Isi Naskah: Warugan Lemah

1. Pendahuluan
Pengetahuan tentang pola pemukiman (kampung, wilayah kota, dan umbul) masyarakat Sunda pada masa lalu ini, tertera dalam tiga lempir daun lontar berukuran 28,5 x 2,8 cm., yang mengandung 4 baris tulisan tiap lempirnya. Naskah WL kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan nomor koleksi L 622 Peti 88.

Aksara yang digunakan dalam naskah ini adalah aksara Sunda kuna, jenis aksara yang serupa dengan aksara pada prasasti Kawali dan naskah Sunda kuna yang ditulis di atas daun lontar, bambu, dan daluwang. Ciri khas penulisan yang membedakan naskah WL dengan naskah Sunda kuna lainnya adalah penggunaan tanda vokalisasi ‘u’ (panyuku) yang ditulis dengan tanda (.) di bawah aksara ngalagena, bukan garis sudut ( u) sebagaimana yang biasa ditemukan dalam naskah dengan aksara yang sama. Hal ini cukup menyulitkan ketika melakukan suntingan teks, karena kondisi naskah yang berlubang membuat aksara ngalagena dengan aksara yang diberi tanda panyuku menjadi sulit untuk dibedakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda kuna, sementara teksnya berbentuk prosa. Naskah WL belum dimikrofilmkan, tetapi sedang diusahakan digitasinya oleh Pusat Studi Sunda (PSS) pada tahun 2010.

Naskah WL sebelumnya belum dideskripsikan dengan baik dalam berbagai katalog yang sudah diterbitkan. Cohen Stuart (1872), kurator di lembaga Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) yang pertama kali memerikan naskah yang disimpan, tidak mendaftarkan naskah ini. Pemerian naskah Sunda kuna yang disimpan dalam peti (atau kropak dalam istilah yang digunakannya), hanya berkisar dari naskah nomor 406–426 saja. Demikian juga dalam katalog yang disusun oleh Edi S. Ekadjati (1988), naskah WL tidak didaftarkan. Mungkin hal tersebut disebabkan naskah WL disimpan dalam peti 88, yang terpisah dari kelompok naskah Sunda kuna yang lainnya (peti 15 dan 16). Selanjutnya Behrend (ed.,1998) mendaftarkan naskah ini. Hanya saja, keterangan yang diberikannya sangat sederhana dan boleh dikatakan ‘keliru’. Naskah lontar nomor 622 yang tersimpan di peti 88 diberi judul ‘wariga’ (sesuai dengan judul pada label) dan dianggap berbahasa dan beraksara Bali (Behrend, 1998: 383).

Naskah WL berasal dari kelompok ‘kropak Bandung’, yang diperoleh dari Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) kepada Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) sekitar paruh kedua abad ke-19 (Krom, 1914: 41; NBG XIII, 1875). Dalam Laporan Kepurbakalaan tersebut tercatat bahwa kropak no. 620 sampai no. 626 dan kropak no. 633 sampai no. 642 adalah pemberian bupati Bandung.

Pada kolofon naskah hanya tercantum hari penulisan teks, yaitu hari Rabu Manis (poé na buda na manis), tanpa keterangan bulan dan tahun penulisan (atau penyalinan?) teks. Tetapi cukup jelas bahwa suasana yang mendasari teks ini adalah pra-Islam, sehingga dapat membawa kita pada dugaan bahwa teks WL sekurang-kurangnya ditulis atau disalin sebelum abad ke-17, atau bahkan sebelum kerajaan Pajajaran runtuh (±1578 M). Hal tersebut setidaknya ditandai dengan tidak ditemukannya satu kata pun yang dapat dirujuk ke dalam bahasa Arab. Selain itu, isi teks WL juga kental akan anasir agama Hindu, sebagaimana dapat dilihat pada mantra-mantra yang terdapat dalam teks.

Pemberian judul warugan lemah didasarkan pada kalimat pertama yang terdapat dalam teks, yang berbunyi ‘ini warugan lemah’. Warugan merupakan kata bentukan dari kata waruga ‘bentuk’, yang dalam bahasa Jawa kuna berarti ‘jenis bangunan (balai, paviliun)’ (Zoetmulder, 2006: 1395), sedangkan dalam bahasa Sunda Modern berarti ‘badan, tubuh’ dan akhiran –an yang membentuk kata benda, seperti yang terdapat dalam kata Sunda modern ‘caritaan, cariosan’. Sementara lemah berarti ‘tanah’. Dengan demikian, warugan lemah dapat berarti ‘bentuk tanah’. Keseluruhan isi teks kiranya sesuai dengan judul, yang memaparkan pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya, berikut sarana dan mantra-mantra untuk mensucikannya.

Sejauh penelusuran penulis terhadap naskah Sunda kuna yang ada di PNRI, belum ditemukan salinan dari naskah ini, baik salinan naskah lontar maupun naskah hasil alih-aksara para sarjana Belanda . Sementara hasil digitasi naskah dari Kabuyutan Ciburuy-Garut, sampai tulisan ini dibuat, belum tersedia bagi penulis. Dengan demikian, naskah ini dapat dikatakan sebagai naskah tunggal.


2. Terjemahan
Untuk melengkapi kajian, dalam tulisan ini disertakan pula suntingan dan terjemahan teks WL secara lengkap. Dalam rangka perbaikan teks, digunakan beberapa tanda yang melambangkan aturan tertentu bagi pembaca. Tanda yang dimaksud adalah:
1. [ ] Tanda kurung persegi dengan teks di dalamnya menunjukkan bahwa aksara, suku kata, kata, atau bagian kalimat terdapat dalam naskah sebaiknya tidak usah dibaca.
2. ( ) Tanda kurung oval dengan teks di dalamnya menunjukkan bahwa aksara, suku kata, kata, atau bagian kalimat merupakan perbaikan bacaan dari penyunting atau tidak ada dalam naskah dan sebaiknya dibaca.
3. /2r/Angka Arab diantara dua garis miring menunjukkan halaman naskah. Huruf Latin yang menyertainya menunjukkan halaman recto (muka) dan verso (belakang) dengan tanda ‘r’ sebagai halaman recto dan ‘v’ sebagai halaman verso.
4. Angka Arab di sebelah kiri teks (angka 01-19) menunjukkan nomor paragraf dalam suntingan dan tidak terdapat dalam naskah. Catatan dan komentar atas suntingan dan terjemahan berdasarkan nomor tersebut.
5. Angka Arab di dalam teks menunjukkan nomor catatan kaki (footnote) dalam rangka perbaikan teks yang dilakukan penyunting, sedangkan angka Arab dan kata di bawah teks menunjukkan teks asli yang terdapat dalam naskah.
6. (…) Tiga tanda titik menunjukkan bahwa kata dalam naskah sulit ditentukan karena keadaan lontar yang rusak.
7. Huruf kapital digunakan untuk nama orang, nama tempat, istilah atau kata pada awal kalimat.
8. Konsonan rangkap dihilangkan, dan dikembalikan ke bentuk aslinya, seperti dalam frasa kadatangngan rama (lempir 2r) dalam naskah ditulis kadatangan rama dalam suntingan.
9. Teks yang berisi mantra tidak diterjemahkan.

