Sumedang Pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram 1601-1706 M

Awal abad ke-17 merupakan periode penting bagi sejarah Tatar Sunda. Pada periode inilah kemerdekaan kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda berakhir. Ketika Kerajaan Sumedanglarang dianggap penerus Kerajaan Sunda Pajajaran, tidak lama kemudian Kerajaan Sumedang larang mengakui pengaruh Kesultanan Mataram dan mengakui pula berada di bawah hegemoninya. Sejak kejadian ini wilayah Kerajaan Sumedanglarang dan wilayah lain  bekas wiayah Kerajaan Sunda lebih dikenal sebagai Priangan.

Pengantar
Sumedang  memiliki  akar  sejarah yang  panjang;  ia  memiliki  masa prasejarah, masa Kerajaan Kuna Sumedang Larang (tahun 900 s.d. 1601), masa Bupati Wedana (1601 s.d. 1706), masa Bupati VOC (1706 s.d. 1799), masa Bupati Zaman Pemerintah Hindia Belanda (1800  s.d.  1942),  masa  Bupati Zaman Pemerintah Pendudukan Jepang (1942  s.d.  1945),  dan  bupati-bupati pada zaman kemerdekaan. Ini juga berarti bahwa Sumedang memiliki sejarah pemerintahan yang cukup lama.

Sejak   masa   Kerajaan  Sumedanglarang  sampai  periode  Pemerintah Pendudukan  Jepang  tercatat  ada 29  penguasa  (raja  dan  bupati).  Tiap  masa pemerintahan,  tentu  saja,  meninggalkan  jejak-jejak  sejarahnya, baik yang bersifat artefak (fakta berupa benda-benda), mentifak (fakta mental), maupun sosefak (fakta sosial).  Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi, menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakatnya.

Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lalu di wilayah Sumedang ini, dalam besarannya masing-masing, memiliki makna penting bagi masyarakat. Bahkan sebagian darinya masih cukup fungsional, sehingga keberadaan fakta- fakta masa silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Sebagai contoh, situs- situs   sejarah   berupa   makam   sampai   sekarang   masih   banyak   dizairahi masyarakat, baik yang berasal dari Sumedang maupun dari luar Sumedang. Di lingkungan  masyarakat  Sumedang pun  masih  diselenggarakan  aneka  ragam acara dan upacara adat, yang secara kultural dan historis mengacu ke masa lalu Sumedang.

Pada  periode  pengaruh  Mataram ini terdapat empat penguasa Sumedang, yaitu Raden Aria Soeriadiwangsa / Rangga Gempol (1601-1625) Pangeran Rangga Gede (1625-1633), Rd. Bagus Weruh / Rangga Gempol II  (1633-1656), dan Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III (1656-1705).


Rangga Gempol Kusumadinata (1601 1625 M)
Ketika Prabu  Geusan Ulun wafat Raden Soeriadiwangsa  mewarisi kekuasaan Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, namun Raden Aria Soeriadiwangsa ini tidak mewarisi seluruh wilayah kerajaan Sumedanglarang.

Setelah   Prabu   Geusan   Ulun   wafat   pada   tahun   1601,   Kerajaan Sumedanglarang dibagi dua. Kerajaan yang pertama diperintah oleh Pangeran Rangga  Gede,  putera  sulung  dari  Nyi  Mas  Cukang  Gedeng  Waru. Pusat kotanya  terletak  di  Dayeuh  Luhur  (ada  yang  menyebut  juga  di  Canukur). Kerajaan kedua dipimpin oleh Pangeran Suriadiwangsa, putera Harisbaya dari Pangeran Girilaya. Ibu kotanya terletak di Tegal Kalong.

Sepeninggal Prabu  Geusan Ulun terjadi  beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan2. Hal ini terjadi berkait  dengan semakin menguatnya kesultanan Mataram.

Mengenai semakin  menguatnya kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut. Pada tahun 1614 VOC mengirimm utusan ke Mataram, yang waktu  itu  diperintah  oleh Sultan Agung  (1613-1645),  putera  Sultan  Seda Krapyak (1602-1613). Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi  yaitu klaim bahwa  seluruh  wilayah  Jawa  Barat  kecuali  Banten  dan  Cirebon berada  dibawah kekuasaannya.

Meskipun pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu  membuat  Raden Suriadiwangsa “ketakutan”. Jika tidak memosisikan diri  sebagai  kerajaan  bawahan, Raden  Suriadiwangsa  khawatir Kesultanan Mataram  akan  menyerangnya.   Itulah  antara  lain  yang mendorong  raden Suriadiwangsa  atas  kemauan  sendiri  pada  tahun  1620  datang  ke Mataram menemui  Sultan  Agung4   untuk  menyatakan  pengakuan  bahwa  Sumedang menjadi bawahan Mataram.5

Kedatangan Pangeran Suriadiwangsa ini disambut baik oleh Sultan Agung.  Konon,  karena  “ketulusan  hati”   Pangeran  Aria  Soeriadiwangsa  yang mengakui hegemoni Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Aria Soeriadiwangsa  dinamai “Prayangan”  (berarti “tulus-ikhlas”); selanjutnya  menjadi Priangan. Penghargaan  atas kedatangan  Pangeran Aria Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram, Sultas Agung memberi gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. (selanjutnya   lebih   popular  dengan     sebutan   Rangga   Gempol   I). 

