Silsilah Leluhur Limbangan Garut: Silsilah Rundayan Raja-raja Galuh, Sunda dan Pajajaran

Silsilah Rundayan Raja-raja Galuh, Sunda dan Pajajaran 
Pada Rundayan Silsilah Asal Usul Limbangan, Catatan Silsilah Cinunuk Hilir (Wanaraja Garut), Silsilah Menak-menak Limbangan, Sejarah Cikundul Cianjur, Cirebon, Kuningan, Panjalu, Galuh Kertabumi, Ciamis, Banten, atau yang lain-lainnya, semuanya selalu mencantumkan nama Prabu Siliwangi sebagai salah satu leluhurnya. Misalnya rundayan menurut versi Sajarah Cirebon susunan Rd. Sastrapraja mulai dari Ciung Wanara sampai dengan Prabu Siliwangi, urutannya adalah sebagai berikut : 
1. Ciung Wanara 
2. Dewi Purbasari 
3. Prabu Linggahiyang 
4. Prabu Linggawesi 
5. Prabu Wastu 
6. Prabu Susuk Tunggal 
7. Prabu Anggalarang 
8. Prabu Siliwangi 

Rundayan menurut Sajarah Silsilah Asal Usul Limbangan, urutannya sebagai berikut : 
1. Ciung Wanara 
2. Kidang Kancana / Manisri
3. Linggahiyang 
4. Linggawesi 
5. Prabu Linggawastu 
6. Prabu Susuk Tunggal 
7. Prabu Anggalarang 
8. Prabu Siliwangi 
Menurut kedua naskah tersebut, Prabu Anggalarang sebutan dalam pantun bagi Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh di Kawali antara tahun 1475–1482) adalah putra Prabu Susuk Tunggal (Raja Sunda di Bogor 1382–1482). 

Padahal sebagaimana tersurat pada Prasasti Batu Tulis Bogor (yang dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533), bahwa Prabu Dewa Niskala adalah putra Maharaja Linggawastu Kancana (antara tahun 1371–1475) dan cucu Maharaja Linggabuana (antara tahun 1350–1357) yang gugur di Bubat. Prabu Susuk Tunggal dan Prabu Dewa Niskala, keduanya adalah putra dari Maharaja Lingga Wastukancana (lain ibu). 

Karena Prabu Jaya Dewata menikah dengan saudara misannya, yaitu Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuk Tunggal, maka beliau selain sebagai putra mahkota Galuh juga menjadi Putra Mahkota Kerajaan Sunda di Bogor. 

Dengan demikian Prabu Jaya Dewata adalah pewaris dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Galuh - Kawali dan Kerajaan Sunda – Bogor. 

Ketika Prabu Jaya Dewata diangkat sebagai Raja Galuh – Kawali, juga beliau sebagai Raja Sunda - Bogor. Saat itulah Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu kembali (Kerajaan Sunda – Galuh ),dimana beliau sebagai rajanya dengan gelar Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi (antara tahun 1482–1521). 

Masyarakat Sunda menyebut Kerajaan Sunda – Galuh itu dengan nama Kerajaan Pakuan Pajajaran. Nama Pajajaran sebenarnya adalah nama Keraton di Kerajaan Sunda yang dahulu dibuat kurang lebih 1330 tahun yang lalu oleh Prabu Tarusbawa, menantu Linggawarman (Raja Tarumanagara ke 12 antara tahun 666–669).  Prabu Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda pada 670  dan sebagai Raja Galuh Pertama (antara tahun 670–723). 

Keraton Pajajaran ini digunakan oleh raja-raja Sunda dan raja-raja Pajajaran, sampai ditinggalkannya oleh Raja-raja Pajajaran terakhir yaitu Prabu Nilakendra dan Prabu Ragamulya, karena ada serbuan dari tentara Banten (tentara Surosowan) yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin dan dilanjutkan oleh Maulana Yusuf. 

Pajajaran sebagai nama kerajaan dimulai pada masa pemerintahan Sang Haliwungan atau Prabu Susuk Tunggal antara tahun 1382–1482.(Yoseph Iskandar : 226 ). 

Apabila yang dimaksud Prabu Linggawesi itu pada rundayan tersebut di atas adalah Maharaja Linggabuana atau Sang Mokteng ing Bubat yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh (antara tahun 1350–1357) ayah dari Maharaja Linggawastu  (antara tahun 1375–1475), dan Prabu Linggahyang itu Prabu Linggawisesa (antara tahun 1333–1340), apakah mungkin Prabu Linggahiyang (Raja Sunda Galuh antara tahun  1333-1340) putranya Dewi Purbasari dan Sang Manistri Raja Galuh (antara tahun 783–799)? 

Urutan rundayan dari Prabu Siliwangi ke atas, memang akan sampai pula ke Dewi Puspasari (dalam cerita Lutung Kasarung namanya adalah Dewi Purbasari) putra dari Ciung Wanara atau Sang Manarah Raja Galuh antara tahun 739–783. Atau juga akan sampai kepada Rahyang Banga Raja Sunda antara tahun 739-766. 

Ketika penyusun pada tanggal 20 Pebruari 2006 datang mengunjungi Bapak Drs. H. Jaja Sukarja  mantan Kasi Kebudayaan Dikbud Kabupaten Ciamis di rumahnya, setelah kami pulang dari Panjalu Camis, beliau menceritakan Ciamis tempo dulu, di antaranya menjelaskan Sejarah Galuh dan cerita atau dongeng Ciung Wanara dan Lutung Kasarung.  Beliau memberikan respons yang positip, bahwa penulis sedang menelusuri leluhur Limbangan khususnya, umumnya leluhur Urang Sunda.

Dewi Purbasari dan Sang Manarah atau Rahyang Banga yang terkenal dalam cerita Pantun Lutung Kasarung dan Ciung Wanara.  Menurut beliau Ciung Wanara adalah Raja di Kerajaan Galuh demikian pula Dewi Purbasari, sedangkan Aria Banga atau Rahyang Banga adalah Raja di Kerajaan Sunda. Aki Balangantrang yang tersebut pada Pantun “Ciung Wanara“ menurut Drs. H. Jaja Sukarja dalam buku susunannya “Situs Karangkamulyan“ dan Sejarah Jawa Barat susunan Drs. Joseph Iskandar, namanya adalah Bimaraksa (Patih Galuh) kakek dari Naganingrum ibu dari Sang Manarah atau Ciung Wanara. Bimaraksa adalah putra Jantaka, Raja Resi Wanayasa Bojonggambir atau cucu Wrettikandayun pendiri Kerajaan Galuh di tahun 670. Beliau adalah Eyang buyut dari garis ibu (Naganingrum) Sang Manarah (Ciung Wanara).

Wrettikandayun menurut Sejarah Jawa Barat adalah putra bungsu Sang Kandiawan, Raja Kendan (597–612 M) putra Raja Suraliman Sakti (568–597 M). Raja Suraliman Sakti adalah cucu Raja Suryawarman (Raja Tarumanagara 535–561 M) dan sebagai menantu Raja Kundungga  Raja Kutai . (Yoseph Iskandar : 105). Hal ini dibenarkan pula oleh Maharaja Srinala Pradita Alpiansyah Rechza Fachlevie Wangsawarman (Pemangku Adat, Raja Kutai Mulawarman Kalimantan Timur) yang pernah datang ke Padepokan Ki Garut di Kampung Gugunungan Kelurahan Margawati Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut pada tanggal 21 Pebruari 2010. 