3. Suntingan
01. Ini warugan lemah. Inge(t)keun di halana, di hayuna. Na pidayeuheun, na pirembuleun, na piu(m)buleun.
02. Lamunna bahé ka ké(n)ca ngara(n)na Talaga Ha(ng)sa, asih wong sajagat. Panyudana pacar pimula di pahoman.
03. Lamu(n)na bahé ka tukangeun na lemah, ngara(n)na Banyu Metu. Hamo jadian kanénéh. Panyudana papatong di sakay, tanem di tengah dalem. Ajina: “Ong debi ma Aji Batara mriwasa sohah!”
04. Lamunna bahé ka hareupeun, ngaranna Purba Tapa. Pamalina gelem kahilangan suka. Panyudana lalay perét tawur kara(n)cang teu(n)deun janari. Ajina: “Ong paksa /1r/ ma guru pun. Pasaduan kami di na liga Si Jaja, liga Si Jantri. Bawa tamah Batara Kala. Tinggalkeun sari ning lemah apan gawé sang pandita.” Anggeus ma leupaskeun na lalay.
05. Lamu(n)na lemah bahé ka katuhu ma A(m)bek Pataka. Pamalina réa nu ngaduhung urang. Panyudana usar tanem di pahoman.
06. Lamunna ngalingga manik ma na lemah kahaupan ku déwata. Panyudana ha(n)tiga tikukur tulis , tanem di buda hireng di tengah dalem. Ajina: “Ong Sri … Séda sohah!”
07. La(m)unna motong pasir ma na lemah ngara(n)na Singha Purusa. Awét juritan, pameunangna. Panyudana bubura muliya tane(m) di buruan. Ajina: “Ong /1v/ déwa manusa mrewasa sohah!”
08. Lamu(n)na cai bécét ti ké(n)ca, cai gedé ti katuhu, ngaranna Sri Madayu(ng), pamalina kapiduwa ku wadon. Panyudana haur geulis perelak di pahoman.
09. Lamunna datar ma na lemah ngara(n)na Sumara Dadaya. Pameunangna gelem kadatangan rama. Panglu(ng)surna tamiang nangguh jadi congona na prelak di pahoman. Ajina: “Ong sakabéh aji Betara Sri sohah!”
10. Lamunna lebak di tengah na dayeuh ngara(n)na Luak Maturun. Pamalina gedé kabéngkéng. Panyudana bajra pimula di pahoman. Ajina: “Sri Sada Sohah!”
11. La(m)un sumalipat ma na dayeuh, pamalina usud kabeungharan. Panyudana po(n)doh perelak di tengah dalem teher ngaroc.
12. Lamunna témbong ka laut ma ngara(n)na Tu(ng)gang Laya na dayeuh. Pamalina /2r/ paéh ku bajra dayeuhan dayeuh. Panyudana nyawung di tengah lemah poéna tu(m)pek kaliwon.
13. La(m)un na urut seuma na dayeuh ngara(n)na Mrega Hideng . Pamalina pades aweuhan. Panyudana dangdeur pimula u(ng)gal juru dayeuh tawur u(ng)gal juru dayeuh di puhunna. (Ajina): “Ong Pasaduan kami pun. Di sang ratu breco na déwata kayu dangdeur pun. Maka hilang ikang tamah, maka ti(ng)gal suka sohah.”
14. Lamunna lemah ngang-ngang ka ké(n)ca ka katuhu ma ngaranna Jagal Bahu. Pamalina pades aweuhan. Panyudana titiran huapan tumaleupaskeun ku wadon reujeung deung lanang.
15. Motong cai ma na dayeuh ngara(n)na Talaga Kahudanan. Pamalina paéh ku bajra bu ing kalih. Panyudana ngaroc di tenga(h) cai, poéna tu(m)pek wagé.
16. Lamunna dayeuh nukangkeun bukit, /3r/ pamalina rusak kulakadang. Panyudana gogolang lima tu(m)pang di hulu dayeuh laukna gagak poéna Anggara Manis.
17. La(m)unna katu(n)jang ku cai ma na dayeuh ngara(n)na Si Bareubeu. Pamalina dipahala ku déwata. Panyudana gogolang purba désa, di tengah dayeuh. Geus ma prelakkan budi na urut gogolang.
18. La(m)un le(m)bu(r) kakurung ku imah, pamalina hulun dayeuhannana. Panyudana wéra putih pisusupi basa dikuriak.
19. La(m)un urut picarian kakurung ku imah, pamalina gelem duka. Panyudana hayam nyileu(ng)leum peu(n)cit dibuang asakan deung telurna, hakan ku tujuhan. Tuak saminggih suji picucu(n)duk aya nu nginum seungseurikeun. /o////o/// Poé na Buda na Manis.
Terjemahan
01. Inilah warugan lemah (bentuk tanah), untuk diingat dalam kesusahan dan keselamatan. Ketika akan mendirikan wilayah, kampung, dan umbul.
02. Jika condong ke kiri dinamakan talaga hangsa, dikasihi semua orang. Untuk mensucikannya menanam pacar di tempat sesaji.
03. Jika tanah condong ke belakang, dinamakan banyu metu. Tak akan menjadi apa yang disayangi. Untuk mensucikannya capung yang ada pada kayu, disimpan di tengah wilayah dalam. Ajiannya: “Ong debi ma aji batara mriwasa sohah!
04. Jika condong ke depan, dinamakan purba tapa. Yang menjadikan tabunya adalah selalu kehilangan rasa suka (orang lain). Untuk mensucikannya tunas perét ditebarkan agak rapat, disimpan pada waktu dinihari. Ajiannya: “Ong paksa /1r/ ma guru pun, pasaduan kami di na lingga si Jaja, lingga si Jantri, bawa tamah batara Kala, tinggalkeun sari ning lemah, apan gawé sang Pandita”. Setelah itu mulai tebarkan tunas.
05. Jika tanah condong ke kanan dinamakan ambek pataka. Yang menjadikan tabunya adalah banyak yang menyakiti hati kita. Untuk mensucikannya tanam usar di tempat sesaji.
06. Jika tanah ngalingga manik maka akan diperhatikan oleh dewata. Untuk mensucikannya telur burung perkutut tulisi , kemudian tanam pada hari Rabu Wage di tengah wilayah bagian dalam. Ajiannya: “Ong Sri … Séda sohah!”
07. Jika tanah memotong bukit dinamakan singha purusa. Unggul dalam peperangan bawaannya. Untuk mensucikannya tanam bubura muliya di halaman rumah. Ajiannya: “Ong déwa manusa mrewasa sohah!”
08. Jika sungai kecil dari kiri, sungai besar dari kanan, dinamakan sri madayung, yang menjadikan tabunya adalah dimadu oleh perempuan. Untuk mensucikannya tanam haur geulis di tempat sesaji.
09. Jika tanah mendatar dinamakan sumara dadaya. Keunggulannya senantiasa kedatangan Rama. Untuk membuatnya turun adalah bambu tamiang nangguh yang mulai muncul cungapnya tanam di tempat sesaji. Ajiannya: “Ong sakabéh aji Betara Sri sohah!”
10. Jika terdapat lembah di tengah wilayah (berceruk) dinamakan luak maturun. Yang menjadikan tabunya adalah mendapat penderitaan besar. Untuk mensucikannya tanam pohon aren? di tempat sesaji. Ajiannya: “Sri Sada Sohah!”
11. Jika bentuk wilayah melipat, yang menjadikan kesengsaraannya adalah berkurang kekayaan. Untuk mensucikannya tanam pondoh di tengah wilayah bagian dalam kemudian minum.
12. Jika wilayah menghadap laut dinamakan tunggang laya. Yang menjadikan tabunya adalah penduduk wilayah mati oleh halilintar. Untuk mensucikannya membangun dangau di tengah tanah pada hari Sabtu Kliwon.
13. Jika wilayah bekas kuburan dinamakan mrega hideng. Yang menjadikan tabunya adalah kurang wibawa. Untuk mensucikannya menanam dangdeur di setiap pojok daerah, ditabur di setiap pojok wilayah pada sumbernya. Ajiannya: “Ong pasaduan kami pun, di sang Ratu Breco na déwata kayu dangdeur pun, maka hilang ikang tamah, maka tinggal suka sohah.”
14. Jika tanah menganga (terpisah) ke kiri dan ke kanan dinamakan jagal bahu. Yang menjadikan tabunya adalah kurang wibawa. Untuk mensucikannya burung titiran disuapi kemudian lepaskan oleh gadis bersama dengan jejaka.
15. Jika wilayah memotong sungai dinamakan talaga kahudanan. Yang menjadikan tabunya adalah mati oleh senjata (bajra) dari tanah orang lain. Untuk mensucikannya minum di tengah sungai, pada hari Sabtu Wage.
16. Jika daerah membelakangi gunung (bukit), yang menjadikan tabunya adalah rusak hubungan keluarga. Untuk mensucikannya memasak lima susun di hulu wilayah dengan daging gagak pada hari Selasa Manis.
17. Jika daerah berada di bawah aliran sungai dinamakan si bareubeu. Yang menjadikan tabunya adalah dihukum oleh dewata. Untuk mensucikannya memasak di depan desa di tengah wilayah. Setelah itu tanami budi di bekas tempat memasak tersebut.
18. Jika kampung dikelilingi oleh rumah, yang menjadikan tabunya adalah penduduknya menjadi budak. Untuk mensucikannya wéra putih disisipi ketika membangun rumah.
19. Jika bekas tempat kotor dikelilingi oleh rumah, yang menjadikan tabunya adalah senantiasa berduka. Untuk mensucikannya sembelih ayam yang sedang mengeram dibuat masakan beserta telurnya, kemudian makan oleh tujuh orang. Tuak saminggih suji ketika ada yang datang kemudian minum, tertawakanlah. ///00/// Pada hari Rabu Manis.


