Perjalanan Hidup Dipati Ukur Yang Mengenaskan
Wangsanata adalah putra Pangeran Adipati Cahyana yang berasal dari Jambu Karang yang kini terletak di wilayah Banyumas. Ia terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut hingga diteruskan oleh para keturunannya. Setidaknya begitulah yang dituliskan Naskah Sunda Mangle Arum terkait asal usul Wangsanata, yang kelak dikenal sebagai Dipati Ukur.
Tempat tinggal Wangsanata di wilayah Pasundan adalah Tatar Ukur, wilayah yang dikuasai oleh Adipati Ukur Agung. Tampaknya daerah ini adalah kerajaan yang tidak terlalu besar karena gaungnya tidak sekeras kerajaan-kerajaan Sunda lain. Sebut saja Kerajaan Galuh, Kerajaan Pakuan, dan bahkan Kerajaan Sumedang Larang. Namun demikian, Tatar Ukur menjelma menjadi masyhur karena keberanian pemimpinnya dalam menentang sikap keras Sultan Agung Mataram.
Di Ukur, Wangsanata berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu tidak hanya menarik perhatian Adipati Ukur Agung, namun juga menarik cinta putri sang adipati. Tidak ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera menikahkan putrinya dengan Wangsanata. Semenjak itu, posisi Wangsanata di kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, Wangsanata naik tahta menggantikannya. Dengan posisinya itu, Wangsanata pun dikenal sebagai Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur.
Dalam artikel jurnal yang berjudul “Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (1627-1633)”, Lasmiyati menungkapkan bahwa Ukur memiliki wilayah yang sangat luas dan mencakup beberapa bagian wilayah sejumlah kabupaten di Jawa Barat saat ini. Menurutnya, wilayah yang ada dalam kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang Larang, Karawang, Pamanukan, Ciasem, Indramayu, Sumedang, Sukapura, Limbangan dan Timbanganten.
Sementara itu, di Mataram, Sultan Agung tengah menggalakkan politik ekspansif. Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Jawa Timur, penguasa terbesar Mataram itu pun berencana melakukan penyerangan ke Batavia, yang ketika itu mulai berkembang sebagai kekuatan yang mengancam. Untuk mendukung perangnya, Sultan Agung mewajibkan penguasa-penguasa Priangan yang ada di bawah hegemoninya untuk mengikuti perang tersebut. Karena penguasa Sumedang memiliki kasus yang belum selesai, Sultan Agung memilih Dipati Ukur untuk menjadi komando orang-orang Pasundan.
Pada tahun 1628, perang akan segera bergejolak. Dipati Ukur (yang menjadi komandan pasukan Pasundan) bersepakat dengan Tumenggung Bahurekso (yang menjadi komandan pasukan Jawa Mataram) untuk bertemu di Karawang, namun pertemuan itu tidak pernah terjadi sehingga keduanya melakukan penyerangan ke Batavia dalam waktu yang berlainan. Penyerangan yang tidak efektif itu tentunya mudah dipatahkan oleh tentara-tentara Kompeni yang memiliki persenjataan lebih maju. Oleh sebab itu, baik pasukan Ukur maupun Bahurekso, gagal dalam penyerangan tersebut.
Menyadari bahwa hasil perang itu tidak akan menggembirakan Sultan Agung, Dipati Ukur hanya memiliki dua pilihan: mati dieksekusi atau mati membela diri. Ia pun memilih opsi yang kedua, karena harga diri serta kehormatan sebagai taruhannya. Ukur berkeliling ke sejumlah tempat di Tatar Sunda, mengajak saudara Pasundannya untuk bersatu dan menentang hegemoni Mataram. Sejumlah lembur, umbul dan dayeuh yang dekat bersedia menerima ajakannya, sedangkan yang lain memilih bersikap pasif dan bahkan ada yang cenderung ingin berkonfrontasi dengannya.
Ketika pasukan Mataram di bawah kepemimpinan Bahurekso dan Narapaksa yang ditugaskan untuk menghukum Dipati Ukur itu berdatangan ke wilayah Pasundan, pasukan Ukur melakukan gerilya dengan komando yang berada di sekitar Gunung Lumbung. Penguasaan mereka atas lapangan, sebetulnya membuat pasukan Dipati Ukur sempat unggul, namun malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih, sejumlah kepala umbul (kepala lokal) Pasundan yang tidak suka dengan Ukur malah bekerjasama dengan Mataram dan membantu memetakan wilayah pasukan Ukur sehingga kemudian berhasil mematahkan berbagai strategi gerilya yang digunakannya.
