Perebutan Tahta Kerajaan Galuh Di Masa Purbasora
Perebutan Tahta Kerajaan Galuh di masa Purbasora dasarnya dipicu oleh dua masalah :
1. Pertama disebabkan Wretikandayun memilih Mandiminyak, putra bungsunya untuk meneruskan tahtanya. Hal ini disebabkan alasan, Sempakwaja dan Jantaka dianggap tidak layak memiliki cacat tubuh.
2. Kedua adanya penolakan keluarga Galuh terhadap Sena, pengganti Mandiminyak, yang kelahirannya merupakan hasil smarakarya Mandiminyak dengan Rabbabu, istri Sempakwaja pada pesta bulan purnama di Keraton Galuh. Hal ini sekaligus menyebabkan ketidakpuasan anak-anak Rabbabu dari Sempakwaja, yakni Purbasora dan Demunawan serta anak-anak Jantaka.
Perilaku sebagaimana yang dilakukan Mandiminyak dianggap menyimpang. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan didalam naskah Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyian. Naskah tersebut menetapkan adanya 3 katagori wanita (istri) yang dilarang untuk dinikahi, yakni :
- Gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima.
- Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat.
- Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal. 196).
Jika dilihat dari sejarah keluarnya kedua naskah tersebut tentunya mengadopsi nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh. Hal ini dapat dipahami, mengingat Sang Manikmaya, leluhur raja-raja Galuh, dianggap sebagai cikal bakal yang mengajarkan tetekon hidup dan etika-etika yang menyangkut moral, sehingga jika masyarakat Galuh mewajibkan para penguasanya mentaati etika yang berlaku maka harus dianggap kewajaran, karena keberadaan Galuh tidak lepas dari masalah tersebut.
Jika dilihat dari sejarah keluarnya kedua naskah tersebut tentunya mengadopsi nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh. Hal ini dapat dipahami, mengingat Sang Manikmaya, leluhur raja-raja Galuh, dianggap sebagai cikal bakal yang mengajarkan tetekon hidup dan etika-etika yang menyangkut moral, sehingga jika masyarakat Galuh mewajibkan para penguasanya mentaati etika yang berlaku maka harus dianggap kewajaran, karena keberadaan Galuh tidak lepas dari masalah tersebut.
Sena atau Bratasenawa sebenarnya sangat berlainan dengan Mandiminyak, ayahnya. Ia terkenal sebagai orang alim dan sangat dihormati para tokoh agama, namun hanya karena alasan diatas ia kurang mendapat sambutan dilingkungan keluarga Galuh, sehingga terjadi pemberontakan Purbasora.
Purbasora dalam melakukan pemberontakan tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan Bimaraksa, keduanya putra Jantaka. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan bhayangkara yang berasal dari kerajaan Indraprahasta. Bimaraksa ahli memainkan berbagai jenis senjata dan ahli strategi perang. Peranan yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.
Keberpihakan Arya Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh.
Purbasora pada saat menggulingkan Sena mendapat dukungan dari pasukan Indraprahasta, kerajaan yang terletak di Cirebon Girang. Pasukan ini secara turun temurun menjadi bhayangkara pengawal raja-raja Tarumanagara. Hal ini dimulai sejak masa Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanagara ke-4. Mereka sangat mahir menggunakan senjata, telah teruji keberaniannya dan ulet serta setia kepada raja.
Kedekatan Purbasora terhadap Indraprahasta dikarenakan ada pertalian perkawinan. Purbasora menikahi Citra Kirana, putri sulung Padma Hariwangsa, raja Indraprahasta. Dari perkawinan ini menglahirkan putra-putri yang bernama Wijayakusuma, Wiradkusuma, dan Dewi Komala Sari. Dikelak kemudian hari setelah berhasil merebut Galuh, Purbasora mengangkatnya sebagai putra mahkota Galuh. (Lihat Gambar Silsilah)
Sena sebenarnya sudah mengetahui akan ada pemberontakan ini. Untuk melakukan antisipasi ia pun telah meminta bantuan Terusbawa, raja Sunda agar mengirimkan balabantuan. Sayanya balabantuan tersebut belum tiba ketika pemberontakan Purbasora terjadi, sehingga Sena terpaksa melarikan diri ke Merapi, untuk kemudian tiba di Kalingga Utara.