Raja Suraliman Sakti (antara tahun 568–597) adalah saudara sepupu Rakryan Sancang (lahir 591) putranya Raja Kertawarman (Raja Tarumanagara antara tahun 561–618).  Rakryan Sancang inilah yang sering dirancukan dengan putra Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja Sangara, yang menurut Babad Godog terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci. Berdasarkan urutan Rundayan Silsilah, dari Ciung Wanara atau Sang Manarah (antara tahun 739–793 M) sampai Prabu Linggahiyang (antara tahun 1333-1350), menurut naskah Wangsakerta terhalang lebih kurang 20 generasi, yaitu urutan Raja-raja Galuh, Sunda dan Sunda Galuh. 

Apalagi bila dimulai dari Raja-raja Salakanagara kemudian Tarumanagara, yang menurut Naskah Wangsakerta termasuk leluhur Raja-raja Galuh, Sunda, Sunda Galuh dan Pajajaran. Menurut Sejarah Jawa Barat susunan Drs. Yoseph Iskandar, Raja Sanjaya, Raja Sunda Galuh antara tahun 723–732 cicit Wrettikandayun, pendiri Kerajaan Galuh tahun 670 adalah Pendiri Dinasti Sanjaya tahun 723 di Jawa Tangah. 

Dari Putri Sudiwara putra Dewasinga (Kalingga Selatan), Raja Sanjaya menurunkan Raja-Raja Kalingga Utara (Bumi Mataram), antara lain : 
1. Rakai Panangkaran (antara tahun 754–782) putra Sanjaya. 
2. Rakai Balitung (antara tahun 898–910) keturunan Sanjaya. 
3. Rakai Wawa (antara tahun 924–929) menantu Rakai Balitung (Drs. Yoseph Iskandar : 326). 

Raja-raja Mataram Jawa Timur, yaitu : 
1. Mpu Sindok (antara tahun 939–947) menantu Rakai Wawa
2. Sri Isana Tunggawijaya (antara tahun 947–967) putra Mpu Sindok, ibunya keturunan Sanjaya.
3. Makutawangsawardana (antara tahun 967–991) putra Sri Isana Tunggawijaya. 
4. Airlangga (antara tahun 1016–1042) putra Mahendradata cucu Sri Isana Tunggawijaya dan ayahnya adalah Prabu Udayana dari Bali (Drs. Yoseph Iskandar : 326 ). 

Raja-raja yang pernah berkuasa di Karajaan Mataram, Kediri Jawa Timur adalah sebagai berikut : *) 
1. Sri Jayawarsa (antara tahun1104–1115) putra menantu Airlangga, Samarotsaha Kamakesana (Janggala antara tahun 1049–1104)
2. Sri Kameswara I (antara tahun 1115 – 1130) putra Sri Jayawarsa. 
3. Sri Jayabaya (antara tahun 1130–1160) putra Sri Kameswara I. 
4. Sri Sarweswara (antara tahun 1160–1171) putra Sri Jayabaya. 
5. Sri Aryeswara (antara tahun 1171–1181) putra Sri Sarweswara (Dalam wawacan beliau terkenal dengan nama  Angling Darma )
6. Sri Gandra (antara tahun 1181–1185) putra Sri Aryeswara. 
7. Sri Kameswara II (antara tahun 1185–1194) putra Sri Gandra 
8. Sri Sarweswawa II (antara tahun 1194–1200) putra Sri Kameswara II. 
9. Sri Kertajaya (antara tahun 1200–1222) putra Sri Sarweswara II, Raja Kediri terakhir. (Drs. Yoseph Iskandar : 327). 
Keterangan : *) Dalam cerita kentrungan, yaitu cerita tradisional klasik orang Jawa Timur, disebutkan bahwa Kerajaan Galuh Besar dari tatar Sunda (yaitu sebelum Galuh dibagi dua, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh ), kekuasannya sampai ke wilayah Timur. Jawa Tmur juga termasuk Galuh. Di daerah Surabaya ada nama kampung Galuhan. Orang Galuhan (Surabaya) sampai sekarang tetap mengaku bahwa leluhur mereka dari Galuh Tatar Sunda. (Ujung Galuh 7 : 54 ). 

Dan setelah itu barulah berdiri Kerajaan Singosari tahun 1222, Majapahit tahun 1293, Demak tahun 1518, Pajang dan Kesultanan Mataram. Kembali kepada Leluhur Prabu Jaya Dewata (Prabu Sliwangi), hampir semuanya dimulai dari Ratu Galuh., tetapi siapa asal mulanya, kapan awal keberadaannya, bagaimana riwayatnya, bagaimana bahasanya, keyakinannya dan apa saja kekayaan seni budayanya dan sebagainya, pada buku-buku Silsilah tidak disebutkan. 

Menurut almarhum Bapak Sobarnas - Ketua Simpay Tresna Garut, hal tersebut disebabkan karena kepentingan Sejarah belum menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat Sunda dalam membuat Sejarah atau Silsilah Leluhurnya, masih lewat cerita Legenda, Babad, Pantun, Wawacan dan sebagainya. Tetapi apabila mengingat kepentingan Kebudayaan Sunda , yang sampai sekarang masih meraba-raba, Sejarah dapat dijadikan landasan yang kuat untuk menentukan Nilai Budaya . (Sobarnas : 53). 

Pada pelajaran Sejarah Indonesia di SD dan SMP tahun 60-an, para siswa SD atau SMP di wilayah Pasundan (Jawa Barat), lebih hapal nama-nama Raja Kalingga, Kediri, Janggala, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur daripada nama-nama Raja Tarumanagara, Galuh, Sunda atau Pajajaran, Sultan-sultan Cirebon dan Banten. Atau paling tidak di Jawa Barat hanya mengenal nama Raja Purnawarman (Tarumanagara), Sri Baduga Maharaja dan Raja Samian atau Raja Surawisesa (Pajajaran). Padahal urang Sunda  tidak ada bedanya dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Aceh, Minangkabau dan lain-lainnya.

Oleh sebab itu urang Sunda (Jawa Barat, Banten dan Jakarta) sama dengan suku-suku lainnya mempunyai hak Sejarah. Bahkan kerajaan besar di Jawa Timur, yaitu Majapahit dari mulai Raden Wijaya (antara tahun 1293–1299) sampai Brawijaya V atau Prabu Kertabumi (antara tahun 1447–1451) tercantum dalam pelajaran Sejarah Indonesia. 

Padahal menurut Joseph Iskandar, Raden Wijaya adalah putra Rahiyang Jayagiri dan cucu dari Prabu Darmasiksa, Raja Sunda Galuh Galunggung  antara tahun 1157–1297. Atau mungkin sebagaimana dituturkan oleh kang Aan Merdeka Permana dari Majalah Sunda Ujung Galuh, yang terjemahannya sebagai berkut : “Bila mengikuti kehendak ilmuwan, dimana sejarah itu harus ada bukti arkeologi dan catatan tertulis (prasasti, catatan kuno dan sebagainya), itulah kekurangan “sejarah Sunda“, kekurangan bukti otentik. Untuk ukuran sejarawan / ilmuwan, mungkin dianggapnya bahwa orang Sunda (Jawa Barat – pen.) tidak mempunyai sejarah sebab semuanya hanya dianggap cerita / dongeng. Apakah betul ?"  (Ujung Galuh 06/2008 : 4). 