Buku ‘Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1914’ yang ditulis oleh N.J. Krom menyatakan bahwa pada tahun 1833 seorang zoolog dan ahli botani berkebangsaan Jerman, anggota en:Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Pendidikan Fisika Hindia Belanda) yang bernama Salomon Müller datang ke Gunung Lumbung. Bersama dengan Pieter Van Oort, ia mendapatkan cerita dari sesepuh disana tentang sosok Dipati Ukur hingga tempat peninggalannya. Menurut orang tua tersebut, Gunung Lumbuh adalah pertahanan terakhir Dipati Ukur.
Setelah terdesak dan berhasil ditangkap, Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan menemui ajalnya. Terkait akhir sang penguasa Tatar Ukur tersebut, ada banyak versi eksekusi dan tokoh yang berjasa dalam mematahkan perlawanannya. Namun yang jelas, sang dipati dihukum mati dan tokoh yang membawanya ke Mataram adalah orang-orang Sunda sendiri. Menurut Karel Frederik Holle, penangkap Dipati Ukur adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Sedangkan dalam Naskah Dipati Ukur yang ada di Leiden dan ditulis oleh R.A. Sukamandara, disebutkan bahwa sang dipati ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Kawasen, Bagus Sutapura.
Dalam rangkaian peristiwa yang saling jalin menjalin tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kehormatan dan keserakahan adalah dua hal yang berlainan. Meskipun balasannya kematian, kehormatan mesti ditegakkan. Sedangkan keserakahan, meskipun tawarannya adalah kebahagiaan, mesti bisa dijauhkan. Bukan hanya demi kebaikan yang sesaat dirasakan, namun juga demi catatan sejarah yang abadi sebab dituliskan, dan menjadi bacaan banyak insan di setiap zaman.
Keserakahan memang tidak mengenal asal bangsa, namun bersemayam di jiwa-jiwa haus kuasa sehingga ia menjelma menjadi raksasa penyiksa yang bahkan bisa saja berasal dari satu kelompok bangsa dan bahasa yang sama. Ingat saja, pemangsa bisa hadir dari orang terdekat yang berada di sekeliling kita. Jangan berlebihan curiga, cukup mawas diri dan selalu waspada.
Wangsanata (yang kemudian bernama Dipati Ukur) berasal dari Kerajaan Jambu Karang berlokasi di Purbolinggo, Banyumas Jawa Tengah. Ia keturunan Sunan Jambu Karang yang waktu itu masih beragama Budha (Pemda Kabupaten Bandung, 1974: 40). Suatu ketika, di Jambu Karang datang seorang Arab yang bernama Abdurakhman al Qadri. Ia menyebarkan agama Islam di kalangan rakyat. Kiprahnya tersebut mendapat tantangan dari Sunan Jambu Karang. Beberapa waktu, Abdurakhman dapat mengislamkan Sunan Jambu Karang.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Abdurakhman dijodohkan dengan putri Sunan dan menggantikan kedudukan Sunan Jambu Karang sebagai raja. Selama Abdurakhman menggantikan posisi Sunan, ia mengganti namanya menjadi Pangeran Atas Angin. Pernikahan antara Pangeran Atas Angin dengan putri Sunan Jambu Karang melahirkan putra bernama Cahya Luhur yang nantinya menggantikan ayahnya bertahta di Jambu Karang. Putra Cahya Luhur bernama Adipati Cahyana.
Pada saat itulah Jambu Karang ditundukkan oleh Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya. Putra Adipati Cahyana yang bernama Wangsanata oleh Mataram disingkirkan ke Tatar Ukur yang diperintah oleh Adipati Ukur Agung (Sumantri, 1973: 28). Dalam Mangle Arum, Adipati Ukur Agung adalah kepala daerah Ukur pertama yang mengakui kekuasaan Mataram. Sesampai di Tatar Ukur, pemuda Wangsanata diasuh oleh Adipati Ukur Agung.
Setelah dewasa ia dijodohkan dengan Nyai Gedeng Ukur. Atas persetujuan Mataram, Wangsanata menggantikan kedudukan Adipati Agung sebagai penguasa di Tatar Ukur. Sejak itulah, Wangsanata lebih dikenal dengan nama Dipati Ukur (Lubis, 2003: 13).
