Kerajaan Sumedang Larang Bagian 1

KERAJAAN SUMEDANG LARANG BAGIAN 1

PENGANTAR
Nama Sumedang

Didalam cerita rakyat dikenal adanya sejarah penamaan Sumedang. Konon kabar pada suatu ketika Prabu Tajimalela melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dari Sang Pencipta. Pada saat terbangun tiba-tiba mengucapkan kata : “Insun Medal Mandangan”, kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang.

Didalam masyarakat beredar pula cerita yang mengabarkan, bahwa ucapan Sang Tajimalela tersebut terdiri dari dua kata, yakni “Insun medal; Insun madangan” dalam bahasa Indonesia berarti Aku dilahirkanan (lahir) ; Aku menerangi. Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya). Selain itu kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, sekarang dikenal sebagai pohon Huru.

Dari sinilah kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
 

Topografi
Sumedang saat ini merupakan daerah tingkat dua, terletak di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak pada posisi 107˚14’-108˚21’ Bujur Timur dan 60˚40’-70˚83’ Lintang Selatan. Berbatasan dengan Indramayu dan Subang di Sebelah Utara, Majalengka di Sebelah Timur dan Garut di Sebelah Tenggara serta Bandung di Sebelah Barat dan Selatan. Berjarak tempuh dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung kurang lebih 45 km dan berada diantara dua kota tujuan wisata Bandung – Cirebon.

Sumedang disebut-sebut oleh Bujangga Manik didalam catatan pengembaraannya, diperkirakan ditulis pada abad 15 akhir atau awal abad 16. Catatatan Bujangga Manik ini oleh J. Noorduyn dianggap sebagai data Topografis Pulau Jawa dari sumber Sunda Kuno, berbentuk puisi naratif Sunda Kuna – naskah daun. Saat ini tersimpan di Perpustakaan Bodlein, Oxford (AS), sejak 1627 atau 1629. Tokoh Bujangga Manik kemudian diketahui seorang pangeran dari Pakuan (Bogor) yang memilih menjadi rahib Sunda.

Dalam perjalanan Bujangga Manik mencatatkan : “Sadiri aing ti inya – datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi, – meu(n)tas aing di Citarum. – ku aing geus kaleu(m)pangan, – meu(n)tas di Cipunagara, – ngalalar ka Tompo Omas, – meu(n)tas aing di Cimanuk, – ngalalar ka Pada Beunghar”. (sepergiku dari sana, – tiba ke wilayah Eronan. – Sesampai aku ke Cinangsi, – aku menyebrangi sungai Citarum. – semua itu telah kulalui, – menyebrang di sungai Cipunagara, – daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, – aku menyebarang di sungai Cimanuk, – berjalan lewat pada Beunghar).

Ketika menanggapi catatan Bujangga Manik, buku “rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat menjelaskan, bahwa : didekat Gunung Tompo Omas terdapat kerajaan Medang Kahiyangan. Nama kerajaan ini tercatat dalam Carita Parahyangan sebagai salah satu sasaran yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa (Pen : pengganti Sri Baduga). Belum jelas apakah ada hubungan antara nama Medang Kahiyangan dengan Sumedang Larang.

Pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut catatan lain, Sumedang Larang sudah berpusat di Cipameungpeuk. Mungkin juga perjalanan Bujangga Manik melalui sebelah utara Gunung Tampomas, mengingat Sumedang Larang terletak disebelah selatan Tampomas. Sekalipun belum diketahui adanya titik persamaan antara Sumedang Larang dengan Medang Kahiyangan namun kedua catatan tersebut cukup jelas menggambarkan, bahwa di daerah Sumedang pada abad tersebut sudah ada semacam pemerintahan, sekalipun masih sangat sederhana.
 

Fase Ageman
Sumedang Larang dalam catatan sejarah mengalami dua fase keyakinan. Pertama fase Hindu (mungkin juga Sunda wiwitan), dimulai sejak ada Tembong Agung sampai dengan Galuh, protektor Sumedang Larang dikalahkan Cirebon di Talaga. Sekalipun demikian perlu juga diperhitungkan adanya perkembangan agama Budha, seperti pengaruh dari Talaga (pusat Budhisme) atau ketika Bujangga Manik melakukan pengembaraan. Konon kabar ia seorang rahib.

