Sekilas Kerajaan Saunggalah

Kalau kita mengungkap kembali eksistensi Kerajaan Saunggalah Kuningan yang dipimpin oleh Resiguru Demunawan, ada peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi berkaitan dengan peranan tokoh tua dari Saunggalah ini yang berhasil membawa Kerajaan Saunggalah sebagai satu kerajaan “penting dan menentukan” di tengah-tengah pergaulan dengan kerajaan lainnya, khususnya di Jawa Barat, pada kurun waktu abad ke 8 Masehi. 

Peranan Resiguru Demunawan itu antara lain berhasil menjadikan Kerajaan Saunggalah sebagai kerajaan “besar” menurut ukuran zaman waktu itu, mampu mensejajarkan diri dengan kebesaran Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda yang telah berdiri terlebih dulu. Selanjutnya Resiguru Demunawan juga merupakan tokoh yang dipercaya untuk menengahi pertikaian ketika terjadi perang saudara antara Sang Manarah atau Ciung Wanara dengan Rahyang Banga di Galuh pada tahun 739 Masehi.

Melihat kondisi umum abad ke 8 Masehi di Jawa Barat, penulis sejarah banyak yang terpaku perhatiannya pada kebesaran dan kejayaan raja Sanjaya yang berhasil menyatukan Kerajaan Galuh dan Sunda. Padahal di lain pihak masih ada satu kerajaan di Jawa Barat yang tidak ditundukkan oleh Sanjaya dan dibiarkan tetap berdiri sebagai negara merdeka, yaitu Kerajaan Saunggalah. 

Sikap Sanjaya demikian disebabkan ketaatan Sanjaya pada ayahnya, Prabu Sanna atau Sang Sena, agar Sanjaya bersikap lunak pada Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya terhadap Demunawan digambarkan dalam Pustaka Kretabhumi jilid 1 / Sargah 2 halaman 39-40 sebagai berikut :
Rasika tanana katakut ring Sang Demunawan ing Saunggalah, tathapyan mangkana sira tanan angga malurug ring kedatwan uwanira. Hetunya ayayah nira ya ta Sang Prabhu Senna haneng Medang ri Bhumi Mataram ri Jawa Wetan. Kumonaken ajnanihangta: kinon ta sarikadibyaguna ring santana praisantana nira. Haywatta sira lumage wwang sanak ya ta Sang Demunawan. Rumakettamuwang hatut madulur parasparo-pasarpana. Gorawa ning wwang atuha. artinya : Ia tidak merasa takut kepada Sang Demunawan di Saunggalah, tetapi ia tidak berniat menyerang keraton uwanya, karena ayahnya yaitu Sang Prabu Senna di Medang di Bumi Mataram di Jawa Timur (sekarang Jawa Tengah) mengirimkan perintah begini: ia diharuskan bersikap mulia kepada sanak keluarganya. Tidak boleh ia memerangi kerabatnya, yaitu sang Demunawan. Hormatilah orang tua

Pada tahun 732 Masehi Sanjaya dinobatkan menjadi penguasa Medang Bumi Mataram yang ditandai dengan pendirian prasasti Canggal yang berangka 654 Saka (6 Oktober 732 Masehi) (Sumadio, 1984: 98). Sanjaya mewarisi takhta di Medang Bumi Mataram dari ayahnya, Sang Sena (Sang Bratasenawa) yang menikah dengan Dewi Sannaha, yaitu puteri Mandiminyak (raja Galuh) dengan Dewi Parwati. Parwati adalah puteri pasangan Ratu Sima dengan Kartikeyasingha raja Keling (Kalingga) di Jawa Tengah. 

Ketika Ratu Sima wafat, Kalingga dibagi dua kepada Parwati dan adiknya, Narayana. Parwati memperoleh bagian utara yang disebut Bumi Mataram, sedangkan Narayana (bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala) mendapat bagian selatan dan timur yang disebut Bumi Sambara. Tokoh ini yang disebut Hyang Isora Raja Balitar dalam Carita Parahyangan 

Sebagai konsekuensi dari kepindahan Sanjaya ke Mataram tersebut, maka wilayah kekuasaannya di Jawa Barat diserahkan kepada puteranya yaitu Tamperan Barmawijaya. Karena kepindahan Sanjaya ke Mataram inilah rupanya dianggap suatu moment oleh para penulis Sejarah Kuningan selama ini bahwa pada tahun 732 Masehi adalah berdirinya Kerajaan Saunggalah, yang mungkin dianggap telah lepas dari kekuasaan Sanjaya. Padahal seperti telah diterangkan terdahulu, Kerajaan Saunggalah berdiri tahun 723 Masehi atas bentukan Batara Dangiang Guru atau Rahyang Sempakwaja dan Kerajaan Saunggalah tidak pernah ditundukkan oleh Sanjaya Raja Kerajaan Sunda.