Seuweu-Siwi Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi)
Adapun putra-putri Prabu Jaya Dewata / Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi yang menurunkan seuweu siwi Keluarga Besar Cirebon, Banten. Galuh, Karawang, Limbangan (Garut), Cianjur (Cikundul), Bandung Timbanganten dsb, sebagaimana tercatat dalam buku Sejarah Jawa Barat/ Sejarah Cirebon – Banten / Sejaran Timbanganten / Sejarah Panjalu – Ciamis, Sejarah Limbangan, Sejarah Karawang dll diantaranya sebagai berikut : 

1. Pangeran Walangsungsang / Pangeran Cakrabuana (lahir tahun 1423)
Pangeran Cakrabuana adalah pendiri dan Raja Caruban Larang (antara tahun 1456–1479) dengan diberi gelar oleh ayahnya “Sri Mangana“.  Banyak sejarawan mengatakan bahwa, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Cirebon, Demak dan Banten) adalah juga tanda masuknya Islam ke tanah Jawa. Padahal Kesultanan Cirebon, bagaimana mungkin terbentuk tiba-tiba, tanpa menyiapkan basis sosial masyarakat muslim yang telah mengakar dan tersebar di sepanjang pesisir Utara wilayah Cirebon.

Mungkin beberapa puluh tahun sebelum Pangeran Walangsungsang lahir, masyarakat Islam telah menetap dan tinggal membentuk komunitas bersama dengan masyarakat yang lainnnya (KH Rahmat Abdullah-ed.). 

Bahkan menurut Pak H. Jaja Sukarja mantan Kasi Kebudayaan Dikbud Ciamis, ada putra Bunisora (saudaranya Maharaja Linggabuana Sang Mokteng ing Bubat), yaitu Bratalegawa yang telah memeluk agama Islam dan menikah dengan wanita Gujarat India (Farhana binti Muhammad). 

Bratalegawa adalah seorang saudagar dan setelah menunaikan ibadah haji dengan isterinya, ia mendapat julukan Haji Baharuddin Al Jawi. Menurut Yoseph Iskandar, sebagai haji pertama di Kerajaan Galuh, ia dikenal dengan Nama Haji Purwa Galuh. Walaupun Haji Purwa beserta anak cucunya berbeda agama, ketika Prabu Wastu Kancana menjadi raja, dia tidak memusuhinya. Hubungan kekeluargaan mereka harmonis, sebab Haji Purwa adalah adik sepupunya dan sekaligus kakak ipar Prabu Niskala Wastu Kancana.  Yoseph Iskandar : 250). Kalau menurut silsilah, Bratalegawa atau Haji Baharuddin Al Jawi masih termasuk eyang / kakek (aki ti gigir – sd) dari Pangeran Walangsungsang (cucu dari Ratu Mayangsari saudaranya Bratalegawa). 

Putranya Pangeran Walangsungsang adalah Nyi Pakungwati yang menikah dengan saudara sepupunya Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dari Ny.Hj. Syarifah Mudaim (Nyimas Rara Santang). Pada tahun 1529 M beliaulah yang memimpin tentara gabungan Cirebon dan Demak ke Kerajaan Maja dan Talaga yang selanjutnya dilanjutkan oleh Fatahillah (menantu Syarif Hidayatullah). 

2. Syarifah Mudaim / Nyimas Rara Santang, (lahir  tahun 1426)
Syarifah Mudaim adalah saudaranya Pangeran Walangsungsang. Setelah ibunya (Nyai Subanglarang) wafat, bersama kakaknya (Pangeran Walangsungsang) meninggalkan Pakuan pergi ke Cirebon dan menjadi murid Syekh Dzatul Kahfi dan beberapa tahun kemudian pergi bersama kakaknya menunakan ibadah haji ke Mekah. Di kota Suci Mekah kedua kakak beradik itu bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanullah sambil menambah ilmu Agama Islam. Di sinilah terjadi peristiwa penting, yaitu dinikahinya Ratu Rara Santang oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bersama Syarif Abdullah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Pada masa itu Pusat Pemerintahan Islam berada di Istambul Turki. Dan untuk lebih dekat dengan lingkungan, maka Syarif Abdulah mengganti nama Rara Santang dengan nama Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu kemudian dikaruniai dua orang putra, masing-masing Syarif Hidayatulah dan Syarif Nurulllah (Hasan Basyari : 12). 

Syarif Abdullah bin Syekh Nurul Alim adalah saudara sepupu Syekh Rahmatullah bin Syekh Ibrahim Al Ghazi (Sunan Ampel), keduanya adalah cucu Syekh Jamaludin Kubro Al Husein. Syarif Hidayatulah yang pada tahun 1479 M menggantikan Pangeran Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang) karena usianya sudah sepuh – pen.  

Sebagai Sultan Cirebon dengan gelar Susuhunan atau Sunan. Menurut salah satu sumber ketika itu kakek beliau (Sri Baduga Maharaja/Prabu Sliwangi) mengirimkan paket kayu jati, yang sekarang masih ada tersimpan di kompleks Gunung Sembung yang dikenal dengan sebutan Balemangu Pajajaran. 

Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon antara tahun 1482–1552) adalah yang menurunkan para Sultan Cirebon dan seweu-siwinya. Para Sultan Cirebon, sejak Syarif Hidayat sebagai berikut : 
1. Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati (antara tahun 1482–1552) 
2. Moch. Arifin / Pangeran Pasarean (antara tahun 1552–1555 M) 
3. Pangeran Sawarga / Aria Kamuning / Dipati Cirebon
4. Panembahan Ratu 
5. Pangeran Made Gayam 
6. Pangeran Adiningkusumah / Pangeran Girilaya 
7. Pangeran Martawijaya / Raja Syamsudin / Kasepuhan, putra no.  6 
8. Pangeran Kertawijaya / Raja Badrudin / Kanoman, putra no. 6 
9. Pangeran Wangsakerta, putra no. 6 , lain ibu dengan no. 7 dan no. 8 

Makam Syarif Hidayatullah berada di kompleks permakaman Gunung Sembung Cirebon. Ada wasiat Syarif Hidayatulah (Sunan Gunung Jati) yang ditujukan bagi seuweu siwinya pada khususnya dan umat Islam ada umumnya, yang bunyinya “Ingsun titip tajug lan fakir- miskin“. 

Nama Sunan Gunung Jati sering dirancukan dengan Fatahilah menantunya, yang memimpin tentara gabungan Demak dan Cirebon ketika merebut pelabuhan Sunda Kalapa pada tahun 1527 M.

Menurut Silsilah, sebenarnya Fatahillah bukan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, tetapi keduanya ada hubungan kekerabatan. Kakek Syarif Hidayatullah dari ayah ( Syarif Abdullah ), yaitu Syekh Ali Nurul Alim dengan kakek buyut Fatahillah, yaitu Syekh Barkat Jainal Alim masih bersaudara, putra dari Jamaludin Al Kubro (Campa).

3. Raden Sangara (lahir tahun 1428)
Menurut Sejarah Cirebon, beliau datang ke Cirebon bersama dengan ayahnya (Prabu Jaya Dewata) ketika memberikan gelar “Sri Mangana“ kepada kakaknya (Pangeran Cakrabuana) sebagai Raja Caruban Larang.

