggung, lahir 542 Saka atau 639 Masehi
- Anak ke dua, Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru Denuh, lahir 544 Saka atau 641 Masehi
- dan anak bungsu Sang Jalantara, Rahyang Mandiminyak, putra mahkota Galuh, lahir 546 Saka atau 643 Masehi
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Jalantara alias Amara alias Mandiminyak sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya, yaitu Sempakwaja tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong. Menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani, begitu juga dengan anak keduanya, Jantaka yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakaknya yang menjadi raja resi (taat pada agama), Jalantara atau Amara atau Mandiminyak kurang taat beragama dan cenderung berperilaku liar.
Mandiminyak terlibat skandal asmara dengan Pwahaci Rababu atau Pohaci Rababu yang merupakan kakak iparnya. Pwahaci Rababu adalah istri Sempak Waja, kakaknya Mandiminyak. Akibat skandal Mandiminyak dengan Pwahaci Rababu ini, lahir seorang anak yang bernama Sena atau Bratasenawa. Sementara itu Sempak Waja dan Pwahaci Rababu juga menurunkan anak yang bernama Purbasora.
Untuk menghindari gonjang-ganjing kerajaan, Mandiminyak dinikahkan dengan Dewi Parwati dari Kerajaan Kalingga dan menurunkan anak bernama Sannaha. Kelak, Sena dan Sannaha yang keduanya anak dari Mandiminyak beda Ibu dinikahkan dan menghasilkan anak bernama Sanjaya.
Mandiminyak kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 masehi, sebagai Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas Kalingga di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Galuh di Jawa Barat.
Dalam posisinya yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar pertengahan antara 703-704 masehi, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana atau Teja Kancana Ayu Purnawangi , cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Kerajaan Sunda Pakuan. Dari perkawinan Sanjaya dan Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan Tamperan Barmawijaya,
Oleh karena, Sempakwaja dan Jantaka memiliki cacat tubuh, menurut tradisi keraton saat itu tidak mungkin keduanya menjadi yuwaraja sebagai calon pengganti Rajaresi Wretikandayun.
Sempakwaja kemudian dijadikan Resiguru di daerah Galunggung dan diberi gelar Batara Danghiyang Guru. Ia menikah dengan Pohaci Rababu, ia berputra :
1. Rahiyang Purbasura, lahir 565 Saka atau 670 Masehi
2. Rahiyang Demunawan, Sang Seuweukarma, lahir 568 Saka atau 673 Masehi
Sedangkan Jantaka dijadikan Resiguru di Denuh, terkenal dengan gelarnya Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Telaga Denuh berada di Daerah Galuh Selatan. Ia menikah dengan Dewi Sawitri dan mempunyai anak yaitu Arya Bimarkarsa.
Pada sebelumnya diterangkan bahwa Rajaresiguru Wretikandayun memerdekakan kerajaan Kendan dari Tarumanagara, pada tahun 669 masehi dan merubah Kendan menjadi Kerajaan Galuh.
Prabu Resiguru Wretikandayun menjadi Raja Galuh Ke 1 di Kerajaan Galuh, memerintah sampai tahun 702 Masehi dalam usia 111 tahun. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang ke tiga bernama Amara atau Mandiminyak. Amara atau Mandiminyak menggantikan kedudukan Wretikandayun sebagai Raja Galuh ke 2.
Prabu Mandiminyak sebelum naik tahta di Kerajaan Galuh, sedang berkuasa di Kerajaan Kalingga mewarisi tahta ibu mertuanya dari Parwati, putrinya Ratu Maharani Sima, yang wafat pada tahun 695 Masehi.
Sebelum wafat, Ratu Maharani Sima membagi dua Kerajaan Kalingga, yaitu :
1. Parwati, memperoleh bagian Utara yang disebut Bumi Mataram antara 695-716 Masehi.
2. Narayana, memperoleh bagian Selatan dan Timur yang disebut Bumi Sambara, ia bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala antara 679-742 Masehi.