Kedua fase Islam, dimulai pada tahun 1529 M, mulai disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Sunan Panakaran, putra Maulana Abdurachman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Panakaran pada tahun 1504 M menikah dengan seorang putri dari Sindangkasih, kemudian melahirkan seorang putra, diberi nama Ki Gedeng Sumedang, dikenal dengan sebutan Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Setyasih yang bergeralr Pucuk Umum, pewaris syah dari tahta Sumedanglarang.

Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Resi Tajimalela, namun Sumedang Larang sebagai kelanjutan dari Tembong Agung – Himbar Buana yang dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih. Kisah tembong Agung dengan Sumedang Larang sama halnya dengan sejarah Galuh. Semula dirintis oleh Resi Guru Manikmaya di Kendan, pada jaman Wretikandayun kemudian dialihkan kesuatu daerah, untuk kemudian diberi nama Galuh (permata).

Ada yang menarik dari keberadaan kerajaan di tatar Sunda, pada umumnya didirikan oleh para pemuka agama, sama seperti pendiri Tarumanagara (Sang Maharesi-rajadirajaguru), Kendan (Sang Resiguru), Galuh (Wretikandayun), Indraprahasta (Resi Sentanu), Talaga (Pusat Budhisme), Cirebon (pusat Islam). Mungkin juga kesejarahan demikian menggambarkan ciri pokok dari masyarakat Sunda dahulu yang religius, sehingga tokoh agama merangkap pula dengan pemerintahan.

Ciri lainnya adalah, pada awal penyebaran agama dan masuknya pengaruh baru, nyaris tidak nampak adanya benturan. Mungkin yang lebih jelas ketika masa Sang Bunisora dan Wastukancana, bahkan putra Sang Bunisora, atau kakak sepupu Wastukancana dikenal sebagai haji pertama di daerah Galuh sehingga dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh. Demikian pula pada masa Sri Baduga. Sebagaimana kita ketahui penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat adalah Walangsungsang, putra Sri Baduga, bahkan salah satu istri Sri Baduga alumnus dari pesantren Quro.

 
Fase Kekuasaan
Mencermati fase kekuasaannya, di Sumedang Larang mengalami beberapa fase. 
Pertama, fase raja-raja Sumedang Larang dimulai dari dari Prabu Guru Aji Putih (678-721 M) sampai dengan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M). Pada masa ini Sumedang Larang memiliki kekuasaan yang mandiri, sekalipun memang terseling sebagai kerajaan daerah, mengingat berada dibawah daulat Galuh. Sumedang Larang pernah didaulat sebagai pewaris syah tahta Pajajaran, mengingat ia memiliki kandage lante, perlengkapan pakaian raja-raja Pajajaran yang di persembahkan Jayaperkosa, senapati Pajajaran kepada Geusan Ulun.

Fase kedua, fase Bupati Wedana dibawah daulat Mataram. Fase ini dimulai sejak berkuasanya Rangga Gede alias Rangga Gempol 1 yang berkuasa pada tahun 1601 – 1625 M. Suatu hal yang masih perdebatan umum tentang siapa Rangga Gempol I, apakah ia anak syah dari Geusan Ulun atau anak tirinya, mengingat ada berita yang santer menyatakan, bahwa sebelum Harisbaya dinikahi Geusan Ulun ia telah hamil. Namun apapun isue nya, sejak masa ini Sumedanglarang berada dibawah daulat Mataram dan pernah dihadiahkan kepada Belanda pada masa Amangkurat II. Masa kekuasaan dibawah Mataram berlangsung hingga kekuasaan Rangga Gempol III (1656 – 1676 M).

Fase ketiga, fase Bupati Wedana dibawah daulat Belanda (VOC) kemudian terselang oleh Inggris dan kembali lagi dibawah Belanda dan Jepang. Dimulai pada masa Dalem Tumenggung Tanumaja (1706 – 1709 M). Fase lainnya terjadi pasca Indonesia menyatakan kemerdekaan.

Pada masa lalu dikenal pula adanya eksistensi Pangeran Kornel yang berani menentang Daendels ketika membangun Cadas Pangeran yang banyak memakan korban jiwa rakyat Sumedang. Kemudian ada pula kisah yang terjadi pada tahun 1888. Ketika itu Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh hujan” (sedia payung sebelum hujan).