Mungkin Raja Sengara setelah bersama-sama berkumpul dengan kakaknya (Prabu Walangsungsang), beliau menjadi murid dari Syekh Dzatul Kahfi pula. Raja Sangara menuntut ilmu Islam dan mengembara hingga ke Timur Tengah. Kemudian menyebarkan agama Islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang atau Sunan Rohmat).

Raden Sangara menurut Sejarah Limbangan atau Sejarah Godog terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat. Raja Sangara inilah yang kelak menjadi penyebar dan pengembang agama Islam di pedalaman wilayah Galuh, yang pusatnya di daerah Godog Suci Karangpawitan Garut, tepatnya di wilayah Keprabuan Galeuh Pakuan Limbangan yang penguasanya masih keturunan dari Sri Baduga Maharaja, yaitu Adipati Liman Senjaya Kusumah atau Sunan Cipancar.

Catatan : Menurut Sejarah Jawa Barat, Nyai Subanglarang adalah saudara sepupu Prabu Jaya Dewata. Beliau adalah putra Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muarajati Cirebon (menggantikan kakaknya Surawijaya Sakti) yang telah memeluk agama Islam. Ki Gedeng Tapa mengirimkan putranya untuk menjadi santri Syekh Quro (Syekh Hasanudin) Karawang.

Ketika itu daerah Karawang, Subang ,Purwakarta dan Majalengka masih termasuk wilayah Kerajaaan Sindangkasih (dibawah Kerajaan Sunda Galuh) yang ketika itu rajanya adalah Maharaja Wastu Kancana (antara tahun 1371–1475) ayah dari kelima putranya, yaitu Prabu Susuk Tunggal, Prabu Dewa Niskala, Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Sindangkasih dan Ki Gedeng Tapa.

Syekh Quro adalah sesepuh pesantren pertama di pesisir Utara wilayah Kerajaan Sunda Galuh tahun 1428 M. Ketika menikah dengan Nyai Subanglarang, Prabu Jaya Dewata masih remaja dengan nama Raden Pamanah Rasa atau Keukeumbingan Raja Sunu.

Adapun guru agama Islam  putra-putranya sebagaimana tersebut di atas adalah Syekh Idlofi / Syekh Dzatuk Kahfi / Syekh Nurjati, seorang ulama keturunan Hadramaut yang berasal dari Mekah dan menyebarkan agama Islam di berbagai daerah di Kerajaan Sunda (Jawa Barat) dan selanjutnya menjadi sesepuh Pesantren Pasambangan Gunung Jati Cirebon.

Salah satu cicit Syekh Dzatul Kahfi adalah Pangeran Panjunan (Syekh Abdurahman), cucu Pangeran Panjunan adalah Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) putra Pangeran Muhammad.  Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) adalah isteri dari Nyimas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum Sumedanglarang).

Dari Nyimas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum Sumedanglarang), Pangeran Santri dikaruniai 6 orang putra, diantaranya yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun).
2. Santowan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden, Pamanukan dan Subang dll
Dari garis ibu dan neneknya Prabu Geusan Ulun adalah keturunan Bimaraksa (Patih Galuh) atau Aki Balangantrang yang menurunkan putra Prabu Guru Aji Putih, yang rundayaannya sebagai berikut :
1. Prabu Guru Aji Putih - Kerajaan Tembong Agung – Darmaraja
2. Prabu Tajimalela / Prabu Agung Resi Cakrabuana
3. Prabu Gajah Agung 
4. Wirajaya  / Sunan Pagulingan
5. Sunan Guling / Mentalaya
6. Sunan Tuakan / Tirtakusumah
7. Nyimas Ratu Isteri Patuakan antara tahun 1450 – 1530, isteri  Santaa Jaya atau Sunan Corenda
8. Nyimas Ratu Inten Dewata / Dewi Setyasih/ Ratu Pucuk Umum antara tahun 1530–1578, isteri Pangeran Santri.
8. Prabu Geusan Ulun
Dari kakeknya garis ibu Prabu Geusan Ulun adalah keturunan Maharaja Linggabuana, Raja Sunda Galuh, yang rundayaannya sebagai berikut :
1. Lingga Buana / Prabu Wangi (antara tahun 1350-1357)
2. Niskala Wastu Kencana (antara tahun 1357-1475)
3. Prabu Dewa Niskala / Ningrat Kencana (antara tahun 1475-1486)
4. Prabu Jaya Dewata . Prabu Siliwangi) dan Ratu Rajamantri Sumedang Larang (antara tahun 1482-1521)
5. Jaka Puspa / Prabu Munding Sari Ageung / Prabu Munding Wangi dan Ratu Mayang Karuna putrinya Purwayana Kancana Dewa atau Raden Panglurah
6. Sonda Sanjaya / Santa Jaya / Sunan Corenda, suami Nyimas Ratu Isteri Patuakan
7. Nyimas Ratu Inten Dewata/Dewi Setyasih / Ratu Pucuk Umum antara tahun 1530–1578, isteri Pangeran Santri.
8. Prabu Geusan Ulun

Dari garis laki-laki Prabu Geusan Ulun adalah keturunan Syekh Dzatul Kahfi, yang rundayaannya sebagai berikut :
1. Syekh Dzatul Kahfi
2. Pangeran Panjunan (Syekh Abdurahman)
3. Pangeran Muhammad
4. Pangeran Kusumadinata / Pangeran Santri, suami Nyimas Dewi Inten Dewata (Ratu Pucuk Umum Sumedang)
5. Prabu Geusan Ulun
Kelak keturunan Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun (Raja Sumedanglarang 1578 – 1601 M) secara turun temurun menjadi para Bupati Sumedang, yaitu :
1. Pangeran Aria Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I (1601–1625). Anak Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya. * )
2. Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633) putra Prabu Geusan Ulun
3. Raden Bagus Weruh Kusumadinata / Pangeran Rangga Gempol II (1633–1656)
4. Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan (1656–1705)
5. Dalem Adipati Tanumaja (1705–1709) mertua Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan ke 3 1740 – 1744 M)..
6. Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (1709–1744)
7. Dalem Istri Rajaningrat (1744–1759) isteri saudara sepupunya Dalem Surianagara I (putra Dalem Wangsadita I Bupati Limbangan ke 3).
8. Dalem Adipati Kusumadinata / Dalem Anom (1759–1761) putra no. 7.
9. Dalem Adipati Surianagara II ( 1761–1765 ) putra no. 7.
10. Dalem Adipati Surialaga I / Dalem Panungtung ( 1765–1773 ) putra no. 7.
11. Dalem Adipati Tanubaya (1773–1775) asal Parakanmuncang.
12. Dalem Adipati Patrakusumah (1776–1789) menantu no. 11
13. Dalem Aria Sacapati (1789 – 1791).
14. Rd. Jamu / Pangeran Kusumadinata/Pangeran Kornel (1791–1828) putra no. 9.
15. Dalem Adipati Kusumahyuda I /Dalem Ageung (1828–1833)
16. Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit (1833–1834) putra Dalem Adipati Adiwijaya (Bupati Limbangan Garut 1813–1833), atau cucu no. 14.
17. Rd. Tumenggung Suriadilaga/Dalem Sindangraja (1834–1836)
18. Rd. Somanagara/ Pangeran Suriakusumah Adinata/ Pangeran Sugih (1836 – 1882) putra no. 15.
19. Pangeran Aria Suriaatmaja/Pangeran Mekah (1882–1919) putra no. 18
20. dst.
*) Pangeran Rangga Gempol I / Raden Aria Suradiwangsa adalah mertua Pangeran Kusumadiningrat leluhur Dalem Wirawangsa (Bupati Sukapura) dan juga mertua Raden Panji Aria Nagara (Bupati Imbanagara)
Adapun Nyi Rd. Rajanagara, kakaknya Pangeran Karuhun / Kusumadinata putra Dalem Tanumaja menikah dengan Dalem Wangsadita I (Bupati Limbangan ke 3 antara tahun 1740–1744) mempunyai putra Dalem Surianagara I (yang menurunkan para Bupati Sumedang sebagaimana tsb. di atas), Wangsadita II dan saudara-saudara yang menurunkan para Bupati Limbangan) (Riwayat dan Rundayan Dalem Wangsadita I lihat di bawah ).


