Sekilas Kerajaan Salakanagara


Kerajaan Salakanagara Antara Tahun 130-362 Masehi
Sampurasun 

Kali ini saya akan membahas sekilas para penguasa atau Raja-Raja Kerajaan Salakanagara, yaitu : 
1. Aki Tirem antara tahun 78-130 Masehi
2. Dharma Lokapala atau Dewawarman 1, antara tahun 130-168 Masehi
3. Dhigwijayakasa Dewawarman Putra atau Dewawarman 2, antara tahun 168-195 Masehi 
4. Singhanagara Bhimayasawirya atau Dewawarman 3, antara tahun 195-238 Masehi
5. Dharma Satyanagara atau Dewawarman 4, antara tahun 238-252 Masehi
6.  Amatyasarwajala Dharma Satyajaya Warunadewa atau Dewawarman 5, antara tahun 252-276 Masehi
7. Mahisa Suramardini Warmandewi, antara tahun 276-289 Masehi
8. Ghanayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman 6, antara tahun 289-308 Masehi
9.  Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman 7, antara tahun 308-340 Masehi
10. Kroda Maruta, tahun 340 Masehi 
11. Sang Rani Sphatikarnawa Warmandewi, antara tahun 341-348 Masehi
12. Darmawirya Dewawarman  atau Dewawarman 8, antara tahun 348-362 Masehi
Silahkan menyimaknya sampai akhir.

Kerajaan Salakanagara merupakan sebuah kerajaan awal di daerah Tatar Sunda. Referensi yang menceritakan tentang keberadaan kerajaan Salakanagara adalah salah satu Kitab Naskah Wangsakerta yang bernama Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, Kitab ini disusun oleh satu tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta antara 1677-1698 Masehi. 

Pangeran Wangsakerta adalah salah seorang dari tiga putra  Sultan Abdul Karim atau Pangeran Girilaya Cirebon dari istrinya yang berasal dari Mataram. Nama lain Pangeran Wangsakerta adalah Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati antara 1679-1713 Masehi. Dalam pengantar setiap Naskah Wangsakerta selalu diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut. Panitia yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan atau amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala atau seminar antara para ahli sejarah dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka atau tahun 1677 Masehi, sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun selesai 1620 Saka atau tahun 1698 Masehi.

Kitab Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa  yang sudah ditemukan hingga saat ini terdiri dari empat buah, semuanya dari parwa pertama. Tiga naskah pertama sargah 1 sampai sargah 3, merupakan kisah atau uraian mengenai sejumlah negara yang pernah berperan terutama di Pulau Jawa, sedangkan sargah keempat merupakan naskah pelengkap dan isinya berupa keterangan mengenai sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun kisah itu.

Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa ini ditulis dengan bahasa aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Cirebon. Tulisannya berbentuk prosa, campuran antara paparan dan kisah. Cara penyajiannya memiliki ciri-ciri karangan ilmiah, yakni berupa keterangan secara tersurat mengenai sumber karangan yang digunakan. Atau minimal memberikan informasi awal kepada generasi kita, untuk pengkajian sejarah dari sumber aslinya atau sumber primer. 

Meskipun naskah ini dianggap kontroversial karena ditolak para akademisi Indonesia, dikarenakan isinya sama dengan pandangan atau tulisan para arkeolog dan sejarawan.  Namun Tidak seperti sejarawan kebanyakan, kalau tidak sesuai dengan penulis sejarah penguasa, dianggap tidak valid atau diragukan. Keraguan itu awal dari kebenaran, jika kita mau mengkajinya. Bukan seperti sejarawan kebanyakan, banyak memvonis, tetapi tujuannya untuk melegitimasi pembenaran.

Harusnya cara berpikir kebanyakan penulis sejarah itu berhipotesa, dengan adanya kisah yang ditulis oleh Wangsakerta itu, menjadi awal pencarian yang serius. Kemungkinan ada sumber yang lebih tua, yang kita harus selidiki. Jangan hanya seperti kata si fulan dan si anu, yang tidak berkesudahan. Kesalahan dalam penulisan sejarah adalah hal yang mungkin, tetapi tidak mungkin salah semua. Karena itu harusnya para sejarawan harus punya prinsip, dengan informasi yang sedikit, merupakan awal dari pencarian. 

Karena setidaknya, bahwa naskah-naskah yang ditulis dalam Naskah ini banyak kesesuaian dengan prasasti prasasti yang ditemukan. Meskipun ada penyebutan Jawa Kulwon, Jawa Wetan atau Jawa Tengah mengindikasikan bahwa naskah ini ditulis relatif baru. Tetapi yang perlu diacungi jempol adalah info awal yang sangat bermanfaat. Karena kalau sebuah karangan biasa tidak mungkin bisa bercerita begitu detail, apalagi menyangkut sejarah.