Dalam rangka hubungan dengan kerajaan lain, terutama yang ada di Jawa Barat, Resiguru Demunawan mempunyai peranan menentukan ketika berhasil mendamaikan perang saudara antara Manarah – Banga di Galuh tahun 739 Masehi. Perdamaian akhirnya berhasil disepakati dengan dibuatnya keputusan sebagai berikut :
1. Negeri Sunda dari wilayah Citarum ke Barat dirajai oleh Sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
2. Negeri Galuh dari wilayah Citarum ke Timur dirajai oleh Sang Surotama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.
3. Resiguru Demunawan masih menguasai negeri Saunggalah dan bekas Kerajaan Galunggung; dan Sanjaya tetap memerintah di Jawa Tengah. (Danasasmita, 1983/1984: 79-80).

Sebagai upaya mengukuhkan kerukunan antara keturunan Wretikandayun dan Tarusbawa ini, Manarah dan Banga dijodohkan dengan dua orang cicit Resiguru Demunawan. Manarah menikah dengan Kencanawangi, Banga menikah dengan Kencanasari. Dengan demikian berbaurlah darah Sunda-Galuh-Saunggalah. Hal ini kiranya menandakan bahwa telah terjadi upaya pembinaan kerukunan keluarga antara tiga kerajaan di Jawa Barat melalui ikatan pernikahan.

Peranan Resiguru Demunawan yang demikian menentukan dalam saat-saat keturunan Wretikandayun menghadapi kemusnahan karena pertikaian bersenjata, dalam CP dilukiskan sebagai berikut: “...Tembey sang resiguru ngayuga taraju Jawadwipa. Taraju mainya Galunggung, Jawa mati wetan…”, artinya mulailah Sang Resiguru mengatur kesetimbangan di Pulau Jawa. Timbangannya adalah Galunggung dan Jawa di sebelah Timur. (Atja, 1968: 28, 53).

Langkah yang diambil Resiguru Demunawan itu kiranya merupakan langkah politik yang bijaksana untuk kepentingan anak cucunya. Resiguru Demunawan telah berhasil menghapus noda darah yang pernah menggenangi keraton Galuh akibat perbuatan kakaknya, Rahyang Purbasora, yang merebut takhta Galuh dari Prabu Sanna (Sang Sena) pada tahun 716 Masehi.

Kerajaan Saunggalah lahir sebagai negara bawahan Galuh. didirikan oleh Prabu Wiragati pada tahun 671 Masehi. Perkiraan lokasi keraton Saunggalah di lereng Gunung Ciremai bagian selatan. Perkiraan sekarang di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan.


Adapun Raja-Raja di Kuningan Sejak Era Sunda-Galuh hingga Tegaknya Kesultanan Islam Cirebon

- Raja Saunggalah ke 1 yaitu Prabu Wiragati diyakini sebagai pendiri Kerajaan Saunggalah di Kuningan. Masa kekuasaannya terhitung sejak tahun 671-723 Masehi. Putri Prabu Wiragati yang bernama Sangkari, kemudian dinikahkan dengan Demunawan, putra dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, penguasa kerajaan Galunggung.


- Raja Saunggalah ke 2 yaitu Resi Guru Demunawan, berkuasa mulai tahun 645-696 Saka atau antara 723-774 Masehi, selama 51 tahun, Penobatan di Saunggalah, bergelar Seuweukarma atau Rahyangtang Kuku atau Sang Resiguru Demunawan. Resi Guru Demunawan menpunya dua isteri  yaitu permaisuri Dewi Sangkari putrinya Sang Pandawa alias Prabu Wiragati Raja Kuningan dan  permaisuri Sari Legawa, putri Sang Jantaka. Pernikahan Prabu Demunawan dengan Sari Legawa mempunyai anak :
Anak ke 1. Prabu Tambakwesi,  Anak ke 2, Tambakbaya, kelak menjadi ahli menulis pada lontar, diantaranya hal sejarah dan anak ke 3, Sari Banon Kencana.

Selama pemerintahannya terjadi peristiwa yaitu pada tahun 645 Saka atau 723 Masehi, Sang Pandawa alias Sang Wiragati, raja Kuningan, turun tahta dan menjadi Resiguru di Mandala Layuwatang, mandala bekas pertapaan Rajaresi Dewaraja Suraliman Sakti Raja Kendan ke 2. Setelah Pandawa turun tahta, Sempakwaja mendirikan kerajaan Saunggalah, mendirikan istana di Saunggalah dan mengangkat putranya, Demunawan sebagai Prabunya dibekas Kerajaan Kuningan. 

