Silsilah Leluhur Limbangan Garut: Silsilah Rundayan Raja-raja Galuh, Sunda dan Pajajaran
Padahal sebagaimana tersurat pada Prasasti Batu Tulis Bogor (yang dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533), bahwa Prabu Dewa Niskala adalah putra Maharaja Linggawastu Kancana (antara tahun 1371–1475) dan cucu Maharaja Linggabuana (antara tahun 1350–1357) yang gugur di Bubat. Prabu Susuk Tunggal dan Prabu Dewa Niskala, keduanya adalah putra dari Maharaja Lingga Wastukancana (lain ibu).
Karena Prabu Jaya Dewata menikah dengan saudara misannya, yaitu Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuk Tunggal, maka beliau selain sebagai putra mahkota Galuh juga menjadi Putra Mahkota Kerajaan Sunda di Bogor.
Dengan demikian Prabu Jaya Dewata adalah pewaris dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Galuh - Kawali dan Kerajaan Sunda – Bogor.
Ketika Prabu Jaya Dewata diangkat sebagai Raja Galuh – Kawali, juga beliau sebagai Raja Sunda - Bogor. Saat itulah Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu kembali (Kerajaan Sunda – Galuh ),dimana beliau sebagai rajanya dengan gelar Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi (antara tahun 1482–1521).
Masyarakat Sunda menyebut Kerajaan Sunda – Galuh itu dengan nama Kerajaan Pakuan Pajajaran. Nama Pajajaran sebenarnya adalah nama Keraton di Kerajaan Sunda yang dahulu dibuat kurang lebih 1330 tahun yang lalu oleh Prabu Tarusbawa, menantu Linggawarman (Raja Tarumanagara ke 12 antara tahun 666–669). Prabu Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda pada 670 dan sebagai Raja Galuh Pertama (antara tahun 670–723).
Keraton Pajajaran ini digunakan oleh raja-raja Sunda dan raja-raja Pajajaran, sampai ditinggalkannya oleh Raja-raja Pajajaran terakhir yaitu Prabu Nilakendra dan Prabu Ragamulya, karena ada serbuan dari tentara Banten (tentara Surosowan) yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin dan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf.
Pajajaran sebagai nama kerajaan dimulai pada masa pemerintahan Sang Haliwungan atau Prabu Susuk Tunggal antara tahun 1382–1482.(Yoseph Iskandar : 226 ).
Apabila yang dimaksud Prabu Linggawesi itu pada rundayan tersebut di atas adalah Maharaja Linggabuana atau Sang Mokteng ing Bubat yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh (antara tahun 1350–1357) ayah dari Maharaja Linggawastu (antara tahun 1375–1475), dan Prabu Linggahyang itu Prabu Linggawisesa (antara tahun 1333–1340), apakah mungkin Prabu Linggahiyang (Raja Sunda Galuh antara tahun 1333-1340) putranya Dewi Purbasari dan Sang Manistri Raja Galuh (antara tahun 783–799)?
Urutan rundayan dari Prabu Siliwangi ke atas, memang akan sampai pula ke Dewi Puspasari (dalam cerita Lutung Kasarung namanya adalah Dewi Purbasari) putra dari Ciung Wanara atau Sang Manarah Raja Galuh antara tahun 739–783. Atau juga akan sampai kepada Rahyang Banga Raja Sunda antara tahun 739-766.
Ketika penyusun pada tanggal 20 Pebruari 2006 datang mengunjungi Bapak Drs. H. Jaja Sukarja mantan Kasi Kebudayaan Dikbud Kabupaten Ciamis di rumahnya, setelah kami pulang dari Panjalu Camis, beliau menceritakan Ciamis tempo dulu, di antaranya menjelaskan Sejarah Galuh dan cerita atau dongeng Ciung Wanara dan Lutung Kasarung. Beliau memberikan respons yang positip, bahwa penulis sedang menelusuri leluhur Limbangan khususnya, umumnya leluhur Urang Sunda.