Dalam kitab ini juga disebutkan daftar pustaka dalam pengambilan naskah ini, berasal dari delapan kitab, yaitu: Pustaka Nagara Nusāntara, Pararatwan Sundawamsatilaka, Serat Ghaluh i Bhumi Sagandhu, Pustaka Tarumarajyaparwawarnana, Pustaka mengenai Warmanwamsatilaka i Bhumi Dwipāntara, Pustaka Serat Raja-raja Jawadwipa, Serat Pûrnawarmanah Mahāprabhāwo Rājā i Tarumanagara, dan Pustaka Sang Resi Ghuru.

Kerajaan Salakanagara adalah kerajaan yang berada di tatar sunda, lokasinya berada di daerah Pandeglang Banten sekarang,. Sebelum menjadi wilayah salakanagara pada awalnya di perintah oleh penguasa setempat yang bernama Aki Tireum.

Dalam naskah Wangsakerta, dengan mengutip dari Kitab Pustaka Nusāntara, bahwa sejak  awal abad pertama tahun Saka, telah terjadi kontak antara penduduk di Nusantara dengan pedagang pedagang yang datang dari India (Bhratanagari). 

Dan semakin lama semakin banyak yang datang ke negeri negeri Nusantara, karena berbagai hal, yaitu : Jasa dan Perdagangan, kontak perdagangan diyakini merupakan awal dari hubungan negeri negeri di Nusantara dengan India, dorongan dakwah agama, menghindarkan diri dari bahaya, karena negeri negerinya dikalahkan atau dikuasai oleh lawan lawan politiknya dan mengharapkan kesejahteraan yang lebih baik.

Para pendatang itu banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi Bharatanagari. Mereka datang menaiki beberapa puluh perahu yang dipimpin oleh Sang Dewawarman dari wangsa Pallawa.

Sang Dewawarman sudah bersahabat dengan penduduk daerah pesisir Jawa Barat, Nusa Apuy, dan Pulau Sumatra bagian selatan. Sang Dewawarman bersahabat pula dengan penghulu penduduk setempat, akhirnya bermukim di sini dan lama kelamaan menjadi raja kecil di daerah pesisir bagian barat dari bumi Jawa Barat.

Sebelum menjadi Kerajaan, wilayah Salakanagara pada awalnya diperintah Juru Labuan setempat yaitu Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya putranya dari Ki Srengga, Ki Srengga putranya Sariti Warawiri, Sariti Warawiri putrinya Aki Bajul Pakel. 

Aki Tirem yang menjadi Juru labuhan sekitar tahun 78-130 Masehi di Pandeglang Banten menikahkan putrinya Pohaci Larasati dengan Dharma Lokapala atau Dewawarman 1 Raja Salakanagara ke 1 yang berkuasa antara 130-168 Masehi dan berasal dari Palawa di India Selatan, yang kemudia menggantikan Aki Tirem. Setelah Aki Tirem meninggal pada tahun 130 Masehi, kekuasaannya kemudian diteruskan oleh menantunya, Dharma Lokapala, yang dinobatkan sebagai Raja ke 1 Salakanagara.

Dharma Lokapala adalah pendiri dan sekaligus menjadi Raja pertama kerajaan Salakanagara, yang berkuasa antara 130-168 Masehi, dengan gelar Dharma Lokapala Aji Raksa Gapura Sagara atau dikenal dengan nama Dewawarman I.

Konon pada awalnya Dharma Lokapala merupakan duta keliling  kerajaaan Pallawa dari Bharata India ke negeri negeri di Nusantara, dan juga negeri-negeri lainnya, seperti: Sanghyanghujung, kemudian Sopalanagari, Yawananagari, kemudian Syangkanagari Negeri Cina, dan Negeri Abasid dengan tujuannya persahabatan dan hubungan jasa dan perdagangan dengan negara-negara yang didatangi. Adapun Maharaja Wangsa Pallawa ialah sanak keluarganya yang berkuasa di negaranya yaitu Raja Wangsa Pallawa di bumi Bhāratawarsa. 

Sementara Dharma Lokapala di Salakanagara menjadi Raja sebagai penguasa lautan Barat, sebab di situ banyak perahu dari Barat menuju Timur, dari Timur menuju Barat, berhenti sementara. Kemudian perahu-perahu itu harus memberi persembahan kepada Sang Raja Dharma Lokapala. Beberapa tempat pelabuhan perahu ada di Jawa Barat, yang pesisirnya dijaga oleh bala tentaranya, sampai pesisir Jawa Barat, Pulau Apuy dan pesisir Selatan Pulau Sumatra.

Dharma Lokapala kemudian menetap di wilayah Pulau Jawa Bagian Barat Paling ujung  yaitu di daerah sekitar Pandeglang sekarang, dan menikah dengan Dewi Pwahaci Larasati putri seorang penguasa setempat yaitu Aki Tirem.  Karena itu Sang Aki Tirem kemudian menganugerahkan pemerintahan dan wilayahnya kepada sang menantu. 