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan peristiwa ini, sebagai berikut :
Penulis Carita Parahyangan mengisahkan peristiwa ini, sebagai berikut :
"Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.Gerakan politis lain yang digunakan Purbasora adalah menjaga hubungannya dengan Tarusbawa, raja sunda, mertua dari anak Sena, yaitu Senjaya. Dalam kasus ini Purbasora menganggap tidak perlu berhadapan dengan raja sunda, karena ia hanya ingin menyingkirkan Sena, sehingga perlu membuka jalur diplomasi melalui Duta Sunda yang ada di Galuh.
Pasukan Sunda yang akan membantu Sena saat itu sedang menuju Purasaba Galuh, tidak mengetahui bahwa Sena telah digulingkan. Hal ini telah diketahui Purbasora. Ia memutuskan untuk bersama duta besar Sunda menyambut pasukan Sunda. Sekalipun demikian ia sudah mempersiapkan jika diplomasi ini menemui jalan buntu.
Purbasora menawarkan pasukan Sunda untuk tetap menjadi sahabat dan menjamu di Galuh. Pada akhirnya Duta Besar Sunda berhasil membujuk pasukan Sunda, dengan pertimbangan untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih besar, serta alasan keselamatan keluarga Duta Besar itu sendiri, pada saat itu menjadi sandera di keraton Galuh dengan alasan dianggap sebagai tamu kehormatan Galuh.
Purbasora meminta Duta Sunda untuk mengantarkan surat kepada Raja Sunda, isinya mengajak untuk bersahabat dan menganggap masalah Galuh adalah urusan intern keluarga yang harus diselesaikan oleh orang-orang Galuh. Tarusbawa menerima ajakan tersebut, karena selain tidak mau memulai perseteruan baru, ia telah mengetahui bahwa Sena selamat. Disisi lain, ia pun sedang sibuk menghadapi bajak laut yang semakin merajalela. Konon kabar para bajak laut tersebut didalangi Sriwijaya.
2. Kematian Purbasora
Sanjaya, putra Sena dan keluarga Kalingga merasa sakit hati atas peristiwa penggulingan Sena di Galuh. Sanjaya yang sangat temperamental dikabarkan segera mempersiapkan pembalasan dan secara diam-diam menggalang diplomasi dengan kekuatan lainnya. Pada masa terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun.
Sanjaya, putra Sena dan keluarga Kalingga merasa sakit hati atas peristiwa penggulingan Sena di Galuh. Sanjaya yang sangat temperamental dikabarkan segera mempersiapkan pembalasan dan secara diam-diam menggalang diplomasi dengan kekuatan lainnya. Pada masa terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun.
Upaya untuk merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pertama-tama dengan cara menghimpun kekuatan dan membuka jalur diplomatik dengan pihak-pihak yang dianggap berpengaruh terhadap Galuh.
Secara diam-diam Sanjaya pergi ke Denuh menemui Resiguru Wanayasa (Jantaka) dan meminta agar Resiguru mau menjadi manggala dan bertindak sebagai pelaksana keadilan. Permintaan ini menjadikan Resiguru berada pada posisi yang sulit, karena putranya, yakni Aria Bimaraksa (Balangantrang) ada di pihak Purbasora, dilain pihak ia mengetahui bahwa Sanjaya adalah pewaris yang syah dari Mandiminyak, sehingga ia memutuskan untuk bersikap netral dan memintakan agar keluarganya yang ada di Galuh tidak diganggu. Resiguru menyarankan agar Sanjaya meminta bantuan raja Sunda. Sanjaya kemudian berjanji untuk mentaati saran itu, namun meminta syarat agar Resiguru mau bersikap netral.
Dialog pertemuan ini dikisahkan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Carek Rakian Jambri : “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.”Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda.