Dengan permaisuri Parwati, Prabu Mandiminyak memiliki seorang putri bernama Sanaha, sebelum menikah dengan Parwati, Mandiminyak memiliki putra bernama Sena atau Bratasenawa hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya yaitu Pohaci Rababu. Setelah kedua putranya dewasa dinikahkan, antara Sena dan Sanaha (saudara lain ibu) atau disebut perkawinan Manu.
Tahun 702 masehi, Prabu Mandiminyak pulang ke Galuh untuk menggantikan tahta ayahnya, sedangkan untuk pemerintahan di Bumi Mataram dijalankan oleh istrinya yaitu Ratu Parwati. Prabu Mandiminyak berkuasa di Kerajaan Galuh dari 702-709 Masehi. Kemudian digantikan oleh putranya bernama Bratasenawa antara 709-716 Masehi Raja Galuh ke 3. Permaisuri Prabu Bratasenawa bernama Ratu Sanaha, dari hasil penikahannya memperoleh putra bernama Sanjaya.
Pada tahun 709 M di Kerajaan Galuh, Rahyang Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Senna, anaknya dari Pohaci Rababu. Bratasenawa atau lebih dikenal sebagai Senna, menjadi Raja Galuh ketiga. Ia merupakan anak dari hubungan gelap antara Mandiminyak dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap yang dimiliki Senna berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya terkenal liar. Senna merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh, mengingat Senna adalah anak hasil dari hubungan gelap. Banyak orang yang membenci keberadaan Senna sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat membenci Senna. Dua orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu.
Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari Senna. Kedua orang itu sangat membenci Senna dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada “anak hasil skandal ibunya” tersebut. Karena asal-usul Senna yang kurang baik itulah yang membuat Purbasora menginginkan merebut tahta Galuh. Oleh karena pengangkatan Senna sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Senna. Senna pun lalu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora.
Namun Purbasora mengetahui rencana itu, Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) dibantu oleh pasukan ayah mertuanya (Prabu Darmahariwangsa Kerajaan Indraprahasta) yang mengerahkan angkatan perangnya yang dipimpin oleh putranya yaitu Wiratara antara 743–747 Masehi, adik ipar dari isterinya Purbasora dan Citra Kirana, lalu menyerbu istana Galuh sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh. Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 Masehi. Dalam situasi yang kalut seperti itu, Senna berhasil meloloskan diri ke Gunung Merapi Jawa Tengah, di mana ibunya, Dewi Parwati menjadi raja di Kalingga Utara Bumi Mataram. Dari perkawinan Manu Sang Senna dengan Sannaha mempunyai anak Rakean Jamri atau Sanjaya.
Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Aria Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya, melahirkan : Aji Putih, Darma Kusuma, Asta Jiwa, Usoro, Siti Putih dan Sekar Kencana atau Lenggang Kencana, yang kelak dinikahi oleh Wijaya Kusuma putranya Prabu Purbasora.
Tahun 716 masehi, Prabu Purbasora naik tahta di Kerajaan Galuh dalam usia 73-80 tahun atau 716-723 Masehi sebagai Raja Galuh ke 4, bersama permaisuri yang bernama Citra Kirana, dengan gelar Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna. Di awal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa.
Setelah Prabu Tarusbawa wafat, digantikan oleh Sanjaya menjadi raja Sunda. Sanjaya putra Prabu Bratasenawa dan Sanaha menaruh dendam kepada Purbasora, karena dulu telah merebut tahta Galuh dan mengusir Sena, ayahnya Sanjaya. Dendam ini diwujudkan dengan merencanakan perebutan Galuh kembali dengan membunuh Purbasura.
Mula-mula Sanjaya pergi ke Denuh (sekarang di Tasikmalaya Selatan) untuk menemui Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Maksudnya ialah agar Wanayasa bersedia membantu menggulingkan Purbasura dan diganti oleh Aria Bimaraksa atau Balangantrang, putra sulung Resiguru Wanayasa. Tapi ia menolak. Ia memilih bersikap netral.
Lalu Sanjaya berangkat ke Rabuyut Sawal dengan maksud yang sama. Setelah mendapat ijin, maka gunung Sawal dijadikan markas tentara untuk menyerang Galuh. Dengan angkatan bersenjata yang terlatih, maka pada tengah malam, angkatan bersenjata Sanjaya berhasil masuk ke keraton Galuh dan membunuh Prabu Purbasura pada tahun 645 Saka atau 747 Masehi.