Dengan demikian, pada tahun 52 tarikh Saka atau sekitar 130 Masehi, Dharma Lokapala dinobatkan menjadi Raja Salakanagara, dengan berikut 15 wilayah bawahannya yang disebut Salakanagara, dengan ibukotanya adalah kota Rajata. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 Masehi, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman, dari Dewawarman ke I sampai Dewawarman ke VII.

Setelah Aki Tirem meninggal, Dharma Lokapala kemudian resmi menggantikan sebagai penguasa dan kemudian dinobatkan sebagai Raja pertama Salakanagara dengan gelar Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapura Sagara, dengan ibukota Rajatapura. Sedang istrinya, Dewi Pohaci diberi gelar Dwi Dwan Rahayu. Dan pada saat itu juga diberlakukan penanggalan Sunda yang kemudian dikenal dengan sebutan Saka Sunda.

Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapura Sagara adalah raja yang gagah perkasa  dan mahir dalam berperang. Pada zamannya perompak laut sangat merajai di lautan. Dan ada juga yang berusaha untuk merebut kekuasaannya. Tetapi para perompak dapat dikalahkan dan dibinasakan tanpa tersisa. Ia berkuasa selama 38 tahun, sejak dinobatkan pada tahun 52 saka atau sekitar 130 Masehi hingga tahun 168 Masehi. 

Selama masa pemerintahannya, ia mengutus adiknya yang merangkap menjadi senapati, bernama Bhahadura Hariganajayasakti untuk menjadi  Raja Daerah di Mandala Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain yang bernama Sang Swetaliman Sakti, sebagai Pranaraja kemudian dijadikan Raja di Tanjung Kidul dengan ibukota Agrabhitapura sekitar daerah Cianjur Selatan dan wilayahnya membentang ke barat sampai ke Teluk Palabuhanratu.

Dharma Lokapala beristri 2 orang, pada awalnya ia menikah dengan putri dari Ghaudinagari India barat. Sang isteri meninggal di negerinya, dan di sana ia mempunyai anak beberapa orang. Sedangkan istrinya yang kedua yakni Sri Pwahaci Larasati namanya, putri dari sang Juru Labuhan Aki Tirem di wilayah Pandeglang Banten. 

Dari perkawinannya dengan Sri Pwahaci Larasati atau Sang Dewi Dhwānirahayu, mereka mempunyai anak beberapa orang, seorang di antaranya yang tertua kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, yang bernama Dhigwijayakasa Dewawarman Putra atau Dewawarman II. Dharma Lokapala Dewawarman Haji Raksagapura Sagara atau Dewawarman I berkuasa selama 38 tahun antara tahun 90-117 tarikh Saka atau antara tahun 168-195 Masehi.


Raja ke 2 Salakanagara dari dinasti Dewawarman adalah Dhigwijayakasa Dewawarman Putra atau dikenal dengan Dewawarman II.  Ia berkuasa selama 27 tahun, antara tahun 90-117 tarikh Saka atau antara 168-195 Masehi. Ia merupakan putra sulung dari Raja Salakanagara pertama Dharma Lokapala Dewawarman dengan istrinya Dewi Pohaci. Dewawarman II beristerikan seorang putri dari keluarga Raja Singhalanagari. Dari pernikahannya ini lahir diantaranya seorang putra mahkota yang bernama Singhanagara Bhimayasawirya. 

Pada masa pemerintahannya wilayah Salakanagara diserang perompak dari Negeri Cina yang menyerang penduduk dan mengjarah kekayaaan terutama perhiasan dan pakaian. Dan Sang Dhigwijayakasa Dewawarman Putra  dengan bala tentaranya yang jumlahnya banyak, segera datang membebaskan penduduk dari bahaya  besar dari perbuatan khianat sang penyamun. Semua perompak tewas tanpa sisa, yang tertangkap semuanya dibunuh. 

                                  
Raja ke 3 dinasti Dewawarman, dengan gelar Singhanagara Bhimayasawirya dan terkenal dengan sebutan Dewawarman III.  Singhanagara Bhimayasawirya menggantikan ayahnya Dhigwijayakasa Dewawarman Putra atau Dewawarman II menjadi Raja di Salakanagara sekitar tahun 117-160 Saka atau antara tahun 195-238 Masehi. Sang Dewawarman ke III bersahabat dengan Negeri Cina, demikian pula dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Bharatanagari India.

Singhanagara Bhimayasawirya atau Dewawarwan III merupakan putra dari Raja Dhigwijayakasa Dewawarman Putra atau Dewawarman II dari isterinya yang berasal dari sanak keluarga Raja Singhalanagari putri dari Kerajaan yang ada di Jawa Tengah, dan Singhanagara Bhimayasawirya berputra beberapa orang, perempuan dan laki-laki. Salah seorang diantaranya yang tertua perempuan yaitu Dewi Tirthalengkara namanya, dijadikan istri oleh Dharma Satyanagara, sang menantu Raja ini yang menggantikan menjadi penguasa negara.