4. Prabu Munding Surya Ageung (Raja Maja)
Menurut Sejarah Prabu Munding Surya Ageung atau Prabu Munding Wangi adalah ayah dari Rd. Rangga Mantri / Prabu Parunggangsa (Raja Maja terakhir).  Rd. Rangga Mantri selanjutnya menikah dengan Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung Talaga antara tahun 1456–1561) putrinya Batara Sakawayana / Sunan Parung (Raja Talaga 1406-1456) dan akhirnya merangkap sebagai Raja Talaga terakhir. Diislamkan oleh Syarif Hidayatullah tahun 1529.  Rd. Rangga Nantri / Parunggangsa diberi julukan  Pucuk Umum Talaga.

Catatan : Prabu Jaya Dewata / Sri Baduga Maharaja / Prabu Siliwangi, memperisteri Ratu Raa Mantri Sumedang Larang putri kesatu Prabu Tirtakusuma (Sunan Patuakan) Raja Sumedang Larang dan Banon Puspita Sari atau Ratu Nurcahya, mempunyai anak salah satunya : Jaka Puspa atau Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Wangi Raja Maja menperisteri Ratu Mayang Karuna putrinya Purwayana Kancana Dewa atau Raden Panglurah. 

Dari Pernikahahan Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Wangi  dan  Ratu Mayang Karuna, mempunyai dua orang anak yaitu : 
1. Sonda Sanjaya atau Santajaya atau Sunan Corendra, yang memperisteri Ratu Patuakan atau Ratu Sintawati putri ke dua Prabu Tirtakusuma (Sunan Patuakan) Raja Sumedang dan Banon Puspita Sari atau Ratu Nurcahya.
2. Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum Talaga, yang memperisteri Ratu Sunia Larang putrinya putrinya Batara Sakawayana / Sunan Parung (Raja Talaga 1406-1456)

Dari Sonda Sanjaya atau Santajaya atau Sunan Corendra, Nyimas Patuakan melahirkan seorang putra : Nyimas Ratu Dewi Inten Dewata atau Dewi Satyasih. Nyimas Ratu Inten Dewata/Ratu Pucuk Umum Sumedang (1530–1578) menikah dengan Pangeran Santri / Pangeran Kusumadinata (keturunan Syekh Dzatul Kahfi).

4.1. Rd. Rangga Mantri (antara tahun 1514–1534) mempunyai anak, yaitu :
4.1.1. Prabu Haur Kuning (menurunkan para bupati Ciamis) 
4.1.2. Sunan Wanaperih 
4.1.3. Dalem Lumaju (Maja) 
4.1.4. Dalem Umbuluar Santoan Singandaru 
4.1.5. Dalem Panungtun (Girl lawungan)
4.1.6. Dalem Panaekan 

4.1.1. Prabu Haur Kuning adalah Pendiri Kerajaan Galuh Pangauban. beliau mempunyai 3 orang putra, yaitu :
4.1.1.1 Maha Raja Upama, menggantikan ayahnya sebagai Raja Galuh Pangauban di Putra Pinggan.
4.1.1.2 Maha Raja Cipta Sanghiang menjadi raja di Galuh Salawe (Daerah Cmaragas sekarang). 
4.1.1.3 Sareusepan Agung

4.1.1.2 Maha Raja Cipta Sanghiang, mempunyai 3 orang putra, yaitu :
4.1.1.2.1 Nyi Tanduran Ageung atau disebut Tanduran Gagang
4.1.1.2.2. Cipta Permana 
4.1.1.2.3. Sanghiyang Permana

4.1.1.2.1 Nyi Tanduran Ageung atau disebut Tanduran Gagang
Beliau adalah isteri Pangeran Rangga Permana putranya Prabu Geusan Ulun yang mendirikan Kerajaan Galuh Kertabumi (Raja Galuh Kertabumi antara tahun 1585–1602). 

Menurut catatan Rd. Yusuf Suriadiputra Bupati Ciamis antara tahun 1954–1958 salah satu keturunan Rd. Wirasuta Bupati Karawang Pertama, bahwa Nyi Tanduran Ageung mendapatkan wilayah sebelah Timur alun-alun Ciamis sekarang meliputi Kec. Ciamis, Cijeungjing (Bojong), Rancah, distrik Banjar sampai ke sebelah Selatan.

Pernikahan Nyi Tanduran Ageung dengan Pangeran Rangga Permana atau Prabu Di Muntur  mempunyai 2 orang anak, yaitu :
4.1.1.2.1.1. Maraja Cipta atau Adipati Kertabumi II, beliau adalah mertua Adipati Panaekan (Bupati Nagara Tengah Ciamis).
4.1.1.2.1.2. Rd. Kanduruan Singaperbangsa atau Adipati Kertabumi III
Rd. Kanduruan Singaperbangsa atau Adipati Kertabumi III yang menurunkan para Bupati Galuh Kertabumi / Ciancang, yaitu :
1. Rd. Adipati Singaperbangsa II atau Rd. Pagergunung dan disebut Adipati Kertabumi IV (1618 – 1641), putra Adipati Kertabumi III.
2. Kanduruan Singaperbangsa III / Adipati Kertabumi V  (1641–1654).
3. Rd. Wirasuta disebut Mas Galak atau Kanduruan Singaperbangsa IV (1654–1656), Bupati Galuh Kertabumi terakhir, kemudian pindah ke Karawang menjadi Bupati Karawang 1 dengan gelar Dalem Panatayuda I (1679–1721) putra no. 2. *).
4. Rd. Candramerta (1676–1681) putra no. 3
5. Rd. Jayanagara (1681–1683) putra no. 4
6. Rd. Puspanagara (1683–1685) putra no. 4
7. Panembahan Wargamala (1685–1700)
8. Dalem Candranagara (1700–1714) putra no. 4
9. Nyi Rd. Ayu Rajakusumah, Bupati Istri  (1714–1718) putra no. 8
10. Dalem Kertayana/ Dalem Wiramantri I (1718–1736) suami Nyi Rd. Ayu Rajakusumah.(menantu no. 8)
11. Dalem Wiramantri II (1736–1762 ) putra no. 10
12. Dalem Wiramantri III (1762–1787) putra no. 11
13. Dalem Wiramantri IV (1787–1803) putra no. 12 (Kabupaten Utama).
14. Rd. Demang Wirantaka (1803–1811) putra no. 13 Bupati terakhir
Pada tahun 1811 Kabupaten Utama – Ciamis – Banjar disatukan menjadi satu Kabupaten Ciamis, sampai dengan sekarang.
Keterangan : *). Karena pada tahun 1679 daerah Karawang dijadikan Kabupaten, maka beliau yang menjadi Bupati Karawang Pertama (1679–1721) dengan gelar Dalem Panatayuda I. Beliaulah yang menurunkan para Bupati Karawang sebagai berikut :
1. Dalem Panatayuda II (1721–1732).
2. Dalem Panatayuda III (1732–1752).
3. Rd. Apun Balon /Dalem Panatayuda IV (1752–1783).
4. Rd. Singasari /Dalem Panatayuda V, menantu no. 3  (1783–1809).