Dalam penyerbuan itu seluruh pasukan keraton Galuh gugur, sedangkan Patih Bimaraksa beserta keluarga Purbasora berhasil meloloskan diri ke dalam hutan belantara dan pasukan Sanjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa, Patih Bimaraksa beserta keluarga Purbasora melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Sangkan Jaya, Gunung Nurmala dan berakhir di dukuh Cipancar. Di sanalah Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma isterinya Dewi Komalasari putranya Prabu Purbasora mendirikan padukuhan Cipancar.
Setelah Galuh ditaklukkan, Sanjaya menumpas pendukung Purbasora. Terutama kerajaan Indraprahasta Kuningan, yang turut membantu Purbasora waktu merebut kekuasaan Galuh dari Sena. Indraprahasta yang didirikan sejak jaman Tarumanagara, ahirnya diratakan dengan tanah oleh Sanjaya 645 Saka atau 747 Masehi, seolah tidak pernah ada kerajaan disitu ”Indraprahasta sirna ing bhumi”.
Setelah Prabu Purbasora wafat Sanjaya naik tahta di Kerajaan Galuh dengan permaisuri Sekar Kancana yang bergelar Teja Kancana Ayu Purnawangi cucu dari Prabu Tarusbawa dari anaknya Mayangsari. Prabu Sanjaya bergelar Maharaja Harisdarma Bimaparakrama atau Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Sejak saat itu Prabu Sanjaya menjadi Raja Sunda dan Raja Galuh dan tinggal di Pakuan, Ibukota kerajaan Sunda.
Karena menguasai Galuh itulah maka kini Sanjaya secara otomatis berhasil menyatukan Kalingga, Sunda dan Galuh. Namun situasi politik pasca perebutan kekuasaan masih belum kondusif. Berdasarkan permufakatan dengan para sesepuh Galuh yang masih hidup untuk mencari solusi damai.
Sanjaya ditetapkan untuk tidak memerintah di Kerajaan Galuh secara langsung. Sanjaya menyetujui usul Sempakwaja Batara Danghyang Guru yang mengangkat Premana Dikusuma anak Wijaya Kusuma dan cucu Purbasora, sebagai Raja Galuh yang berpusat di Ciduging Darmaraja.
Premana Dikusuma, suka bertapa dengan gelar Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala, lalu menikah dengan Dewi Pangrenyep antara 704 -739 Masehi, anak Anggada, patih dari Kerajaan Sunda. Dewi Pangrenyep ini adalah isteri kedua Premana Dikusuma. Sedangkan isteri pertamanya bernama Dewi Naganingrum (cucu Balagantrang yang lahir 698 Masehi) yang darinya pada tahun 718 Masehi dilahirkan Jaka Suratama atau Ciung Wanara.
Karena tidak langsung memerintah di Galuh, Sanjaya menempatkan anaknya, Tamperan Barmawijaya antara 704-739 Masehi, sebagai duta di negeri itu. Pada tahun 723 Masehi itu pula Demunawan, adik Purbasora, dinobatkan menjadi Raja Saung Galah di Kuningan.
Dengan adanya pengaturan seperti itu, diharapkan korban jiwa itu telah selesai, sehingga kehidupan negara menjadi tentram dan damai. Namun ternyata tidak demikian. Kedamaian hanya berlangsung dalam bilangan bulan saja. Pada tahun 723 Masehi itu pula terjadi skandal cinta antara Dewi Pangrenyep (isteri kedua Permana Dikusuma) dengan Tamperan Barmawijaya (anak Sanjaya) yang disebut juga Raja Bondan. Sebagai hasil smarakarya (skandal asmara) yang gelap ini maka pada tahun 724 lahirlah Kamarasa atau Rahyang Banga.
Karena skandal itu, negeri Galuh geger kembali. Untuk meredam keributan, Sanjaya lalu mengungsikan Tamperan Barmawijaya untuk sementara ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda. Usaha tersebut ternyata berhasil karena untuk kurun waktu yang cukup lama negeri Galuh menjadi aman.