 
CIKAL BAKAL
Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh).

Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya : 
(1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ;
 (2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”. 

Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih. Kemudian pada masa jaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.” (Sumedang Larang, wikipedia, 17 Maret 2010).

Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).

Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan : Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.

Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela (721-778 M) sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara di dalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih  (678-721 M) dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.

Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.

Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).

Sebutan Haji di depan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. 

Padahal dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti.

Sebagai contoh, legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal-usul peradaban dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna “Raja Permulaan”. Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat di nobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.

Secara resmi Agama Islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun  1530-1579 M,  pada masa  Ratu Intenn Dewata dan Pangeran Santri dengan gelar Ki Gedeng Sumedang berkuasa. 

Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi  Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar).  Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.

Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 721-778 M, sedangkan Ki Gedeng Sumedang atau Pangeran Santri eksistensinya disebut-sebut pada tahun 1530-1579 M

Para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh Islam didalam pemerintahannya. Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.

Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.

Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. 

Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela. Hatur punten bilih lepat jujutanana.
 

MASA PRA ISLAM
Praburesi Guru Aji Putih (678-721 M)
Prabu Aji Putih ialah raja pertama Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang. Prabu Aji Putih memimpin kerajaan Tembong Agung.
Kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. 

Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Bimaraksa atau Ratu Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana

Wilayah Kerajaan Tembong Ageung atau sering disebut Tembong Ageung kini terendam Waduk Jatigege.

Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun dari (Kerajaan Galuh).

Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

Menurut catatan Pemda Sumedang: “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya:
Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ;
Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”.
Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa: ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.”

Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan: Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.
Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.

Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.

Ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar). Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.


Praburesi Tajimalela (721-778 M)
Konon kabar Praburesi Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Ia pun sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).

Prabu Resi Tajimalela dianggap sebagai tokoh berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung, ada juga yang menyebutkan Himbar Buana, dengan ibukota di Leuwihideung – Darmaraja. Konon kabar, istilah Sumedang berasal dari kata “Insun medal – insun madang”.

Sang Tajimalela mempunyai tiga putra, yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Menurut Layang (buku rsmsj menyebutnya naskah) Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya, yakni Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja dan yang lain menjadi patihnya. Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja.

Sang Tajimalela memerintahkan kedua putranya untuk pergi ke Gunung Nurmala. Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Kisah selanjutnya diceritakan, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang, tetapi wilayah dan ibu kotanya harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji tetap di Leuwi-hideung, menjadi raja sementara. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi.
 

Penerus Taji Malela
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya yaitu Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung, yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. 

Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). 

Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang kamkam dan kelapa muda. Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibukota harus mencari sendiri. 

Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja (839-998 M) maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. 

Prabu Gajah Agung digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wirajaya, dikenal pula dengan nama Prabu Pagulingan atau Sunan Pagulingan (998-1114 M), ia menjalankan pemerintahannya dari Cipameungpeuk.

Perpindahan ibu kota kerajaan ini bukan yang pertama kalinya, sejak masa Prabu Guru Aji Putih dan para penggantinya telah terjadi beberapa perpindahan ibu kota. Sama dengan ciri dari kerajaan lain di tatar Sunda, yakni Tarumanagara dan Sunda. Jadi wajar jika peninggalan raja-raja di tatar Sunda sulit ditemukan. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang permanen.

Sunan Pagulingan mempunyai seorang anak,, bernama Mertalaya yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang (1114-1237 M). Karena ia berkedudukan di Ciguling maka ia pun diberi gelar Sunan Guling.

Pasca meninggalnya Sunan Guling tahta Sumedang kelima dilanjutkan oleh putra-putranya, yaitu Jayadinata, Kusuma Jaya Diningrat atau Pandita Sakti atau Dalem Suraprana dan Tritakusuma atau Sunan Patuakan (1452-1530 M) . Kemudian  Tritakusuma atau Sunan Patuakan digantikan oleh putrinya Ratu Rajamantri namun tidak lama karena keburu diboyong ke Pajajaran oleh Sribaduga Jaya Dewata Raja Pakuan Pajajaran (1482–1521 M). Ratu Rajamantri digantikan oleh adiknya yaitu Ratu Sintawati, dikenal pula dengan sebutan Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia menikah dengan Santajaya alias Sunan Corenda. 