Raja ke 4 dinasti Dewawarman, Dharma Satyanagara yang kemudian terkenal dengan nama Dewawarman IV. Dharma Satyanagara memerintah antara tahun 160–174 tarikh Saka  atau antara tahun 238-252 Masehi.

Pada awalnya Dharma Satyanagara menjadi Raja di Ujung Kulon dan setelah dijadikan menantu oleh Sang Raja Dewawarman III, ia kemudian mejadi raja ke 4 Kerajaan Salakanagara. Dharma Satyanagara menikahi  putri Singhanagara Bhimayasawirya atau Dewawarman 3 yang bernama Dewi Tirthalengkara atau Sang Dewi Ningrum. Dari pernikahannya dengan Dewi Tirthalengkara dengan Dharma Satyanagara lahir beberapa orang, salah seorang yang tertua perempuan yaitu Rani Mahisasuramardini Warmandewi.


Raja ke 5 dari dinasti Dewawarman, Amatyasarwajala Dharma Satyajaya Warunadewa yang menggantikan mertuanya Dharma Satyanagara atau Dewawarman IV. Dharma Satyajaya Warunadewa memerintah selama 24 tahun antara tahun 174-211 tarikh Saka atau antara tahun 252-276 Masehi. 

Dharma Satyajaya Warunadewa menjadi raja karena menikahi putri sulung mertuanya Dharma Satyanagara atau Dewawarman IV yaitu Mahisasuramardini Warmandewi. Ia memerintah bersama istrinya, tetapi ketika suaminya meninggal karena bertempur dengan para perompak di lautan, sang istri kemudian menggantikannya sebagai raja.

Dharma Satyajaya Warunadewa, meninggal di tengah lautan, ketika berperang melawan perompak. Ketika itu ia menjadi Panglima Angkatan Laut memimpin bala tentara memerangi perahu para perompak yang menaiki perahu besar tiga buah, sedangkan perahu kerajaan empat buah. Tampak saling menghantam pada waktu berperang. Dharma Satyajaya Warunadewa dipanah dari belakang oleh perompak, kemudian ia meninggal. Tetapi para perompak dapat dikalahkan oleh pasukannya dan banyak yang tewas terapung di air, dan yang masih hidup ditawan semuanya.

Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tampo Omas atau Tampomas terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahyangan. Kerajaan Medang Kahyangan adalah salah satu Kerajaan Kuno yang ada di wilayah Sumedang Jawa Barat yang tidak pernah diulas dalam sejarah umum di Tatar Pasundaan. Didirikan sekitar tahun 174 tarikh saka atau sekitar tahun 252 masehi di kaki Gunung Tampomas yang terletak di antara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang. 

Sewaktu Dharma Satyajaya Warunadewa atau Dewawarman V atau Jagat Jaya Ningrat menurut Babad Sumedang, memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai Raja ke 5 antara tahun 174-211 tarikh Saka atau antara tahun 252-276 Masehi, putra-putranya dari isteri lainnya yaitu Sri Nurcahya putrinya Sang Prabu Wisesa dan Sang Dewi Kencana mempunyai anak 7 orang yang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pegunungan, yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang. 

Ketujuh putra Dharma Satyajaya Warunadewa tersebut adalah Prabu Daniswara atau Sumaradira, Jaya Sampurna, Indrasari atau Dalem Tumenggung, Larasakti, Jayabuana Ningrat atau Banas Banten dan Sanyak atau Sari Hatimah. 


Raja ke 6 Salakanagara dari dinasti Dewawarman adalah Mahisa Suramardini Warmandewi. Rani Mahisasuramardini Warmandewi menggantikan suaminya sebagai raja, ketika suaminya  gugur melawan bajak laut. Mahisa Suramardini Warmandewi memerintah antara tahun 174-211 tarikh Saka atau antara tahun 252-289 Masehi. Kemudian yang menjadi Raja di Kerajaan Salakanagara adalah putranya Sang Ghanayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman VI.


Raja ke 7  dinasti Dewawarman dengan gelar Sang Ghanayanadewa Linggabhumi atau disebut juga Dewawarman VI, anak tertua Amatyasarwajala Dharma Satyajaya Warunadewa atau Dewawarman V. Ia naik tahta dinasti Dewawarman menggantikan ibunya Mahisa Suramardini.

Ghanayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman VI dijuluki Sang mokteng Samudra. Ia memerintah antara tahun 211-230 tarikh Saka atau antara tahun 289-308 Masehi. Ghanayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman VI menikah dengan putri dari Bharatanagari. 
Sang Ghanayanadewa Linggabhumi berputra enam orang, laki-laki dan perempuan, antara lain : 
- Putranya yang pertama yaitu Sang Bhimadigwijaya Satyaganapati  atau Dewawarman 7, yang kemudian menggantikannya sebagai raja. Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati kemudian mempunyai anak perempuan bernama Rani Spatikarnawa Warmandewi. 
- Putranya kedua, perempuan yaitu Salakakhancana Warmandewi namanya, diperistri oleh penguasa kerajaan Ghaudinagari di bumi Bharatawarsa bagian timur. 
- Putranya ketiga, perempuan yaitu Khārttikacandra Warmandewi Namanya, diperistri oleh Sang Pranaraja dari Yawananagari. 
- Putranya keempat, laki-laki yaitu Sang Ghopalajayengrana namanya, menjadi pembesar di kerajaan wangsa Salankayana di bumi Bharatawarsa. Kemudian Sang Ghopala Jayengrana mempunyai anak yang bernama Sang Khrodamaruta, yang mengkudeta Dewawarman VII. 
- Putranya kelima, perempuan yaitu Sri Ghandari Lengkaradewi namanya, diperistri oleh  seorang pembesar, panglima angkatan laut di Kerajaan wangsa Pallawa. 
- Putranya keenam, yakni putra bungsu bernama Senapati Skandamuka Dewawarman Jagasatru.


Raja ke 8 dinasti Dewawarman, dengan gelar Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII putra tertua Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman  VI.  Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII memerintah antara 230-262 Saka atau antara 308-340 Masehi.

Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII gugur pada tahun 262 Saka atau sekitar tahun 340 masehi karena serangan bala tentara yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Khroda Maruta keponakannya sendiri anak adiknya yaitu Sang Ghopalajayengrana. Kemudian Sang Khroda Maruta menjadi Raja di Salakanagara walau kurang dari setahun. 

Sang Khroda Maruta menjadi Raja di Salakanagara kurang dari setahun yaitu sekitar tahun 340 Masehi. Khroda Maruta  tidak disukai oleh penduduk dan keluarga kerajaan. Ia tidak lama menjadi raja, hanya tiga bulan, karena ketika ia berburu di tengah hutan, ia tertimpa batu dari puncak gunung. Sang  Khrodamaruta tewas. Kemudian permaisuri Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII, yaitu Ratu Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi Raja Salakanagara.


Raja ke 10 Kerajaan Salakanagara dari dinasti Dewawarman adalah Sang Rani Sphatikarnawa Warmandewi anak Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII. Sang Rani Sphatikarnawa Warmandewi berkuasa setelah Sang Kroda Maruta, pengkudeta ayahnya meninggal. Sang Ratu Rani Spatikarnawa Warmandewi menjadi Raja Salakanagara dan memerintah selama 7 tahun yaitu antara 341-348 Masehi.

Pada tahun 270 Saka itu, Rani Sphatikarnawa Warmandewi menikah dengan Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana. Sang Rani dan suaminya adalah saudara sepupu satu kakek. Selanjutnya Dharmawirya Dewawarman Salakabhuwana Dharmawirya menjadi raja Salakanagara, menjadi Dewawarman VIII yang memerintah antara tahun 270-285 tarikh Saka atau antara tahun 348-363 Masehi.


Raja ke 11 Kerajaan Salakanagara dari dinasti Dewawarman adalah Darmawirya Dewawarman atau Dewawarman VIII. Dengan menikahi Sang Rani Spatikarnawa Warmandewi kemudian menjadi raja penguasa di Salakanagara. Ia memerintah antara tahun 270-285 Saka atau antara 348-363 Masehi. Darmawirya Dewawarman atau Dewawarman VIII  merupakan cucu Dewawarman VI yang menikahi Rani Sphatikarnawa. Sang Rani dan suaminya adalah saudara sepupu satu kakek. Sanak keluarga Sang Dewawarman ke delapan bermukim di Yawananagari, ada pula yang bermukim di Hujung Mendini.

Dewawarman VIII mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Yang sulung, seorang putri, sangat cantik rupanya, bagaikan bulan purnama yang bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi, disebut juga Minati, yang kemudian menikah dengan Jayasingawarman, yang kemudian menggantikanya, dan memindahkan ibukotanya ke Tarumanagara, sehingga kerajaan ini berubah  dengan nama Tarumanagara. Anaknya  yang lain bernama Dewi Indari, yang kemudian menikah dengan Maharesi Santanu, raja Indraprahasta (Cirebon Kidul). Anak Dewawarman yang lainnya yang menjadi putra mahkota. 

Setelah Sang Darmawirya Dewawarman mangkat, putra mahkota menggantikannya menjadi raja. Tetapi desa-desa wilayahnya ada di bawah perintah kerajaan Tarumanagara. Ada pula anak Darmawirya Dewawarman atau Dewawarman VIII yang lainnya lagi, seorang laki-laki yang bermukim di Bakulapura. Ia terkenal dengan nama Aswawarman. Ia menikah dengan anak sang penghulu penduduk Bakulapura, yaitu Sang Kudungga namanya  Anak Sang Dewawarman VIII  yang lainnya lagi bermukim di Swarnadwipa, selanjutnya beranak-cucu di sana, dan kemudian menurunkan raja-raja Swarnadwipa atau raja raja Sriwijaya, diantaranya Adityawarman.