Dewi Purbasari dan Sang Manarah atau Rahyang Banga yang terkenal dalam cerita Pantun Lutung Kasarung dan Ciung Wanara. Menurut beliau Ciung Wanara adalah Raja di Kerajaan Galuh demikian pula Dewi Purbasari, sedangkan Aria Banga atau Rahyang Banga adalah Raja di Kerajaan Sunda. Aki Balangantrang yang tersebut pada Pantun “Ciung Wanara“ menurut Drs. H. Jaja Sukarja dalam buku susunannya “Situs Karangkamulyan“ dan Sejarah Jawa Barat susunan Drs. Joseph Iskandar, namanya adalah Bimaraksa (Patih Galuh) kakek dari Naganingrum ibu dari Sang Manarah atau Ciung Wanara. Bimaraksa adalah putra Jantaka, Raja Resi Wanayasa Bojonggambir atau cucu Wrettikandayun pendiri Kerajaan Galuh di tahun 670. Beliau adalah Eyang buyut dari garis ibu (Naganingrum) Sang Manarah (Ciung Wanara).
Wrettikandayun menurut Sejarah Jawa Barat adalah putra bungsu Sang Kandiawan, Raja Kendan (597–612 M) putra Raja Suraliman Sakti (568–597 M). Raja Suraliman Sakti adalah cucu Raja Suryawarman (Raja Tarumanagara 535–561 M) dan sebagai menantu Raja Kundungga Raja Kutai . (Yoseph Iskandar : 105). Hal ini dibenarkan pula oleh Maharaja Srinala Pradita Alpiansyah Rechza Fachlevie Wangsawarman (Pemangku Adat, Raja Kutai Mulawarman Kalimantan Timur) yang pernah datang ke Padepokan Ki Garut di Kampung Gugunungan Kelurahan Margawati Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut pada tanggal 21 Pebruari 2010.
Raja Suraliman Sakti (antara tahun 568–597) adalah saudara sepupu Rakryan Sancang (lahir 591) putranya Raja Kertawarman (Raja Tarumanagara antara tahun 561–618). Rakryan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan putra Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja Sangara, yang menurut Babad Godog terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci. Berdasarkan urutan Rundayan Silsilah, dari Ciung Wanara atau Sang Manarah (antara tahun 739–793 M) sampai Prabu Linggahiyang (antara tahun 1333-1350), menurut naskah Wangsakerta terhalang lebih kurang 20 generasi, yaitu urutan Raja-raja Galuh, Sunda dan Sunda Galuh.
Apalagi bila dimulai dari Raja-raja Salakanagara kemudian Tarumanagara, yang menurut Naskah Wangsakerta termasuk leluhur Raja-raja Galuh, Sunda, Sunda Galuh dan Pajajaran. Menurut Sejarah Jawa Barat susunan Drs. Yoseph Iskandar, Raja Sanjaya, Raja Sunda Galuh antara tahun 723–732 cicit Wrettikandayun, pendiri Kerajaan Galuh tahun 670 adalah Pendiri Dinasti Sanjaya tahun 723 di Jawa Tangah.
Dan setelah itu barulah berdiri Kerajaan Singosari tahun 1222, Majapahit tahun 1293, Demak tahun 1518, Pajang dan Kesultanan Mataram. Kembali kepada Leluhur Prabu Jaya Dewata (Prabu Sliwangi), hampir semuanya dimulai dari Ratu Galuh., tetapi siapa asal mulanya, kapan awal keberadaannya, bagaimana riwayatnya, bagaimana bahasanya, keyakinannya dan apa saja kekayaan seni budayanya dan sebagainya, pada buku-buku Silsilah tidak disebutkan.
Menurut almarhum Bapak Sobarnas - Ketua Simpay Tresna Garut, hal tersebut disebabkan karena kepentingan Sejarah belum menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat Sunda dalam membuat Sejarah atau Silsilah Leluhurnya, masih lewat cerita Legenda, Babad, Pantun, Wawacan dan sebagainya. Tetapi apabila mengingat kepentingan Kebudayaan Sunda , yang sampai sekarang masih meraba-raba, Sejarah dapat dijadikan landasan yang kuat untuk menentukan Nilai Budaya . (Sobarnas : 53).