1) Pangeran Mahdum Kusen;
2) Pangeran Makdum Madem;
3) Pangeran Makdum Omar;
4) Nyai Rubiyah Raja; dan
5) Nyai Rubiyah Sekar.
Pangeran Makdum Kusen kemudian menggantikan kedudukan ayahnya. Selama kepemimpinan Makdum Kusen, Perdikan Cahyana masih dalam wilayah Pajajaran. Selanjutnya Perdikan Cahyana terlepas dari kekuasaan Sunda Pajajaran.
1) Nyai Suratiman;
2) Kiai Pangulu;
3) Pangeran Esthi (yang menjadi istri Pangeran Makdum Cahyana);
4) Kyai Mas Pekiringan; dan
5) Kiai Mas Akhir (Priyadi, 2001: 93).
Sepeninggal Mahdum Cahyana, perdikan Cahyana terbagi-bagi menjadi beberapa daerah perdikan di Kabupaten Purbalingga. Dari babad tersebut Wangsanata tidak disebut-sebut. Dalam Sadjarah Bandung disebutkan bahwa Wangsanata dibawa ke Tatar Ukur oleh Mataram.
Wangsanata adalah putra Pangeran Adipati Cahyana yang berasal dari Jambu Karang yang kini terletak di wilayah Banyumas.
Ia terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut hingga diteruskan oleh para keturunannya. Setidaknya begitulah yang dituliskan Naskah Sunda Mangle Arum terkait asal usul Wangsanata, yang kelak dikenal sebagai Dipati Ukur.
Tempat tinggal Wangsanata di wilayah Pasundan adalah Tatar Ukur, wilayah yang dikuasai oleh Adipati Ukur Agung. Tampaknya daerah ini adalah kerajaan yang tidak terlalu besar karena gaungnya tidak sekeras kerajaan-kerajaan Sunda lain. Sebut saja Kerajaan Galuh, Kerajaan Pakuan, dan bahkan Kerajaan Sumedang Larang. Namun demikian, Tatar Ukur menjelma menjadi masyhur karena keberanian pemimpinnya dalam menentang sikap keras Sultan Agung Mataram.
Di Ukur, Wangsanata berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu tidak hanya menarik perhatian Adipati Ukur Agung, namun juga menarik cinta putri sang adipati. Tidak ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera menikahkan putrinya dengan Wangsanata. Semenjak itu, posisi Wangsanata di kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, Wangsanata naik tahta menggantikannya.
Selanjutnya Dipati Ukur alias Adipati Wangsanata alias Wangsataruna, menikahi NR. Enden Saribanon/NM. Dipati Ukur, putri No.12 Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya) dari isteri pertamanya yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru (Sari Hatin), putri Sunan Aria Pada (Rd. Hasata). lebih jelasnya sebagai berikut
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear (Pangeran Bungsu)
Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipakoe
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Oekoer
1.1 Prabu Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1 .1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tmg. Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipakoe
Generasi ke 3
1.1.12 Nyi Mas (NM) Dipati Oekoer x Rd. Dipati Ukur Anom atau R Wangsa Taruna atau Wangsanata (1587 - 1650M), anak angkat Rd. Dipati Ukur Ageung atau Rd Wangsa Jaya (1630 M) (Keterangan diatas bahwa Dipati Ukur adalah anaknya Mahdum Cahyana dari Purbalingga).
Ada yang mensilsilahkan bahwa Rd. Dipati Ukur Ageur atau Rd. Wangsa Jaya atau Panandean Ukur adalah anaknya Lingga Pakuan (1850), dan Lingga Pakuan dan Rd. Aji Mantri adalah anaknya Prabu Surya Kancana / Prabu Nusiya Mulya (Panembahan Pulasari) 1567 - 1569, Pulasari - Pandeglang, Raja Pajajaran ke 6 baca di : https://id.rodovid.org/wk/Orang:1167413, namun berdasarkan manuskrip primer Lontar Sakawayana yang berada di Sumedang putranya Prabu Suryakancana / Prabu Ragamulya (Panembahan Pulasari) atau Prabu Haris Maung dari isterinya Ratna Gumilang hanya Rd. Aji Mantri (Baca disini : https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2016/02/lontar-ki-sakawayana.html).
Transkrip data Primer Naskah Wangskerta yang ditulis tahun 1670, menuliskan :
" .....Sang Prabu Nilakendra namannya, memerintah selama 16 tahun, lalu digantikan oleh sang Ratu Wekasan, ialah sang Prabu Ragamulya namannya, memerintah selama 12 tahun. Waktu pemerintahan raja ini adalah kurun jaman besar kerajaan Pajajaran, sebab sudah ditakdirkan oleh Tuhan yang Maha Esa. Adapun musnahnnya kerajaan Pajajaran dan wglakamata saat Banten 1501 saka (1579/1580 masehi)."