4. Catatan atas Teks dan Terjemahan
Catatan atas teks dan terjemahan, berisi kata-kata dalam teks yang kiranya perlu mendapat perhatian, antara lain karena kata tersebut tidak diketahui dalam bahasa Sunda Modern, atau sedikit banyak memiliki makna yang berbeda. Selain itu, kosakata yang memiliki keterkaitan erat dengan bahasa Jawa kuna dan Sansekerta, juga disertakan dalam catatan. Sedapat mungkin kosakata dalam teks WL yang ditemukan juga dalam teks-teks Sunda kuna yang telah diumumkan ditandai.
Daftar Singkatan:
AC : Mantera Aji Cakra (dimuat dalam Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006)
BM : Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah (dimuat dalam Noorduyn dan Teeuw, 2006)
D : Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006)
dial : dialek bahasa Sunda
H : Hardjadibrata, R.R. (Sundanese English Dictionary, 2003)
imp : imperatif
JwK : bahasa Jawa kuna
JwM : bahasa Jawa modern
KBSK : Kamus Bahasa Sunda Kuna-Indonesia (susunan Emuch Herman-soemantri, dkk., 1987)
KUBS : Kamus Umum Basa Sunda (Terbitan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, cetakan pertama 1976)
lem : lemes (ragam bahasa Sunda halus)
pass : pasif
R : Jonathan Rigg (A Dictionary of the Sunda Language of Java, 1862)
SA : Pendakian Sri Ajnyana (dimuat dalam Noorduyn dan Teeuw, 2006)
SD : Séwaka Darma (dimuat dalam Saleh Danasasmita, dkk. 1987)
SdM : bahasa Sunda Modern
Skt : bahasa Sansekerta
SSKK : Sanghyang Siksa Kandang Karesian (dimuat dalam Saleh Danasasmita, dkk. 1987)
SSMG : Sanghyang Sasana Maha Guru (dimuat dalam Aditia Gunawan, 2009)
Z : Zoetmulder (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, cetakan kelima, 2006)

01. warugan lemah ‘bentuk tanah’; tercatat pula dalam teks AC 5-8 konteks yang kurang jelas; dalam AC 6: ‘ila-ila ku Sang Hyang Waruga Lemah (yang dilarang oleh Sang Hyang Waruga Lemah). Pirembuleun merupakan gejala metatesis dari pilembureun, sebagaimana gejala metatesis konsonan r dan l dalam kata rontal --> lontar. Piumbuleun dari kata umbul ‘satuan wilayah setingkat desa?’, mungkin lebih kecil dari kampung dan dayeuh, dalam SdM ‘nama pangkat kepala pada jaman dahulu di bawah bupati’ (KUBS: 550).

02. bahé ka kénca ‘condong ke kiri’; talaga hangsa ‘telaga angsa’, dalam naskah tertulis talaga hasa. Kata hasa tidak ditemukan dalam sumber lain. Pembetulan didasarkan pada SSKK.XV yang senantiasa menghubungkan talaga dengan hangsa: “lamun hayang nyaho di taman hérang, talaga banyu atis ma hangsa tanya (bila ingin tahu taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa)”, menurut konteks sesuai dengan topografi tanah yang baik; panyudana dari kata suda Skt ‘bersih, murni’ JwK ‘id.’ (Z I 1131), dalam SdM memiliki arti ‘berkurang’, sesuai makna II dalam JwK (Z 1131); pacar ‘tanaman pacar’ Lawsonia inermis’; pimula ‘ditanam’, mula dlm Skt juga berarti ‘akar tumbuh-tumbuhan atau pohon’ (Z 679); pahoman ‘tempat sesaji, pancak saji’, band SSKK.XXIV: ‘Yata janma bijil ti nirmala ning lemah: pahoman, pabutelan, pamujaan, lemah maneuh, candi, dst… (yaitu manusia yang muncul dari tanah yang suci, seperti: tempat sesaji, pabutelan, pemujaan, rumah adat, candi, dst...), JwK ‘id.’ (Z 362)

03. Istilah banyu metu secara harfiah berarti ‘air keluar’, hubungannya dengan topografi tanah yang condong ke belakang mungkin tampak dari depan seperti air yang menyembur keluar?; jadian kanénéh dapat diartikan ‘segala yang disukai berhasil’, band jadian tahun ‘berhasil panen’ dalam SSKK.I; papatong ‘capung’= SdM; makna disakay tidak jelas, atau dibaca ‘di sang kai?’ ‘di kayu’; dalem ‘(bagian) dalam’, mungkin bagian dalam dari wilayah. band istilah kajeroan di Kanékés yang menunjukkan bagian dalam dari wilayah Kanékés; dalam paragraf ini pertama kalinya muncul sejenis mantra, bagian ini tidak diterjemahkan.

04. Purba Tapa secara harfiah berarti ‘di depan yang sedang bertapa’, purba Skt berarti ‘depan’ (Z 887), bukan dalam pengertian ‘awal’, sementara tapa artinya ‘(ber)tapa’, sehingga berdasarkan konteks berkonotasi negatif ‘berada di depan orang yang sedang bertapa’ atau ‘berada di sebelah timur orang bertapa’; gelem ‘senantiasa, tidak pernah berhenti’, JwK ‘id.’ (Z 286) bukan dalam pengertian kemudian ‘mau’; lalay ‘tunas’, bukan dalam makna SdM ‘kelelawar’, band JwK lalay, lale ‘id.’, lumalay JwK ‘bertunas, menjalar’, perét ‘tanaman peret’, sejenis bambu kecil = lanten (D 522), (S 220); tawur imp. ‘tebar’ = SdM; karancang ‘lubang-lubang kecil’, karena karancang ‘penuh lubang kecil’ dalam SdM. Mungkin makna tawur karancang adalah imp ‘tebarkan dengan jarak yang berdekatan seperti sulaman’. janari ‘dini hari’ = SdM.

05. Istilah Ambek Pataka secara harfiah berarti ‘hati yang jahat’ JwK ‘id.’, menjadi jelas dalam hubungannya dengan ‘pertanda buruk’ dari jenis topografi ini; ngaduhung ‘menyakiti (hati)’, dalam JwK ‘memuji?’, dalam SdM bentukan kaduhung ‘menyesal’, duhung dalam SdM juga merupakan lem dari ‘keris’ (D 177), mungkin pinjaman dari JwK (Z II: 233); usar ‘tanaman usar’, sejenis rumput yang akarnya wangi, sama dengan akar wangi (Andropogon zizanioidesUrb) (H 11 & 873).

06. kahaupan pass ‘diperhatikan’, bentuk dasarnya haup, dalam BM 855 imp ‘perhatikan’ ‘haup aing ebon-ebon (perhatikan aku, biarawati ini!), JwK hop ‘id.’;
hantiga Skt ‘telur’, SdM & JwK ‘id.’; tikukur ‘(burung) perkutut’= SdM; buda hireng ‘Rabu Wagé’, menurut keterengan I. Kuntara Wiryamartana, dalam tradisi Jawa wagé disebut juga cemengan ‘hitam’ yang bermakna sama dengan hireng.

07. Singha Purusa Skt siŋhapuruşa ‘lelaki singa, pahlawan’ (Z 1096); awét juritan ‘selalu menang dalam perang’; bubura mulia ‘jenis tumbuhan’, tidak teridentifikasi. Tercatat juga dalam SD 41e pada bagian pengarang (penyalin) menata nama-nama tumbuhan; dalam BM 389 & 502 Noorduyn & Teeuw (2006: 345) menerjemahkan ‘parfum?’, yang dalam teks ini kiranya tidak sesuai.