Selanjutnya pada tahun 731 Sanjaya kembali ke Kalingga karena mendapat kabar bahwa ayahnya, Senna, akan turun tahta. Tahun itu pula Sanjaya mendapat kepastian bahwa Permana Dikusuma atau Begawan Sajala-jala (Resi Gunung Padang) tetap ingin tinggal di pertapaan.
Tahun 732 Masehi Senna baru benar-benar turun tahta. Kedudukan Senna di Kalingga diganti oleh Sanjaya sedangkan Tamperan Barmawijaya (Raja Bondan) menggantikan Sanjaya di Jawa Barat dengan mengambil kedudukan di Galuh Bondan atau Bojong Galuh (Karang Kamulyan di Kawali Ciamis). Sejak Sanjaya naik tahta, nama Kerajaan disebut Medhang Bhumi Mataram. Dengan demikian Tamperan pada usia 28 tahun telah menjadi penguasa Sunda-Galuh, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat ditambah bagian barat Jawa Tengah (sekarang ini).
Saat menjadi penguasa Sunda-Galuh, Tamperan Barmawijaya belum mempunyai permaisuri walaupun sudah mempunyai anak berusia 9 tahun hasil selingkuhnya dengan Dewi Pangrenyep. Sebenarnya ia ingin menjadikan Dewi Pangrenyep sebagai permaisuri namun adat atau hukum yang berlaku tidak mengizinkannya. Itu terjadi karena Pangrenyep masih berstatus sebagai isteri Premana Dikusuma.
Menghadapi situasi yang dianggapnya rumit ini, rupanya gejolak asmara menumpulkan akal. Tamperan Barmawijaya tidak mau lagi berpikir pusing. Ia menyelesaikan persoalan ini dengan cara menyuruh seorang prajurit kepercayaannya untuk membunuh Premana Dikusuma atau Pandita Ajar Padang Sukaresi. Sang prajurit pergi seorang diri dengan cara rahasia dan berhasil menunaikan perintah rajanya. Dengan lega prajurit keluar dari pertapaan, namun ia terkejut saat dihadang pasukan pengawal, ia dibinasakan oleh pengawal Tamperan Barmawijaya atau Raja Aria Bondan. Ini konspirasi tingkat tinggi di masa itu.
Setelah Premana Dikusuma tewas, sekitar tahun 732 Masehi, Tamperan lantas memperisteri Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum sekaligus. Dewi Pangrenyep menjadi permaisuri sedangkan Dewi Naganingrum menjadi selir. Teknisnya dilakukan dengan cara rapi. Berita terbunuhnya Premana Dikusuma cepat tersebar di keraton Galuh, karena sengaja disebarkan. Dan dikatakan bahwa pembunuhnya telah ditangkap dan diadili oleh Tamperan Barmawijaya atau Aria Bondan, dengan demikian ia berjasa atas keraton Galuh. Karena jasanya itu, Tamperan Barmawijaya atau Aria Bondan berhasil memperistri Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep juga berkuasa atas tahta Sunda dan Galuh.
Manarah atau Ciung Wanara, anak Premana Dikusuma dengan Dewi Naganingrum yang saat itu berusia bayi hingga 14 tahun, diperlakukan sebagai anak oleh Ki Balagantrang atau Aria Bimaraksa dan Ni Balagratang atau Dewi Komalasari, karena masih merupakan cicit (Dalam kisah rakyat, Ciung Wanara dibuang dan dibesar serta dididik oleh Ki Balangantrang). Lalu Aria Bimaraksa dan Dewi Komalasari menyerahkan Ciung Wanara atau Raden Jaka Suratama kepada saudaranya Guru Teupa Panday Mpu Anjali di Kamenteng Darmaraja yang tak lain adalah Prabu Tambak Wesi, bekas Raja ke 2 Kerajaan Saunggalah, mulai berkuasa tahun 696–747 Saka atau 797–847 Masehi, yang mengantikan ayahnya Prabu Demunawan Raja Saunggalah ke 1, oleh karenanya dia dapat mewarisi kepandaian membuat senjata dan dapat menangkap Gajah kepunyaan Raja. Apalagi setelah mengetahui bahwa isterinya Ciung Wanara yaitu Kencana Wangi merupakan cucunya Tambak Wesi, putri dari anaknya yang mengantikan Raja Saunggalah ke 3 pada tahun 747 Saka atau847 Masehi, yaitu Prabu Kretamanggala atau Kerta Negara.
