Carita Waruga Guru

Naskah ini telah ditransliterasi dan diterjemahkan kepada bahasa Belanda dan dibicarakan oleh Pleyte (1913), sebagaimana telah saya singgung. Menurut Pleyte naskah itu ditemukan dari ka­buyutan di Kawali (Kabupaten Ciamis).

Naskah “Carita Waruga Guru” (CWG) ditulis pada kertas Eropa, dengan tinta hitam, berukuran ±20 x ±15 cm. Tebalnya 24 halaman. Berbeda dengan KWJ dan “Ki­tab Pancakaki” yang telah di­singgung, keduanya memakai hu­ruf pegon, CWG ditulis dengan khas aksara pra-Islam, coraknya mirip dengan aksara pada naskah “Carita Parahiyangan”,yang ditu­lis pada lontar (rontal), juga ditemukan di daerah Galuh, dengan sedikit penyimpangan, misalnya aksara/ba ada dua bentuk. Tetapi jauh berlainan dengan apa yang disebut dengan aksara buda atau aksara gunung, yang ditemukan pada naskah-naskah dan lereng Gunung Merapi-Merbabu, seperti yang diungkapkan dalam disertasi Van Der Molen (1983), atau Kantara Wiryamartana (1987). Bentuk aksara pada CWG mungkin telah dibuat tabelnya dalam buku Holle (1882), bernomor 91, 92: Ms. Van Galoeh (lontar), tidak berbeda jauh dengan label yang saya buat dalam “Carita Ratu Pakuan” (1969: 25), dan saya beri nama aksara Sunda Kuno.

Bahasa pada CWG tidak berbeda jauh dengan bahasa dalam “Carita Parahiyangan”, tetapi kosa­kata Arab dan cerita para nabi telah memberi warna yang mencolok. Saya kutip contoh dari hal. 1 :

… eta kanyahokeun ratu galuh kerna bijil ti alam gaib nya nabi adam di heula ratu galuh dienggonkeun sasaka alam dunya.…

Dari kutipan pendek di atas, kata-kata Arab yang telah masuk alam, gaib, nabi Adam, alam dunya. Dan tokoh dari cerita nabi­nabi, Nabi Adam (hlm. 2, 3, 5), Nabi Isis (hlm. 2, 5), Nabi Enoh (hlm. 2, 3, 5. 8, 11), dari “roman” Amir Hamza, nama tempat : Mesir (hlm. 1), Gunung Mesir (hlm. 1), Ratu Mesir (hlm. 6), dan Selong (hlm. 5, 8), gunung jabal kap (hlm. 1), dan tokoh Alamdaur (hlm. 6) serta Seh Majusi (hlm. 11), dan tokoh atau lebih tepat jabatan lokal yang berulang-ulang berperan, ialah darmasiksa (hlm. 7, 8, 9, 11, 21).

Apabila kita bandingkan isi KWJ dengan CWG, pada dasarnya banyak persamaannya. Naskah KWJ milik YPS, karena sangat rusak, tidak dapat saya baca dengan sempurna dan saya coba me­nyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam CWG. Sebagai contoh biar pun se­dikit berbeda: KWJ (hlm. 1) babar buwana: CWG (hlm. 2) babarbawa­na; KWJ(hlm. 1) … gantungan: CWG (hlm. 2), gandulgantung; KWJ (hlm. 1) sayar: CWG (hlm. 2)siar; KWJ (hlm. 2) ratu … tasari: CWG (hlm. 9) ratu perwatasari.

Mengenai riwayat banjir yang terjadi pada zaman Nabi Enoh (Nuh), antara kedua naskah itu terdapat persesuaian, yang diri­wayatkan, bahwa Pulau Jawa tidak terendam banjir, karena Ratu Ga­luh (KWJ, hlm. 3, 4), atau Ratu Perwatasari Jagat (CWG, hlm. 9), terlebih dahulu telah menciptakan gunung yang tingginya mencapai langit dan seluruh warga ma­syarakatnya diperintahkan naik ke atas gunung itu. Setelah air surut, mereka sekaliannya turun dan tiba di suatu tempat, yang kemudian di­sebut Bojonglopang.

Mengapa tokoh dalam kedua naskah tersebut disebut Ratu Galuh? Menurut KWJ (hlm. 3), karena: cahya kang metu saking netra (cahaya yang keluar dari mata), tetapi menurut CWG (hlm. 11), karena: lebak karagragan cibanu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh (lembah kejatuhan air mata, maka menjadi Ratu Galuh).