Pada pelajaran Sejarah Indonesia di SD dan SMP tahun 60-an, para siswa SD atau SMP di wilayah Pasundan (Jawa Barat), lebih hapal nama-nama Raja Kalingga, Kediri, Janggala, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur daripada nama-nama Raja Tarumanagara, Galuh, Sunda atau Pajajaran, Sultan-sultan Cirebon dan Banten. Atau paling tidak di Jawa Barat hanya mengenal nama Raja Purnawarman (Tarumanagara), Sri Baduga Maharaja dan Raja Samian atau Raja Surawisesa (Pajajaran). Padahal urang Sunda tidak ada bedanya dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Aceh, Minangkabau dan lain-lainnya.
Oleh sebab itu urang Sunda (Jawa Barat, Banten dan Jakarta) sama dengan suku-suku lainnya mempunyai hak Sejarah. Bahkan kerajaan besar di Jawa Timur, yaitu Majapahit dari mulai Raden Wijaya (antara tahun 1293–1299) sampai Brawijaya V atau Prabu Kertabumi (antara tahun 1447–1451) tercantum dalam pelajaran Sejarah Indonesia.
Padahal menurut Joseph Iskandar, Raden Wijaya adalah putra Rahiyang Jayagiri dan cucu dari Prabu Darmasiksa, Raja Sunda Galuh Galunggung antara tahun 1157–1297. Atau mungkin sebagaimana dituturkan oleh kang Aan Merdeka Permana dari Majalah Sunda Ujung Galuh, yang terjemahannya sebagai berkut : “Bila mengikuti kehendak ilmuwan, dimana sejarah itu harus ada bukti arkeologi dan catatan tertulis (prasasti, catatan kuno dan sebagainya), itulah kekurangan “sejarah Sunda“, kekurangan bukti otentik. Untuk ukuran sejarawan / ilmuwan, mungkin dianggapnya bahwa orang Sunda (Jawa Barat – pen.) tidak mempunyai sejarah sebab semuanya hanya dianggap cerita / dongeng. Apakah betul ?" (Ujung Galuh 06/2008 : 4).
Mungkin beberapa puluh tahun sebelum Pangeran Walangsungsang lahir, masyarakat Islam telah menetap dan tinggal membentuk komunitas bersama dengan masyarakat yang lainnnya (KH Rahmat Abdullah-ed.).
Bahkan menurut Pak H. Jaja Sukarja mantan Kasi Kebudayaan Dikbud Ciamis, ada putra Bunisora (saudaranya Maharaja Linggabuana Sang Mokteng ing Bubat), yaitu Bratalegawa yang telah memeluk agama Islam dan menikah dengan wanita Gujarat India (Farhana binti Muhammad).
Bratalegawa adalah seorang saudagar dan setelah menunaikan ibadah haji dengan isterinya, ia mendapat julukan Haji Baharuddin Al Jawi. Menurut Yoseph Iskandar, sebagai haji pertama di Kerajaan Galuh, ia dikenal dengan Nama Haji Purwa Galuh. Walaupun Haji Purwa beserta anak cucunya berbeda agama, ketika Prabu Wastu Kancana menjadi raja, dia tidak memusuhinya. Hubungan kekeluargaan mereka harmonis, sebab Haji Purwa adalah adik sepupunya dan sekaligus kakak ipar Prabu Niskala Wastu Kancana. Yoseph Iskandar : 250). Kalau menurut silsilah, Bratalegawa atau Haji Baharuddin Al Jawi masih termasuk eyang / kakek (aki ti gigir – sd) dari Pangeran Walangsungsang (cucu dari Ratu Mayangsari saudaranya Bratalegawa).
Putranya Pangeran Walangsungsang adalah Nyi Pakungwati yang menikah dengan saudara sepupunya Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dari Ny.Hj. Syarifah Mudaim (Nyimas Rara Santang). Pada tahun 1529 M beliaulah yang memimpin tentara gabungan Cirebon dan Demak ke Kerajaan Maja dan Talaga yang selanjutnya dilanjutkan oleh Fatahillah (menantu Syarif Hidayatullah).