Aria Bimaraksa yang pada tahun 723 Masehi lolos dari serbuan Sanjaya telah menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Galuh. Persiapan itu dilakukannya di wilayah Muara Bojong Cipaku atau Muara Leuwihideung Darmaraja yang dikenal "Bagala Asih Panyipuhan" yang masih merupakan wilayah kerajaan Galuh, dalam manuskrip Cipaku dan Kisah berdirinya Kerajaan Tembong Agung Sumedang. Perlahan-lahan Aria Bimaraksa dan Ciung Wanara atau Manarah mencari dukungan, dengan merekrut pasukan rakyat jelata biasa.
Sumber lain menyebutkan bahwa Brata Kusuma atau Prabu Tajimalela putra Prabu Aji Putih atau cucunya Aria Bimaraksa, seumur dengan Ciung Wanara. Mereka sudah dewasa dan pernah bersama, saat Ciung Wanara diasuh oleh Aria Bimaraksa saat menetap di Bagala Asih Panyipuhan.
Sebelum Ciung Wanara, memegang tampuh kekuasaan di Galuh Bondan Karang kamulyaan menggulingkan kekuasaan Raja Bondan atau Tamperan Barmawijaya, didukung oleh pasukan Sumedang Larang ditambah dengan pasukan Cipancar Girang Limbangan yang waktu itu dipimpin oleh Darma Kusuma atau Mbah Khotib putranya Aria Bimaraksa, untuk menyerbu kerajaan Galuh yang berpusat di Galuh Bondan atau Karang Kamulyan.
Tujuh tahun setelah kematian Permana Dikusuma, yaitu tahun 739 Masehi, Aria Bimaraksa dan Ciung Wanara beserta pasukannya menyerbu Galuh. Pada awal penyerangan pertama sebagian wilayah Galuh Pakuan dapat dikuasai Aria Bimaraksa dan Ciung Wanara, dan pada penyerangan berikutnya kerajaan Galuh Sunda dengan pusat Keratonnya di Galuh Bondan Karang Kamulyan dapat dikuasai Ciung Wanara dan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangrenyep tertangkap dan dipenjarakan. Sementara itu, Banga anak Tamperan dengan Pangrenyep, tidak ditangkap dan diperlakukan dengan baik oleh Manarah. Bagaimana pun juga Banga adalah saudaranya satu ibu.
Banga atau Hariang Banga yang berusia 15 tahun itu, merasa bimbang. Apalah arti kebebasan bagi dirinya kalau ayah-ibunya menderita dipenjara sebagi tawanan. Hingga suatu malam Hariang Banga nekat melepaskan kedua orang tuanya, dengan melumpuhkan para penjaga terlebih dahulu. Sang Banga berhasil melepaskan kedua orang tuanya untuk melarikan diri menuju Keraton Bumi Mataram. Namun kejadian ini ketahuan pasukan Prabu Ciung Wanara dan Patih Aria Bimaraksa atau Balagantrang.
Tamperan Barmawijaya atau Raja Aria Bondan dan Dewi Pangrenyep lari di kegelapan malam menuju Mataram. Pasukan Prabu Ciung Wanara dan Balagantrang terus mengejar. Tamperan Barmawijaya atau Raja Aria Bondan dan Pangrenyep dihujani anak panah. Akhirnya Raja dan Ratu itu tewas bersimbah darah dalam kegelapan malam jauh dari purasaba Galuh.
Peristiwa kematian Tamperan Barmawijaya atau Raja Aria Bondan akhirnya sampai ke Bumi Mataram, alangkah murkanya Raja Sanjaya mendengar peristiwa tersebut. Dengan mengerahkan angkatan perang yang besar, Raja Sanjaya bergerak dari Medang Bumi Mataram menuju purasaba Galuh. Namun Sang Manarah telah memperhitungkan kemungkinan tersebut dan mengerahkan seluruh pasukan Galuh diperbatasan. Dua keturunan Wretikandayun saling berhadapan, masing-masing mengerahkan angkatan perangnya. Akhirnya perang saudara yang sangat dahsyat pecah kembali. Perang berlangsung beberapa hari namun belum menunjukkan ada yang kalah dan menang.