08. bécét berarti ‘kecil’, band. SA 637 ‘id’., dalam teks di atas dipertentangkan dengan cai gedé ‘air (sungai) besar’, mungkinkah perkembangannya dalam SdM menjadi bécék ‘genangan (air) kecil?; terjemahan Sri Madayung berarti ‘perempuan yang mendayung’, terdapat perkembangan semantis yang menarik: dalam JwK makna dayung sama dengan rayung yang berarti ‘dayung’ (Z: 206 & 934), sementara dalam SdM rayungan berarti ‘mudah tergoda oleh laki-laki atau perempuan lain’; bentukan kapi- dalam kapiduwa jelas membentuk kata kerja pasif, yang diikuti oleh kata depan dan objek ‘ku wadon’, bukan kapi- yang lumrah dalam SdM sebagai pembentuk kata benda yang berarti kedudukan, seperti kapiadi, kapilanceuk, dst; haur geulis ‘jenis tanaman haur’ sejenis bambu, R (hlm. 145) mencatat haur geulis disebut juga haur héjo, Bambusa Viridis. Bentuknya pendek dan berwarna hijau.

09. Sumara Dadaya ‘mempunyai kekuatan untuk mendatangkan simpati’, berasal dari JwK sara ‘kekuatan’ (Z.I.2: 1036), dan dayā ‘simpati, keharuan, rasa belas kasih’ (Z.III: 206); rama ‘jabatan rama, tua desa’ (KBSK: 136), salah satu dari tiga pemangku kekuasaan (prabu, rama, resi) pada masyarakat Sunda masa lalu. Dalam konteks ini kita mendapatkan gambaran bahwa salah satu tugas rama adalah memantau perkampungan. Panglungsurna ‘yang membuat turunnya’, dalam SdM merupakan bentuk lemes; tamiang ‘bambu tamiang’, jenis bambu tipis, Bambusa Wrayi Stapf; congo ‘cungap’, ujung benda panjang yang lebih kecil, kebalikan dari puhu. SdM ‘id.’; prelak imp ‘tanami’, lih. catatan 17.

10. lebak ‘lembah’ = SdM: Luak Maturun merupakan istilah untuk wilayah yang menurun karena ada lembah curam seperti luak yang turun dari pohon. Kabéngkéng ‘penderitaan’ kabéngkéngan dalam BM 5 berarti ‘menderita’ bajra dalam konteks mungkinkah berarti ‘pohon aren?’ dalam teks SSMG: 15 disebut ‘kalapa bajra ma panyadap (yang bekerja dengan pohon aren disebut panyadap)’

11. sumalipat ‘melipat’, mungkin bentukan dari salipat dan infiks –um-. Band SdM lipet. Agaknya topografi ini yang saat ini disebut dengan istilah lemah gunting (tanah yang bentuknya seperti pangkal gunting), yang termasuk salah satu bentuk tanah yang harus diruat; usud ‘berkurang’ terjemahan semata-mata dugaan, dalam SdM ‘menelusuri sesuatu’; mungkin berkaitan dengan Mel susut ‘kurang’. kabeungharan ‘kekayaan’ = SdM; perelak = prelak. lih catatan 17. pondoh ‘pucuk gebang’, jenis tanaman = SdM; teher ‘kemudian, lalu’ = JwK, band. SdM tur; ngaroc ‘minum’, SdM ngarot ‘id.’

12. Tunggang Laya berarti ‘berada di atas kematian’, kata tunggang dalam SdM & JwK berarti ‘berada di atas’, panonpoé tunggang gunung ‘matahari berada diatas gunung’, sementara Laya dapat dirujuk dari Skt laya ‘kematian’, band JwM laya berarti juga ‘malapetaka’
bajra Skt. berarti ‘halilintar’ = JwK (Z 97)
dayeuhan ‘penduduk’, dayeuhan dayeuh ‘penduduk wilayah’, dayeuhan tidak lazim dalam SdM; nyawung ‘membangun/mendirikan dangau’, bentukan kata kerja dari sawung ‘dangau’ = SdM;
tumpek ‘Sabtu’, - kaliwon ‘Sabtu kliwon’, Tumpek Kaliwon menandai akhir periode 35 hari (Z 1292).

13. seuma ‘kuburan’, juga terdapat dalam SSKK: XXII dengan pengertian yang sama, JwK ‘id.’, tidak ditemukan dalam SdM; Mrega Hideng secara harfiah berarti ‘kijang yang diam (tak beranjak)’, pengertiannya sesuai dengan tabu dari pola pemukiman ini, yang menjadikan wilayahnya tidak mempunyai jangkauan atau tidak memiliki wibawa (pades aweuhan); pades aweuhan ‘kehilangan gema (jangkauan), kehilangan wibawa?’, terjemahan berdasarkan konteks, makna pades tidak teridentifikasi, sementara aweuhan = SdM ‘gema’; dangdeur ‘pohon dangdeur’, jenis randu hutan, Bombax malabricum D.C (H 192); tawur imp. ‘tebar’ = SdM; puhun ‘awal, permulaan, sumber’, pada masyarakat baduy, tempat padi pertama ditanam di huma sérang ‘ladang suci’ adalah di pupuhunan.

14. ngang-ngang ‘menganga’ band. SdM ngangah ‘(mulut) menganga’ (KUBS 328); Jagal Bahu secara harfiah berarti ‘lengan atau bahu yang terpotong’, sesuai dengan gambaran lahan yang terpisah ke kiri dan ke kanan; titiran ‘burung perkutut’ = SdM; huapan imp ‘suapi’ = SdM; tumaleupaskeun mengandung makna pass jamak ‘lepaskan’; wadon ‘perempuan, gadis’ = JwK; reujeung deung ‘bersama dengan’; lanang ‘laki-laki, jejaka’ = JwM & SdM, dalam SdM diduga serapan dari JwM.

15. Talaga Kahudanan ‘telaga kehujanan’; bajra ‘senjata (bajra)’, kata bu Skt ‘bumi, tanah’, mungkinkah makna bajra bu ing kalih berarti ‘senjata bajra yang berasal dari tanah orang lain?’

16. nukangkeun ‘membelakangi’ band. SdM nukangan; tidak dibaca nu kangken ‘yang diibaratkan’ seperti banyak terdapat dalam teks-teks prosa didaktis Sunda kuna (SSKK dan SSMG); kulakadang ‘keluarga, hubungan saudara’, mungkin bentukan majemuk dari kula Skt keluarga dan kadang ‘sanak, saudara’. Band JwK & SdM kulawarga atau kadang warga; gogolang ‘memasak, membuat penganan?’, terjemahan semata-mata dugaan berdasarkan konteks, dengan ditandai oleh kata selanjutnya laukna gagak ‘dagingnya gagak’, dalam SdM golang bermakna ‘berkeliling, berputar’ yang kiranya tidak sesuai dengan teks; tumpang ‘susun, tumpuk’ = SdM; hulu dayeuh ‘pusat wilayah’; lauk ‘daging (yang dijadikan makanan)’ = SdM, spt. ‘lauk hayam, lauk munding’, juga mengandung arti ‘ikan’ dlm SdM, band. Mel lauk; Anggara Manis ‘(hari) Selasa Manis’;

17. katunjang ‘berada di bawah ...’, katunjang ku cai berarti ‘berada di bawah sungai’, tunjang dalam SA 829 ‘ujung kaki’; Bareubeu mungkin sama dengan bareubeuy dalam SdM ‘sejenis kayu di hutan yang biasa digunakan sebagai papan’, Helicia serrata Bl (H 75); dipahala ‘disiksa’, terdapat juga dalam SA 208 & 899 = SdM; purba désa ’(di) depan wilayah’ atau ‘di sebelah timur wilayah?’ prelakkan imp. ‘tanam’, mrelak dalam BM 842 ‘menanam’, JwK parlak ‘sawah kering’ (Noorduyn & Teeuw, 2006: 396); budi ‘tanaman budi?’ tidak teridentifikasi, atau mungkin dibaca budin yang dalam SdM dial. ‘singkong’ atau bodin (H 125)

18. hulun ‘budak, abdi, rakyat jelata’, JwK ‘id.’ (Z 367); wéra putih ‘tanaman wera putih’, jenis tanaman wera (kembang sepatu), kiranya sama dengan SdM wéra bodas, Hibiscus Rosa-sinensis L.; pisusupi ‘disimpan’ terjemahan semata-mata dugaan berdasarkan konteks, mungkin dari susup? Tetapi bentukan pi – i dalam SdK dan SdM tidak lazim, atau mungkin dari supi?; dikuriak ‘membangun (rumah atau bangunan)’ = SdM.