Syarif Abdullah bin Syekh Nurul Alim adalah saudara sepupu Syekh Rahmatullah bin Syekh Ibrahim Al Ghazi (Sunan Ampel), keduanya adalah cucu Syekh Jamaludin Kubro Al Husein. Syarif Hidayatulah yang pada tahun 1479 M menggantikan Pangeran Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang) karena usianya sudah sepuh – pen.
Sebagai Sultan Cirebon dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Menurut salah satu sumber ketika itu kakek beliau (Sri Baduga Maharaja/Prabu Sliwangi) mengirimkan paket kayu jati, yang sekarang masih ada tersimpan di kompleks Gunung Sembung yang dikenal dengan sebutan Balemangu Pajajaran.
Makam Syarif Hidayatullah berada di kompleks permakaman Gunung Sembung Cirebon. Ada wasiat Syarif Hidayatulah (Sunan Gunung Jati) yang ditujukan bagi seuweu siwinya pada khususnya dan umat Islam ada umumnya, yang bunyinya “Ingsun titip tajug lan fakir- miskin“.
Nama Sunan Gunung Jati sering dirancukan dengan Fatahilah menantunya, yang memimpin tentara gabungan Demak dan Cirebon ketika merebut pelabuhan Sunda Kalapa pada tahun 1527 M.
Menurut Silsilah, sebenarnya Fatahillah bukan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, tetapi keduanya ada hubungan kekerabatan. Kakek Syarif Hidayatullah dari ayah ( Syarif Abdullah ), yaitu Syekh Ali Nurul Alim dengan kakek buyut Fatahillah, yaitu Syekh Barkat Jainal Alim masih bersaudara, putra dari Jamaludin Al Kubro (Campa).
Mungkin Raja Sengara setelah bersama-sama berkumpul dengan kakaknya (Prabu Walangsungsang), beliau menjadi murid dari Syekh Dzatul Kahfi pula. Raja Sangara menuntut ilmu Islam dan mengembara hingga ke Timur Tengah. Kemudian menyebarkan agama Islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang atau Sunan Rohmat).
Raden Sangara menurut Sejarah Limbangan atau Sejarah Godog terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat. Raja Sangara inilah yang kelak menjadi penyebar dan pengembang agama Islam di pedalaman wilayah Galuh, yang pusatnya di daerah Godog Suci Karangpawitan Garut, tepatnya di wilayah Keprabuan Galeuh Pakuan Limbangan yang penguasanya masih keturunan dari Sri Baduga Maharaja, yaitu Adipati Liman Senjaya Kusumah atau Sunan Cipancar.
Catatan : Menurut Sejarah Jawa Barat, Nyai Subanglarang adalah saudara sepupu Prabu Jaya Dewata. Beliau adalah putra Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muarajati Cirebon (menggantikan kakaknya Surawijaya Sakti) yang telah memeluk agama Islam. Ki Gedeng Tapa mengirimkan putranya untuk menjadi santri Syekh Quro (Syekh Hasanudin) Karawang.
Ketika itu daerah Karawang, Subang ,Purwakarta dan Majalengka masih termasuk wilayah Kerajaaan Sindangkasih (dibawah Kerajaan Sunda Galuh) yang ketika itu rajanya adalah Maharaja Wastu Kancana (antara tahun 1371–1475) ayah dari kelima putranya, yaitu Prabu Susuk Tunggal, Prabu Dewa Niskala, Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Sindangkasih dan Ki Gedeng Tapa.
Syekh Quro adalah sesepuh pesantren pertama di pesisir Utara wilayah Kerajaan Sunda Galuh tahun 1428 M. Ketika menikah dengan Nyai Subanglarang, Prabu Jaya Dewata masih remaja dengan nama Raden Pamanah Rasa atau Keukeumbingan Raja Sunu.
Adapun guru agama Islam putra-putranya sebagaimana tersebut di atas adalah Syekh Idlofi / Syekh Dzatuk Kahfi / Syekh Nurjati, seorang ulama keturunan Hadramaut yang berasal dari Mekah dan menyebarkan agama Islam di berbagai daerah di Kerajaan Sunda (Jawa Barat) dan selanjutnya menjadi sesepuh Pesantren Pasambangan Gunung Jati Cirebon.
