Asal-Muasal Mandala Kerajaan Galuh

1. Kabuyutan dan Kamandalaan di Tatar Pasundan 
Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi.

Mandala, khususnya pusatnya, bisa dipakai selama meditasi sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan atau Kamandalaan di tatar Pasundan adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Resi Guru. Kabuyutan berasaldari bahasa Sunda yaitu Uyut yang dapat diartikan leluhur. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut.

Adapun kata buyut mengandung dua pengertian. Pertama, sebagai turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, sebagai pantangan atau tabu alias cadu atau pamali. Kadang-kadang pengertian kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Ada juga istilah satru kabuyutan yaitu musuh kabuyutan (musuh bebuyutan) berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir. Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda.

Dalam pembahasan dalam artikel ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan. Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius.

Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

Kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


2. Pengaruh Agama Hindu dan Budha
Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi. Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Kabuyutan selanjutnya menjadi tempat mempelajari ilmu agama budha, mirip pesantren jika dalam masa islam. Orang-orang yang mempelajari ilmu di kabuyutan atau kamandalaan disebut siswa. Para Siswa ini belajar untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat), dan memegang peranan penting dalam Agama Buddha. Dan siswa yang telah mencapai Arahat disebut Siswa Utama. Pengajar di kabuyutan atau kemandalaan disebut Guru.

Para guru harus dihargai karena telah menggerakkan peradaban, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan dari apatisme menuju tanggung jawab. Dari penjelasan tersebut hendaknya murid menunjukkan sikap bakti dan hormatnya kepada seorang guru. Peran guru yang mampu menbuat murid menjadi bertambah ilmu dan bertanggung jawab adalah suatu perbuatan yang mulia dan seorang murid harus berbakti kepada guru.

kewajiban murid terhadap guru dengan lima cara, seorang memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Bakti yang seharusnya dilakukan seorang murid terhadap guru dengan memperlakukan gurunya sebagai arah selatan: menghormati guru dengan berdiri, melayani gurunya, bertekad keras untuk belajar, memberikan jasa kepadanya, memperhatikan dengan baik ketika diberi pelajaran. Sikap seperti itulah yang hendaknya selalu di lakukan oleh seorang murid kepada gurunya.


3. Kabuyutan atau Kamandalaan di Tatar Sunda
Kata mandala yang berarti “wilayah kekuasaan lembaga keagamaan”, diserap dari bahasa Sanskerta dan berarti “lingkaran suci”. Bagi Urang Kanekes adalah melakukan tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. Hal itu karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara keseluruhan, masyarakat Baduy memunyai kedudukan sebagai mandala. Sedangkan, masyarakat Sunda lainnya di luar mandala berkedudukan sebagai nagara dan semua warganya mengemban tugas untuk melakukan tapa di nagara. Tugas dan kedudukan masing-masing ini mereka emban secara turun-temurun.

Dalam kerajaan Sunda lama, mandala berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan tempat para pendeta, murid-murid, atau bahkan pengikut mereka hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidupan beragama. Ini artinya masyarakat hanya boleh tinggal di sana selama mematuhi seluruh aturan  yang ada. Kawasan mandala juga berarti tidak boleh didatangi oleh sembarang orang.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu (masih menganut ajaran Jati Sunda), hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara. Tidak hanya itu, Kelangsungannya dan keamanannya dijamin oleh Kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran.

Sebagian dari Mandala yang ada di tatar Pasundan bermetmorfosis menjadi Kerajaan, sebagian lagi tetap menjadi kawan perdikan dan pusat spiritual. 

Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut : Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).


4. Kabuyutan dan Kerajaan
Sering didapati pengertian yang saling dipertukarkan atau dianggap sama antara Kabuyutan dan Kerajaan. Akibatnya masyarakat sering salah pengertian. Dalam sejarahnya, beberapa kabuyutan memang berubah menjadi kerajaan, misalnya kabuyutan Galunggung menjadi Kerajaan Galunggung., kabuyutan Kendan menjadi Kerajaan kendan. Namun kabuyutan lain bisa jadi tetap menjadi wilayah pendidikan kemandalaan saja tidak berubah menjadi kerajaan.

