Kerajaan Pakuan Pajajaran Pada Masa Raga Mulya, Tahun 1567–1579 M
Raja Pajajaran yang terakhir adalah NUSIYA MULYA (menurut Manuskrip Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA alias PRABU SURYAKANCANA.
Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, “Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala”
Artinya : Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam PUPUH KINANTI (artinya saja)
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo (seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan oleh saudaranya itu. Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut: :
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata"
Artinya :
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata".
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah TAHTA NOBAT yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kerajaan Sumedang Larang
Dewi Setyasih dinobatkan menjadi Ratu Sumedang Larang, menggantikan ibunya Ratu Patuwakan, bergelar Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum).
Pada awal kekuasaannya memindahkan Kerajaan dari Ciguling ke Kutamaya, terletak di antara dua sungai Cipeles dan Cisugan. Ratu Dewi Setyasih dipersunting oleh ulama besar Cirebon yaitu Pangeran Santri atau Raden Sholih, kemudian Islam berkembang di lingkungan Kerajaan Sumedang Larang.
Dalam perkembangannya Islam menjadi agama pilihan rakyat sehingga mendorong terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban. Pangeran Santri menerjemahkan ayat-ayat Qur’an kedalam bahasa Sunda, selain itu menerjemahkan sastra-satra tarekat syatariah Jawa - Cirebon ke dalam bahasa Sunda, sebagai media syiar Islam dan juga mengembangkan kesenian Engko Terebangan atau Kesenian Bray Cirebon, yang dikembangkan kakeknya Syarif Abdurahman (Pangeran Panjunan Cirebon). Hal ini terbukti dengan adanya “Engko Terbangan’ yang dikenalkan Syekh Maulana Abdurahman Akbar beliau Di Cipanas Tanjungkerta dikenal dengan nama Buyut Depok atau Mbah Ewangga atau Embah Wali Suci, yang membuat lirik lagu "Engko Terbangan", pada masa pemerintahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedanglarang, patilasannya ada juga di Daerah Depok Kecamatan Tanjungkerta Sumedang.
Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah antara 1567-1569 Masehi, Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena banyak raja-raja Pajajaran berasal dari keturunan Kerajaan Galuh sebagai asal mulanya.
Pada saat Kesultanan Banten dbawah Kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf (putra Sultan Hasanuddin) menyerang Pajajaran, Prabu Surya Kencana Ragamulya memerintah tidak di Ibukota Pajajaran di Pakuan Bogor tetapi di daerah Pulasari (daerah antara Gunung Halimun - Salak), oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 Masehi, akan tetapi dari tahun 1578 Masehi Prabu Surya Kencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.
Pada saat yang sama, di tahun 1578 M Prabu Suryakencana memerintahkan para Senopatinya untuk menyelamatkan putra mahkotanya yang bernama Raden Aji Mantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya selain Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana yang diboyong pasukan Banten dan diserahkan ke Sultan Maulana Yusuf di Banten.
Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas pondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka atau sekitar 19 Juli 1558 M, lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum.
Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten.
Disebutkan dalam Babad Pajagan (Paku Danghyang Pangjagaan) bahwa Hyang Ambu atau Maya-Hyang Kusumah (Mayang Kusumah) tedak terah Pajajaran Tengah, putri bungsu dari lima bersaudara Batara Kusumah yang bermukim di Gunung Pancar Buana Bogor, yaitu :
1. Layang Dikusumah alias Mbah Gedé, sebagai Guru Wisesa yang bergelar Ki Ajar Gedé.
2. Jaya Kusumah, diangkat menjadi Kandaga Landé Pajajaran dengan gelar Jaya Prakosa
3. Raksa Kusumah (sejak buraknya Pajajaran tidak diketahui entah dimana)
4. Lenggang Kusumah (sejak buraknya Pajajaran tidak diketahui entah dimana)
5. Mayang Kusumah
Dalam Babad Pajagan diceritakan tentang salah satu tokoh yang disebut Mayang Kusumah atau Sanghyang Ambu (Buyut Ambu), adalah adik Layang Dikusumah atau Ki Ajar Gede (Mbah Gede) dan Jaya Perkasa dari Pajajaran yang menemani rombongan 4 Kandaga Lente orang menyerahkan Mahkota kepada Sumedang.