Ratu Galuh itu kemudian diceritakan berputra tiga orang (dalam KWJ dari istri berbangsa manusia), peristiwanya diceritakan dalam hlm. 12-21, ± 42% dari tebal naskah. Ketiga putra itu, ialah Hariang Banga, Ciung Manarah dan Maraja Sakti. Sebutan Ciung Manarah, juga dalam Kitab Pacaka­ki …. (Said Raksakusumah 1973:4) dan pada hlm. 2 dalam KWJ, pada halaman-halaman berikutnya tertulis Ciung Manara, Dalam Babad Galuh yang mana pun juga asal ditulis pada abad 19/20, selalu ditulis: Ciung Wanara, sebagaimana juga ditulis Ciung Wanara dalam “Carita Pantun”, salah satu versinya telah dicetak (Pleyte 1911), ditulis Ciung Wanara dan Hariang Banga. Dalam “Babad Tanah Jawi” (edisi Olthof 1941: 12, 14) tertulis: Siyung Wanara dan Ana Banga.

Dalam “Carita Parahiyangan” (Atja 1968: 28-29), tersebutlah to­koh bernama Sang Manarah, pen­jelmaan Bagawat Sajala-jala, yang dibunuh tanpa dosa. Ayahnya ber­nama Rahiyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban, putra Ra­hiyang Sanjaya.

Dalam prasasti Canggal (732 Masehi); pada 10-11, diceritakan, bahwa yang mengganti Sang Sanna menjadi raja di Tanah Jawa ialah Sang Sanjaya, putra Sang Sannaha, saudara perempuan Sang Raja Sanna. Dengan demikian Sanjaya adalah tokoh historis & Poerbatjaraka (1952:95) telah mencatat empat buah piagam yang lain: 

a. Piagam, hanya tahunnya saja yang diambil, yakni tahun Sanjaya 174 = 828 Sa­ka (906/7 Masehi), pada waktu itu Sang Daksotama masih menjadi maha mantri dari sang raja Rake Watukura Dyah Balitung; 

b. Piagam, hanya tahunnya saja yang diambil, yakni tahun Sanjaya 176 = 830 Saka (908/9 Masehi). Pada ketika itu Sang Daksotama telah menjadi raja di Jawa Tengah menggantikan Raja Rake Watukura; 

c. Tembaga-tulis berangka tahun 829 Saka (907/8 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Rake Watukura, Sang Sanjaya disebut: Rakai Mata­ram Sang Ratu Sanjaya; 

d. Piagam berangka tahun 1022 Saka? (1100/1 Masehi?), baginda disebut Rahiyangta Sanjaya.

Adapun sebutan Panaraban dan Manara, tercantum dalam sebuah prasasti yang disebut Wanua Tngah III (transliterasi sementara saya dapatkan dari Dr. Ayatrohae­di), untuk jelasnya saya kutipkan sebagian (dengan penyesuaian EYD) :

4. (….) ing saka 706 cetra masa da­sami sukla. pa ka sa. wara angdi­ri rake panaraban, tanninulahu­lah ikanang sawah lan i wanua tngah an tama rikanang bihara i pikatan. ing saka 725 cetramasa sasti sukla. pa u su. wara. mang­diri rakai warakdyah manara. sira ta umabak ikanang sima. pjah rake warak sirang lumah i kelasa ing saka 749 srawanama­sa. caturdasi kresna. (….)

Saya tidak berwewenang untuk membuat tafsiran, namun sepintas lalu dalam prasasti itu nama/gelar Rake Panaraban dan rake warak dyah manara (Yang saya garis ba­wahi dalam kutipan di atas), seper­ti juga dalam “Carita Parahiyang­an” (Atja 1968) ada tertulis: Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anak nira Rakeyan Panaraban, inya Ra­hiyang Tamperan. (….) dan di tempat lain, saya kutip: Mangjan­ma inya Sang Manarah, anak Tam­peran, dwa sapilanceukan deung Rahiyang Banga. (….)

Jika kita bandingkan kutipan-kutipan di atas berat dugaan saya bahwa berdasarkan kecocokan yang ada, maka baik Rake Panaraban (prasasti Wanua Tngah), maupun Rakeyan Pararaban atau Rahiyan Tamperan (Carita Parahiyangan) adalah sebutan untuk seorang tokoh historis, demikian juga Rake Warak Dyah Manara (prasasti Wanua Tengah), juga San Manarah (Carita Parahiyangan adalah sebutan untuk seorang to­koh historis. Kalau meragukan, bandingkan nama Raksakusuma (Jawa: Reksokusumo) dengan Raksakusumah! Jadi: Manara (eja­an Jawa) berbanding Manarah (ejaan Sunda). Maklumlah Carita Parahiyangan dan Carita Waruga Guru berbahasa Sunda, bahkan Kitab Waruga Jagat biarpun ditulis dengan bahasa Jawa, tetapi bahasa Jawa-Cirebon: wignyan pada akhir kata tidak diucapkan (cf Smith 1926: 1).