Akhirnya Resiguru Demunawan dengan pengiringnya barisan pendeta turun dari Saunggalah menuju palagan (medan perang) Galuh. Dengan wibawanya yang besar sebagai tokoh tertua Galuh yang masih hidup, Resiguru Demunawan berhasil menghentikan pertempuran sehingga terjadi gencatan senjata. Dalam usia 93 tahun Resiguru Demunawan kelahiran Kabuyutan Gunung Galunggung memimpin perundingan perjanjian antara Sanjaya dan Manarah atau Ciung Wanara di keraton Galuh. Hasilnya adalah kesepakatan berupa pembagian wilayah.
Hasil perjanjian tersebut :
1. Kerajaan Medhang Galuh dengan dirajai oleh Hariang Banga alias Kamarasa dengan gelar Prabu kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
2. Kerajaan Galuh (Pakuan Pajajaran) di Kawali dirajai oleh Jaka Suratama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, dengan batas negara Sungai, dengan batas masing-masing yaitu Kali Pamali (Cipamali) dan Kali Brebes.
Manarah atau Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya sendiri yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung suami dari Putri Purbasari. Prabu Manisri bergelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara, berkuasa dari tahun 783–799 M. Prabu Manarah, pada tahun 783 Masehi, melakukan Manurajasunya Di Puncak Damar Darmaraja Sumedang Larang.
Jumlah Prabu 35 orang
Kala | 534 – 624 Caka (640 - 727 Masehi) = 90 tahun |
Kerajaan | Galuh 1 |
Nama | Wretikandayun (nama masih kanak-kanak sang Amara), Sang Daniswara (Dani = kerbau); lahir 513 Caka (619 Masehi), usia 21 – 111 tahun |
Gelar | Maharaja Suradarma Jayaprakosa |
Istri | nama kanak Manawati, Manakasih, putri Resi Makandria;nama remaja Pwahaci Bungatak Mangale‑ngale, Pwahaci Manawatinama gelar Permeswari Déwi Candrarasmi. |
Anak |
1. Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja,
resiguru Galunggung, lahir 542 Caka (639 M)
2. Sang Jantaka, Rahyang Kidul,
Rahyang Wanayasa, resiguru Denuh, lahir 544 Caka (641 M)
3. Sang Jalantara,
Rahyang Mandiminyak, putra mahkota Galuh, lahir 546 Caka (643 M) |
Peristiwa | Pada tanggal 14 suklapaksa Caitra (6) 0534 Caka, (19 Mei 0640 Masehi), Galuh mulai didirikan oleh Wretikandayun, di dalam wilayah kerajaan Tarumanagara.Dalam tahun 0591 Caka, Tarumanagara diganti namanya menjadi Kerajaan Sunda. Setahun kemudian, tepatnya mulai tanggal 5 paro gelap bulan Asadha tahun 592 Caka; (05k-9-592 Caka = 28 Nopember 696 Masehi, Selasa Pahing/Kaliwon), Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda dan memerdekakan diri |
Catatan |
534 – 591 Caka (640 – 695 Masehi) = 57
tahun, usia 21 – 78, bawahan Tarumanagara 591 – 592 Caka (695 – 696
M) =
1 tahun, usia 78 – 79, Galuh bawahan Sunda 592 – 624 Caka
(696 – 727 M) = 32 tahun, usia 79 – 111, Galuh mandiri, merdeka
|
Mangkat | Selaku rajaresi di Menir, mangkat dalam usia 111 tahun pada taun 624 Caka (727 Masehi); berarti dilahirkan tahun 513 Caka (619 Masehi) |
Nama | Sang Surawana, Surawulan |
Istri | Sri Naragati |