Salah satu cicit Syekh Dzatul Kahfi adalah Pangeran Panjunan (Syekh Abdurahman), cucu Pangeran Panjunan adalah Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) putra Pangeran Muhammad. Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) adalah isteri dari Nyimas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum Sumedanglarang).
Catatan : Prabu Jaya Dewata / Sri Baduga Maharaja / Prabu Siliwangi, memperisteri Ratu Raa Mantri Sumedang Larang putri kesatu Prabu Tirtakusuma (Sunan Patuakan) Raja Sumedang Larang dan Banon Puspita Sari atau Ratu Nurcahya, mempunyai anak salah satunya : Jaka Puspa atau Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Wangi Raja Maja menperisteri Ratu Mayang Karuna putrinya Purwayana Kancana Dewa atau Raden Panglurah.
Dari Sonda Sanjaya atau Santajaya atau Sunan Corendra, Nyimas Patuakan melahirkan seorang putra : Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata atau Dewi Satyasih. Nyimas Ratu Inten Dewata/Ratu Pucuk Umum Sumedang (1530–1578) menikah dengan Pangeran Santri / Pangeran Kusumadinata (keturunan Syekh Dzatul Kahfi).
Menurut catatan Rd. Yusuf Suriadiputra Bupati Ciamis antara tahun 1954–1958 salah satu keturunan Rd. Wirasuta Bupati Karawang Pertama, bahwa Nyi Tanduran Ageung mendapatkan wilayah sebelah Timur alun-alun Ciamis sekarang meliputi Kec. Ciamis, Cijeungjing (Bojong), Rancah, distrik Banjar sampai ke sebelah Selatan.
Dalem Panatayuda V pada tahun 1809 M dipindahan menjadi Bupati Brebes dengan gelar Dalem Singasari Panatayuda I, putranya Rd. Sastrapraja (Demang Karawang) menjalankan pemerintahan Kab. Karawang sampai kekosongan Bupati diisi oleh Dalem Surialaga II (1811 – 1813) putra Dalem Surialaga I (Bupati Sumedang). Sejak tahun 1813–1821 pemerintah tidak mengangkat Bupati di Karawang, dan daerah Karawang dipegang oleh RA Sastradipura. Baru ada tahun 1821 Kabupaten Karawang didirikan kembali sampai dengan sekarang.
Pada tahun 1819 Kawali, Panjalu dan Rancah resmi menjadi wilayah tatar Galuh dengan ibu kota di Ciamis, berada dibawah pemerintahan Bupati Rd. Adipati Adikusumah, 1819–1839. (H. Djadja Sukardja : 35).
Catatan : Setelah Prabu Jaya Dewata / Prabu Siliwangi memindahkan pusat kekuasaanya ke Bogor, Kerajaan Galuh di Kawali diserahkan kepada saudaranya Sang Ningratwangi, sebagai Raja Kawali (1482–1507) kemudian putranya Prabu Jayaningrat (1507–1529) saudara sepupu Prabu Surawisesa (Raja Pakuan Pajajaran 1521–1535).
Ketika tahun 1529 M Kerajaan Galuh (Kawali) dikalahkan oleh tentara gabungan Demak, akhirnya Kerajaan Galuh Kawali dibawah Kesultanan Cirebon. Raja Galuh Kawali atas penunjukkan Syarif Hdayatullah diangkat Pangeran Dungkut putra Prabu Langlangbuana (Raja Kuningan ) menggantkan mertuanya (Prabu Jayaningrat) sebagai Raja Galuh Kawali (1529 – 1575).
Cucu Sunan Wanaperih yaitu Aria Wangsa Goparana putra Sunan Cibinong Wanapeurih (Sunan Ciburang) yang memulai membabat hutan di tempat yang nantinya menjadi cikal bakal Kota Cianjur. Salah seorang putranya, yaitu Dalem Adipati Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) sebagai pendiri Kabupaten Cianjur dan menjadi Bupati pertama Kabupaten Cianjur (1567–1600). Beliaulah yang menurunkan para Bupati Wiratanudatar (Bupati Cianjur), Bogor dan seuweu siwinya.