Lepas dari hal-hal yang telah di­kemukakan di atas (7), di antara kedua naskah itu dalam episode Ciung Manarah dan Hariang Ba­nga terdapat persesuaian, yaitu akhirnya Hariang Banga menjadi Raja Majapahit, sedangkan Ciung Manarah mendirikan Kerajaan Pajajaran. Selanjutnya dikemuka­kan, Hariang Banga menurunkan para ratu Majapahit, kemudian Mataram (Islam), dan berakhir de­ngan menyebut Pangeran Dipati, putra Pangeran Mangkunegara.

Menurut Pleyte (1913: 403, cf Schrieke 1959: 151), Pangeran Mangkunegara naik takhta Mata­ram pada tahun 1719 Masehi dan memerintah hingga tahun 1725 Masehi, dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan oleh Pa­ngeran Adipati, dengan gelar Pakubuwana II, baginda berkuasa antara tahun 1725 hingga 1749 Ma­sehi. Maka dengan demikian CWGkemungkinan besar tersusun pada masa di Mataram berkuasa Amangkurat IV, atau mungkin se­belumnya. Pleyte memberikan an­cer-ancer tersusunnya CWG di antara tahun 1705 – 1709 Masehi, ka­rena dalam deretan siisilah dise­butkan juga Susunan Puger, yang berdasarkan kontrak dengan VOC tanggal 5 Oktober 1705, diangkat menjadi Susuhunan Pakubuwana I, setelah mendepak keponakan­nya, Amangkurat III.

Naskah KWJ menyebut keturunan Hariang Banga yang terakhir ialah Pangeran Dipati Anom, putra Susuhunan Amang­kurat II, cucu Susuhunan Tegalwa­ngi (Amangkurat I), dengan de­mikian saya mengajukan dugaan, bahwa KWJ tersusun pada masa di Mataram berkuasa Susuhunan Amangkurat II, sedangkan masa pemerintahannya dari tahun 1677 hingga tahun 1705, pada tahun itu pula Pangeran Dipati Anom naik takhta dengan gelar Susuhunan Amangkurat III, yang terkenal de­ngan gelar Sunan Mas, pada tahun 1708 setelah direbut kekuasaannya oleh pamannya dengan bantuan VOC, Sunan Mas dibuang ke Selon (Veth 1878: 420-1). Kolofon KWJ, sehagaimana telah disinggung di atas, sebagai catatan penu­lis, selesai ditulis pada Senin malam (Jawa-Sunda malem Salasa), bulan Zulhijjah, tanggal 8, Tahun Alip, 1117 Hijrah, bertepatan dengan 23 Maret 1706 Masehi (Joac­him Mayr & Bertold Spuler 1961).

Ratu Galuh dalam CWG dan KWJ pada Wawacan Sajarah Galuh yang disunting oleh Dr. Edi S Ekadjati (1981: xxvii), disebut Ratu Pusaka, di dalam versi-versi yang lain disehut Maharaja Adimulya, pada Carita Pantun “Ciung Wanara” (Pleyte 1913) Sang Permanadikusumah.

Wawacan “Sajarah Galuh” dianggap penyunting tersebut didasarkan atas pertimbangan persesuaian judul dengan keseluruhan isinya, dan naskah pembandingnya berjudul “Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa”. Keduanya menceritakan perkembangan Galuh sejak berdirinya hingga masa pemerintahan Bupati Galuh: Raden Arya Adipati Kusumah di Ningrat (1836-86).

Kalau kita perhatikan berjenis­jenis babad atau sajarah, yang ditulis baik anonim maupun menyebut penyalin atau penyusunnya, ham­pir seluruhnya bertumpu dan seba­gai cikal-bakal hanya sampai kepa­da Ratu Galuh tersebut, dengan demikian naskah lontar “Carita Parahiyangan”, biarpun ditemu­kan di Galuh, ternyata tidak mere­ka ketahui isinya.

Dari “Carita Parahiyangan”, yang ditulis di Sumedang, pada tahun 1601 Masehi, seperti dijelaskan oleh Pangeran Wangsakerta dalam Carita Parahiyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan, sargah pertama (CP-1) tertulis episode tokoh-­tokoh Ratu Galuh yang lebih tua.


Isinya sebagai berikut :

Ieu carita Waruga Guru, eta nu nyakrawati. Nu poek angen tulus, ka kujaba dinu bodo, nu tarabuka priyayi sakarep kasorang tineung meunang guru.

Ratu Pusaka di jagat paramodita, eta, kanyahoan Ratu galuh, keurna bijil ti alam gaib, nya Nabi Adam ti heula.