Adanya salah pengertian di masyarakat adalah disebabkan karena struktur di kemandalaan atau kabuyutan tersebut memiliki kemiripan dengan kerajaan di masa lalu. Misalnya di kabuyutan Kendan memiliki struktur pemimpin tertinggi yang disebut Resiguru, rakyat dan penjaga keamanan yang sering disamakan dengan prajurit kerajaan. Awalnya adanya rakyat dan prajurit pengaman kabuyutan memang disediakan pihak kerajaan. Untuk kabuyutan kendan disiapkan oleh Raja Tarumanagara, termasuk jaminan keamanannya oleh pihak kerajaan. 


Resiguru Manikmaya adalah resi di kabuyutan kendan yang menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M).

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi (Ratu) di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.


6.  Mandala Kerajaan Kendan Cikal Bakal Raja-Raja Galuh
Kalau ditelaah cikal bakal Raja-raja Galuh, berdasarkan Pustaka Raja Nusantara, umumnya dikenal dari Minandita dan kesalehan dalam dalam keresyian atau kepanditaan " Tetekon agama dan darigama". Hal ini tidak heran sebab sejarah leluhur Galuh dimulai dari Kendan yaitu Resi Guru Manikmaya, namun bukan Manikmaya yang ada dalam kisah Pewayangan, nama aslinya Resiguru Manikmaya yaitu Prabu Abbhi Sanja Wirahman. Prabu Abhi Sanja Wirahman (Prabu Manikmaya) berkuasa di Kendan selama 458 tahun  Saka (536 M) sampai dengan  490 tahun Saka (568 M). 

Resi Maha Guru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti : Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Resi Maha Guru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di Mandala Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.

Sebelum Sang Manikmaya tiba di Kendan, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri Kendan dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di Kendan, dalam kapasitasnya sebagai resi


Kekuasaannya di Kendan didapat sesudah menikah dengan putri Maharaja Suryawarman, Raja Tarumanagara. Oleh sebab itu waja dalam fokrlore rakyat sekitar Galuh, kebeperhikannya ke  raja-raja yang  minandhita atau resi, lebih dihormati daripada raja-raja yang hanya mengurusi  tahta. Sedangkan wilayah Galuh sendiri dengan sebutan Tatar  Parahyangan atau Tatar Para hyang atau Tatar PaSundaan (Pasundan).

Secara turun temurun kekuasaan Kendan dilanjutkan, dan diganti oleh  Sang Suraliman Sakti, dalam  490 Saka (568 M).  Sang Suraliman Sakti, mahir dalam bidang peperangan dan juga  Senapati Panglima Tarumanagara, yang  digelaran Baladhika ning widyabala.  

Sang Suraliman Sakti jadi Penguasa di Kendan selama 29 tahun  (568 - 597 M). Selanjut nya diganti oleh putranya Kandiawan atau Rahiyangta ri Medangjati  atau Rajaresi Dewaraja (597 - 612 M)

Beda dengan orang tuanya Sang Suraliman Sakti, Sang Kandiawan lebih dikenal sebab hidupnya minandita, yang digelaran Rajaresi Dewaraja.  Sebelum mengganti orang tuanya, Kandhiawan telah menjadi rajaresi di Medang Jati atau Medang Gana, yang digelaran Rahyangta ri Medang Jati.  Sehingga ketika  diistrenan menjadi Raja Kendan, Kandiawan tidak berposisi di Kendan, tetapi di Medang Jati.

Kandiawan berputra lima dan menjadikan putra-putrna jadi penguasa daerah yang ada di wilayah Kendan,  yaitu Sang Mangukuhan di kuli-kuli, Sang Karungkalah di Surawulan, Sang Katungmaralah di Peles Awi, Sang Sandangreba di Rawunglangit dan Sang Suradarma (Wretikandayun) di Daerah Menir.  
Sang Kandiawan berkuasa  di tahta Kendan selama 15 tahun, dari mulai tahun 597 Saka (612 M),  dan manurajasunyi atau manditha di Layuwatang.


7. Mandala Kendan
Mandala Kendan dikisahkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) Carita Parahyangan :
“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’Datang Siya ka Kendan. Carek Sang Resi Guru : ’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’
‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’(Carita Parahyangan, Drs. Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)

Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah Suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala Kendan sekarang terletak di Kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200 dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan / perkebunan (± 1.727,54 ha).

Status kemandalaan Kendan sudah dipangku jauh sejak Kerajaan Kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu seperti diterangkan dalam naskah carita parahyangan. Barulah kemudian tahun 512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut Hindu Siwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.

Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu:

”Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal (Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :
”Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung “
artinya :
”Ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”
Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Karungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan. 