Darmawirya Dewawarman  atau Dewawarman VIII merupakan Raja terakhir Salakanagara. Ia kemudian digantikan oleh menantunya,  Jayasingawarman, yang kemudian memindahkan kekuasaanya ke sekitar sungai Citarum, dan negaranya kemudian terkenal dengan nama Tarumanagara.

Salam Santun


Bukti Penunjang Keradaan Salakanagara

Situs Makam Aki Tirem Di Cihunjuran Pandeglang
Salah satu yang menyimpan dan menunjang peninggalan sejarah kuno Kerajaan Salakanagara adalah Situs Cihunjuran. Situs ini  terletak di lereng kaki  Gunung Pulosari, di Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di situs ini terdapat kompleks mata air yang di sekitarnya terdapat Batu Menhir, Batu lumpang dan Batu Berlubang serta Batu Monolit. 

Dengan adanya peninggalan tersebut menandakan bahwa tempat itu pernah digunakan sebagai tempat pemujaan. Di samping itu, Situs  Cihunjuran diduga kuat pernah dihuni oleh kelompok masyarakat agraris yang telah mengenal barang impor.  Hal tersebut diperlihatkan dengan temuan fragmen keramik asing, keramik-keramik lokal, manik-manik fragmen, kaki Arca dan Genta pendeta dari perunggu. 

Situs Cihunjuran sudah menjadi tujuan wisata bersejarah yang tidak asing bagi sebagian orang, wisata ini terletak di kaki  Gunung Pulosari tepatnya di situs cagar budaya Pandeglang. Dan tempat wisata ini pula dapat digunakan sebagai tempat edukasi sejarah karena terdapat berbagai situs sejarah yang bisa ditemukan seperti batu megalitikum. 

Jika berada di kawasan situs Cihunjuran kita akan menemui sebuah makam purba yang sangat panjang yang terkenal dengan nama Aki Luhur Mulia atau Aki Tirem sebagai tonggak awal kenegaraan di Nusa Jawa yang konon berkuasa sebagai seorang Juru Labuhan di Salakanagara sejak tahun 0 Tarikh Saka atau tahun 78 basehi hingga meninggal 130 masehi, makam ini adalah seorang  yang sangat terkenal, meskipun hingga kini belum dipastikan kehidupan manusia tersebut ada pada tahun berapa.

Jangan heran jika melihat banyak orang yang datang mengunjungi untuk berziarah ke makam tersebut. Tak hanya itu, kita pun dapat menjumpai beberapa menhir dan situs sejarah lainnya di kawasan Situs Cihunjuran ini.
Jika tertarik mengunjungi kolam purba yang telah ada sejak jaman Salakanagara, kita dapat mengambil rute ke kawasan Gunung Pulosari, Pandeglang. Di sana, Anda akan menemukan plang yang bertuliskan Situs Cihunjuran Salakanagara.

7 Orang Pendiri Kerajaan Medang Kahyangan Putranya Dharma Satya Nagara (Dewawarman V), Raja Salakanagara ke 5

Sampurasun, 
Mugia Rahayu Sagung Dumadi

Ketika Dharma Satyajaya Warunadewa atau Dewawarman 5 atau Jaya Diningrat memerintah di Kerajaan Salakanagara menjadi Raja ke 5 antara 129-177 Caka atau antara 242-290 Masehi dari isteri lainnya yaitu Sri Nurcahya putrinya Sang Prabu Wisesa dan Sang Dewi Kencana, mempunyai 7 orang anak yang meninggalkan kerajaan Salakanagara untuk meneruskan misi Mula Stiwa Danikaya atau Misi Salakadomas ketetanagaraan, agama dan darigama, yaitu :

- Prabu Daniswara atau Sumaradira menjadi Raja Kerajaan Medang Kahyangan Pengiring dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu ke wilayah Medang Kahyangan di sebelah Utara Sumedang Sekitar suku Gunung Tampomas. Situs makamnya ada di Blok Ciemutan Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang.

- Jaya Sampurna, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkann ajaran Hindu ke wilayah Medang Kahiangan di sebelah Selatan Sumedang. Situs makamnya ada di lingkungan Parigi Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang.

- Tumenggung Indrasari, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu ke  wilayah di sekitar sebelah Selatan Sumedang. Situs makamnya ada di dusun Parigi Kelurahan Pasanggrahan Baru, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang.

- Lara Sakhti, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu ke sekitar wilayah Medang Kahyangan di sebelah Timur Sumedang. Situsnya ada di Gunung Cisusuru, Dusun Sahang, Desa Dayeuh Luhur, Kecamatan Ganeas Kabupaten Sumedang. 

- Sukmana atau Resi Cupu, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu ke sekitar wilayah Medang Kahyangan di sebelah Selatan (pusat kota Sumedang sekarang). Situs makamnya berada di Gunung Cupu lingkungan Pasarean, Kelurahan Kotakulon, Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.

- Jaya Bhuana Ningrat atau Banas Banten, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu di sekitar wilayah Medang kahyangan di sebelah Utara. Situs makamnya berada di Kampung Banas Cibanten, Desa Babakan Asem, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang.