Ratu Galuh dienggonkeun sasaka alam dunya. Basana turun ti langit masuhur, turun ka langit jambalulah, turun ka langit mutiyara, turun ka langit purasani, turun kalangit inten, turun ka langit kancana, turun ka langit putih, turun ka langit ireng, turun ka langit dunya.

Ja kalangan, tata lawas turun ka Gunung Jabalkap. Upami ratu Galuh dienggonkan sasaka alam dunya, Nabi Adam ti heula, pinareking Gunung Mesir. Adam di seuweu opat puluh, dwa nu sakembaran, munijah luluhur haji dewi; cikal, da hiji dingarankeun nabi Isis, luluhur manusa.

Nabi Isis diseuweu Kaliyanggin./ Kaliyanggin diseuweu Malit./ Malit diseuweu Malam./ Malam diseuweu Mahur./ Mahur dseuweu Lamak./ Lamak diseuweu Nasar./ Nasar di seuweu basar./ Basar diseuweu nabi Enoh./ Nabi Enoh diseuweu istri, putri Betari Sanglinglang./ Betari Sanglinglang diseuweu Muladasadi./ Mulasadadi diseuwe Ratu babarbwana, arina karma Batari Logina./ Batari Logina diseuweu Gandulgantung.

Naha ari dingarankeun Ratu Gadulgantung ?/ Karna tapa di awang-awang./ Arina karma Betari Cipta Langgeng, siseuweu nya Ratu Menengputih. Naha mana dingaranan Ratu Menengputih ? / Karna tapa dina haseup bijil putih./ Arina karma Betari Ciptawisena, arina diseuweu Ratu Gandul larang./ Naha ma dingaranakeun Gandullarang?/ Karna tapa dina bentang. Arina karma ka Betari Mekubuya/ Betari Mekubuya arina diseuweu Ratu Okanglarang./ Naha mana dingarankeun Ratu Okanglarang ?/ Karna tapa dina bulan./ Arina karma ka Betari Mekuhurip. Betari Mekuhurip arina diseuweu Ratu Siar./ Naha mana dingarankeun Ratu Siar ?/ Karna tapa dina jero banyu.

Arina karma ka Betari Medangtasa. Arina diseweu Ratu Komara./ Ratu Komara arina karma ka Betari Lengisjati/ Betari Lengisjati arina diseuweu Ratu Pucukputih./ Naha dingarankeun Ratu Pucukputih?

Kerna tapa di jero langit putih nu leuwih./ Arina krama ka Betari Panggungkancana, arina diseuweu Baginda Premana.

Arina karma Maraja Lengjagat, arina diboga seuweu jumeneng ratu Tajapura Puterjagat./ Ditibanan ci banyu eluh/ Diraga-raga ci banyu eluh. Kacarita Waruga Guru jumeneng nyakrawati, katurunan caya eluh, turun Gunung Rajanna, jumeneng ratu Rajanna.


Mangka Caritakeun deui Nabi Adam. Diogan sareyat. Lalampahan eukeur bingung, mitetekeun srangenge, hukumna sakur nu usik dihalalkeun, alamna lima riwu tahun, cengkal kayu ka patbelas ratus.

Kasalinan deui ku nabi Enoh, alamna dalapan ratus tahun, cengkal kayu salapan ratus cengkal panjangna, hukuna sakur nu paeh ku maneh diharamkeun, balana saeusina.

Kasalinan deui ku Nabi Isis, diboga kitab tanpa karana./ Caritakeun deui Ratu Rajaputra puterjagat.

Nabi Enoh mireungeuh Nagara Selong padagang dalapan./ Mangka nurut Baginda Premana sabalana kabeh. Ratu Rajaputra Puterjagat nu ranuhan hanteu milu, kudu-kudu karsa dahar babatang./ Mangka kahatur karamana./ Mangka bendu ramana. Eta oge rek dipupusan./ Maka dicekel ku Adam Daur./ Mangka kabireungeuh ku nyai aisna, ku ratu dewi Astra. Mangka dibelakeun jalma sewu./  Tuluyna ka kahiyangan./ Lawasna tapan di kamulyaan, turun ngababakan./ Medang Kamulan sangara, nuboga dayeuh dingaranan Ratu Bawana./ Mangka Diprangan ku Adam Daur, kasedek ngidul ka Pulo Panamor./ Mangka silih balang ku siwalan, turunna ka dayeuh, mana dingarankeun Bagelen.