Disebutkan dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 Karya Pangeran Wangsakerta tahun 1670, menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
“Pajajaran sirna ing ekadaa uklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang akakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah “Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : “Pajajaran burak pada tahun jim akhir”.
Begitu juga Naskah Primer Lontar Carita Parahyangan, yang merupakan nama suatu naskah Sunda kuno yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibu kota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 × 3 cm, yang dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda Kuno.
Bait terakhir Carita Parahyangan, menuliskan :
"Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. Prang ka Rajagaluh, éléh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Patégé, prang ka Jawakapala, éléh na Jawakalapa. Prang ka Galélang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun."
Artinya :
"Diganti Oleh Nusiya Mulya. Lamanya menjadi Ratu, dua belas Tahun. Mulai datang perubahan. Sekelompok kecil disusupkan kepada sekumpulan orang, yang disusupkan oleh pengaruh Islam. Perang ke Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang ke Kalapa, kalah Kalapa. Perang ke Pakwan, perang ke Galuh, perang ke Datar. Perang ka Mandiri, perang ka Patégé, perang ke Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang ke Galélang. Menyebrang perang ke Salajo; semua kalah oleh Pasukan Islam. Oleh sebab itu menjadi vatsal bawahan kesultanan Demak dan Cirebon."
Setelah Prabu Surya Kencana atau Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Sedha atau Prabu Harismaung, burak di Kadu Hejo Pandeglang tidak ada lagi nama "Prabu" dan yang melanjutkannya estafet kerajaan Pajajaran diteruskan oleh Prabu Geusan Ulun dari Sumedanglarang. Sedangkan eksistensi penerus estapet kerajaan Pajajaran berikutnya adalah kerajaan Sumedanglarang di masa Prabu Geusan Ulun berikut penyerahan Mahkuta Bino Kasih lengkap dengan Atribut oleh Empat Kandaga Lente, yaitu: Jaya Perkasa (Sayang Hawu), Nangganan (Wirajaya), Kondang Hapa, dan Terong Peot.
Generasi ke 3
1.1.12.1 Dlm. Dipati Agung Suriadinata atau Dlm Saradireja (1610 M), berputra :
1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M)
Generasi ke 4
1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M), berputra :
1.1.12.1.1.1 Rd. Abdulmanap Natadireja
Generasi ke 5
1.1.12.1.1.1 Rd. Abdulmanap Naya Diredja (Dalem Mahmud atau Syekh Hajji Abdul Manaf (1650 - 1725 M) x NR. Emas Nayadiredja, berputera :
1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi
Generasi ke 6
1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi (Eyang Sayyidi), berputera :
1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif
1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng
Generasi ke 7
1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria
1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng, berputera :
1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang
Generasi ke 8
1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria (Mama Rende Cikalong Wetan), berputra :
(belum ada data)
1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)
Generasi ke 9
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)/Jagasatru 1, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar
Generasi ke 10
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar / Jagasatru 2 x Nyi Jaliah, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1.1 Rd. Brajayudha (Anom) Natapraja
Sebelum membahas sejarah Dipati Ukur ada baiknya saya bahas dahulu sejarah Sumedang yang berkaitan dengan sejarah Dipati Ukur. Pada periode pengaruh Mataram penguasa Sumedang, yaitu Raden Aria Soeriadiwangsa / Rangga Gempol (1601-1625) dan Pangeran Rangga Gede (1625-1633)
Setelah Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1601, Prabu Geusan Ulun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada 2 putra mahkota yaitu Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan Pangeran Aria Rangga Gede. Awalnya wilayah kerajaan Sumedanglarang dibagi dua : Wilayah Pertama diperintah oleh Pangeran Soeriadiwangsa, putera sulung dari Ratu Harisbaya dari Pangeran Girilaya. Ibu kotanya terletak di Tegal Kalong. Wilayah kedua diperintah oleh Pangeran Rangga Gede, putera sulung dari Ratu Cukang Gedeng Waru. Pusat kotanya terletak di Canukur, namun tak lama dan beralih ke daerah Paseh - Pangrumasan,
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun terjadi beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan. Hal ini terjadi berkait dengan semakin menguatnya kesultanan Mataram.