8. Berdirinya Kerajaan Kendan
Resi Maha Guru Manikmaya berkuasa di Kerajaan Kendan sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu Kendan masih mendapat perlindungan dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara. Pendirian Kendan jika diurut kesejarahannya, bermula sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sang Resi. Pada saat Kendan didirikan, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Maha Guru Manikmaya ke seluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut. Hal ini bertujuan agar diketahui bawahannya.

Pembentukan Kerajaan Kendan hampir sama halnya dengan kisah pembentukan Kerajaan Tarumanagara, semula berada di wilayah Kerajaan Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Jayasingawarman menikahi Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Dalam proses selanjutnya, disebut-sebut bahwa Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, namun masih belum dapat diketahui, namun memang Tarumanagara pada akhirnya maju lebih pesat dibandingkan Salakanagara.

Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang Raja, jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan. Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.

Kerajaan Kendan didirikan oleh Sang Resiguru Manikmaya, sebagai raja pertama yang datang dari Jawa Timur. Resiguru Manikmaya menjadi raja karena ia menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan, suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung, lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat.

Isi surat dari Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara tersebut adalah: Keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.

Pemberian hadiah ini bukan hanya sekedar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat kepada orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di Tarumanagara.  Suryawarman juga menganggap Maha Guru Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama. 


9. Para Penerus Resi Manikmaya
Setelah Maha Guru Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suraliman, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suraliman, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena hidupnya minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati. Posisi Medang Jati Kemungkinan di wilayah Cangkuang, Garut.


Bukti adanya Kerajaan Kendan yang tersisa hingga kini:
  • Situs di Citaman, Nagreg, Cicalengka
  • Kampung Pasir Dayeuh kolot / disebut Kampung Kendan dikenal dengan Kampung Kelang di Bukit yang letaknya 15 km sebelah tenggara Cicalengka Jawa Barat.
  • Ditemukannya Arca Manik, Arca Durga, Pusaka Naga Sastra, Naskah berbahasa Sansekerta yang disimpan di Museum Nasional Pusat Jakarta.
  • Candi Cangkuang di desa Bojong Mente, Cicalengka, Garut, Jawa Barat.
  • Batu Cadas Pangeran di Nagreg Jawa Barat.
  • Sedangkan Komplek Keraton Baleeh Gedeh untuk Pertemuan dan Baleeh Bubut untuk kediaman Raja sudah tidak ditemukan lagi karena Rumah Panggung tersebut terbuat dari Kayu dan sudah lapuk termakan usia jaman, hanya tersisa batu-batu besar di Perbukitan Citaman Nagreg.
  • Carita Parahyangan.
  • Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
  • Baru Bertuliskan Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menyebutkan Ibu Kota Kerajaan Taruma Nagara.
Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada diwilayah Kendan, yaitu : 
  1. Mangukuhan di kuli-kuli 
  2. Karungkalah di Surawulan
  3. Katungmaralah di Peles Awi
  4. Sandangreba di Rawunglangit 
  5. Wretikandayun didaerah Menir
Berbeda dengan kisah tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah menjadi pemburu (panggerek); Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa Kendan. Menurut salah satu versi, pemberian nama profesi tersebut bukan yang sebenarnya, namun sebagai simbol.




Sang Kandiawan menduduki tahta Kendan selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian ia digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.

Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan Kendan kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias “digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki ciri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.

Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi Kendan karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniawian, atau kepanditaannya tersebut pada masa itu dianggap sebagai suatu bentuk keahlian yang cocok untuk memimpin Kendan.  Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan Kendan, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi maha Guru Manikmaya. Namun untuk sekedar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.



Kisah penguasa Kendan pasca Wretikandayun sengaja tidak diuraikan lebih lanjut, mengigat masa tersebut Kendan sudah malih rupa (berubah) menjadi Galuh dan sudah tidak berada lagi diposisinya semula. Selain hal tersebut, dalam perkembangannya Galuh memiliki jalan sejarah yang khas dan hingar bingar dari perpaduan masalah politik kekuasaan dan pentaatan terhadap keyakinan raja-rajanya.

Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang dilarang didalam tradisi Kendan, karena Wretikandayun didalam episode Galuh mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya. Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.

Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung. Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain Purbalarang. Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya. 


9. Ringkasan Kerajaan Kendan
Candrawarman (515-535 M) Pada saat kekuasaanya / pemerintahannya tahun 535 M terjadinya Meletus Gunung Krakatau yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar dan berdampak pada seluruh dunia.

Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut.

Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612M. Selanjutnya pada tahun 561 untuk Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan kekuasaannya oleh putranya Kertawarman (maut 628) ialah raja Kerajaan Tarumanagara yang kelapan yang mewarisi bapaknya, Suryawarman yang mangkat pada tahun 561 dan memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561 - 628.


10. Raja-Raja Kerajaan Kendan
1. Raja Maha Guru Manikmaya Tahun 536 M - Tahun 568 Masehi, berasal dari keluarga Calankayana di India Selatan adalah seorang Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu di tanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman menikahkan putrinya yang bernama Tirta Kancana kepada Maha Guru Manikmaya ini sebagai istrinya dan memperkenankan sang menantu mendirikan Kerajaan Kendan ditambah sebagian dari Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan Maha Guru Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan Jawa Barat.  Raja Putra Suraliman Th.568 M - Th.597 M, menikah dengan Dewi Mutiasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.

2. Raja Kandiawan Tahun 597 M - Th. 612 Masehi, memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman.  

3. Raja Wretikandayun Tahun 612 M - Th. 702 Masehi, memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh (Permata). Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;
- Kerajaan Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita  Parahiyangan, sedangkan menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan Ibu kota kerajaan di Bogor.  
- Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan / Kelang  dengan Rajanya Wretikandayun, menguasai wilayah bagian Timur, ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati putri Maharani Shima Putri dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya.


11. Asal Muasal Mandala Kerajaan Galuh 
Konon kabar kata Galuh berasal dari kata Galeuh atau inti. Menurut Yoseph (2005), dari pengertian tersebut, timbul pergeseran kata menjadi hati, sebagai inti dari manusia. Dalam pengertian lain, kata Galeuh disejajarkan dengan Galih, kata halus dari beuli (beli), namun menurut Purbacaraka mengartikan Galuh sebagai permata. Lain halnya menurut Van Deur Mulen. Galuh sama artinya dengan yang dipahami dalam bahasa tagalog, yakni ‘air’. Galuh berasal kata dari Saka lo atau Sagaluh.

Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata = jatuh : jala = air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan (pendiri Galuh) dan Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya (Pendiri Sunda).

Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu. Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. 

Masyarakat Jawa Barat mengenal istilah Sang Hyang Patanjala dari keberadaan cerita Sri Maharaja Guru Resi Prabhu Sindu La Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) sebagai Raja Kendan. 

Dalam cerita beliau memiliki 5 orang 'anak' yang dikenal sebagai "Panca KuCiKa" yang terdiri dari :
1. Sang Hyang Nandiswara
2. Sang Hyang Garga
3. Sang Hyang Purusha
4. Sang Hyang Manisri
5. Sang Hyang Patanjala

Sesuai dengan cara, pola dan gaya penyimpanan data yang dilakukan oleh para leluhur bangsa, bentuk personifikasi atas Sang Hyang Patanjala kerap-kali dianggap sebagai sosok manusia secara biologis, padahal mungkin saja hal tersebut dikemudian hari menjadi "gelar kehormatan" terhadap seseorang, seperti yang diberikan kepada Sang Tritrusta Ra-Hyang Tarusbawa raja Sunda Sembawa.  

Patanjala adalah landas pemikiran (konsep) mengenai pengelolaan air yang mucul dari sumber mata air menuju sungai hingga bermuara di samudra. 
Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan persoalan 4 inti kehidupan mahluk di bumi (khususnya bagi manusia) : Api, Angin, Air, Tanah.


Pemikiran dalam pikukuh Sunda mengenai "Ibu Agung atau Ibu Pertiwi', rupanya bukan hanya slogan, sebab pada kenyataannya ibu dan bumi ini benar-benar hidup (bernafas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur), jadi prinsip kerja tubuh bumi mirip dengan raga manusia atau setidaknya; kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit - jagat ageung).



Patanjala adalah urat-urat air yang mengaliri raga-tubuh Ibu Agung (bumi), dari hulu ke hilir dan kembali berulang, siklus tersebut telah terjadi sejak milyaran tahun yang lalu. Urat-urat bumi yang mengalir dari puncak-puncak gunung turun membawa berbagai mineral dan sari-pati makanan yang dibutuhkan oleh hewan, tumbuhan serta manusia, hingga kelak melahirkan berbagai peradaban.