Salah seorang putra keturunan Dalem Cikundul adalah Rd. Abas putra sulung R.A.A Wiratanudatar VI. Pada tahun 1833, Rd. Abas ini dibawa ke Sumedang dan dibesarkan oleh Pangeran Kornel (Bupati Sumedang 1791–1828), bahkan setelah dewasa ditikahkan dengan keluarganya bernama Nyi Raden Purnama, yaitu putri Tumenggung Kusumadinata (Bupati Limbangan Garut 1833–1834).
Dan selanjutnya ketika Tumenggung Kusumadinata dipindahkan ke Sumedang, maka Raden Abas juga diangkat menjadi Bupati Limbangan Garut mengganti mertuanya dengan gelar Adipati Aria Surianatakusuma (1833–1871).
Dalam buku Sejarah Indonesia, namanya adalah Raja Samian. Beliau adalah Raja Pakuan Pajajaran 1521–1535 menggantikan Sri Baduga Maharaja / Prabu Siliwangi. Pada taun 1533 M, untuk mengenang ayahnya, Prabu Surawisesa membuat Prasasti Batu Tulis Bogor.
Petualangan Prabu Surawisesa, diceritakan dalam cerita Pantun / Wawacan dengan nama Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa Prabu Surawisesa inilah, terjadinya penyerangan ke Banten oleh tentara Gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fatahilah pada tahun 1525.
Prabu Ragamulya telah merasa bahwa Pajajaran akan mulai berakhir, maka Prabu Ragamulya telah mengutus putranya Aji Mantri untuk menyerahkan mahkuta raja kepada Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang. Aji Mantri dikawal 4 patih yaitu Jaya Perkosa, Terongpeot, Sayang Hawu dan Suradijaya.
Pada waktu Prabu Ragamulya Suryakencana inilah Pakuan Pajajaran sirna ing bhumi, pada tanggal 11 bulan Wesa tahun 1501 Saka" bertepatan dengan tanggal 11 Rabiulawal 987 H atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Keraton Pajajaran yang pertama kali dibuat oleh pendiri Kerajaan Sunda, yaitu Tarusbawa sebagaimana telah dijelaskan di atas dan berdiri selama hampir 900 tahun, sekarang tinggal menjadi kenangan wargi-wargi Sunda. (Jawa Barat dan Banten).
Menurut Catatan Silsilah, ada diantara beberapa keturunan Syekh Maulana Hasanudin Banten ada pula yang berbaur dengan Keluarga Besar Sunan Cipancar Limbangan atau Bani Nuryayi atau mungkin sekeseler lainnya di daerah Garut dan sekitarnya, misalnya yaitu Nyi Rd. Syarifah Aisah, isteri dari Kyai Rd. Moh. Aonilah yang terkenal dengan sebutan Mama Serang Cibiuk Limbangan. Atau juga KH Tb. Aliban menantu dari Ny Rd. Dhomah cucu Embah Nuryayi Suci / Nyi Rd. Bathiyah, Cimalaka Wanaraja dan Limbangan. (akan dibahas riwayat dan rundayannya pada bagian lain).
Kakak ipar Syarif Hidayatullah adalah Aria Surajaya putra Surasowan. Pada tahun 1525, keratonnya diduduki oleh tentara gabungan Demak dan Cirebon. Aria Surajaya beserta keluarga dan sebagian pembesar yang masih hidup terpaksa melarikan diri masuk ke dalam hutan lebat untuk menuju Pakuan Bogor. (Yoseph Iskandar : 284).
Untuk menghormati kakeknya, Maulana Hasanudin menggunakan nama Surasowan sebagai nama pasukan Banten, yaitu pasukan Surasowan.
Prabu Sala Langu Layakusumah adalah suami Nyi Buniwangi putri bungsunya Sunan Rumenggong, yang menurunkan Para Raja / Bupati / Dalem Galeuh Pakuan / Limbangan/ Sudalarang / Sumedang / Garut dan seuweu siwinya (Keluarga Besar Limbangan).