Mengenai semakin menguatnya kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut. Pada tahun 1614 VOC mengirimm utusan ke Mataram, yang waktu itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), putera Sultan Seda Krapyak (1602-1613). Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi yaitu klaim bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon berada dibawah kekuasaannya.
Meskipun pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu tak membuat Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) dan Pangeran Aria Rangga Gede takluk dibawah kekuasaan Mataram. Jika tidak memposisikan diri sebagai kerajaan bawahan, Pangeram Aria Soeriadiwangsa khawatir Kesultanan Mataram akan menyerangnya. Itulah antara lain yang mendorong Pangeran Aria Soeriadiwangsa atas kemauan sendiri pada tahun 1620 datang ke Mataram menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi bawahan Mataram.
Kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa ini disambut baik oleh Sultan Agung. Konon, karena ketulusan hati Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang mengakui hegemoni Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Aria Soeriadiwangsa dinamai “Prayangan” (berarti “tulus-ikhlas”); selanjutnya menjadi Priangan. Penghargaan atas kedatangan Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram, Sultas Agung memberi gelar Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. (selanjutnya lebih popular dengan sebutan Rangga Gempol I). Status Sumedang pun berubah, tidak lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai ka-Adipati-an yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Pangeran Dipati Rangga Gempol pun tidak lagi sebagai raja, tapi sebagai Adipati. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Sumedanglarang diberi status sebagai wilayah KaAdipatian (Kadipatian / Kadipaten / Kabupatian / Kabupaten). yang masing-masing dipimpin oleh seorang Apapati. Akan tetapi posisi Dipati Rangga Gempol, selain sebagai bupati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai kordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana. Selang empat tahun setelah pengakuan hegemoni, pada tahun 1624 M.
Dipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang, Madura. Berangkatlah beliau dengan membawa pasukan yang banyak. Oleh karena pada masa Adipati Rangga Gede berkuasa, Sumedang kekurangan pasukan.
Setibanya di wilayah Sampang Madura ada enam kerajaan kecil yang harus ditaklukan, tiga kerajaan kerajaan yang ditaklukam secara damai, karena setelah Pangeran Dipati Rangga Gempol berkomuniasi dengan Bupati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda. Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Dipati Rangga Gempol, namun tiga kerajaan kecil lainnya yang harus ditaklukan dengan bantuan kerajaan yang telah secara damai dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.
Atas keberhasilan ini, Sultan Mataram sangat gembira dan berterima kasih kepada Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Sebagai penghargaan atas jasanya, Sultan Agung meminta Pangeran Dipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) untuk tinggal di Mataram. Pangeran Aria Soeriadiwangsa, beserta beberapa anggota pasukannya tinggal di suatu kampung, yang sampai sekarang disebut Kasumedangan, termasuk desa Bembem. Namun apa yang terjadi sekembalinya dari Madura dan menetap di Bembem, Adipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) malah dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung karena fitnah Bupati Purbalingga. Ada suatu silib atau sindiran dari keturunan Soeriadiwangsa dari generasi ke generasi yang memfiitnah Adipati Aria Soeriadiwangsa dari Mataram tersebut disilibkan dengan "Burung Beo". Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Dipati Rangga Gempol) pun kemudian dimakamkan di Mataram pada tahun 1624 Masehi (tahun 1546 Saka). Beliau dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda, yaitu : di Lempuyanganwangi, dekat Stasiun Kerata Api Lempuyangan, di Kotagede dan di Imogiri.
Sewaktu Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berangkat ke Sampang Madura, pemerintahan Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Dipati Rangga Gede, putra pertama Geusan Ulun dari Ratu Cukang Gedeng Waru.
Tidak dijelaskan dalam sejarah, mengapa kekuasaan itu tidak dibagi dua lagi dan diserahkan kepada putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang bernama Raden Kartawijaya atau Raden Kartadjiwa sering disebut dalam sejarah Raden Soeriadiwagsa (Soeriadiwangsa 2), atau kemungkinan ketika itu Rd. Kartadijwa (Sooeriadiwangsa 2) belum cukup umur dan cakap memimpin suatu wilayah.
Di atas sudah disebutkan bahwa ketika Pangeran Aria Soeriadwangsa (Dipati Rangga Gempol) mengemban tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Wilyah Sampang Madura, tugas pemeritahan di Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede. Dengan demikian, Sumedang yang sempat terbagi dua kembali disatukan di bawah bupati Pangeran Rangga Gede. Selama Pangeran Rangga Gede menjadi bupati terjadi beberapa peristiwa penting, di antaranya adalah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) minta bantuan Banten untuk menyerang Sumedang dan serangan Mataram ke Batavia.
Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) putera Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, merasa kecewa karena dalam pandangannya yang berhak mewarisi kekuasaan di Kabupaten adalah dirinya. Yang terjadi malah kekuasaan itu diberikan kepada Dipati Rangga Gede. Akan tetapi, Pangeran Aria Dipati Rangga Gede memiliki alasan sendiri atas tindakannya itu. merasa bahwa hak mewarisi kekuasaan dari Prabu Geusan Ulun, karena karena Dipati Rangga Gede adalah putra mahkota pertama dari Prabu Geusan Ulun dari isteri pertama yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru. Sedangkan Pangeran Aria Soeriadiwangsa walaupun anak pertama dari Prabu Geusan Ulun, tetapi ibunya Adiapati Aria Soeriadiwangsa adalah istri kedua yaitu Ratu Harisbaya. Oleh karena yang lebih berhak memerolehnya adalah Pangeran Rangga Gede. Kalaupun pada akhirnya Dipati Rangga Gempol Kusumadinata jadi Adipati ke 1 Sumedang, itu semata-mata karena kebaikan Prabu Geusan Ulun yang memperlakukannya Dipati Rangga Gempol karena kecintaannya yang lebih besar kepada Ratu Harisbaya, lebih jauh lagi sebelum menikah dengan Ratu Tjukang Gedeng Waru, menurut naskah yang tertulis di kampung Dukuh Kecamatan Pameungpeuk Garut bahwa Prabu Geusan telah menikah siri dengan Ratu Harisbaya ketika sama-sama masantren di Pajang bersama Pangeran Girilaya Cirebon. Namun karena ada kedekatan antara kesultanan Mataram dan Kesultanan Cirebon akhirnya Ratu Harisbaya dinikahkan kepada Pangeran Girilaya Cirebon.
Terhadap kenyataan historis seperti itu, tampaknya, tidak begitu dihiraukan oleh Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) untuk menebus kekecewaanya itu Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) meminta bantuan Banten supaya merebut kekuasaan dari Pangeran Rangga Gede. Atas permintaan itu pihak Banten menyambut dan menyanggupinya.
Sikap Banten seperti itu bisa dipahami. Banten memiliki maksud tersendiri kepada Sumedang, karena Banten merasa berhak menguasai Sumedang setelah Banten menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Untuk mewujudkan rencananya itu, Banten tidak langsung menyerang Sumedang. Akan tetapi terlebih dahulu Banten menyerang daerah-daerah di sebelah utaranya yaitu Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Padahal daerah-daerah tersebut sudah diklaim oleh Kesultanan Mataram sebagai bagian dari wilayahnya. Maksud Banten menyerang daerah-daerah itu terlebih dahulu karena dua target, selain bisa menaklukkan Sumedang juga bisa merebut kembali Batavia (yang ketika masih bernama Jayakarta adalah milik Banten).
Kenyataannya Sumedang malah memerdekakan diri dan mengklaim pelanjut kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, hal ini terbukti pada masa generasi berikutnya di masa Adipati Rangga Gempol III (1656-1706) putranya Rangga Gempol II (Rd. Bagus Weruh), Kesultanan Banteen mengirimkan 2 utusan ke Adipatian Sumedang agar Sumedang tunduk kepada kesultanan Banten, namun utusan tersebut ditolak dan dibunuh oleh suruhan Pangeran Panembahan dan kepalanya dikirimkan ke Batavia. Selang beberapa tahun berikutnya. Pasukan Balad Kidoelnya dibawah Cilik Widara (ngabehi Sajtparana) dan wakilnya Tumenggung Wiraangun-angun, mulai menguasai wilayah Sumedanglarang dengan ditaklukannya wilayah-wilayah di darat seperti Karawang dan pesisir pantai seperti Pamanukan, Pagaden dan Ciasem.
Bahkan Bupati Ciasem R. Imbangwangsa, saudaranya Pangeran Panembahan dipenggal kepalanya oleh sebab tidak mau tunduk kepada Banten, dan kepalanya dikirimkan ke Surasowan (Banten). Selang beberapa tahun lalu Cilik Widara (Nagehi Satjaparana), Cakrajoeda (Gagak Pranala) dibantu oleh pasukan sewaan orang-orang Bali, Makasar jeung Bugis. Pasukan Banten dibantu oleh Pasukan Tmg. Wiraangun-angun yang mana Tmg. Wiraangun-angun adalah mertuanya Cakrajoeda. Tmg. Wiraangun-angun tahu jalan-jalan yang mudah dilalui dan dengan mudahnya Sumedang dimasuki pasukan Cilik Widara dari arah Barta dan Pasukan Cakrajoeda dari arah Timur.