Mayang Kusumah, ketika masih gadis dan harus meninggalkan Pajajaran bersama teman-temannya dan rombongan 4 Kandaga harus meninggalkan Pajajaran karena telah burak.
Jalan yang diambil oleh rombongan menyusuri pantai laut selatan dan jalan yang ditempuh oleh ronbongan sengaja menyiasati untuk menghindari pasukan musuh yang menyerbu negara gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Surasowan Banten,
Perjalanan yang ditempuh dari wilayah Jampang Kulon yaitu Kadu Hejo - Pulosari, Pandeglang, tempat terakhir Keprabuan Prabu Nila Kendra, Prabu Nusiya Mulya alias Prabu Seda alias Panembahan Pulosari, jalan yang ditempuh terungkap jejaknya sekarang "Jalan Lintas Selatan.
Dari Pandeglang atau keprabuan Pulosari di masa, lalu ke Jampang, kemudian melalui jalur Sancang kemudian ke Garut tembus ke Batu Karas dan ke Pangeureunan Limbangan, dengan maksud untuk menemui salah satu sesepuh Pajajaran yang tinggal di Limbangan yaitu Sunan Rumenggong (Prabu Layaran Wangi) yang diberi kuasa mendirikan Nagara Kerta Rahayu (keadaan darurat) di Limbangan Garut.
Rombongan Pajajaran bermaksud meminta saran dan usul kepada Sunan Rumenggong, sesepuh yang memiliki pengalaman yang luas, bermaksud meminta saran dan usul kepada Sunan Rumenggong, sesepuh yang memiliki pengalaman yang luas.
Di Limbangan mendiskusikan segalanya yang menghasilkan kesepakatan para pemangku Pajajaran untuk menyetujui penyerahan mahkota kepada Sumedang, meski tidak sedikit yang tidak setuju dan meragukan kemampuan Kerajaan Sumedanglarang untuk melanjutkan tongkat estafet kejayaan kerajaan Pajajaran.
Pada fase ini, Pajajaran runtuh pada tahun 1579, akibat diserbu tentara gabungan Banten Cirebon.
Ratu Inten Dewata mengangkat Gajah Lindu menjadi Patih, Sutra Bandera, Sutra Umbar diangkat menjadi panglima perang, Aji Mantri diangkat menjadi Penata Agung Keprabuan.
Empat Kandaga Lante Pajajaran Jaya Perkasa, Dipati Wirajaya, Pancarbuana, dan Terongpeot, diperintah Prabu Raga Mulya Surya Kancana alias Prabu Pucuk Umum Pulosari alias Prabu Nusiya Mulya, agar menyerahkan mahkota Binokasih lambang kebesaran Pajajaran kepada Pengagung Sumedang larang.
Pasukan berkuda melintasi daerah hutam Bogor, dihadang oleh pasukan Senapati Banten, terjadilah pertarungan seru. Pasukan Jaya Perkasa lolos dari kepungan, singgah di Galuh Pakuan Limbangan berunding dengan Prabu Jaya Kusumah (Sunan Rumenggong) yang dipertuakan oleh pengagung Pajajaran.
Ke empat Kandaga Lante Pajajaran mempertimbangkan rencana penyerahan Mahkota Binokasih, diserahkan kepada Sumedang Larang atau kepada Cirebon. Atas pertimbangan Prabu Jaya Kusumah (Sunan Rumenggong), mahkota lambang kebesaran Pajajaran diserahkan kepada Sumedang Larang.
Sebelum menyerahkan Mahkota Prabu Jaya Kusumah (Sunan Rumenggong) berunding dulu dengan Gajah Lindu, Sutra Bandera, Sutra Umbar, dan Aji Mantri yang sedang berada di Cisurat (Wado). Kandaga Lante Pajajaran memenuhi nasihat itu, berunding di Cisurat untuk menentukan hari penyerahan Mahkota tersebut.
Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk diserahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, kemudian Ratu Inten Dewata di Keprabuan Kutamaya mengangkat 4 Kandaga Lente menjadi Senapati untuk memperkuat angkatan perang Sumedang Larang.
Post a Comment