19. picarian ‘tempat kotor’, mungkin dari caria ‘menjijikan’, SdM ‘id.’, tidak ditemukan dalam JwK; nyileungleum ‘mengeram’, SdM ‘id.’ Tidak ditemukan dalam JwK; dibuang asakan ‘diolah menjadi masakan’; hakan ‘makan’; dalam SdM merupakan bentuk kasar; tuak ‘nira’, minuman yang dihasilkan dari pohon aren; saminggih suji tidak teridentifikasi, mungkin jenis dari nira?


5. Isi dan Analisis
5.1 Isi

Dalam teks WL, tercatat ada 18 pola pemukiman, dan masing-masing memiliki istilah berikut karakteristiknya yang khas. Ada yang dianggap berpengaruh baik, dan ada yang dianggap sebaliknya. Gambaran pola pemukiman berdasarkan topografi tanah dan wilayah sebagaimana yang tertuang dalam teks adalah sebagai berikut:
1. Talaga Hangsa. Topografi tanah condong ke kiri. Topografi jenis ini tergolong baik, karena mendatangkan kasih sayang orang lain.

2. Banyu Metu. Topografi tanah condong ke belakang. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan kanénéh ‘kesayangan, apa yang disayangi’ tidak akan menjadi.

3. Purba Tapa. Topografi tanah condong ke depan. Termasuk topografi yang kurang baik, karena senantiasa kehilangan simpati (rasa suka) orang lain.

4. Ambek Pataka. Topografi tanah condong ke kanan. Termasuk topografi yang kurang baik karena menyebabkan orang lain menyakiti hati.

5. Tanah yang ngalingga manik. Secara harfiah, ngalingga manik berarti ‘membentuk puncak permata’. Mungkin dapat diartikan topografi tanah yang membentuk puncak dengan lahan pemukiman berada di puncaknya. Termasuk topografi tanah yang baik, karena menjadikan penduduknya diperhatikan oleh dewata. Pada tanah seperti inilah Bujangga Manik (BM), seorang peziarah Sunda abad 16, mengakhiri kehidupannya. Dalam teks BM (baris 1404-1406), rahib kelana ini berharap menemukan tanah kabuyutan, yaitu tanah yang menyerupai puncak permata (ngalingga manik).

6. Singha Purusa. Topografi tanah (lahan) memotong pasir, berada di antara puncak dan kaki bukit. Termasuk topografi tanah yang baik, karena mendatangkan kemenangan dalam berperang.

7. Sri Madayung. Topografi tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil di sebelah kiri dan sungai besar di sebelah kanan. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan dimadu oleh perempuan.

8. Sumara Dadaya. Topografi tanah datar. Mungkin sama dengan istilah topografi Sunda sekarang galudra ngupuk (Ensiklopedi Sunda, 2000:227). Termasuk topografi lahan yang cukup baik, karena menyebabkan rama, sebagai salah satu dari trias penguasa masyarakat Sunda kuna selain rama dan resi, senantiasa datang berkunjung.

9. Luak Maturun. Topografi tanah berceruk karena di tengah wilayah terdapat lembah, mungkin menyerupai luak yang turun dari pohonnya. Termasuk topografi tanah yang tidak baik, karena menjadikan penduduknya banyak mendapat penderitaan. Dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, istilah luak maturun termasuk salah satu formasi perang (SSKK: XVIII).

10. Wilayah melipat. Tidak disebutkan istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena menyebabkan berkurangnya kekayaan.

11. Tunggang Laya. Topografi wilayah pemukiman menghadap laut. Termasuk topografi yang kurang baik, karena menyebabkan penduduknya mati tersambar petir.

12. Mrega Hideng. Wilayah bekas kuburan. Termasuk wilayah pemukiman yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.

13. Jagal Bahu. Tanah menganga (terpisah) sehingga terdapat celah yang memisahkan wilayah pemukiman. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.

14. Talaga Kahudanan. Wilayah pemukiman membelah sungai. Termasuk topografi pemukiman yang kurang baik, karena penduduknya dapat mati karena senjata orang lain dalam peperangan.

15. Wilayah membelakangi bukit atau gunung. Tidak terdapat istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah yang kurang baik, karena akan merusak hubungan keluarga.

16. Si Bareubeu. Topografi wilayah berada di bawah aliran sungai (katunjang ku cai). Termasuk topografi lahan yang kurang baik, karena akan dihukum oleh dewata.

17. Kampung dikelilingi oleh rumah. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena penduduknya akan menjadi rakyat jelata (budak).

18. Bekas tempat kotor (picarian) dikelilingi oleh rumah. Tidak terdapat istilah khusus di dalam teks untuk jenis topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik, karena akan mendatangkan kesusahan.


6. Analisis
Sejauh ini, kajian terhadap pola pemukiman masyarakat Sunda (kuna) pada umumnya merupakan kajian antropologis, terutama berdasarkan pola pemukiman yang masih tampak pada masyarakat Sunda saat ini. Beberapa di antaranya perlu disebutkan. Judistira K. Garna (dalam Ekadjati, ed., 1984: 225-275), umpamanya, mendeskripsikan dengan rinci pola kampung dan desa, serta organisasi rumah pada masyarakat Sunda. Uraiannya atas pola pemukiman masyarakat Sunda bersifat naratif dan deskriptif, dan berdasar pada konteks kekinian sebagaimana tampak pada masyarakat Sunda dewasa ini. Pembagian pola desa didasarkan pada pengelompokan rumah, bangunan, dan sarana lain dihubungkan dengan jalan raya, sungai dan lembah sebagai indikator, sehingga pada akhirnya, penulis membagi pola desa menjadi tiga kelompok utama, yaitu: (1) desa linear; kampung berkelompok mengikuti alur jalan raya, sungai atau lembah, dan pantai; (2) desa radial; kampung berkelompok pada persimpangan jalan; dan (3) desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka.

Demikian halnya dengan Cecep Eka Permana (2006) yang mengkaji Tata Ruang Masyarakat Baduy. Penulis mendeskripsikan tata ruang pemukiman yang dikhususkan pada wilayah Tangtu di Baduy, yaitu Cibéo, Cikertawana, dan Cikeusik sekaligus fungsi dan maknanya. Tetapi di dalamnya tidak terdapat informasi tentang konsepsi masyarakat Baduy tentang pola pemukimannya sendiri, yang antara lain ditandai dengan tidak terdapatnya istilah yang khas untuk pola pemukiman tertentu. Dengan kata lain, pembagian-pembagian pola wilayah lebih didasarkan pada konsepsi mutakhir.

Penelitian paling mutakhir dilakukan Purnama Salura (2007) yang menelusuri arsitektur Sunda dengan menggunakan tiga kampung (Tonggoh, Cigenclang, dan Palastra) sebagai sumber data. Penelitiannya cukup kaya akan ilustrasi, sehingga wilayah ketiga kampung yang menjadi sumber datanya terdeskripsikan dengan baik. Tetapi, sama halnya dengan penelitian-penelitian yang disebutkan sebelumnya, dalam penelitiannya tidak terdapat informasi tentang pola pembagian wilayah berdasarkan topografi, melainkan berdasarkan elemen, orientasi, dan mitos.

Sementara itu, kajian khusus tentang pola pemukiman berdasarkan teks Sunda kuna masih sangat terbatas, atau bahkan belum tersedia. Sebagaimana diketahui, teks-teks Sunda kuna yang sejauh ini telah diumumkan pada umumnya berisi petuah-petuah didaktis (Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Sanghyang Sasana Maha Guru, dll.), puisi epik dan keagamaan (Para Putera Rama dan Rahwana, Perjalanan Bujangga Manik, Pendakian Sri Ajnyana, Séwaka Darma, dll.) atau kronik sejarah masyarakat Sunda pada masa lalu (Carita Parahiangan, Carita Waruga Guru, Carita Ratu Pakuan, dll).

Sebenarnya, dalam teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) bagian ke-XXII (Danasasmita, dkk., 1987: 111), terdapat sekelumit catatan tentang jenis-jenis tanah ketika pengarang teks menerangkan bagian ‘tanah-tanah yang kotor (mala ning lemah)’:
“Mala ning lemah ngara(n)na: sodong, saronggé, cadas gantung, mu(ng)kal patégang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nu(ng)gang, catang nonggéng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan céléng, kalo(m)béran, jaryan, seuma; sawatek lemah kasingsal.”
artinya:
“Yang disebut tanah-tanah yang kotor ialah: sodong, saronggé, cadas gantung, mungkal patégang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggéng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan céléng, kalombéran, jaryan, kuburan; golongan tanah terbuang.”
Dari kutipan di atas, paling tidak dapat diketahui jenis-jenis tanah (klasifikasi lahan) yang dipercaya sebagai tanah kotor, sehingga tidak layak huni. Konon katanya (menurut teks SSKK juga), tanah tersebut menjadi tempat tinggal dari makhluk-makhluk yang mengerikan, seperti raksasa, durgi, durga, kala, dan buta.