Dalem Panatayuda V pada tahun 1809 M dipindahan menjadi Bupati Brebes dengan gelar Dalem Singasari Panatayuda I, putranya Rd. Sastrapraja (Demang Karawang) menjalankan pemerintahan Kab. Karawang sampai kekosongan Bupati diisi oleh Dalem Surialaga II (1811 – 1813) putra Dalem Surialaga I (Bupati Sumedang). Sejak tahun 1813–1821 pemerintah tidak mengangkat Bupati di Karawang, dan daerah Karawang dipegang oleh RA Sastradipura. Baru ada tahun 1821 Kabupaten Karawang didirikan kembali sampai dengan sekarang.

4.1.1.2.2. Cipta Permana bergelar dan diangkat menjadi Prabu Digaluh Salawe Gara Tengah (1596 - 1618), Raja Galuh yang pertama memeluk agama Islam.  Beliau adalah Raja Galuh Kawasen (1595–1615) yang wilayahnya sebelah Barat alun-alun Ciamis sekarang sampai perbatasan Tasikmalaya ditambah Ciancang dan Pasirjeungjing. Beliau tinggal di Nagara Tengah (Ciancang), mempunyai anak :
4.1.1.2.2.1. Adipati Panaekan, mempunyai anak :
4.1.1.2.2.1.1  Dipati Imbanagara atau Ujang Purba  atau Dalem Gegembung (1625-1636), sebagai bupati Nagara Tengah yang menurunkan para Bupati Galuh Imbanagara, yaitu sebagai berikut :
1. Dalem Raden Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar / Rd. Yogaswara (1636-1678), putra Dalem Adipati Imbanagara
2. Dalem Anggapraja (1678–1679) putra no. 1
3. Raden Adipati Angganaya (1679-1693) putra  no. 1 
5. Dalem Sutadinata (1693–1706) putra no, 2
6. Dalem Kusumadinata I (1727–1732)  putra no. 3 
7. Dalem Jagabaya (1732–1751 M)  putra no. 3
8. Dalem Kusumadinata III (1751–1801) putra no. 6
9. Dalem Natadikusumah (1801–1806)  putra no. 7
Setelah Dalem Natadikusumah, selanjutnya sebagai Bupati Galuh Imbanagara terakhir adalah Dalem Surapraja (1806–1811) putra Dalem Soeriapraja I (Rangga Bungsu) Bupati Limbangan ke 5 (1744–1755). 
Menurut Sajarah Limbangan, beliau terkenal dengan sebutan Dalem Imbanagara. Beliau adalah menantu Tmg. Jengpati I (keturunan Sanghiyang Permana).


4.1.1.2.3. Sanghiyang Permana
Sanghiyang Permana meneruskan pemerintah ayahnya di Galuh Salawe.
Menurut Ds. Jaja Sukarja, Sanghiyang Permana dikaruniai 2 orang putra, yaitu :
4.1.1.2.3.1. Sangadipati
Secara turun temurun rundayannya sebagai berikut : Sangadipati – Rd. Tg. Kabolotan – Nyai Gede Kaliangis – Kyai Hameng Jaya – Rd. Tmg. Pamulihan – Rd. Tmg. Panembahan.
Kemudian Rd. Tmg. Panembahan mempunyai 2 orang putra, yaitu :
1. Rd. Tumenggung Wiranagara (Cibodas) 
2. Rd. Tumenggung Jengpati.
Rd. Tumenggung Jengpati I adalah Bupati Camis di Cibitu. Beliau mempunyai 2 orang putra, yaitu : 
1. ………....yang dijadikan isteri Dalem Surapraja putra Dalem Suriapraja I  Bupati Limbangan ke 6, cucu Dalem Wangsadita I Bupati Limbangan ke 3, yang diangkat menjadi Bupati Imbanagara pada tahun 1806–1811, sehingga diberi beliau disebut Dalem Imbanagara. 
2. Penambahan Sutadirana.

4.1.1.2.3.2. Rd. Jakkah (Ciawi)
Petualangan Rd. Jakkah telah disusun dalam bentuk cerita wawacan oleh Rd. Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) pada pertengan abad 19 M. Beliau adalah salah seorang sesepuh di Cinunuk Wanaraja Garut, yang masih keturunan Sunan Cipancar Limbangan.
Catatan : Pada tahun 1811, Kabupaten Galuh Kertabumi, Galuh Imbanagara dan Kabupaten Panjalu digabungkan menjadi Kabupaten Ciamis.


4.1.1.3 Sareusepan Agung
Beliau menjadi Raja Cijulang (Ciamis . Secara turun temurun rundayannya secara berurutan sebagai berikut : Sareupeun Agung – Santowan Kolet – Kiai Gede Utama – Jengpati Jangabaya – Tmg. Jengpati II (Bupati Ciamis di Cibitu) – Tmg. Jengpati III (Bupati Ciamis) – Tmg. Jengpati Wira Utama (Bupati Ciamis).
Tmg. Jengpati Wira Utama mempunyai 3 orang putra, yaitu :
1. Rd. Tmg. Jengpati IV (Bupati Ciamis)
2. Rd. Tmg.Jeng Raya
3. Rd. Tg. Sacakusuma atau Tmg. Wiramantri (Bupati Utama).

Tmg. Jengpati IV mempunyai putra Rd. Tmg. Jengpati V (Bupati Ciamis di Pasirmanggu). Beliau mempunyai 13 orang putra, yaitu :
1. Rd. Tmg. Jayengpati
2. Nyi Rd. Dewi Aliya
3. Rd. Wirakusumah
4. Rd. Kartanagara
5. Rd. Sutanagara
6. Rd. Martanagara
7. Rd. Adipati Sindungmangga
8. Rd. Demang Sumapraja
9. Nyi Rd. Mojadewi
10. Rd. Praja Wijaya
11. Rd. Mangkunagara
12. Nyi Rd. Madu
13. Rd. Nata Dewi

2. Rd. Rangga Gumilang
Rangga Gumilang adalah pendiri Kerajaan Panjalu (1530). Beliaulah yang menurunkan para  Bupati Panjalu.

Para Raja dan  Bupati Panjalu :
1. Rangga Gumilang
2. Lembu Sampulur
3. Prabu Cakradewa (menantu  no. 2)
4. Prabu Boros Ngora
5. Hariang Kuning  (putra no. 4)
6. Hariang Kencana (putra no. 4)
7. Hariang Kuluk Kukunang Teko
8. Dipati Kariang Kanjut Kandali Kancana
9. Dipati Hariang Martabaya
10. Dipati Hariang Kunang Natabaya
11. Aria Sumalah (putra no. 10)
12. Aria Secamata (putra no. 10)
13. Rd. Aria Wirabaya (putra  no.11)
14. Dalem Wirapraja
15. Rd. Prajasasana / Cakranagara I  (putra Rd. Aria Wiradipa, cucu no. 12 )
16. Rd. Cakranagara II
17. Rd. Cakranagara III (Bupati Panjalu terakhir).
Ada cerita Rakyat Panjalu, bahwa Prabu Boros Ngora bertemu dengan Baginda Ali sahabat Nabi dan setelah masuk Islam dia diperintahkan untuk menyebarkan ilmu agama Islam di negerinya dan sebagai kenang-kenangan dia diberi sebilah pedang cis, pakaian kehajian dan segayung air zam-zam. Cerita rakyat seperti ini hampir mirip dengan cerita mengenai Prabu Kian Santang di Godog Suci Karangpawitan Garut  atau Sejarah Duhung di Cinunuk Hilir Wanaraja Garut atau juga Wawacan Gagak Lumayung. Wallohu’alam.