Resi Sempakwaja memberikan  Kerajaan Galunggung dan seluruh negara bawahannya kepada Demunawan putranya dalam upaya menandingi kerajaan Galuh yang saat itu sedang bergejolak perebutan kekuasaan. Daerah kekuasaan Demunawan meliputi : Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahuripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma dan Batutihang.


- Raja ke 3 Kerajaan Saunggalah adalah Tambak Wesi berkuasa antara tahun 696-747 Saka atau 747-825 Masehi, selama 51 tahun. Penobatannya di Saunggalah, Ia adalah anak pertama Prabu Demunawan Raja Saunggalah ke 1. Prabu Tambak Wesi berusia antara 51-102 tahun, dari prameswarinya Sari Arum, mempunyai anak : anak ke1  Adihata dan anak ke 2 Kretamanggala atau Kertanegara.



Raja Saunggalah ke 4 adalah Sang Kretamanggala atau Kerta Negara, Ia naik tahta menjadi Mulai berkuasa pada tahun 747 Saka atau tahun 825 Masehi,  Akhir masa pemerintahan Prabu Kretamanggala tidak tercatat. Penobatannya di Saunggalah. Kretamanggala dari prameswarinya Dewita Kencana, mempunyai anak ; Anak ke 1 Déwi Kencana Wangi, bersuami Sang Manarah atau Prabu Ciung Wanara dan Anak keDéwi Kencana Sari, yang dipersunting olah Rahyang Banga.



- Eksistensi kerajaan Saunggalah di Kuningan kemudian muncul kembali di tahun 1175- 1187 Masehi dan Raja Saunggalah ke 5 adalah Prabu Darmasiksa putranya dari Prabu Darmakusuma Raja Sunda dari permaisurinya RatnaWisesa. Prabu Darmasiksa menikahi putri mahkota Saunggalah, sehingga pada tahun 1175 ibukota Kerajaan Sunda berpusat di Saunggalah. Darmasiksa berputra Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma dari istrinya yang ke tiga yang bernama Dewi Suprabha Wijaya Tunggadewi dari Sriwijaya. Pangeran Jayadarma menikah dengan Dewi Naramurti yang bergelar Dyah Lembu Tal putrinya Mahisa Campa dari Jawa Timur. Jayadarma berputra  Nararya Sanggramawijaya  atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit. Jayadarma meninggal di usia muda, sehingga Dyah Lembu Tal kembali ke Jawa Timur membawa Raden Wijaya atas izin Prabu Darmasiksa. Tahun 1187 Masehi Ibukota Kerajaan Sunda berpindah dari Saunggalah ke Pakuan.  
                                                                               
- Raja Saunggalah ke 6 adalah Prabu Ragasuci atau Rakryan Saunggalah. yang berkuasa antara tahun 1297-1303 Masehi. Prabu Ragasuci adalah putra Prabu Darmasiksa dari istri keduanya bernama Putri Darmageng. Ragasuci yang kemudian bergelar Rahiyang Saunggalah berkuasa sekitar tahun 1297 Masehi hingga 1303 Masehi. Putri Darmageng, Ibu Ragasuci,  memiliki nama lain yakni Dara Puspa. Ia adalah putri Prabu Trailokyaraja Maulibusana Warmadewa dari Kerajaan Melayu Darmasraya.

- Raja Saunggalah ke 7 adalah Prabu Jayapurana atau Rajapurana adalah putra Darmasiksa dengan putri mahkota Saunggalah. Jayapurana kemudian menggantikan Ragasuci berkuasa di Saunggalah sekitar tahun 1303 Masehi. Akhir masa pemerintahannya tidak tercatat.

- Raja Saunggalah ke 8 adalah Prabu Cakrawati, yang berkuasa antara tahun 1033-1074 Saka atau antara tahun 1111-1152 Masehi, selama 41 tahun.

- Raja Saungglalah ke 9 adalah Prabu Langlang Buana Saunggalah adalah mertua
Raden Ajimantri atau Raden Keling Sakawayana putranya Prabu Nusiya mulya atau Prabu Raga Mulya Surya Kencana dari istrinya Nyimas Angkong Larangan.

Setelah periode ini, Kesultanan Islam Cirebon menegakkan kekuasaannya kemudian era Kerajaan Sunda dan Galuh berakhir.