Dan puncaknya penguasaan Sumedang ketika di Hari Jumaat, tanggal 15 bulan Nopember 1678 di Mesjid Tegalkalong terjadi peristiwa berdarah pasukan Cilikwidara mengepung orang-orang yang sedang sembahnyang di Mesjid Tegalkalong, banyak keluarga Pangeran Panembanhan dan rakyat yang tewas karena secara licik diserang ketika tidak siap siaga menghadapi musuh. Diantara saudara Pangeran Panembahan yang meninggal tersebut adalah Tmg. Tegalkalong, Rd. Aria Santapura, Rd. Satjapati, Rd.Dipa, Rd. Mas Alom, sementara Pangeran Pangeran Panembahan dapat meloloskan diri, Ibukota dibakar oleh Pasukan Banten dan yang tidak dibakar hanya Kabupaten dan Paseban Kadipatian Tegalkalong.
Sementara Rd. Bagus Weruh (Rangga Gempol 2) ayahya Pangeran Panembahan dan Rd. Singamanggala ditawan oleh Cilik Widara. Sehingga semenjak itu selama 2 tahun Keadipatian Sumedanglarang dikuasai oleh Cilik Widara. Oleh Kesulatan Banten Cilik Widara dijadikan Adipatinya dengan gelar "Ngabei Satjaparana" dan patihnya Tmg. Wirangun-angun (Aria Satjadiredja).
Kembali lagi ke kisah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) berdasarkan sejarah ke Ariaan Tangerang mendapat dukungan dari Rd. Aria Jaya Santika dan Rd. Aria Wangsakara, namun karena tidak mendapatkan tanggapan dari Adipati Rangga Gede, hingga akhirnya hijrah dari Sumedang (pundung) dan meminta bantuan ke Sultan Banten waktu itu, begitu juga Rd. Aria Wangsakara (Wirajara 2) dan Aria Jaya Santika, ikut dengan Rd. Kartadjiwa. Sesampai di Banten akhirnya meminta ijin membuka lahan di wilayah kesultanan Banten yang sekarang disebut Tigaraksa. Yang diangkat menjadi pemimpinyaa Rd. Kartadjiwa jadi Kadipatian di Tigaraksa, sedangkan Aria Wangsakara muka wilayah baru Kadipatian di Lengkong.
Ketika Sultan Agung mengetahui larinya Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) ke Banten dan Banten bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram. Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Dipati Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggatinya, pangkat bupati wedana diberikan kepada Dipati Ukur.
Bersama-sama dengan pasukan dari Mataram Dipati Ukur diperintah oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerja sama menyebabkan serangan itu gagal. Dalam serangan yang kedua, Dipati Ukur menolak turut serta. Sanksi atas kegagalan serangan yang pertama dan keengganan turut serta dalam seramgan yang kedua membuat penguasa Mataram marah dan memanggil Dipati Ukur untuk mendapatkan hukuman.
Akan tetapi Dipati Ukur tidak memenuhi panggilan itu. Ia tetap tingal di ibu kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang termasuk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung). Dipati Ukur malah menyiapkan pasukannya guna mengantisipasi bila pasukan Mataram menyerangnya. Tindakan Dipati Ukur seperti itu dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Mataram. Hal ini menambah murka Sultan Agung, sehingga Sultan Agung mengirimkan pasukannya untuk menaklukkan Dipati Ukur. Serangan pertama yang dilakukan akhir tahun 1628 ini gagal melumpuhkan Dipati Ukur. Dalam serangan-serangan berikutnya dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak, maka pada tahun 1632 pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas. Pangeran Rangga Gede menyerahkan Dipati Ukur ke Mataram. Dalam perjalanan pulang kembali ke Sumedang Pangeran Rangga Gede jatuh sakit dan meninggal dunia di Citepus pada tahun 1633. Beliau kemuidan dimakamkan di tepi kali Cipeles Sumedang.
Keberhasilan serangan tersebut tidak lepas dari bantuan Pangeran Rangga Gede. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, Pangeran Rangga Gede dibebaskan dari hukuman, diposisikan kembali sebagai bupati Sumedang dan kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi.