Anak | Resi Makandriya atau Rahiyang Kebo Wulan |
Nama | Resi Makandriya atau Rahiyang Kebo Wulan |
Istri | Déwi Akasari Jabung atau Pwahaci Manjangandara |
Anak | nama kanak Manawati, Manakasihnama remaja Pwahaci Bungatak Mangale‑ngale, Pwahaci Manawatinama gelar Permeswari Déwi Candrarasmi. |
Kala | 542 – 651 Caka (647 – 753 Masehi) ,lahir 542 C, usia 109 tahun, wafat 651 C |
Wilayah | Galuh di Galunggung |
Nama | Sang Jatmika, Rahiyang Sempakwaja |
Gelar | Resiguru Galunggung, Batara Dangiang Guru |
Istri | Pwahaci Rababu, Déwi Wulansari |
Anak | 1. Rahiyang Purbasura, lahir 565 Caka (670 M) 2. Rahiyang Demunawan, Sang Seuweukarma, lahir 568 C (673 M). |
Skandal | Mandiminyak dengan Rababu, dalam tahun 583 Caka (687 Masehi) melahirkan anak yang diberi nama Sang Sena atau Sang Bratasenawa |
Catatan | Karena giginya patah (semplak), maka ia tidak jadi raja, meski anak sulung |
Kala | 544 Caka (641 Masehi) |
Wilayah | Galuh di Denuh |
Nama | Sang Jantaka, lahir 544 Caka (641 Masehi) |
Gelar | Resiguru Wanayasa, Resiguru di Denuh, disebut Rahiyang Kidul |
Istri | – |
Anak | Balangantrang |
Kala | 624 – 631 Caka (727 – 734 M) = 7 tahun |
Kerajaan | Galuh 2 |
Nama | Mandiminyak atau Sang Jalantara, lahir 546 Caka (643 M), usia 78 – 85 tahun |
Gelar | Prabu Suraghana, disebut juga Prabu Suradharmaputra |
Istri | Dewi Parwati, Dewi Pragawati, putri Ratu Dewi Sima, kerajaan KalinggaDewi Parwati tetap di Kalingga karena menjabat ratu Kalingga |
Anak | 1. dari Rababu bernama Sena atau Batarasena (usia 41 – 48 tahun) 2. dari Parwati bernama Sanaha (usia 36 – 43 tahun) |
Peristiwa |
Adik kakak lain ibu ini dikawinkan dalam
tahun 604 Caka (707 Mi) Sena 21 th, Sanaha 16 th.
Pasangan ini
beranak Sanjaya (19 – 26 tahun) |
Kala | 631- 638 Caka (734- 741 Masehi) = 7 tahun |
Kerajaan | Galuh 3 |
Nama | Sena, (usia 48 – 55 th) |
Nama gelar | Prabu Bratasenawa |
Istri | Dewi Sanaha |
Anak | Sang Jamri, Sanjaya, lahir 605 Caka (708 M). usia 26 – 33 tahun |
Peristiwa | 0638 Caka, tahta kerajaan direbut oleh Sang Purbasura, putera Sempakwaja dan Pwahaci Rababu. Sena sekeluarga dan kerabatnya terusir dan pergi ke ibunya di Medang |
Kala | 638 – 645 Caka (741 – 747 Masehi) = 7 tahun |
Kerajaan | Galuh 4 |
Nama | Sang Purbasura, lahir 565 Caka (670 Masehi), usia 73 – 80 th, putra sulung Sempakwaja |
Nama gelar | Prabu Purbasura Jayasakti Mandraguna |
Istri 1 | putri Ki Balangantrang. Sang istri meninggal muda tanpa anak |
Istri 2 | Citrakirana, putri sulung Padmahariwangsa, prabu Indraprahasta 13, kakak Wiratara |
Anak | 1. Wijaya Kusuma 2. Wiradi Kusuma 3. Dewi Komala Sari |
Peristiwa | Karena Purbasura merasa lebih berhak menjadi Prabu Galuh, maka tahta kerajaan direbut dari Sena. Sang Purbasura mendapat bantuan bala tentara dan senjata dari Kerajaan Indraprahasta, juga bala tentara Sriwijaya dari Pulau Sumatra. Oleh karena itu Sang Sena bersama pelayannya, keluarganya, dan beberapa raja wilayah dengan bala tentaranya mengungsi ke Jawa Tengah di Medang Mataram bersama istrinya Dewi Sannaha |