Caritakeun deui putrana ratu Mesir na putri geulis Raminihalul, nu jung dina bulan Anggarkasih./ Unggalna ka papanggungan nengcengna patanggalan./ Rek dibeubeureungeuh ka tebeh kidul, behna pameget./ “Rampes, ta inya.”/ Tuluy hatir ka ramana, “Rama, kawula dek karma na ais bawa satapa.”/

Tuluy dibawa ku Darmasiksa./ Tuluy angkat deungna kai ais dijenengkeun Ahmad Musapir./ Tuluy ka nagara Medang Kamulan; kadaharanan Sri./ Mana aya Sri di Nusa Jawa : / Tuluy karma raka ka pada raka, rai ka pada rai. / Tuluy pinuh Medangkamulan, dieusi ku dua riwu./ Mangka karsa mindah dayeuh ka Gunung Kidul./ Mangka diwaris kuringna ku Darmasiksa, nu ti Mesir sakuringna ka gustina, nu ti selong sakuringna ka gustina./ Saur ratu, “Lalakina eta oge teu dbwaga waris, aya waris purba mana kuat ewe-ewena.”/ Mangka tuluy jadi nagara duwa kang raka deungeun kang rai.

Mangka caritakeun dei nabi Enoh./ Saurna nabi Adam, “Nabi Enoh, teu yacan dasri sri; reya duradu, kudu bogoh ka papad lalaki, karsa dahar babatang.” Saurna, “Nabi Adam, mugi–mugiya keuna bebendon deneng Allah.”/ Mangkana pasti, dibawa unggah ka parahu Adam Nabi Enoh./ Dibawa unggah ka parahu, manga bijil angina topan sapocoro ti sagara, mangka keueum alam dunya./ Urang Nusa Jawa rame eukeur nyieun gunung.

Saur Ratu Prewatasari jagat, “pikakeueumeun.”/ Manghka nyipta gunung sasipat langit, dingaranan Gunung Adraksa./ Mangka urang nusa Jawa dibawa unggah gunung ku Ratu Prewatasari./ Mangka urang Nusa Jawa unggah ka Sanghiyang Puncak Linggapayu./ Mangka lawas-lawas orot deui./ Man anus saat ti heula bojong rencang carengcang betan kembang lopang, mana dingaranan Bojonglopang./ Tuluy diturunan di babakan ku Darmasiksa./ Turunna ka dayeuh, mana aya imbanagara, dijenengkeun Ki Sipati Panaekan masihna ratu leungit di gunung./ Mangka unggah pulo kancana kumambang-kumambang, ditalian ku hoe ku rokro, dicangcang keun ka gunung, dingaranan Nusa Kambangan./ Manga katurunan wahiyu.

Saur nu Wenang, “Geura tapa di sompoking panon poe, dinya pijadieun ratu.”/ Meunang saur sakecap, tuluy angkat deui./ Saur Nu Wenang, “Jajaga ka loka gumilang na tapa manana aya sawarga loka.”/ Mangka nerus bumi kahandap ka saragina.

Arina dibabar bawana, mana aya Bwanalarang. Tuluy tapa dinya. / Meunang saur sakecap, mangka angkat deui ka luhur. Bijil ti gunung, babar ti gasak, ti ngabulungbung jalanna, mana mana, dingaranan Pameungpeuk.

Tuluy tapa di Gunung Buligir putih, dibabar bawana, mana aya Bwanalamba./ Turun ka Gunung Dapang, murub muncar pakatonan di jagat paramodita, disujudan ku sajagat kabeh, salimahing bumi sakurebing langit./ Mangka bireungeuh ku Darmasiksa. / Tuluy diparanan ku Darmasiksa, jadi sastra duwa puluh./ Tuluy dibikeun ka dalem dayeuh./ Dihaturkeun deui ka putrana kabeh./ Mangka dibejakeun ka sabrang, ka nabi Enoh.

Saur Nabi Enoh, “Watek eta, Seh, lekab karagragan si banyu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh. “Mangka Seh Majuso dudukuh di Masigit Wastu./ Maka Sang Ratu ngajenengkeun papatih opat anu natakeun sakabeh./ Dijenengkeun Adam Daur nu natakeun jalma kabeh ; dijenegkeun Dewa Guru nu natakeun di jero dayeuh, Darmasiksa na natakeun di karataon, Empu Ganjali./ Mangka urang Nusa Jawa pada sujud ka gunung anteg dijieun pamujaan./ Mangka katingalan ku malekat yen ruksak umatna kabeh, alamna sujud ka kayu ka batu. Mangka dipanah gugutuk batu./ Tuluy rempu paburantak, turunna, mana aya Kabuyutan./ Mangka sujud ka batullah.

Urang caritakeun deui aya nu tapa di Gunung Padang, yen kawasa, dingaranan Ajar Sukaresi.