Sanjaya dari Denuh menuju Pakuan untuk menemui Tarusbawa, dan meminta bantuannya. Tarusbawa sebagai raja Sunda dihadapkan pada posisi yang serba sulit. Disatu sisi Sanjaya adalah anak Sena dan cucu Mandiminyak, sahabat dalitnya, namun disisi lain ia telah memiliki hubungan baik dengan Purbasora.
Jika dianalisa dari alasan yang menyangkut posisi Tarusbawa tersebut sebenarnya kurang lengkap, mengingat ada peristiwa di Sunda yang harus diperhatikan, yakni munculnya gangguan dari para bajak laut yang disponsori Sriwijaya. Mungkin masalah inilah yang paling strategis untuk dijadikan alasan yang tepat. Karena pemberantasan bajak laut pada masa itu membutuhkan sumber daya dan kekuatan yang tidak sedikit. Disisi lain pada masa itu Galuh telah memiliki pasukan bhayangkara yang tangguh. Jika pasukan Sunda dikirimkan ke Galuh untuk membantu Sanjaya maka kekuatan di Sundapura menjadi sangat terancam. Tarusbawa akhirnya hanya menyarankan agar Sanjaya lebih berhati-hati dalam melakukan tindakannya.
Kemungkinan lainnya adalah, pada masa itu Sanjaya belum menikah dengan Teja Kencana, cucu dari Tarusbawa, sehingga ia belum menjadi Prabu Anom Sunda. Pernikahan tersebut terjadi pasca Sanjaya membantu Terusbawa memberantas bajak laut diperairan Sunda. Hal ini terjadi sebelum Sanjaya pergi ke Galuh.
Memang di dalam RPMSJB juga terdapat beberapa keterangan tentang masalah waktu Sanjaya pada saat memberantas para bajak laut yang ada diperairan Sunda. Disatu sisi buku RPMSJB menyebutkan adanya saran Tarusbawa agar Sanjaya mempelajari buku bala sarewu, untuk kemudian dijadikan petunjuk pokok di dalam cara memberantas para bajak laut. Peristiwa pemberantasan bajak laut dianggap cara melatih dan mempersiapkan Sanjaya sebelum menyerang Galuh. Namun disisi lainnya Tarusbawa menyarankan Sanjaya untuk mempelajari kitab bala sarewu sebagai buku pelajaran yang mengandung pelajaran strategi perang, untuk kemudian langsung menyerang Galuh, tanpa terlebih dahulu memberantas bajak laut.
Menurut salah satu versi, buku tersebut buah karya Resiguru Manikmaya, leluhur dari Sanjaya, sehingga sangat tepat jika Tarusbawa menyarankan Sanjaya untuk mempelajari buku yang dibuat oleh leluhur Sanjaya, untuk kemudian dijadikan sebagai ajaran pokok di dalam cara memberantas bajak laut. Dari keberhasilan inilah maka Sanjaya dijodohkan dengan Teja Kencana, putri Mahkota Sunda atau cucu Tarusbawa.
Tentang adanya buku ‘ratuning bala sarewu’ dituliskan di dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.Pada masa selanjutnya diketahui, di tengah malam buta, ketika Galuh terlelap tidur, tiba tiba Sanjaya datang menyerang dan membumi hanguskan Galuh. Ditengah kobaran api, konon kabar Sanjaya sendiri yang menghadapi Purbasora, ketika itu Purbasora sudah berumur 80 tahun.
Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?”
“Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. (Atja, 1968).
Menurut naskah Nusantara III/1 diberitakan ditengah hingar bingar pertempuran terdengar teriakan : “Purbacura Pinejahan dening Sanjaya yudhakala” artinya Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya waktu perang.
Di dalam kemelut tersebut Aria Bimaraksa berhasil menyelamat diri, selanjutnya Aria Bimaraksa lari ke Geger Sunten, iapun membentuk kekuatan dengan cara mengumpulkan para partisan untuk merebut Galuh kembali. Dalam cerita Pantun ia kisahkan sebagai Aki Balangantrang, kakek dari Ciung Wanara.