- Sanyak atau Sari Hatimah dan Dalem Tumengung Surabima, pemangku Raja Kerajaan Medang Kahyangan dari Kerajaan Salakanagara dan menyebarkan ajaran Hindu ke wilayah Medang Kahyangan di sebelah Selatan Sumedang. Situs makamnya berada di Cieunteung Desa Cipamekar Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang.

Pada umumnya situs kemandalaan berada pada puncak-puncak bukit dan ada juga tersebar di berbagai lokasi, baik situs yang berasal dari masa praasejarah maupun masa Medang Kahiangan Pengiring dari Kerajaan Salakanagara.

Ajaran baktha Hindu Syiwaisme yang tersebar ke berbagai wilayah kemandalaan pada jaman pengiring Medang Kahiangan dari Kerajaan Salakanagara di  Sumedang antara tahun 252-290 masehi, pusat bakhtanya kemandaalaan tersebut berada di Puncak Manik Gunung Tampomas

Di Puncak Manik Gunung Tampomas terdapat 3 objek situs arkeologi, yaitu :  lokasi  pertama Puncak Manik Situs Batu Sandung, lokasi  kedua Puncak Manik yang disebut juga bangunan berundak Sanghyang Taraje dan lokasi ketiga Puncak Manik adalah Situs Palinggihan.


Lokasi Pertama Puncak Manik Gunung Tampomas
Di lokasi pertama puncak manik ini ada tinggalan situs berupa Batu Sandung berbentuk segi empat yang pinggirannya dipahat ukiran tengkorak manusia dan arca binatang menggambarkan kepala harimau dan kepala monyet dengan muka tidak berhadapan, namun sayangnya telah rusak oleh alam.

Batu Sandung atau batu berbentuk kubus di Gunung Tampomas adalah Yantra, dalam falsafah hindu ada yang disebut Yantra. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.  Yantra adalah bentuk "niyasa" atau simbol atau pengganti yang sebenarnya, yang diwujudkan oleh manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Sanghyang Widhi Wasa, misalnya dalam perpaduan arca, arca pahatan batu patung polinesia,  warna, kembang, banten, dan lain-lain. Yantra telah dikenal sejak jaman Purba dimana oleh para Resi dan orang bijak memanfaatkan yantra untuk membantu mencapai tujuan kesuciannya. 

Dalam manuskrip Carita Ratu Pakuan diceritakan : Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Tambo Agung, nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmatjuté, seuweu pahtih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang. Gunung Cupu Bukit Tanporasih, mandala Tanpo Wahannan, srigina bukit  Manghening, Patanjala panénjoan. Artinya : Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Tambo Agung, yang penuh kasih sayang, adik tuan Rahmatjute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang. Gunung Cupu Bukit Tanporasih, mandala Tanpo Wahanan sri gina bukit Manghening, Patanjala tempat memandang.

Keberadaan Batu Sandung atau Batu Lingga yang berbentuk persegi menyerupai kubus tersebut tentunya tidak terlepas dari sejarah peradaban para leluhur di masa lalu, menurut cerita dahulu Gunung Tampomas lebih dikenal dengan sebutan Gunung Agung atau Gunung Gede, karena mungkin merupakan gunung terbesar di wilayah Sumedang yang dahulu disebut Medang Kamulyaan atau Medang Kahyangan. 

Medang Kamulyan sendiri mengandung makna bersinergi dengan Alam, karena semua unsur kehidupan terdiri atas : Tanah, Api, Udara dan Air, dimana gunung dianggap sebagai puncak tertinggi Puncak Manik dengan Sang Maha Pengendali Alam. 

Sebagaimana umumnya peradaban gunung di masa lalu seperti gunung-gunung lain pada jamannya, Gunung Agung Tampomas pun memiliki peranan penting bagi perkembangan peradaban manusia yang hidup di wilayah Medang Kamulyaan atau  Medang Kahiangan, sesuai keyakinan agama dan kebudayaannya kala itu, di mana gunung menjadi salah satu tempat yang disakralkan dan diagungkan, dimana tentu saja banyak tempat ritual keagamaan kala itu dipusatkan di puncak-puncak gunung dengan batu-batu baik alami atau pun disusun sebagai ciri Kabuyutan tempat ritus keagamaan jaman megalitik. 

Dan Batu Sandung adalah salah satu peninggalannya, pada jaman animisme menjadi batu altar atau batu pangunggahan atau batu tempat memanjatkan puja dan persembahan . Begitu juga pada zaman pemujaan Hindu pengiring dari Kerajaan Salakanagara batu itu dahulu berfungsi untuk tempat meletakan arca-arca pada saat upacara pemujaan Agung, di mana manusia kala itu duduk melingkar-disekeilingnya. Di atas batu altar tersebut diletakan batu arca Batara Guru atau Arca Syiwa dan putranya Patung Ganesha, disertai beberapa patung polinesia dari setiap kemandalaan yang telah hilang.