Mangka hatur ka Sang Ratu yen kawasa./ Saurna Sang Ratu, “Ah, aing neang ka nu tapa.”/ Mangke greuhana ditapokan mohana ku kancah./ Saur Sang ratu, “Patih, haturkeun ka nu tapa, Sang ratu bareuh mohana, kunaha ?.

Tuluy ku Kai Patih haturkeun kanu nu tapa./ Haturna Kai Putih ka nu tapa, “Nuhun, kaula dipiwarang ku Sang ratu, sang Ratu beureuh mohana, kunaha ?”/ Saur nu tapa, “eta oge eukeur bobot Sang Ratu.”/ Kai Putih tuluy pulang, hatur ka Sang ratu.

“Kumaha patih saur nu tapa?”/ “Nuhun, Sang Ratu, “Bohong nu tapa, pagah kawasa.”/ Arina diteang kancah teu aya, Sang ratu ngandeg./ Datang ka bulanna, babar./ Dingaranan hariang Banga./

Lawas-lawas Sang ratu uwar ka sanagara yen sang ratu eukeur boga seuweu./ Saur Sang Ratu, “Patih, hatur ka nu tapa, Sang Ratu eukeur di boga deui seuweu.”/ “Rampes,: carekna kai Patih./

Ari datang ka nu tapa tuluy hatur, carekna kai Patih, “Kaula nuhun, dipiwarang ku Sang Ratu.”/ Saur nu tapa, “Dipiwarang naha, Kai Patih ?’/ “Mangka Sang ratu bobot, naha ewe-ewe ta lalaki piseuweueunna na ?”/ Saur nu tapa, “Reya deui Sang ratu nu tapa, Kai Patih haturkeun ka Sang Ratu, saur nu tapa piseuweunnana ewe-ewe.”/

Saur Sang Ratu, “Bohong nu tapa, eta oge kateh.”/ Arina diterang kateh teu aya./ Sang ratu tuluy ngandeg./ Ari lawas-lawas ka bulanna, tuluy babar Sang Ratu./

Arina dibireungeuh istri seuweu Sang Ratu./ Caritakeun deui reyana para putra./ Ratu Maraja lenggang seuweuna Ratu Ayub nu calik di Nusa Kambangan./ Arina patutan nya Hariyang Banga turunan Ajar, pulang jiwa nu ngasa di Sumade Kidul Balikna ka Majapait./ Patutan ti Ratu Prawata, eta seuweu Prebu Gunung, Sang Raja Panji.

Patutan deui ti Ratu Maraja Dewi Angin Ratu Pagedongan./ Ratu Maraja Dewi seuweuna Prebu Wiratmaka, Ratu Marajasakti./ Patutan ti Maraja Dewa Putra raba duwa welas nu nyarita tilu.

Mangka turun Ratu Komara ti swarga ngayuga dayeuh di Bojong Cimandala wateun reujeung Cigagakjalu.

Mangka gering sanagara Galuh./ Saur Sang Ratu, kaula rek hatur ka nu tapa, menta tamba gering.”/ Hatur Kai Patih, “Nuhun, kaula dipiwarang ku Sang Ratu, menta tamba gering sanagara?”/ “Kaula nuhun Sang Ratu, kaula rek hatur ka nu tapa, menta tamba gering sanagara,”/ Saur nu tapa, “Rampes.”/ Mangka ngala sagala tamba./ Tuluy dihaturkeun ka Kai Patih, “iyeu tamba gering, haturkeun ka Sang Ratu, kami dek nuturkeun pandeuri.”/ “Kaula amit”./ Saur nu tapa, “Pileuleuyan, Kai Patih”/ “kaula nuhun, Sang Ratu, ieu tamba gering sanagara tinu tapa.”/ Tuluy di tampanan ku Sang Ratu./ Arina di buka, beh reundeu. / Tuluy di dahar ku Sang Ratu, nyat waras sanagara Galuh.

Tuluy ka seba deui ka para mantra./ Lila lila tuluy datang Kai Ajar./ Saur Sang Ratu, “Sukur temen Kai Ajar datang. Reundeu baan saha?” / Saur Kai Ajar, “Nuhun, ku kaula; lawas-lawas ari cukul, kahatur keun ka sampeyan.”/ “Kai Ajar, ari kitu ngabakti keun sesa. “Mangka Sang Ratu bendu. Saur Sang Ratu, Patih paehan Kai Ajar.”/ Mangka di cekel ku Kai Patih, dibaan ka ranca Cibungur.

Saur Kai Ajar, “Kai Patih, haturkeun saur kami ka Sang Ratu, jajaga ari boga deui seuweu lalaki nya eta nu di paehan teh.”/ Tuluy di telasan. Ngalambangkeun beureum getihna di ranca Cibungur, mangka dingaranan Cibeureum.