Ketika Purbasora wafat, ia telah berumur 80 tahun. Purbasora memimpin Galuh sejak 716 sampai dengan 723 M.
Dalam naskah carita parahyangan dikisahkan :
Ti inya pulang ka Galuh Rakéyan Jambri. Tuluy diprang deung Rahiyang Purbasora. Paéh Rahiyang Purbasora. Lawasniya ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéyan Jambri, inya Rahiyang Sanjaya.
2. Tahta Kerajaan Galuh
Ketika suasana masih berkabung Sanjaya mengirimkan pasukan Sunda untuk bergabung di Gunung sawal, berjarak + 17 km dengan Galuh. Gerakan tersebut sama sekali tidak diketahui Purbasora. Hingga pada suatu hari, ditengah malam buta tibalah saatnya Sanjaya melakukan penyerangan. Ketika penyerangan di lakukan, Galuh sedang dalam keadaan terlelap, serangan itu pun tidak terdeteksi sebelumnya.
Kisah pengakhiran kekuasaan Purbasora, menurut buku Nusantara diceritakan, bahwa dimalam yang gelap gulita itu Sanjaya langsung berhadapan dengan Raja Galuh yang telah berumur 80 tahun itu, kemudian terdengar teriakan :
“Purbacura pinejahan dening Sanjaya yuddhakala” (Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya waktu perang).Kekalahan Purbasora di dalam perang tanding dengan Sanjaya tentunya bukan sesuatu yang aneh, mengingat usia Purbasora saat itu sudah berumur 80 tahun, jauh lebih tua dibandingkan Sanjaya. Dalam cerita ini memang ada yang perlu diteliti lebih jauh, karena Bimaraksa, senapati yang sekaligus patih dari Galuh, bersama sebagian kecil pasukannya berhasil meloloskan diri. Kisah lolosnya Bimaraksa dimungkinkan sesuai dengan maksud dari versi lain, tentang syarat yang diberikan Jantaka (ayah Bimaraksa) kepada Sanjaya untuk tidak mengganggu keluarganya. Hal ini ditaati oleh Sanjaya.
Dalam cerita ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demunawan diminta Sanjaya untuk memegang pemerintahan Galuh namun berada dibawah kontrol Sanjaya, untuk selanjutnya dikuasakan kepada Permana Dikusuma, atau dalam cerita Parahyangan dikenal dengan sebutan Bagawan Sijala-jala. Sedangkan Bimaraksa menetap di Geger Sunten dan menyusun kekuatan baru. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Balangantrang, dalam sejarah lisan disebut aki Balangantrang, penyampai benang merah kisah Galuh kepada Ciung Wanara.
3. Penghancuran Indraprahasta
Sanjaya sangat mengetahui tulang punggung pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena pada tahun 716 M terdiri dari pasukan Indraprahasta dibawah Senapati Wiratara, salah satu senapati Purbasora, kemudian menjadi raja Indraprahasta. Untuk alasan ini Sanjaya berniat membumi hanguskan Indraprahasta. Memang seolah-olah ada semacam pelampiasan untuk menyalurkan dendamnya kepada Indraprahasta, sedangkan terhadap keluarga Galuh lainnya, ia harus menepati janjinya kepada Demunawan dan ayahnya untuk memperlakukan dengan baik.
Didalam naskah Wangsakerta digambarkan persitiwa pembumi hangusan, tanpa ada belas kasihan, mereka menyebutnya seperti binatang buas. Sejak saat itu maka musnahlah Indrapahasta yang didirikan Sentanu pada tahun 363 M. Semula Indrapahasta sejak jaman Tarumanagara dianggap daerahnya sebagai wilayah yang disucikan, termasuk oleh Purnawarman, bahkan ada sebuah sungai yang dinamakan sungai Gangga.
Naskah tersebut sebagai berikut :
Ikang rajya Indraprahasta wus sirna dening Rahyang Sanjaya mapan kasoran yuddha nira. Rajya Indraprahsta kabehan nira kaparajaya sapinasuk kadatwannya syuhdarawa pinaka tan hana rajya manih I mandala Carbon Ghirang.