Dengan melihat putra-putra Prabu Jaya Dewata / Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi tersebut di atas, maka sebenarnya antara Keluarga Besar Galuh, Karawang, Sukapura, Cirebon, Banten, Bandung, Timbanganten, Limbangan, Garut, Parakanmuncang, Cianjur dll, baik langsung ataupun tidak langsung, masih ada tali kekerabatan diantara mereka.
Sebagai contoh : Rd. H. Muhammad Musa (Hoofz Penghulu Limbangan Garut). Beliau termasuk Keluarga Besar Sunan Cipancar Limbangan dan mungkin pula tercatat pula dalam Rundayan Menak-menak Timbanganen (Tarogong Garut), Panjalu (Ciamis) dan Cianjur. Karena memang demikianlah kenyataannya.
Ibunya Rd. H. Muhamad Musa, yaitu Nyi Rd. Mariyah keturunan Dalem Jiwanagara I (Cinunuk Wanaraja Garut) putra Dalem Tmg. Wijayakusumah dan keturunan Rd. Rajasuta (Limbangan) dan Nyi Rd. Ajeng Karaton (Timbanganten), ayahnya Rd. Rangga Suriadiusumah Patih Limbangan adalah cucu Rd. Jayanagara putra Dalem Secamata Bupati Panjalu dan Nyi Rd Lenggang Nagara putra Rd. Tmg. Natanagara Bupati Bogor, keturunan Dalem Wiratanudatar I atau Dalem Cikundul Cianjur.
Demikian pula tokoh – tokoh ( para Dalem, Bupati, Patih Penghulu dlsb) di Limbangan Garut, Timbanganten, Sukapura, Galuh, Sumedang, Cianjur dan tempat- tempat lainnya di daerah Pasundan. Hal ini dikarenakan antara “wargi-wargi “ Limbangan, Sukapura, Cianjur, Sumedang dlsb. terjalin tali persaudaraan melalui hubungan perkawinan, sejak dahulu, sekarang bahkan mungkin di masa-masa yang akan datang.
Menurut Catatan Dewan Wargi-wargi Sunda tertanggal 8 April 1968, bahwa pada tanggal 7 April 1968 telah diadakan pertemuan silaturahmi “Dewan Wargi-wargi Sunda “ di Panti Karya Bandung. Jumlah yang hadir semuanya ada 76 orang perwakilan dari wargi-wargi Sumedang Sukapura, Galuh, Bandung, Timbanganten, Limbangan, Banten, Parakanmuncang, Cidamar, Cukundul dan Karawang. Ketuanya saat itu adalah RAA Suria Danoeningrat (Bandung).
Keluarga Besar Limbangan (Garut) dan selintas Riwayat/Rundayan Timbanganten, yang penulis susun mudah-mudahan jadi obor penerang bagi seuweu siwi Limbangan Garut ( termasuk Timbanganten) khususnya dan seuweu siwi Sunda ( Jawa Barat dan Banten ) yang masih kegelapan, mudah-mudahan tersingkap dan menjadi pembuka pintu untuk meneliti Sejarah/Rundayannya.
Ada nasehat dari alm. Bapak Sobarnas (Ketua Simpay Tresna Garut) dalam bahasa Sunda sebagai berikut : “ …Bumi muntir, jaman robah, atuh Kabudayaan urang Sunda oge milu robah, ngindung ka waktu mibapa ka jaman, hususna di widang Sajarah tina sawangan sastra (babad, dongeng, carita pantun, carita rayat – pen) sing ngajaul kana sawangan sajarah sacara ilmiah, sangkan sajarah Tatar Sunda henteu terus-terusan poek peteng. Pesek “ falsafah, siloka, perlambangna “. Anu heubeul pikeun eunteung (neuleuman sajarah ngan ku sawangan sastra – babad – sasakala – dongeng). Ayeuna garapeun (cing urang sasarengan kokoreh bukti sajarah sacara ilmiah). …Bral miang sing panjang natar lalakon kasmaran picaritaeun. Prak rumat budaya urang, sangkan ngajega nepi ka jaga “ (Sobarnas : 2).
Post a Comment