Lawas-lawas Sang Ratu ngadeg. Datang ka bulanna, lahir, arina dibireungeuh lalaki./ Mangka diasupkeun kana kandaga kancana reujeung ending sahulu, duhung sapucuk. Tuluy dipalidkeun ka Cintaduy.

Caritakeun deui nini Barangantrang, Aki Barangantrang.

“Nini, hade temen impiyan aing, ngimpi kagugun turan manik kacaahan mirah”/ “Aki, sugan saapan urang meunang kirim pianak-anakeun.”

Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina./ Ari dibuka, behna murangkalih, endog disileung leumkeun, keris./ Tuluy diteundeunkeun murangkalih./ Tuluy dirorok, dipangninggurkeun./ Lawas-lawas datang ka tegus cangcut./ Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.

Bwat ciung./ “Ayah, nahaeun eta?”/ “Ngaranna ciung, anaking.”/ Bot indungna, bwat bapana, bwat anakna. Pur hiber bapana. / “Ayah, ka mana eta arahna?”/ “Piaraheunnana ka daleum dayeuh.”/ “Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”/ Endog tuluy disileungleumkeun. Tuluy megar, dingaranan Singarat Taranjang.

Mangka rame di daleum dayeuh nu keur sawungan./ “Ayah, aing mah hayang ngadukeun hayam aing.”/ “Mulah, anaking, bisi eleh marang.”/ Mengkena murangkalih hayam tuluy dikelek, duhung tuluy disungkelang. Tuluy angkat, ditutur keun ku na ka ayah.

Datang ka Pagelaran, heran ningal urang pagelaran./ Katingali ku Patih Hariyang Banga, kahatur ka Sang Ratu./ Tuluy di saur ku jogan./ Saur Sang Ratu, “Ari eta seuweu saha?”/ “Kaula, nuhun anak kaula.”/ “Dipudut ku ngaing, Aki Belangantrang diperedikakeun sabawa kita”./ Tuluy mulang Aki Belangantrang bari nangis, melang ka kai seuweu.

Rek mireungeuh ka Sang Ratu, mireungeuh deui ka Patih Hariyang Banga, tuluy mireungeuh ka sarirana ku anjeun./ Lila-lila eling carita, hatur ka Sang Ratu, “Kaula anak andika.”/ Ngareungeuheun bangkeureuheun miresep hatur sakitu. Lila-lila tuluy eling, Sang Ratu dipundut sungkelangna duhung./ Ari dibireungeuh sungkelangna duhung, beh pun Naga Lumenggung./ Saur Sang Ratu, “Enmya hidep anaking.”/ Kahatur ka nyai ibuna./ Tuluy dirawu dipangku diceungceurikan.

Saur Ciung Manarah, “Rama Ibu, kaula neda waris.”/ Saur Sang Ratu, “Enggeus beyakeun ku na kai lanceuk, ku Patih Hariyang Banga.”/ “Aya soteh kari panday domas kurang hiji, eta waris aing ka hidep.”/ Tuluy disuhunkeun waris.

Sang Ratu tuluy dicalikkeun, dijajarkeun, deung na kai lanceuk, deung Patih hariyang Banga dituluykeunna, jengan Patih Ciung Manarah marentahkeun Nusa Tilu Puluh Tilu./ Alamna Ratu Galuh pitung ewu tahun.

Mangka Patih Ciung Manarah karasa nurunkeun panday domas kurang hiji rek nyieun beusi./ Kabireungeuh ku Sang ratu, panujueun./ Tuluy dihaturkeun nyieun deui bale beusi./ Kabireungeuh, panujuen dihaturkeun./ Arina nyieun deui konjara wesi./ Arina dibireungeuh ku Sang ratu, panujueun, dihaturkeun./ Saur Patih Ciung Manarah, “Henteu nyaho ta jerona, Rama”/ Tuluy dilebetkeun ku Sang ratu./ “Hade,” saur Sang Ratu./ Jeprak di kancing ku Patih Ciung Manarah, dijingjing ka paseban, diundangkeun ka sadadayeuh./ Teu dibere cai, teu dibere sangu, dikemitan ku para seuweu./ Lawas-lawas saurna Patih Ciung Manarah, “Sang Ratu lintuh lintuh keneh.”/ Horenganan dibalangan keupeul ku Patih Hariyang Banga./ Mangka bendu Patih Ciung Manara, mesat hateup sirap, dibalang kang raka./ Tuluy bendu ka sang raka./ Mangka konjara wesi rek diirik./ Ku Patih Ciung Manarah direbut./ Ku Ratu pagedongan tuluy disusupkeun ka Gunung Kelong.