Berbeda dengan gambaran yang terdapat dalam SSKK, isi dari teks WL ini tergolong unik, karena berisi pengetahuan masyarakat Sunda tentang pola pemukiman pada masa lalu, berikut kepercayaan yang mendasarinya. Uraiannya lebih rinci, lengkap, dan sistematis. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat Sunda pada masa lalu telah memiliki konsepsinya sendiri tentang pola huniannya.


7. Pembagian pola pemukiman
Secara umum, ada dua jenis pola pembagian topografi lahan yang terdapat dalam teks WL. Hal tersebut berdasarkan digunakannya dua istilah dalam teks yang pengertiannya cukup berbeda, yaitu penggunaan kata lemah ‘lahan, tanah’ dan dayeuh ‘wilayah, pemukiman’ atau lembur ‘wilayah kampung’. Artinya, pembagian klasifikasi pola pemukiman, dapat berdasarkan kontur tanah atau berdasarkan keadaan wilayah pemukiman. Pembagian keduanya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.

7.1 Pembagian berdasarkan kontur tanah
1. Talaga Hangsa (tanah condong ke kiri)
2. Banyu Metu (tanah condong ke belakang)
3. Purba Tapa (tanah condong ke depan)
4. Ambek Pataka (tanah condong ke kanan)
5. Ngalingga Manik (tanah membentuk puncak)
6. Singha Purusa (tanah memotong bukit)
7. Sumara Dadaya (tanah datar)
8. Jagal Bahu (dua lahan terpisah)
9. Sri Madayung (tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil dan besar)

7.2 Pembagian berdasarkan keadaan wilayah
1. Luak Maturun (bagian tengah wilayah terdapat lembah)
2. Wilayah yang melipat
3. Tunggang Laya (wilayah pemukiman menghadap laut)
4. Mrega Hideng (wilayah pemukiman bekas kuburan)
5. Talaga Kahudanan (wilayah pemukiman terbelah sungai)
6. Wilayah membelakangi bukit
7. Si Bareubeu (wilayah berada di bawah aliran sungai)
8. Kampung dikelilingi rumah
9. Bekas tempat kotor dikelilingi rumah
Dari ke-18 jenis topografi lahan pemukiman di atas, dapat diketahui bahwa hanya empat jenis di antaranya yang dianggap membawa dampak baik, yaitu talaga hangsa (tanah yang condong ke kiri), ngalingga manik (tanah membentuk bukit dengan pemukiman di atasnya), singha purusa (tanah memotong bukit), dan sumara dadaya (tanah datar). Sementara 14 jenis lainnya, tergolong topografi lahan atau wilayah yang kurang baik. Tetapi tidak serta merta topografi lahan yang kurang baik ini tidak layak huni, karena ada sarana dan mantra-mantra tulak bala untuk mensucikan lahan tersebut dari pengaruh-pengaruh buruk yang menyertainya. Bahkan lahan yang membawa dampak baik pun perlu disucikan.

7.3 Istilah Topografi
Di antara 18 jenis topografi lahan yang terdapat dalam teks, 13 di antaranya mengandung istilah khusus yang pada umumnya istilah-istilah tersebut dapat dirujuk ke dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa kuna. Hampir semua istilah-istilah tersebut merupakan bentukan majemuk yang terdiri dari dua kata serta mengandung metafora. Contoh yang dapat diajukan adalah talaga hangsa ‘telaga angsa’, yang berasal dari bahasa Sansekerta tadaga ‘telaga’ dan hangsa ‘angsa’. Demikian juga dengan ambek pataka ‘hati yang jahat’, yang dapat dirujuk dari Sansekerta atau Jawa kuna ambek ‘hati’ dan pataka ‘jahat’. Tetapi, ada satu di antaranya, atau mungkin pengecualian, yang bersifat khas Sunda, yaitu istilah Si Bareubeu untuk topografi wilayah yang berada di bawah aliran sungai, yang pengertiannya mengacu pada jenis kayu di hutan yang pohonnya rendah.

Pada umumnya pemberian istilah pada topografi tertentu menggunakan metafor yang sesuai dengan keadaan lahan atau wilayah pemukiman. Contohnya adalah istilah purba tapa yang berarti ‘berada di depan yang sedang bertapa’, sesuai dengan topografi lahan yang condong ke depan. Demikian halnya dengan sri madayung ‘wanita yang mendayung’, sebuah metafora untuk lahan yang diapit oleh dua sungai. Menariknya, istilah dayung dalam JwK sama dengan istilah rayung (JwK) yang berarti ‘dayung’, dalam perkembangan semantis bahasa Sunda dikenal istilah rayungan untuk menyebut laki-laki yang mudah tergoda oleh perempuan atau sebaliknya. Lahan yang disebut luak maturun dapat dibayangkan sebagai lahan yang berceruk karena terdapat lembah. Begitu pula jagal bahu, yang secara harfiah berarti ‘lengan yang terputus’, untuk menyebut jenis lahan yang terpisah menjadi dua.

Selain sesuai dengan topografi lahan, istilah bermetafor tersebut juga dapat dikaitkan dengan pertanda baik atau buruk dari jenis topografi tertentu. Hal yang demikian, misalnya, terdapat pada istilah ambek pataka ‘hati yang jahat’ untuk jenis tanah yang condong ke kanan, sesuai dengan dampak buruk dari lahan tersebut yaitu banyak yang ‘menyakiti hati’ empunya lahan. Istilah mrega hideng ‘kijang yang tak beranjak’ untuk lahan bekas kuburan, kiranya sesuai dengan pengaruh buruknya, yaitu daerah menjadi ‘kurang jangkauan’, atau dengan kata lain, ‘tidak memiliki wibawa’. Demikian pula dengan singha purusa ‘lelaki singa atau pahlawan’ untuk tanah yang memotong bukit, sesuai dengan pengaruh baik dari lahan tersebut, yaitu selalu menang dalam peperangan.

Pertanyaaan yang mungkin dapat diajukan adalah: apakah istilah-istilah yang dapat dirujuk dari bahasa Sansekerta atau Jawa kuna tersebut digunakan pula dalam konteks yang sama? Dengan kata lain, apakah di India atau di Jawa pada jaman pertengahan juga digunakan istilah yang sama untuk jenis topografi lahan pemukiman? Karena sejauh penelusuran terhadap sumber-sumber Jawa kuna berdasarkan himpunan kosakata yang dikumpulkan Zoetmulder (2006), kata-kata tersebut tidak digunakan dalam konteks yang sama sebagai mana tersurat dalam teks WL. Jika demikian adanya, dapat dikatakan bahwa telah terjadi proses kreatif pada masyarakat Sunda masa lalu, dimana kosakata yang membentuk istilah tersebut, dimaknai dan diterapkan menurut konteks Sunda.


8. Perspektif
Terdapat catatan menarik, bahwa pada paragraf 02-05 dalam teks WL, penulis menggunakan perspektif arah dengan penyebutan kénca-katuhu-hareup-tukang (kiri–kanan–depan–belakang), bukan dengan timur–barat–utara–selatan sebagaimana lazim ditemukan pada teks Sunda kuna lainnya. Keduanya memiliki makna yang berbeda, penyebutan ‘kiri-kanan-depan-belakang’ cenderung bersifat relatif (setidaknya untuk pembaca modern) sedangkan ‘timur-barat-utara-selatan’ lebih bersifat absolut.

Petunjuk dalam menyesuaikan arah relatif sebagaimana tertuang dalam teks ke dalam arah absolut terdapat pada paragraf 04, yaitu digunakannya istilah purba tapa untuk topografi tanah yang condong ke depan. Purba (atau purwa) berasal dari bahasa Sansekerta yang dapat diartikan ‘depan, awal, dahulu, pertama’ (Zoetmulder, 2006: 887). Tetapi terdapat pengertian lain yang penting untuk dicatat, yaitu ‘timur’ (Zoetmulder, 2006: 887; Danadibrata, 2006: 552). Timur adalah tempat terbitnya matahari.