Maka teori yang menyebutkan bahwa seluruh bangsa yang memiliki peradaban adi luhung berawal dari sungai itu "benar", seperti : Huang Ho & Yang Tse Kiang, Amazon dan Misissipi, Gangga, Nil, Eufrat dan Tigris, dsb. Namun demikian tentu semua perkembangan peradaban tersebut harus berlandas dan dipicu oleh ilmu pengetahuan yang luhur (kecerdasan, kebijakan dan kebajikan), tanpa hal tersebut mustahil terbangun tatanan peradaban.

Patanjala secara mendasar terbagi dalam 3 kewilayahan yang sangat erat berkaitan dengan "Gunung dan Hutannya", yaitu :

1. Wilayah Larangan  (Hutan Larangan ) sebagai  wilayah sumber / wiwitan.   

2. Wilayah Tutupan  (Hutan Tutupan) sebagai  wilayah Cadangan.

3. Wilayah Baladaheun (Hutan Baladaheun atau Hutan Olahan) sebagai wilayah Perkebunan dan Pertanian.




Ketiga wilayah ini harus dijaga dengan baik (terjaga kesuciannya), oleh sebab itu sering disebut sebagai "tanah suci" dan wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai kabuyutan (Wilayah Larangan) yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja (orang suci), pun jika terjadi kerusakan secara alami.




Maka dari itu setiap wilayah atau tanah suci (Hutan Larangan) disebut sebagai Sa-Saka Domasyang ditandai oleh Arca Domas, dan seluruh kesatuan tanah suci disebut Sa-Loka Domas. 

Sayangnya pengertian istilah dalam suatu kewilayahan tersebut sudah semakin asing terdengar ditelinga generasi sekarang sehingga banyak wilayah larangan rusak dan hancur dengan tidak semestinya. 



 




Berdasarkan tata wilayah atau tata ruang, maka selayaknya aliran sungai itu dikelola oleh masing-masing kelompok masyarakatnya (tata kelola / tata kuasa) dan karena setiap daerah memilik ruang kebutuhan yang berbeda-beda maka tatanannya pun akan beragam, menyesuaikan diri dengan sendirinya. Oleh sebab itu penataan air yang paling ideal tentu tidak memusat, apalagi bersifat penguasa tunggal (monopoly) dengan demikian setiap kelompok masyarakat dituntut bertanggung-jawab terhadap wilayah airnya masing-masing.



Patanjala adalah tubuh kita sendiri dan tubuh kita adalah bagian dari Ibu Agung, jika bangsanya sehat maka negaranya kuat. Dengan demikian cerminan mengenai nilai-nilai Sang Patanjala itu ada pada diri kita dan hal tersebut akan tercermin pada mutu aliran-aliran sungai yang ada di negara kita.

Dalam Pikukuh Sunda mengatakan :
- "Tanda-tanda negara subur makmur gemah ripah loh jinawi adalah jika air sungainya dapat langsung diminum"
- "Tanda-tanda kebersihan hati-nurani suatu bangsa terukur dari kejernihan air sungainya"
Air minum yang ada dihadapan kita, yang kita gunakan untuk mandi dan mencuci, air yang telah berjasa memberikan kehidupan kepada raga-tubuh kita sesungguhnya telah berumur jutaan tahun bahkan milyaran tahun, maka sangat wajar jika kita menghormatinya dengan sepenuh hati.


10. Leluhur Raja-Raja Galuh
Kisah Kendan dan Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder.

Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam. Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan “pamali” – “teu wasa”. Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya istilah tabu bukan lagi berasal dari teu wasa, melainkan takut dicemoohkan sebagai “mamake payung butut”, masalah inilah yang ikut menghambat tutur tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.

Kisah karuhun Galuh di dalam kesejarahannya yang pernah menjadi rahasia umum adalah Mandiminyak dan Tamperan. Cerita Mandiminyak dianggap tidak lazim karena berhubungan dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakaknya, hingga melahirkan Bratasenawa. Demikian pula cerita Tamperan yang dianggap aib setelah berhubungan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Tetapi hukum dan realitas penyusunan sejarah modern memerlukan data formal. Mungkin alasan ini pula yang berakibat urang sunda tidak memiliki data sejarah, sehingga dianggapnya kurang bersejarah.

Carita Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh. Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandanggreba dan Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun.

Sang Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerintahannya didaerah Kendan, ia sekaligus bertindak menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Sang Suralim, putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suralim sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suralim tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya.