Dalam mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati daerah Ukur atau Tatar Ukur. Sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak atau pengkhinat, malah sejak awal Dipati Ukur sendiri telah diperintahkan oleh Susuhunan Mataram untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia.
Saat itu dalam penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dari Kartasura yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa. Ketidaksabaran Dipati Ukur untuk langsung menyerang Batavia (kumpeni Belanda) dengan memerintahkan pasukannya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur tidak bisa mengimbangi kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur tertekan dan melarikan diri ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke Batavia.
Bertubi-tubi tekanan yang harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu dengan Bupati Sunda lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap Batavia karena percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatan yang kuat dibandingkan kekuatan pasukan Mataram.
Karena seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau pengkhinatan yang akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa untuk menangkap Dipati Ukur yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibawa ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram. Dipati Ukur dengan pasukannya akhirnya mati dibunuh.
Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap pemberontak? Dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?.
Yang pertama adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan penyerbuan terhadap Batavia dan beberapa kali itulah kekalahan yang harus diterimanya yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kekuatan pasukannya.
Yang kedua adalah setelah kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya melarikan diri ke Hutan tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan akanhukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu.
Yang ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran karena hampir beberapa daerah pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati Ukur merasa seperti dijajah oleh kekuatan Jawa saat itu.
Yang keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat meminta bantuan Raja Banten untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak mengubris Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk datang ke Batavia menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya membantu Dipati Ukur dan akhirnya kumpeni Belanda menyanggupinya dengan kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalah tekanan dan rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu dalam perspektif sejarah lokal dan untuk sejarah nasional terbentuknya daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak bisa dipisahkan akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari pasundan yang memang ingin sekali tanah pasundan ini dikuasai oleh orang pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh kekuatan lain.
Pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, oleh Sultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten.
Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang).
Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda.
Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram.
Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali ditahun 1629 tetap gagal.
Pemberontakan Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur), membawa surat tugas dari Sultan Agung,untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.
Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis.
Karena logistik yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkandirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya.
Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseur dayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang).
Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur.
Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak, maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram, maka bala tentara kekuatan pun disusun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri.Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju, di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya.
Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di Alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat. (Sumber : http://www.bandungkab.go.id/arsip/2413/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung)
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda - Pajajaran.
Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579 - 1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580 - 1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat yaitu Desa Padasuka di kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Soerriadiwangsa, anak prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan. Sultan Agung mengangkat Raden Aria Soeriadiwangsa menjadi Adipati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Adipati Ukur akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram.
Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan.
Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (Babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik dipusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing.
Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangun-angun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya Tumenggung Wiraangun-angun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten.
Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.
Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang dan sebagian Tanah medang, bisa jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu.
Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanah medang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata.
Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja.
Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton.
Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat - pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain. Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677.
Kemudian Kabupaten Bandung jatuhketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.
Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan.
Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutamakopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapatmelaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak.
Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh 8 orang bupati. Tumenggung Wira Angun-angun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681.
Enam Adipati / Bupati Bandung keturunan Timbanganten berikut adalah bupati angkatan Kompeni beturut-turut, yaitu :
- Tmg. Ardikusumah (Rd. Ardi Sutamagata), Bupati Bandung ke II : 1681-1704. kakak demang Candra Dita (Sunan Tendjolaya), adik Tmg. Nyili (Dalem Tenjolaya, Timbanganten).
- Tmg. Anggadireja I (Sunan Gordah Timbanganten), Bupati Bandung ke III : 1704-1747. (anak Tmg. Ardikusumah)
- Tmg. Anggadireja II (Rd. Inderanegara), Bupati Bandung ke IV : 1747-1763. (anak tertua Tmg. Anggadireja I), Bupati Timbanganten pindah ke Dayeuhkolot Bandung
- Tmg. Anggadireja III, RAA. Wiranata kusumah I, Bupati Bandung ke V : 1763-1794. (anak Tmg. Anggadireja II)
- RAA. Wiranata Kusumah II (Dalem Kaum), Bupati Bandung ke VI : 1794-1829 (anak RAA. Wiranatakusumah I)
- RAA. Wiranata Kusumah III (Dalem Karang Anyar), Bupati Bandung ke VII : 1829-1846 (anak RAA. Wiranata kusumah II)
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Salam Santun
Oleh : Dedie Kusmayadi panata KSL Sumedang
Sumber :
Post a Comment