Pada masyarakat Baduy dewasa ini, secara tersirat bahwa arah timur dianggap sebagai bagian paling depan. Hal itu tampak, misalnya, dalam tata letak huma sérang, ladang suci tempat kegiatan ritual pertanian, yang berada di wilayah paling timur. Huma sérang inilah tempat dilaksanakannya berbagai upacara dalam siklus pertanian sebelum huma yang lain melakukan kegiatan pertaniannya, karena huma sérang secara simbolik dianggap sebagai huma yang terlebih dahulu terkena sinar matahari (Permana, 2006: 93-112).

Dalam bahasa Sunda juga terdapat istilah purwa daksina yang berarti ‘awal sampai akhirnya’, yang juga berasal dari Sansekerta purwa ‘timur’ dan daksina ‘selatan’ (bukan barat).
Dengan demikian, perspektif yang relatif bagi pembaca modern sebagaimana tertuang dalam teks WL jika ditafsirkan sesuai perspektif arah mata angin dapat digambarkan sebagai berikut:

Oleh karena itu, persoalan perspektif yang muncul pada paragraf 02-05 dalam teks WL kiranya dapat ditafsirkan sebagai berikut:
- talaga hangsa adalah istilah untuk tanah yang cenderung menurun (bahé) ke arah utara;
- banyu metu adalah istilah untuk tanah yang cenderung menurun ke arah barat;
- purba tapa adalah istilah untuk tanah yang cenderung menurun ke arah timur; dan
- ambek pataka adalah istilah untuk tanah yang cenderung menurun ke arah selatan.
Demi mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai penggunaan pola-pola tersebut pada masyarakat Sunda dewasa ini, kiranya diperlukan kajian lebih jauh dari disiplin ilmu lain.


9. Kepercayaan dan perkembangannya
Untuk menghindari pamali (tabu) akibat menempati wilayah dengan topografi tertentu, pemilik lahan diharuskan memenuhi persyaratan penyucian serta membaca mantra-mantra khusus. Sarana penyucian pada umumnya dilaksanakan di tempat khusus yang disebut pahoman (tempat sesaji) atau di lokasi yang dianggap sebagai dalem (wilayah bagian dalam) dengan melaksanakan ritual khusus.

Mantra yang muncul dalam teks disebut aji, yang menurut Zoetmulder (2006: 17) berarti ‘kitab-kitab suci, teks suci’; ‘teks yang berwenang’; atau - pengertian yang paling tepat berdasarkan teks – ‘formula yang sangat suci dan kuat akan magis’. Terdapat catatan menarik berkaitan dengan ajian yang digunakan dalam teks WL, yaitu penggunaan kata ‘sohah’ (Skt. swahah) pada enam dari tujuh mantra yang terdapat dalam teks. Avalon (dalam Windu Sancaya, 2003: 57) menyatakan bahwa mantra yang diakhiri dengan ‘sohah’ termasuk jenis mantra feminim, atau disebut widya, yang memiliki daya magi yang kuat dan hidup jika dibandingkan dengan mantra yang diakhiri dengan ‘namah’ yang bersifat netral.

Ritual penyucian lahan pemukiman dipimpin oleh seorang ahli yang disebut pandita, yang memohon perlindungan dari para dewa (dalam teks disebut-sebut nama Guru dan Sri) dan menghindari gangguan, terutama dari batara Kala. Hal tersebut tampak dari mantra yang terdapat dalam teks WL.04 sebagai berikut:
“Ong paksa ma Guru pun.
Pasaduan kami di na li(ng)ga Si Jaja,
li(ng)ga Si Jantri.
Bawa tamah batara Kala.
Tinggalkeun sari ning lemah
apan gawé sang pandita”
Ong (pemilik) kehendak adalah Guru, maafkan,
kami mohon izin pada lingga si Jaja,
lingga si Jantri,
bawa (pergi) kegelapan batara Kala,
meninggalkan sari dari tanah,
Sebab hasil pekerjaan sang pandita.
Bagi sebagian masyarakat Sunda, kepercayaan terhadap kondisi lahan pemukiman yang berpengaruh terhadap nasib penghuninya masih dipertahankan hingga sekarang. Dalam perkembangannya, kepercayaan tersebut dilaksanakan melalui ritual khusus yang biasa disebut ruatan atau ngaruat. Tradisi ruatan atau ngaruat dilaksanakan melalui berbagai pertunjukan kesenian carita pantun, beluk, dan wayang yang pokok ceritanya kebanyakan berkisah tentang batara Kala. Menarik untuk dicatat, bahwa tokoh batara Kala ini dalam teks-teks Sunda kuna telah dipercaya sebagai sosok makhluk kahiangan yang dipercaya menempati lahan kotor, sebagaimana disinggung dalam SSKK: XXII. Bahkan, teks Kala Purbaka juga mengisahkan tokoh batara Kala yang diperintahkan oleh ayahnya, batara Guru, untuk menempati wilayah-wilayah yang ‘kotor dan mengerikan’ sebagai tempat tinggalnya (Gunawan dan Kriswanto, 2009: 94-123).

Berdasarkan teks yang lebih muda , dapat diketahui bahwa sampai awal abad ke-20 di wilayah Majalaya-Bandung, kesalahan dalam mendirikan rumah dapat berpengaruh pada keadaan penghuninya. Pada umumnya kesalahan tersebut disebabkan rumah yang salah menghadap (imah anu salah ngujurna). Akibatnya, pemilik rumah dapat terserang penyakit malaweung (melamun) lalu lama-kelamaan menjadi ngalanglayung (sakit yang tidak terlalu parah tapi sukar untuk sembuh). Untuk menghindarinya, sebagaimana yang terdapat juga dalam teks WL, diperlukan syarat-syarat tertentu. Selain membaca mantra, syarat yang harus dipenuhi antara lain dengan cara menanam tanaman tertentu, seperti jaringao, jawér kotok, dan panglay.

Perbedaan yang mencolok dengan teks yang disajikan kali ini, ialah pada mantra atau rajah yang digunakan telah mendapat pengaruh Islam yang kuat, meskipun kepercayaan Hindu masih tampak. Hal demikian antara lain ditandai dengan penyebutan nama Allah dan Nabi Muhammad serta pembacaan dua kalimat syahadat pada penutup rajah, sementara pada bagian yang lain masih menyebut nama-nama Batara dan Batari yang identik dengan teks WL, yaitu Guru dan Sri.


10. Penutup
Apa yang disajikan dalam tulisan ini hanya memusatkan perhatian terhadap teks, sehingga perlu diupayakan kajian lebih lanjut tentang kearifan masyarakat Sunda masa lalu dalam mengolah lahan pemukimannya, serta relevansinya dengan kehidupan saat ini. Hal tersebut kiranya penting, terkait dengan kenyataan rusaknya alam yang mengakibatkan berubahnya iklim, bencana alam seperti longsor dan banjir, serta permasalahan lain yang muncul akibat tidak tersusunnya pola hunian yang ramah lingkungan.

Sebagai penutup, ada dua hal pokok yang layak dicatat dari teks WL. Pertama, teks WL yang hanya terdiri dari tiga lempir ini menjadi bukti akan keberagaman khasanah naskah Sunda kuna, karena karakteristik isi teks WL berbeda dengan naskah-naskah Sunda kuna yang lain. Ini membuktikan, bahwa masyarakat Sunda pada masa lalu memiliki tradisi tulis yang cukup kaya; sehingga perlahan tapi pasti, rekaman informasi dari masa silam ini dapat terkumpul dan membentuk ensiklopedi kebudayaan Sunda masa lalu yang lebih luas dan mendalam.

Kedua, yang tak kalah pentingnya, dalam teks WL terlihat jelas bahwa masyarakat Sunda pada masa lalu memiliki sistem pengetahuan yang khas disertai kepercayaan yang mendalam tentang tatanan pemukimannya. Interaksi masyarakat dengan alam yang dijadikan tempat tinggalnya dilandasi oleh nilai-nilai kearifan. Hasil interaksinya tersebut membentuk proses kreatif, sebagaimana nampak dari istilah-istilah yang kaya akan metafora untuk menyebut topografi lahan tertentu. Konteks alam berupa lahan dan hamparan wilayah yang disediakan oleh Tuhan diterima apa adanya tanpa diganggu atau bahkan dirusak. Jika lahan atau wilayah tersebut menurut kepercayaannya dianggap dapat membawa bencana, cukuplah mengadakan upacara penyucian disertai sarana dan do’a agar bencana tersebut dapat dihindari. Itulah kiranya, masyarakat baduy (dalam) yang dianggap masih memegang talari paranti para leluhurnya, tidak pernah meratakan tanah. Karena hal tersebut dianggap buyut (tabu) dan melanggar pikukuh sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ‘gunung teu meunang dilebur, lebak teu beunang diruksak’ (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak).
Leuwih luangan, kurang wuwuhan. Pun.