Sang Suralim memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang Kandiawan kemudian di jadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalan pemerintahannya di Medang Jati.

Menurut buku penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), alasan Kandiawan menetap di Medang Jati sangat terkait dengan keagamaan. Di Kendan waktu itu sudah mulai banyak para penyembah Syiwa, sedangkan ia penyembah Wisnu.

Sang Kandiawan memiliki 5 orang putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya adalah mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan disebabkan berhasil menombak kebowulan, mungkin maksud penulis Carita Parahyangan menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Namun mengingat penulis Carita Parahyangan sangat irit mengisahkan suatu masalah, maka ia ditulis demikian.

Hal yang paling mendekati terhadap masal ini adalah kemungkinan adanya alasan yang terkait dengan masalah keagamaan. Pemegang kekuasaan dalam tradisi kendan biasanya dipegang oleh seorang rajaresi. Dari kelima palaputra Sang Kandiawan yang memenuhi syarat sebagai raja resi hanyalah Wretikandayun.

Tentang keturunan Kandiawan yang diuraikan dalam Cerita Parahyangan, diterjemaahkan oleh Atja (1968) dengan menggunakan bahasa sunda ‘Kiwari’, sebagai berikut :
"Enya kieu Carita Parahiyangan teh, Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.
Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti".

11. Pembentukan Galuh
Menurut Van Deur Meulen, Galuh berasal kata dari Saka Loh, hanya saja lidah orang Banyumas menyebutnya Sagaluh. Demikian pula penggunaan kata untuk suatu daerah, yang banyak menggunakan nama Galuh adalah para penduduk Jawa Tengah bagian barat, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbolinggo), Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Sagaluh (Purwodadi). 

Didalam Babad Banyumas, dijelaskan pula, sebagai berikut :
Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut – Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai.

Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut – Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas.

Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan.

Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.

Galuh dalam versi Banyumasan mungkin tidak mengenal eksistensi Karang Kamulyan – Ciamis, sebagai lokasi Galuh pasca Kendan, sehingga jamannya langsung melompat ke masa Kawali. Jika saja versi Banyumas digunakan sebagai acuan pokok maka sejarah Sunda Terusbawa menjadi hilang dan tidak memiliki hubungan dengan Pajajaran. Dalam hal ini kiranya perlu mempertimbangkan keberadaan Naskah Pararathon Parahyangan dengan Carita Parahyangan, kedua naskah itu lebih fokus membincangkan masalah Galuh (Parahyangan), sehingga runtutan sejarah yang sudah ditemukan dapat dikaji lebih jauh.

Galuh versi Banyumasan tentunya dapat menunjukan keberadaan tungtung Sunda sebagaimana yang ditulis Bujangga Manik, pada abad ke-16, dan lalampahan Banyak Catra di Kerajaan Pasir Luhur.

Galuh dimasa lalu digunakan untuk nama tiga kerajaan yang ada di daerah Jawa Bagian Barat. Pertama Galuh Purba (Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh Lor – Galuh luar) berpusat di daerah Dieng. Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya).

Dalam Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke Karang kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan keagamaan.

Sebagaimana diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara.

Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9) memang sudah kurang wibawanya dimata raja-raja daerah. Masalah ini terus berlanjut hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tida memiliki putra Mahkota, pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan Tarumanagara.

Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura. Keinginannya tersebut diwujudkan dengan cara ia memindahkan dan mengubah Tarumanagara menjadi Sunda, namun ia tidak memperhitungkan akibatnya terhadap negara bawahannya, yang merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan.

Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh.

Dilihat dari masa periodenya, Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni Galuh dapat dibagi menjadi tiga jaman. Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja – Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak – Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas.

______________
Referensi :
-  https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kendan
- https://id.wikipedia.org/wiki/Maha_Guru_Manikmaya
- Sennet, Frank. 2004. Guru Teladan Tahun Ini. Jakarta: Erlangga
- Widya, dharma K. 2009. Sigalovada Sutta.  Jakarta: pengurus pusat wanita Theravada Indonesia.
- Darsa, Dr. Drs. Undang Ahmad M. Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius” - Universitas Padjadjaran". Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 2018-03-21.
- Danasasmita, Saleh  & Anis Djatisunda, 1986. "Kehidupan  Masyarakat Kanekes". Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Depdikbud.
- Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
-Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
-Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
- wikipedia.org/Babad_Banyumas, 24 April 2010
- http://akibalangantrang.blogspot.com/2008/09/asal-mula-galuh.html