Tempat wilayah pemujaan di lokasi pertama puncak manik terbagi menjadi dua teras, yaitu : teras pertama adalah tempat para tetua adat atau para pendita duduk melingkar mengitari batu Sandung  dan teras kedua adalah tempat duduk dibelakang para siswa atau yang muda yang ikut serta dalam acara pemujaan kepada Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifesrasi kepada Dewa Siwa atau bakhta Siwa dalam ajaran Hindu.


Lokasi Kedua Puncak Manik Gunung Tampomas
Gunung Tampomas disebut-sebut dalam Naskah Bujangga Manik sebagai Gunung Tompo Omasdi wilayah Mĕdang Kahiangan. Naskah Bujangga Manik ini kemungkinan ditulis pada akhir abad ke 15 Masehi. Berjalan kira-kira antara  200-250 meter dari lokasi pertama yang ada batu sandung kita menuju penelitian , kita menuju lokasi penelitian kedua puncak manik Gunung Tampomas disini ada situs punden berundak dan tepat di depan teras pertama situs ini dipasang plang bertuliskan Suaka  Peninggalan Cagar Budaya Wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung.

Beberapa peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Puncak Gunung Tampomas pernah beberapa kali diteliti. N.J. Krom pada 1914 pernah mencatat adanya bangunan berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya ia melalui sebuah tangga batu. Di puncak bangunan berundak terdapat Patung Ganesha, batu dengan tanda bekas kaki dan enam benda kecil antara lain berbentuk genta atau kolotok dan satu lagi berbentuk landasan (Krom, 1915: 65).

Pada Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro dari Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri, Bandung (sekarang Balai Arkeologi Bandung) mengadakan penelitian deskriptif terhadap peninggalan di Sanghiang Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan andesit di halaman pertama, batu tatapakan atau batuan umpak, batu ajeg atau batu yang didirikan tegak, dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga (Koestoro, 1987: 38-39). 

Di Puncak Manik itu terdapat objek berupa arca Ganesha, arca binatang dan sebuah bentuk tumpeng. Arca Ganesha yang terdapat di Puncak Manik dari bahan batuan andesitik. Ganesha digambarkan secara sederhana dalam posisi duduk, tangan kiri dilipat di depan dada, tangan kanan memegang ujung belalai. 

Susunan ditus megalitikum di loaksi kedua atau Sanghyang taraje Puncak Manik Gunung Tampomas ini terdiri dari 3 Undakan, yaitu :
- Undakan pertama merupakan pintu gerbang masuk, dengan anak tangga undakan tangga dari batu. 
- Undakan kedua merupakan areal yang lebih luas sedikit daripada areal situs dengan pintu gerbang kedua dengan anak tangga pendek dari batu ke  areal lahan kanan-kiri yang cukup luas, pada sebelah kanan terdapat batuan berlubang yang mungkin jaman dahulunya tempat keluarnya air untuk bersuci pada jaman prasejarah tirta atau jaman air laut belum surut dari daratan dan manusia prasejarah menempati puncak manik Gunung Tampomas.
- Undakan ketiga merupakan areal lokasi yang dianggapa makam kuno, yang luasnya kira-kira 8 x 17 m2, dipagar dengan tumpukan batu-batu besar dan didalam terdapat 3 makam kuno yang bersejajar dan terdapat juga batu kasur. Namun di lokasi makam terdapat gubuk-gubuk yang kurang memadai sehingga mempunyai kesan dan pandangan mata yang kurang sedap, walaupun fungsinya menyediakan tempat untuk menginap ketika berjiarah ke lokasi ini.


Lokasi Ketiga Puncak Manik Gunung Tampomas
Lokasi penelitian kami terakhir di Puncak Manik Gunung Tampomas ini adalah Situs Palinggihan, areal lokasi ini luasnya lahan kira-kira antara 1500 m2, yang mana kemungkinan tempat ini merupakan hunian yang menempati ke lokasi ini disini ada beberapa batuan Lingga dan batuan tatapakan bekas bangunan berdiri, sesuai dengan sebutan yaitu Situs Palinggihan atau tempat tiinggal. 

Pada lereng sebelah timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasi tersebut merupakan wilayah Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Menurut keterangan masyarakat setempat pada sekitar tahun 1998 telah ditemukan arca batu, arca Siwa bukan arca Ganesha.

Arca Siwa yang kepala dan kedua tangannya diacungkan ke atas telah patah oleh perubahan jaman sehingga tidak terlihat patahannya, sementara kedua tangan lainnya dalam sikap menyilang di dada. Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki tidak digambarkan, patung tersebut direfrentasikan sebagai arca Siwa dalam ajaran Hindu.

Arca Siwa ini sekarang disimpan oleh saudara Ifan warga Desa Narimbang. Arca ini terbuat dari bahan batuan tufa berwarna kemerahan. Adapun tingginya arca ini yaitu 45 cm, lebar 25 cm dan tebal 15 cm. 

Salam Santun