LAMPIRAN
Cuplikan Teks ‘Ngurus Panyakit Talari Karuhun’ (SD 197) ejaan menurut aslinya dan tidak diubah.

II
Ijeu radjah pamoenah pamake karoehoen tina bab adĕgan imah anoe salah ngoedjoerna, kadjadijan noe njitjinganana sok gĕringan, disĕboet panjakitna, panjakit malaweung tina lantaran keueung toeloey ngalanglajoeng, ari oebarna nja eta koe djampe radjah pamoenah kijeu pokna:
“Poenah 2 radjah pamoenah,
kapoenah koe awakoe,
awakoe Nabi alinge,
Allah noe majoengi,
radjah aing radjah pamoenah,
moenah herang moenah lenggang,
moenah kajoe, moenah batoe,
moenah boemi, moenah langit,
moenah tjai, moenah tampijan,
moenah kalakay salambar,
moenah poetih lenggang herang,
ah poenah saking panggawe.
Sarta koedoe dipĕlakan djaringao, 
djawer kotok, panglay, 
toeloey ditjitjian koe tjai bejas beureum.

VIII
Pĕrtelaan panjakit anoe kaseboet dina salah njanghareupna imah aja 4 roepa ngara(n)na:
1. Panjakit panas tjahja gĕni
2. Panjakit njĕri awak tjahja boemi
3. Panjakit tiris tjahja banjoe
4. panjakit eungap tjahja angin
Eta kasakit 4 roepa ngara(n)na, 
anoe sok ditoedingkeun kana salah njanghareupna imah, 
noeroetkeun koemaha wĕdal noe boga imah [hal.5]

Oepama wĕdal awewe Ahad, imahna njanghareup ngidoel, panto ti koelon, ĕnggon ti wetan.
Oepama wĕdal Sĕnen njanghareup ngaler, panto ti wetan, ĕnggon ti kidoel, saroewa djeung powe saptoe.
Oepama mĕdal Rĕbo njanghareup ka kidoel, panto ti koelon. Ĕnggon ti wetan.
Oepama wĕdal Kĕmis, njanghareup ngaler, panto ti wetan ĕnggon ti kidoel koelon.
Oepama wĕdal Djoemaäh, njanghareup ngidoel, panto ti koelon, ĕnggon ti wetan.
Oepama wĕdal Saptoe, njanghareup ngaler, panto ti wetan, ĕnggon ti kidoel. 
Ari lalaki kabawa koe awewe sabab awewe pabejasan. 
Oebarna tjai atah, sarĕng ngoekoes koe mĕnjan bijasa toeloej eta noe gĕring dimandijan koe tjai.
Kieu Djangdjawokanana:
“Gĕni asih antara rasa,
pangeran Soentia parat,
kaoela ngahiras aya pangnĕpikeun, pangdongkapkeun,
sapanĕdja kaoela,
ka malaikat sang inten poetih,
ka malaikat sang lĕnjĕp poetih,
kaoela ngatoerkeun bakti sangoe poetih,
sapoeloekaneun,
ka Sri anoe hĕnteu gĕlar,
koekoes kami, koekoes noe ngadĕg,
koe ratoe njai Sri,
mangka tĕtĕp, mangka langgĕng,
tĕtĕp langgĕng ku kĕrsana.
Bral koekoes kaoela ka manggoeng,
ngĕmbat ka awang-awang,
ka loehoer ka sang roemoehoen,
ka goeroe poetra jang bajoe,
ka handap ka sang batara,
ka batara naga radja,
baeu bangĕt njai mas poehatji,
lĕngih djeung poehatji,
lĕngih poetih djeung poehatji,
intĕn panangantĕn,
djeung poehatji, tjahja toenggal
geura koempoel ngarijoeng,
geura gomplok ngaronjok,
ngaronjok djeung soehoenan rama,
soenan raka ki sarana
mangka tĕtĕp, mangka langgĕng
koe kĕrsana,
Ashadoealla ilaha illalloh
wa Ashadoe ana Moehamad Rasoeloelloh.” [hal.6]


Daftar Pustaka
  1. Behrend, T.E. (ed.), 1998, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Katalog induk naskah-naskah Nusantara Jilid 4. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme Orient.
  2. Danadibrata, 2006, Kamus umum basa Sunda. Bandung: Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda bekerja sama dengan Kiblat Buku Utama dan Universitas Padjadjaran.
  3. Danasasmita, Saleh dkk., 1987, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan.
  4. Darsa, Undang A., 1998, Sanghyang Hayu: Kajian Filologi Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran.
  5. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati, 2006, Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420)Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darma Pamulih, Ajaran Islam (Kropak 421), Jatiraga (Kropak 422); Studi Pendahuluan, Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan, dan Terjemahan Teks. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
  6. Ekadjati, Edi S., 1988, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation.
  7. Ensiklopedi Sunda; Alam, manusia, dan budaya, 2000. Jakarta: Pustaka Jaya.
  8. Garna, Judistira K., 1984, ‘Pola Kampung dan Desa, Bentuk serta Organisasi Rumah Masyarakat Sunda’, dalam Edi S. Ekadjati (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, hlm. 223-275. Jakarta: Girimukti Pasaka.
  9. ---------, 2001, ‘Sunda Wiwitan: Orang Baduy dari Pancer Bumi, Kanékés’, dalam Ajip Rosidi dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 1). Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancagé bekerjasama dengan PT Dunia Pustaka Jaya.
  10. Gunawan, Aditia, 2009, Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka (suntingan dan terjemahan). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
  11. Gunawan, Aditia & Agung Kriswanto, 2009, ‘Kala Purbaka: Kisah Batara Kala dalam Teks Sunda Kuna’, Sundalana 8: 94-133. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  12. Hardjadibrata, R.R., 2003, Sundanese English Dictionary (Based on Soendanees-Nederlands Woordenboek by F.S.Eringa). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
  13. Hermansoemantri, Emuch, A. Marzuki, Elis Suryani, 1987, Kamus bahasa Sunda kuna Indonesia. Proyek penunjang Sundanologi Dinas P dan K Prop. Daerah Tingkat 1 Jawa Barat.
  14. Holil, Munawar & Aditia Gunawan, 2010, ‘Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi’, makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-13. Solo: 27-29 Juli 2010.
  15. Kamus Umum Basa Sunda, 1975, disusun ku Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda. Edisi kahiji. Bandung: Tarate.
  16. Krom, N.J & F.D.K. Bosch, 1914, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie. Weltevreden: Albrecht & co.
  17. Noorduyn, J. dan A. Teeuw, 2006, Three old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.
  18. Notulen van de algemeene en directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (NBG), Deel XIII, 1875, Batavia: Lange & Co.
  19. Permana, R. Cecep Eka, 2006, Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya.
  20. Rigg, Jonathan, 1862, A Dictionary of the Sunda Laguage of Java. Batavia: Lange & CO.
  21. Salura, Purnama, 2007, Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. PT CIPTASASTRASALURA.
  22. Sancaya, I Dewa Gede Windu, 2003, ‘Teks-teks Mantra dalam Manuskrip Lontar dan Fungsinya dalam Masyarakat Bali’, makalah Seminar Nasional Naskah Kuno Nusantara, Jakarta, 2-3 September 2003, Perpustakaan Nasional RI.
  23. Satjadibrata, R., 2005, Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
  24. Stuart, Cohen, 1872, Eerste Vervolg Catalogus der Bibliotheek en Catalogus der Maleische, Javaansche en Kawi Handschriften van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: ‘s Hage, Bruining & Wijt, M. Nijhoff.
  25. Zoetmulder, P.J., 2006, Kamus Jawa kuno – Indonesia. Cetakan kelima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Catatan:
Edisi cetak tersedia di Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda (Seri Sundalana 9, tahun 2010). Bandung: Pusat Studi Sunda.

Tidak ada komentar