Santajaya atau Sunan Corenda mempunyai seorang saudara, yaitu Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umum Telaga, putra-putranya Munding Surya Ageung atau Prabu Munding Wangi, putra Sri Baduga Jayadewata.  Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umum Telaga kemudian menikahi dengan Ratu Wulansari atau Ratu Sunialarng atau Ratu Parung, putrinya Batara Sokawayana atau Prabu Parunggangsa (1440-1490 M)

Raden Ragamantri atau Prabu Pucuk Umun, putra Raden Mundingsari Ageng dan Ratu Talaga atau  Sunialarang masuk Islam oleh  Pangeran Walang Sungsang pada tahun 1469 M (Pamekaran Dakwah atikan Islam ke raja-raja Sunda-Galuh yang ada di wilayah kekuasaan Kesultanam Cirebom dan Pajajaran). Gelar Prabu Pucuk Umun (Pemimpin Utama Hindu) digantikan menjadi Pucuk Umum (Pemimpin Rakyat Baru).  Islam yang dikenalkan oleh Walang Sungsang baru merupakan Islam Syahadat, belum masuk kepada ajaran syariat dan Ibadah serta tata kehidupan menurut ajaran agama Hindu - Budha tetap hidup tidak diganggu.


Sunan Corenda dari Sintawati mempunyai puteri bernama Setyasih, kemudian setelah menjadi penguasa Sumedang ia diberi gelar Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya (1529 M) islam sudah mulai berkembang di Sumedang, disebarkan oleh Maulana Muhamad alias Palakaran.

 
Masuknya Pengaruh Islam
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumadinata, putra Pangeran Muhamad putranya Pangeran Panjunan Cirebon dan Ratu Martasari, putranya Prabu Amuk Marugul. Pangeran Kusumadinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya sangat alim. Sejak itulah mulai penyebaran agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

 
MASA ISLAM
Penyebaran Islam Di Sumedang
Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya, atau kira-kira tahun 1529 M agama Islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran).

Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan Raden Santajaya atau Sunan Corenda, putranya Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munfing wangi raja daerah Maja. Dari pernikahannya ini melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih. Pada saat dinobatkan sebagai penguasa Sumedang tahun 1530 , Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) dan Putri Sindangkasih (Majalengka).

 
Pernikahan
Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng Japura. 

Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri).

Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.

Berdasarkan dari rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena sering kali tumpang tindih dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.

Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari Ki Gedeng Sindangkasih.

Kedua menurut riwayat Majalengka, Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya. karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah) menjadi penguasa di Sindangkasih.

Dari kisah tersebut memang ada sedikit ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih, melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap kekuasaan yang syah di Sindangkasih.

Dari peristiwa itu rpmssjb menarik kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri, dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.
 

Pangeran Santri
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.

Peristiwa diatas memiliki kemiripan dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.

Menurut rpmssjb, Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.

Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan “syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih merupakan “satelit’ Cirebon”.

Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi ‘tajug’ keraton Kutamaya.


Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum, maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran Santri dan Pucuk Umum, yakni 
(1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) ; 
(2) Kiyai Rangga Haji ; 
(3) Kiyai Demang Watang di Walakung ; 
(4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; 
(5) Santowaan Cikeruh ; 
(6) Santowaan Awiluar.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala pemerintahan, karena usi lanjut.

Patut diperhitungkan, ketika Pangeran Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang, apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang, atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.

Dalam hal ini ada dua versi. Pertama menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri. Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik 13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.

Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji 1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Menurut rpmsjb, sebagai pengganti penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun.

 
PEWARIS PAJAJARAN

Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M. 

Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.

Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda. 

Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.

Di dalam Pustaka Kertabhumi sargah ke 1 jilid 2, dikisahkan : “Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).

Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.

Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

 
Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana.

Berakhirlah jaman Pajajaran (1482–1579 M), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
• Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
• Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
• Punta Narayana Madura Suradipati,
• inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.

Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.

Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.

Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).

 
Geusan Ulun Penerus Tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari Kandage Lante.

Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.

Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.

Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
“Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).

Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.

Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara – saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.

Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.

Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.
 
Bahan Bacaan :
•  Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
•  Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010
•  Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
•  Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
•  Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.

Tidak ada komentar