Wadyabala, sang pameget, nanawidhakara janapada, manguri, sang pinakadi, meh sakweh ira pejah nirawaceca. Kawalya pirang siki lumayu humot ring wana, giri, iwah, luputa sakeng satwikang tan hana karunya budhi pinaka satwakura.
4. Pasca Purbasora
Sanjaya pasca kemenangannya mengirimkan untusan untuk menghadap Sempakwaja di Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya berniat menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Hal ini ditolak oleh Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Iapun tidak ikhlas putranya berada dibawah perintah Sanjaya, karena ia tahu bagaimana Wretikandayun, ayahnya dahulu membebaskan Galuh di Sunda.
Sanjaya pasca kemenangannya mengirimkan untusan untuk menghadap Sempakwaja di Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya berniat menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Hal ini ditolak oleh Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Iapun tidak ikhlas putranya berada dibawah perintah Sanjaya, karena ia tahu bagaimana Wretikandayun, ayahnya dahulu membebaskan Galuh di Sunda.
Sebagai resi yang bergelar Danghyang Guru di Galunggung yang bijak ia menawarkan pilihan kepada Sanjaya, Ia akan menganggap pantas memerintah Galuh jika Sanjaya mampu mengalahkan tiga tokoh Pandawa, Wulan dan Tumanggul. Ketiganya masing-masing raja didaerah Kuningan, raja Kajaron dan raja Kalanggara di Balamoha.
Kekuasaan yang dipegang Sanjaya dan Sena dianggap tidak ada apa-apanya jika Sanjaya belum mampu menaklukan raja di Jawa Tengah dan sekitar Galuh. Jika Sanjaya mampu menguasai mereka maka Resiguru Demunawan, putra Sempakwaja, masih ua Sanjaya, pantas mempertuan Sanjaya. Namun jika Sanjaya tidak mampu menundukan mereka maka Sempakwajalah yang akan menentukan penguasa Galuh.
Masalah ini dikisahkan didalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut :
Carek Rahiang Sanjaya: “Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna.”
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: “Na aya pibejaeun naon, patih?”
“Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang Purbasora.”
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.”
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan.
Sanjaya tidak mampu mengalahkannya, bahkan sebaliknya Sanjaya dipukul mundur dan dikejar hingga ke Galuh.
Peristiwa ini diberitakan didalam Carita Parahyangan :
Eleh Rahiang Sanjaya diubeur, nepi ka walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.Karena dikalahkan akhirnya Sanjaya menyerahkan penunjukan penguasa Galuh tersebut kepada Danghyang Guru, Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahan Galuh diserahkan kepada Premana Di kusumah, cucu Purbasora. Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana. Cucu Purbasora dari Wijayakusuma. Masalah tidak cukup berhenti sampai disini, karena intrik-intrik politik terus berlanjut.
“Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran.”
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru : “Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?”
“Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Sempakwaja menunjuk Demunawan sebagai raja Layuwatang. Kemudian pada tahun 723 Demunawan dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan. Wilayah Galunggung dan kerajaan kecilnya dijadikan wilayah dibawah Saung Galah untuk menandingi Galuh yang dikuasai Sanjaya, namun resminya dipegang Premana Dikusumah.
Karena merasa tertekan, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama Pangrenyep, seorang putri pembesar Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga melahirkan Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh Premana dipertapaannya. Maka berakhirlah kekuasaan Premana.
Carita Parahyangan dianggap terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.
Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan. “Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang Tamperan : “Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea.”
Dari perkataan tersebut mungkin menarik untuk dibahas adanya perubahan agama keraton di Sunda, namun masalah ini masih kabur dan belum terungkap secara jelas.
Sanjaya bertahta di Galuh sejak 723 sampai 732 M. Ia wafat pada tahun 754 M di Bumi Mataram.
___________
Referensi :
- Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
- Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung - 1968.
- wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
- http://akibalangantrang.blogspot.com/2009/06/4-pewaris-tahta-galuh.html
- http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/tahta-galuh.html
- Revisi.
Post a Comment