Status Sumedang pun berubah, tidak  lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai kaadipatian yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan demikian, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata pun tidak lagi sebagai raja, tapi sebagai bupati. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi bawahan Sumedanglarang   diberi   status   sebagai  Kabupatem,    yang masing-masing dipimpin  oleh  seorang  bupati. Akan  tetapi  posisi  Pangeran  Dipati  Rangga Gempol Kusumadinata, selain  sebagai bupati yang  memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai kordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana. Selang  empat  tahun  setelah  pengakuan  hegemoni,  pada  tahun  1624  M.

Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata mendapat  tugas dari Sultan Agung  untuk menaklukkan Sampang,  Madura.  Berangkatlah Pangeran Aria Soeriadiwangsa  dengan membawa pasukan yang banyak  dari Sumedang, sehingga Sumedang kekurangan pasukan yang terlatih.

Di Wilayah Sampang Madura ada 6 kerajaan kecil yang harus ditaklukan, namun ada 3 kerajaan yang ditaklukam secara damai, karena setelah Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berkomuniasi dengan Bupati Sampang diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura ini tingkatannya lebih muda. Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura menyatakan ketundukannya kepada Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, namun 3 kerajaan lainnya ditaklukan dengan bantuan kerajaan kecil yang telah secara damai dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa. 

Atas keberhasilan ini, Sultan Mataram sangat gembira dan berterima  kasih  kepada Pangeran  Dipati  Rangga Gempol  Kusumadinata. Sebagai penghargaan atas jasanya, Sultan Agung meminta Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata untuk tinggal di Mataram. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata beserta beberapa anggota pasukannya tinggal di suatu  kampung,  yang  sampai sekarang  disebut  Kasumedangan, termasuk desa Bembem.

Waktu Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berangkat  ke Sampang Madura, pemerintahan Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Pangeran  Rangga  Gede,  putra  Geusan  Ulun  dari  Nyai  Mas  Gedeng  Waru. Tidak  dijelaskan  dalam  sejarah,  mengapa  kekuasaan  kabupatian itu  tidak diserahkan kepada anak Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata yang bernama Raden Kartajiwa (sering disebut juga Raden Suriadiwangsa, sama dengan nama ayahnya sebelum jadi bupati). 

Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata wafat di Mataram pada tahun   1624 M akibat fitnah Bupati Purbalingga,  Dipati Aria Soeriadiwangsa dimakamkan  di tiga lokasi yang berbeda, yaitu   :  di  Lempuyanganwangi, dekat Stasiun Kerata Api Lempuyangan, di Kotagede dan di Imogiri. 


Pangeran Rangga Gede (1625-1633)
Di  atas  sudah  disebutkan  bahwa  ketika Pangeran  Dipati  Rangga Gempol  Kusumadinata  mengemban  tugas    dari    Sultan    Agung   untuk menaklukkan Sampang, tugas pemeritahan di Kabupaten Sumedang diserahkan kepada  Pangeran  Rangga  Gede.  Dengan  demikian, Sumedang  yang sempat terbagi dua kembali disatukan di bawah bupati Pangeran Rangga Gede. Selama Pangeran Rangga Gede menjadi bupati terjadi beberapa peristiwa penting, di antaranya  adalah  Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) minta  bantuan Banten   untuk menyerang Sumedang dan serangan Mataram ke Batavia.

Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) putera Dipati Rangga  Gempol  Kusumadinata, merasa kecewa karena dalam pandangannya yang berhak mewarisi kekuasaan di  Kabupaten  adalah dirinya.  Yang  terjadi  malah  kekuasaan itu   diberikan kepada  Rangga  Gede.  Akan  tetapi,  Dipati  Rangga Gempol  Kusumadinata memiliki  alasan  sendiri  atas  tindakannya  itu. Beliau  merasa bahwa  dirinya tidak memiliki hak  mewarisi kekuasaan dari Pangeran Geusan Ulun, karena beliau adalah anak tiri. Ibunya pun adalah istri selir. Jusru yang lebih berhak memerolehnya adalah Pangeran Rangga Gede, karena beliau adalah anak kandung dan anak sulung  dari  permaisuri pertama Prabu Geusan Ulun  yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru. Kalaupun  pada  akhirnya  Dipati Rangga Gempol Kusumadinata jadi bupati, itu semata-mata karena kebaikan Pangeran  Geusan  Ulun  yang memperlakukannya Dipati Rangga Gempol Kusumadinata layaknya anak kandung.  