Gugur | tahun 645 Caka (747 Masehi) , Purbasura gugur waktu Galuh diserang dan tahta kerajaan direbut oleh Sanjaya (Sunda) karena ayahnya diusir dan kerajaan direbut. |
Kala | 645 Caka (747 Masehi) |
Perisriwa | Sunda menyerang Galuh setelah Prabu Tarusbawa wafat, diganti oleh Sanjaya menjadi raja Sunda. Sanjaya menaruh dendam kepada Purbasora, karena dulu telah merebut tahta Galuh dan mengusir Sena, ayahnya Sanjaya. Dendam ini diwujudkan dengan merencanakan perebut Galuh kembali dengan membunuh Purbasora. Mula-mula Sanjaya pergi ke Denuh (sekarang di Tasikmalaya Selatan) untuk menemui Rajaresi Wanayasa Rahyang Kidul. Maksudnya ialah agar Wanayasa bersedia membantu menggulingkan Purbasora dan diganti oleh Bimaraksa atau Balangantrang, putra sulung Resiguru Wanayasa. Tapi ia menolak. Ia memilih bersikap netral. Lalu Sanjaya berangkat ke Rabuyut Sawal dengan maksud yang sama.Setelah mendapat ijin, maka gunung Sawal dijadikan markas tentara untuk menyerang Galuh. Dengan angkatan bersenjata yang terlatih, maka pada tengah malam, angkatan bersenjata Sanjaya berhasil masuk ke keraton Galuh dan membunuh Prabu Purbasora. Dalam penyerbuan itu seluruh penghuni keraton gugur. Balangantrang yang juga menyaksikan kejadian ini dibiarkan lolos. Ia kemudian bermukim di Geger Sunten. Kelak dari tempat ini menjadi bencana yang menimpa keluarga Sanjaya. |
Selanjutnya Rahiyang Sanjaya menjadi raja Galuh pada tahun 645 Caka, bulan Caitra, tanggal 14 paro‑gelap (14 k-6-645 Caka = 11-Feb-748 M). Semenjak waktu itulah Rahiyang Sanjaya atau Maharaja Harisdharma menjadi raja Sunda dan Galuh. | |
Kala | 645 – 654 Caka (748 – 756 Masehi) = 9 tahun |
Penobatan | tanggal: 14 k Caitra-6-645 Caka (11-Feb-748 M) menjadi raja Galuh 5 |
Kerajaan | Sunda (2) – Galuh (5), tanpa Saunggalah |
Nama | Rahiyang Sanjaya (usia 42 – 49 th) |
Gelar | Maharaja Harisdharma |
Istri | Sekar Kancana atau Teja Kancana, putri Sunda Sembada, Cucu Tarusbawa |
Gelar istri | Dewi Tejakencana Hayupurnawangi |
Anak | Tamperan |
Catatan | Sejak itu Rahiyang Sanjaya menjadi raja Sunda dan Galuh.Setelah peristiwa itu, Rahiyang Sanjaya tinggal di ibu kota kerajaan Sunda. Sedangkan kerajaan Galuh dikuasakan kepada Prabu Permana Dikusuma, cucu Prabu Purbasura, sebagai raja bawahan kerajaan SundaSang Patih Anggada sebagai duta patih atau wakil raja, ialah penguasa yang memberi perintah kepada ratu‑ratu taklukan, wakil pejabat kerajaan kepada ratu‑ratu wilayah Kemudian wakil Rahiyang Sanjaya ialah puteranya sendiri dari isterinya, puteri Sunda, wakil penguasa itu ialah Raden Anom Barmawijaya atau Rahiyang Tamperan |
654 Caka (756 Masehi), kekuasaan Sanjaya di Jawa Barat dibaginya dua kawasan, antaranya sebagian kepada uwanya ialah wilayah Saunggalah, sebagian lagi diberikan kepada puteranya, Rakeyan Tamperan, yang memerintah Sunda dan Galuh wilayahnya |
Post a Comment