Kuningan yang kemudian memiliki seorang ratu bernama Selawati akhirnya dinikahi oleh Syeh Bayanillah dari Cirebon. Selanjutnya Penguasa Kuningan adalah Adipati Suranggajaya menantu Ratu Selawati 

Demikianlah para penguasa atau raja di Kuningan atau pada masa itu dikenal dengan Saunggalah yang eksis sejak era Kerajaan Sunda-Galuh hingga berdirinya Kesultanan Cirebon yang bercorak Islam. 

Namun demikian, beberapa fakta sejarah masih menjadi perdebatan para ahli dan sejarawan. Sehingga, masih memerlukan penelitian lebih mendalam.


Ini adalah silsilah raja-raja dari keturunan Tarumanagara, Galuh, Sunda, dan Saunggalah; terutama berkaitan dengan tokoh Resiguru Demunawan atau disebut pula Sang Seuweukarma, atau Ranghiyangtang Kuku atau Sang Kuku, raja dari Kerajaan Saunggalah Kuningan (723 – 774 M). Terlihat bahwa terdapat pertalian hubungan darah antara kerajaan yang ada di Jawa Barat ini, yaitu dari adanya hubungan pernikahan antar anggota keluarga Kerajaan Tarumanagara – Galuh – Sunda – Saunggalah.




Menurut Ali Sasramidjaya, penulis buku "Data Kala Sejarah Kerajaan – Kerajaan di Jawa Barat" disebutkan bahwa kala berdirinya kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 645 – 1262 Caka = 617 tahun candra, atau dalam hitungan Masehi mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi. jadi keberadaan kerajaan ini, berdiri selama 598 tahun. 

Berikut ini ada para penguasa kerajaan Saunggalah :
Kala645 – 696 Caka (748 – 797 Masehi)  = 51 tahun.
Penobatan diSaunggalah 1
NamaDemunawan (77-128 tahun)
GelarSeuweukarma, Rahyangtang Kuku, Sang Resiguru Demunawan
IstriDewi Sangkari alias Sari Legawa, adik Jagat Jaya Nata alias Sang Pandawa alias Prabu Wiragati alias Jaksa Wiragati, raja Kuningan.
Anak
1. Tambakwesi (0 - 51th).
2. Tambakbaya, kelak menjadi ahli menulis pada lontar, diantarnya hal sejarah
PeristiwaDalam tahun 645 C (748 M),  Prabu Wiragati, raja Kuningan, turun tahta dan menjadi Resiguru di Layuwatang, mandala bekas pertapaan Rajaresi Dewaraja Suraliman Sakti raja Kendan II.
CatatanSetelah Prabu Wiragati turun tahta, Sempakwaja mendirikan kerajaan Saunggalah, mendirikan istana di Saunggalah dan mengangkat putranya, Demunawan sebagai Prabunya di bekas kerajaan Kuningan.
PenjelasanDemunawan ialah putra ke 2 Rababu dan Sempakwaja
Wafat696 Caka (797 Masehi) Demunawan wafat dalam usia 128 tahun; jadi lahir 568 Caka


Kala696 – 747 Caka (797 – 847 Masehi)  = 51 tahun.
Penobatan diSaunggalah 2
NamaTambakwesi (51-102th).
Istri(tidak diketahui)
AnakKreta Manggala


Kala0747 – ....Caka (847 – .... Masehi)  = .... tahun?
Penobatan diSaunggalah 3
NamaKreta Manggala / Kerta Negara
Istri(tidak diketahui)
Anak
1. Déwi Kencanawangi, bersuami Sang Manarah 
2. Déwi Kencanasari,  bersuami Sang Banga




Teka-teki Bekas Keberadaan Saunggalah, Kerajaan Tertua di Kabupaten Kuningan, di Ciherang atau Cibuntu?
Ada yang menyebutkan, jika kerajaan tertua di Kabupaten Kuningan bernama Saunggalah. Hanya saja keberadaan kerajaan ini masih penuh teka-teki dan tidak banyak sumber sejarah yang mencatat,

Teka-teki tersebut, setidaknya terkait dengan 2 hal. Yang pertama soal waktu, kapan keberadaan kerajaan itu berada? Kedua, soal tempat di mana pusat kerajaan itu?
Sepeti di ketahui, salah satu perkampungan tertua di Jawa Barat berada di Kuningan. Perkampungan itu diperkirakan sudah ada sejak 1000-500 tahun Sebelum Masehi (SM).
Perkampungan tertua zaman purba di Kuningan tersebut berada di kaki Gunung Ciremai. Tepatnya di Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur.

Bukti yang menunjukkan Kuningan memiliki kampung purba tertua di Jawa Barat, dapat dilihat dengan jelas di Situs Prasejarah Cipari.