Tuluy perang, mangka disedekkeun ngetan kang raka. Datang ka Balangbangan, saur kang raka, “Rayi, urang eureun.” / “Raka, rampes.” / Tuluy eureun teoheun maja, tugna bhwah kalayar./ Dicandak ku na kai lanceuk./ “Rayi, iyeu bwah naeun?”/ “Iyeu bwah maja, Raka.”/ “Ngeunah didahar ?”/ “Ngeunah, raka.”/ Arina didahar pait./ “Majapait iyeu pingaraneun nagara.”

Disedekkeun deui ngulon kang rayi ku kang raka./ Datang Tajigbarat, saur kang rai, “Raka, urang eureun.”/ “Rayi, rampes.” / Eureun teoheun paku tug bwahna. Dicandak ku na kai ais, “Raka, buah naeun iyeu?. “Bwah paku jajat.”/ “Pakwan Pajajaran ieu ngaran.”

Mangka perang deui. Datang ka Taraban, mangka turun Darmasiksa./ “Nya prerang, anaking.” Cipamali nerus gunung, teka nunjang ka sagara halerang godong angsana, na kang raka di Candak ku kai mas dipidwah keun ngulon.

Tuluy dikumpukeun ka Nagara Galuh ku Darmasiksa./ Konjara wesi diparanan ku Ratu Maraja sakti, dicipta tuluy lebur jadi cai, turunna ka dayeuh, mana aya Kandangwesi.

Tuluy kumpul deui Nagara Galuh, pada marek ramana neda idin. Mangka matur kang rayi, “Rayi ulang jumeneng ratu ti heula,”/ Saur Kang Raka, “Suka aing jadi ratu ti heula, da aing kolotna anak putu, rayi ku aing dikawulakeun mo jumeneng nyakrawati lamun teu ngumbara heula”.

Patih Hariyang Banga karsa murud ngetan, maan kuringna satak sawe nitih Majapahit./ Puputra Prebu Mula./ Prebu Mula arina puputra Prebu Terusbawa./ Terusbawa puputra Terus Bagawat.

Terus Bagawat puputra Prebut Terus Gumuling./ Prebu Terus Gumuling puputra Prebu Mangoneng. Prebu Mangoneng puputra Prebu Terus Bangbang. Terus Bangbang puputra Ki Gedeng Mesir./ Ke Gedeng mesir puputra Ki Gedeng Jati./ Ki Gedeng Jati puputra Ratu Prewata./ Ratu Prewata puputra Ki Gedeng Mayana./ Ki Gedeng Mayana puputra istri, dingarankeun Ratu Sarikem./ Ari karma ka wong agung Batullah, dingaranakeun Seh Kures.

Kaselangna ku Ratu Pajang manyakit wawatuneun mejangan budak bule pitambaeun./ Nimu Ki Gedeng Selang, putri dianggo, manyakit warasna. Putri tuluy bobot./ Arina babar Ki Gedeng Kacung./ Ki Gedeng Kacung arina puputra Ki Gedeng Surawul. Ki Gedeng Surawul arina puputra Pangeran Sedang Karapay, puputra Sedang Kajenar./ Pangeran Sedang Kajenar puputra Pangeran Sedang Kamuning./ Pangeran sedang Kamuning puputra Sutan./ Sutan arina puputra Susunan./ Susunan arina puputra Susunan Mangkurat./ Susunan Mangkurat arina puputra Pangeran Mangkunegara, kang rayi susunan puger, puputra Pangeran Mangkunagara./ Pangerabn Mangkunagara puputra Pangeran Dipati.

Caritakeun deui Ciung Manarah, karsa rek murud ngulon./ Mangka maan kuring panday domas kurang hiji nitih lemah Pajajaran./ Arina krama ka ratu Endong Kencana./ Arina puputra Darma Rehe. Darma Rehe arina puputra Lutung Kasarung./ Lutung Kasarung arina puputra Prebu Lingga Hiyang./ Prebu Lingga Hiyang puputra Prebu Lingga Wesi./ Prebu Lingga Wesi arina puputra Prebu Lingga Wastu./ Prebu Lingga Wastu puputra Sang Susuk Tunggal./ Sang Susuk Tunggal arina puputra Prebu Mundingkawati./ Prebu Mundingkawati puputra Prebu Anggalarang./ Prebu Anggalarang puputra Prebu Siliwangi, jumeneng nyakrawati Pajajaran.
________________
Dari : Lima Abad Sastra Sunda – Sebuah Antologi, Jilid I, Wahyu Wibisana dkk. Geger Sunten, Bandung – 2000 – Disadur dari Poesaka Soenda, No.9,1923).