Pada tahun 1819 Kawali, Panjalu dan Rancah resmi menjadi wilayah tatar Galuh dengan ibu kota di Ciamis, berada dibawah pemerintahan Bupati Rd. Adipati Adikusumah, 1819–1839. (H. Djadja Sukardja : 35).

Catatan : Setelah Prabu Jaya Dewata / Prabu Siliwangi memindahkan pusat kekuasaanya ke Bogor, Kerajaan Galuh di Kawali diserahkan kepada saudaranya Sang Ningratwangi, sebagai Raja Kawali (1482–1507) kemudian putranya Prabu Jayaningrat (1507–1529) saudara sepupu Prabu Surawisesa (Raja Pakuan Pajajaran 1521–1535).

Ketika tahun 1529 M Kerajaan Galuh (Kawali) dikalahkan oleh tentara gabungan Demak, akhirnya Kerajaan Galuh Kawali dibawah Kesultanan Cirebon. Raja Galuh Kawali atas penunjukkan Syarif Hdayatullah diangkat Pangeran Dungkut putra Prabu Langlangbuana (Raja Kuningan ) menggantkan mertuanya (Prabu Jayaningrat) sebagai Raja Galuh Kawali (1529 – 1575).

Setelah Pangeran Dungkut yang menurunkan para Raja Kawal / Bupati Kawali sebagai berikut :
1. Pangeran Bangsit / Mas Palembang (1575–1592)
2. Pangeran Mahadikusumah (1592–1643)
3. Pangeran Usman dari Cirebon (1643), menantu no. 2.
4. Dalem Adipati Singacala (1643-1718), menantu no. 3.Bupati Pertama Kawali.
5. Dalem Satia Meta (1718–1745).
6. Rd. Adipati Mangkupraja I (1745–1772).
7. Rd. Adipati Mangkupraja II (1772–1801).
8. Rd. Adipati Mangkuparaja III (1801–1810) Bupati terakhir Kabupaten Kawali.
Pada tahun 1810 M disatukan dengan Kab. Panjalu. (Drs. Jaja Sukarrja : 34 ).


5. Sunan Wanaperih
Sunan Wanaperih adalah yang menggantikan Rd. Ranggamantri sebagai Bupati Talaga terakhir.

Cucu Sunan Wanaperih yaitu Aria Wangsa Goparana putra Sunan Cibinong Wanapeurih (Sunan Ciburang) yang memulai membabat hutan di tempat yang nantinya menjadi cikal bakal Kota Cianjur. Salah seorang putranya, yaitu Dalem Adipati Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) sebagai pendiri Kabupaten Cianjur dan menjadi Bupati pertama Kabupaten Cianjur (1567–1600). Beliaulah yang menurunkan para Bupati Wiratanudatar (Bupati Cianjur), Bogor dan seuweu siwinya.

Salah seorang putra keturunan Dalem Cikundul adalah Rd. Abas putra sulung R.A.A Wiratanudatar VI. Pada tahun 1833, Rd. Abas ini dibawa ke Sumedang dan dibesarkan oleh Pangeran Kornel (Bupati Sumedang 1791–1828), bahkan setelah dewasa ditikahkan dengan keluarganya bernama Nyi Raden Purnama, yaitu putri Tumenggung Kusumadinata (Bupati Limbangan Garut 1833–1834).

Dan selanjutnya ketika Tumenggung Kusumadinata dipindahkan ke Sumedang, maka Raden Abas juga diangkat menjadi Bupati Limbangan Garut mengganti mertuanya dengan gelar Adipati Aria Surianatakusuma (1833–1871).


6. Prabu Surawisesa
Ibunya adalah Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putra Prabu Susuk Tunggal (Raja Sunda Bogor antara tahun 1382–1482),

Dalam buku Sejarah Indonesia, namanya adalah Raja Samian. Beliau adalah Raja Pakuan Pajajaran 1521–1535 menggantikan Sri Baduga Maharaja / Prabu Siliwangi. Pada taun 1533 M, untuk mengenang ayahnya, Prabu Surawisesa membuat Prasasti Batu Tulis Bogor.

Petualangan Prabu Surawisesa, diceritakan dalam cerita Pantun / Wawacan dengan nama Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusumah.

Pada masa Prabu Surawisesa inilah, terjadinya penyerangan ke Banten oleh tentara Gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fatahilah pada tahun 1525.

Setelah beliau wafat secara turun temurun yang memerintah Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah :
1. Dewata Buana (1535–1543)
2. Ratu Sakti (1543–1551)
3. Prabu Nilakendra (1551–1567)
4. Prabu Ragamulya/Suryakancana (1567–1579).
Prabu Ragamulya ini pernah membuat wangsit atau wasiat kepada para ponggawanya dan rakyat Pajajaran yang masih setia, yaitu Wangsit Siliwangi atau Uga Lebak Cawene (Sobarnas : 23).

Prabu Ragamulya telah merasa bahwa Pajajaran akan mulai berakhir, maka Prabu Ragamulya telah mengutus putranya Aji Mantri untuk menyerahkan mahkuta raja kepada Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang. Aji Mantri dikawal 4 patih yaitu Jaya Perkosa, Terongpeot, Sayang Hawu dan Suradijaya.

Pada waktu Prabu Ragamulya Suryakencana inilah Pakuan Pajajaran sirna ing bhumi, pada tanggal 11 bulan Wesa tahun 1501 Saka" bertepatan dengan tanggal 11 Rabiulawal 987 H atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Keraton Pajajaran yang pertama kali dibuat oleh pendiri Kerajaan Sunda, yaitu Tarusbawa sebagaimana telah dijelaskan di atas dan berdiri selama hampir 900 tahun, sekarang tinggal menjadi kenangan wargi-wargi Sunda. (Jawa Barat dan Banten).


7. Surasowan (Adipati Banten)
Surasowan adalah saudara seibu sebapa dari Prabu Surawisesa. Nyi Kawunganten putra Surasowan adalah isteri Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah dari Nyi Kawunganten dikaruniai 2 orang putra, yaitu Ratu Kalinyamat dan Maulana Hasanudin (Sultan Banten 1552–1570). Dari Maulana Hasanudin menurunkan para Sultan Banten sebagai berikut :
1.Maulana Yusuf (1570–1580)
2. Maulana Muhammad (1580–1596)
3. Abdul Mufakir ( 1624 – 1651 M )
4. Abdul Fatah / Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682)
5. Sultan Haji (1682–1687) *)
6. Sultan Abu’l Fadhl (1687–1690) putra 5
7. Sultan Abu’l Mahasin Muh. Zaenal Abidin (1690– 1733)
8. Sultan Abu’lfathi Muh. Arifin (1733–1750)
Keterangan : *) Sultan Haji (1682–1687), setelah tidak menjadi Sultan, beliau menjadi ulama terkenal dengan sebutan Syekh Maulana Mansur. Beliau adalah salah satu ulama penyebar dan pengembang agama Islam di tatar Pasundan. Ulama yang sejaman dengan beliau adalah Syekh Jafar Sidik (Cibiuk Garut) dan Syekh Abdul Muhyi (Pamjahan Tasikmalaya).