Artefak-artefak di situs itu menunjukkan jika di Kuningan sudah ada perkampungan sejak zaman Megalitikum dan Neolitikum. Atau sekitar 1000 hingga 500 tahun SM.
Jika kemudian di Kuningan ada kerajaan tertua, sebenarnya masuk akal. Zaman prasejarah saja di kabupaten tersebut, sudah ada perkampungan.

Adalah Carita Parahyangan yang menyebutkan jika di Kuningan ada kerajaaan tertua. Hanya tidak disebutkan kapan berdiri dan keberadaannya.

Artefak-artefak di situs itu menunjukkan jika di Kuningan sudah ada perkampungan sejak zaman Megalitikum dan Neolitikum. Atau sekitar 1000 hingga 500 tahun SM.

Jika kemudian di Kuningan ada kerajaan tertua, sebenarnya masuk akal. Zaman prasejarah saja di kabupaten tersebut, sudah ada perkampungan.

Adalah Carita Parahyangan yang menyebutkan jika di Kuningan ada kerajaaan tertua. Hanya tidak disebutkan kapan berdiri dan keberadaannya.
Dalam cerita itu hanya disebutkan jika ada suatu pemukiman yang mempunyai kekuatan politik penuh, seperti halnya sebuah negara, bernama Kuningan. Pemukiman tersebut mirip dengan sebuah kerajaan.

Kerajaan tersebut berdiri setelah Seuweukarma dinobatkan sebagai raja. Dia bergelar Rahiyang Tangkuku atau Sang Kuku. Sang Raja bersemayam di Arile atau Saunggalah.
Kapan dan tahun berapa kerajaan ini berada? Carita Parahyangan, manuskrip tua berbahasa dan beraksara Sunda Kuno itu, mengungkapkan Saunggalah, nama salah satu kerajaan yang berpengaruh di wilayah timur Priangan.

Dalam Carita itu juga disebutkan, Saunggalah berkembang bersamaan dengan pemerintahan awal Kerajaan Galuh.

Menilik manuskrip tersebut, keberadaan Kerajaan Saunggalah seusia dengan Galuh. Kerajaan itu menjadi Kabupaten Ciamis, sekarang ini.

Lalu di mana lokasi Saunggalah? Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang.

Namun, ada pula yang menunjuk berada Desa Ciherang di Kecamatan Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang.

Sebagian besar sejarawan sepakat pada masa kejayaannya kerajaan tersebut berada di wilayah Kuningan, Jawa Barat. Hal ini seperti diungkap sejarawan bernama Iskandar (1997) dan Ekadjati (2003). 

Keduanya juga sepakat jika lokasi Saunggalah terdapat di Salia, Cisukadana, Kadugede, Kabupaten Kuningan.

Alasan tempat tersebut dijadikan lokasi kerajaan Saunggalah karena di Kampung Salia ditemukan artefak bebatuan. Artefak itu diduga kuat bagian dari istana Kerajaan Saunggalah.

Dengan adanya klaim tersebut, bukan berarti kajian atas lokasi Saunggalah telah tuntas. Hal ini karena masih banyak sisi lain yang masih menjadi misteri hingga saat ini. 
Bahkan bisa saja, lokasi Saunggalah tidak seperti yang disampaikan oleh kedua ahli tadi. Melainkan keberadaan di bagian lain Kuningan yang sama sekali belum terjamah.
Sebab, selain Kampung Salia, ada pula sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa lokasi Saunggalah ada di Sagarahiang dan di Cibuntu. Keduanya masih berada di sekitar lereng Gunung Ciremai.

Sagarahiang merupakan salah satu desa di Kecamatan Darma. Berjarak sekitar 2 km ke arah utara dari pusat kecamatan. Kurang lebih 10 km dari Kuningan Kota.

Sementara Cibuntu adalah salah satu desa di Kecamatan Pasawahan. Lebih dekat dengan Kecamatan Mandirancan, Kuningan. Juga tak jauh dari Kota Sumber, ibukota Kabupaten Cirebon.

Klaim di 2 tempat itu diperkuat dengan adanya peninggalan budaya megalitik. Budaya itu masih sangat kental dengan unsur religious masyarakat di 2 lokasi tersebut.
Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan kerajaan ini sebagai wilayah merdeka. Dijadikan wilayah agama dan bebas pajak oleh Kerajaan Galuh.

Karena itu hampir dipastikan, Saunggalah memiliki ciri keagamaan yang sangat kuat. Mereka menganut ajaran Hindu, seperti Kerajaan Galuh.

Buktinya ada unsur-unsur lokal dan India yang bercampur, menjelma menjadi bagian asimilasi masyarakat. Itulah Saunggalah