Menurut Catatan Silsilah, ada diantara beberapa keturunan Syekh Maulana Hasanudin Banten ada pula yang berbaur dengan Keluarga Besar Sunan Cipancar Limbangan atau Bani Nuryayi atau mungkin sekeseler lainnya di daerah Garut dan sekitarnya, misalnya yaitu Nyi Rd. Syarifah Aisah, isteri dari Kyai Rd. Moh. Aonilah yang terkenal dengan sebutan Mama Serang Cibiuk Limbangan. Atau juga KH Tb. Aliban menantu dari Ny Rd. Dhomah cucu Embah Nuryayi Suci / Nyi Rd. Bathiyah, Cimalaka Wanaraja dan Limbangan. (akan dibahas riwayat dan rundayannya pada bagian lain).

Kakak ipar Syarif Hidayatullah adalah Aria Surajaya putra Surasowan. Pada tahun 1525, keratonnya diduduki oleh tentara gabungan Demak dan Cirebon. Aria Surajaya beserta keluarga dan sebagian pembesar yang masih hidup terpaksa melarikan diri masuk ke dalam hutan lebat untuk menuju Pakuan Bogor. (Yoseph Iskandar : 284).

Untuk menghormati kakeknya, Maulana Hasanudin menggunakan nama Surasowan sebagai nama pasukan Banten, yaitu pasukan Surasowan.


8. Sunan Dayeuhmanggung
Ibunya adalah Nyai Putri Inten Dewata putra Sunan Permana Puntang atau Dalem Pasehan dari Kerajaan Timbanganten.
Sunan Dayeuhmanggung adalah Raja di Kerajaan Permana Puntang Timbanganten. Menurut Naskah Silsilah Menak-menak Limbangan, beliau adalah mertua Prabu Mundingwangi (Sunan Cisorok) putra Sunan Rumenggong (Limbangan).


9. Sunan Derma Kingkin (Sunan Gordah)
Sunan Derma Kingkin adalah saudaranya Sunan Dayeuhmanggung. Beliau adalah Raja di Kerajaan Permana Puntang Timbanganten. Menurut Sejarah Asal Usul Limbangan dan Timbanganten, beliaulah mempunyai 3 orang putra , yaitu :
1. Sunan Ranggalawe
2. Sunan Rumenggong
3. Sunan Patinggi.


10. Prabu Sala Langu Layakusumah
Prabu Sala Langu Layakusumah adalah putranya Prabu Munding Wangi (Sunan Cisorok). Sedangkan  Prabu Munding Wangi (Sunan Cisorok) adalah anak pertama Sunan Rumenggong dari isterinya Siti Juwinten.

Prabu Sala Langu Layakusumah adalah suami Nyi Buniwangi putri bungsunya Sunan Rumenggong, yang menurunkan Para Raja / Bupati / Dalem Galeuh Pakuan / Limbangan/ Sudalarang / Sumedang / Garut dan seuweu siwinya (Keluarga Besar Limbangan). 

Dengan melihat putra-putra Prabu Jaya Dewata / Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi tersebut di atas, maka sebenarnya antara Keluarga Besar Galuh, Karawang, Sukapura, Cirebon, Banten, Bandung, Timbanganten, Limbangan, Garut, Parakanmuncang, Cianjur dll, baik langsung ataupun tidak langsung, masih ada tali kekerabatan diantara mereka.

Sebagai contoh : Rd. H. Muhammad Musa (Hoofz Penghulu Limbangan Garut). Beliau termasuk Keluarga Besar Sunan Cipancar Limbangan dan mungkin pula tercatat pula dalam Rundayan Menak-menak Timbanganen (Tarogong Garut), Panjalu (Ciamis) dan Cianjur. Karena memang demikianlah kenyataannya.

Ibunya Rd. H. Muhamad Musa, yaitu Nyi Rd. Mariyah keturunan Dalem Jiwanagara I (Cinunuk Wanaraja Garut) putra Dalem Tmg. Wijayakusumah dan keturunan Rd. Rajasuta (Limbangan) dan Nyi Rd. Ajeng Karaton (Timbanganten), ayahnya Rd. Rangga Suriadiusumah Patih Limbangan adalah cucu Rd. Jayanagara putra Dalem Secamata Bupati Panjalu dan Nyi Rd Lenggang Nagara putra Rd. Tmg. Natanagara Bupati Bogor, keturunan Dalem Wiratanudatar I atau Dalem Cikundul Cianjur.

Demikian pula tokoh – tokoh ( para Dalem, Bupati, Patih Penghulu dlsb) di Limbangan Garut, Timbanganten, Sukapura, Galuh, Sumedang, Cianjur dan tempat- tempat lainnya di daerah Pasundan. Hal ini dikarenakan antara “wargi-wargi “ Limbangan, Sukapura, Cianjur, Sumedang dlsb. terjalin tali persaudaraan melalui hubungan perkawinan, sejak dahulu, sekarang bahkan mungkin di masa-masa yang akan datang.

Menurut Catatan Dewan Wargi-wargi Sunda tertanggal 8 April 1968, bahwa pada tanggal 7 April 1968 telah diadakan pertemuan silaturahmi “Dewan Wargi-wargi Sunda “ di Panti Karya Bandung. Jumlah yang hadir semuanya ada 76 orang perwakilan dari wargi-wargi Sumedang Sukapura, Galuh, Bandung, Timbanganten, Limbangan, Banten, Parakanmuncang, Cidamar, Cukundul dan Karawang. Ketuanya saat itu adalah RAA Suria Danoeningrat (Bandung).

Keluarga Besar Limbangan (Garut) dan selintas Riwayat/Rundayan Timbanganten, yang penulis susun mudah-mudahan jadi obor penerang bagi seuweu siwi Limbangan Garut ( termasuk Timbanganten) khususnya dan seuweu siwi Sunda ( Jawa Barat dan Banten ) yang masih kegelapan, mudah-mudahan tersingkap dan menjadi pembuka pintu untuk meneliti Sejarah/Rundayannya.

Ada nasehat dari alm. Bapak Sobarnas (Ketua Simpay Tresna Garut) dalam bahasa Sunda sebagai berikut : “ …Bumi muntir, jaman robah, atuh Kabudayaan urang Sunda oge milu robah, ngindung ka waktu mibapa ka jaman, hususna di widang Sajarah tina sawangan sastra (babad, dongeng, carita pantun, carita rayat – pen) sing ngajaul kana sawangan sajarah sacara ilmiah, sangkan sajarah Tatar Sunda henteu terus-terusan poek peteng. Pesek “ falsafah, siloka, perlambangna “. Anu heubeul pikeun eunteung (neuleuman sajarah ngan ku sawangan sastra – babad – sasakala – dongeng). Ayeuna garapeun (cing urang sasarengan kokoreh bukti sajarah sacara ilmiah). …Bral miang sing panjang natar lalakon kasmaran picaritaeun. Prak rumat budaya urang, sangkan ngajega nepi ka jaga “ (Sobarnas : 2).

Tidak ada komentar