Terhadap kenyataan historis seperti itu, tampaknya, tidak begitu dihiraukan  oleh  Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) untuk  menebus  kekecewaanya itu Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) meminta bantuan Banten supaya merebut kekuasaan dari Pangeran Rangga Gede.

Atas permintaan itu  pihak  Banten menyambut  dan  menyanggupinya. Sikap Banten seperti itu bisa dipahami.  Banten memiliki dendam tersendiri kepada Sumedang, karena Banten merasa berhak menguasai Sumedang setelah Banten  menaklukkan  Kerajaan  Sunda Pajajaran.  Kenyataannya  Sumedang malah memerdekakan diri dan mengklaim pelanjut kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran.

Untuk mewujudkan dendamnya itu, Banten tidak langsung menyerang Sumedang. Akan tetapi terlebih dahulu  Banten menyerang daerah-daerah di sebelah utaranya  yaitu Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Padahal daerah-daerah tersebut sudah diklaim oleh Kesultanan Mataram sebagai bagian dari wilayahnya.  Maksud  Banten  menyerang  daerah-daerah  itu  terlebih  dahulu karena  dua  target,  selain  bisa menaklukkan  Sumedang  juga  bisa  merebut kembali Batavia (yang ketika masih bernama Jayakarta adalah milik Banten).

Ketika Sultan Agung mengetahui larinya Pangeran Suriadiwangsa ke Banten, dan Banten bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram, Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Rangga Gede tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggatinya, pangkat bupati wedana diberikan kepada Dipati Ukur.10

Bersama-sama dengan pasukan dari Mataram Dipati Ukur diperintah oleh Sultan Agung untuk menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerja sama menyebabkan serangan itu gagal. Dalam serangan yang kedua, Dipati Ukur menolak  turut   serta.   Sanksi  atas  kegagalan serangan  yang  pertama  dan keengganan   turut   serta   dalam seramgan    yang   kedua membuat  penguasa  Mataram  marah dan  memanggil Dipati Ukur  untuk  mendapatkan hukuman. 

Akan tetapi Dipati Ukur tidak memenuhi panggilan itu. Ia tetap tingal di ibu kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang termasuk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung). Dipati Ukur malah menyiapkan pasukannya guna mengantisipasi bila pasukan Mataram menyerangnya. Tindakan Dipati Ukur seperti itu dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Mataram. Hal ini  menambah   murka   Sultan   Agung, sehingga   Sultan   Agung mengirimkan pasukannya untuk menaklukkan Dipati Ukur. Serangan pertama yang  dilakukan  akhir  tahun  1628  ini gagal  melumpuhkan  Dipati  Ukur.  Dalam serangan-serangan  berikutnya  dengan  mengerahkan   pasukan  yang  lebih banyak, maka pada tahun 1632 pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas. Pangeran   Rangga   Gede menyerahkan  Dipati   Ukur   ke   Mataram.  Dalam perjalanan pulang kembali ke Sumedang Pangeran Rangga Gede jatuh sakit dan   meninggal   dunia   di   Citepus pada   tahun   1633.   Beliau  kemuidan dimakamkan di tepi kali Cipeles Sumedang.

Keberhasilan  serangan  tersebut  tidak  lepas  dari  bantuan  Pangeran Rangga Gede. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, Pangeran Rangga Gede dibebaskan dari hukuman, diposisikan kembali sebagai bupati Sumedang dan kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi.


Rangga Gempol II (1633-1656)
Setelah Rangga Gede wafat tahun 1633, kedudukannya digantikan oleh puteranya bernama Raden Bagus Weruh. Beliau disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol II Kusumadinata, dikenal juga sebagai Rangga Gempol II. Ia menjadi bupati Sumedang selama 23 tahun, dari tahun 1633 – 1656.

Pada masa pemerintahan Rangga Gempol II terdapat beberapa kejadian penting berkait dengan pemerintahan dan kewilayahan. Salah satunya adalah pada  masa  pemerintahan  Rangga Gempol  ini  terjadi  dua  kali  reorganisasi pemerintahan.  Reorganisasi  pemerintahan  ini  dilakukan  antara lain  berkait dengan situasi Kesultanan Mataram yang berupaya mengefektifkan serangan-serangan ke Batavia setelah beberapa kali gagal dan upaya menata kembali situasi Priangan setelah terjadi pemberontakan Dipati Ukur.

Pada tanggal 16 Juli 1633 (dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan tanggal 9 Muharram tahun Alip) Sultan Agung mengeluarkan piagem (surat keputusan), yang isinya pembentukan tiga kabupaten baru disertai penunjukan para bupatinya. Ketiga kabupaten tersebut adalah :
  • Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupti Tumenggung Wira Angun-angun
  • Kabupaten Parakanmuncang dipimpin oleh Tumenggung Tanubaya.
  • Kabupaten Sukapura dipimpin oleh Bupati Tumenggung Wiradadaha

Dengan  demikian,  di  bekas  kerajaan  Sumedanglarang  itu  terdapat  empat kabupaten, yaitu Sumedang, Sukapura, Bandung dan Sukapura. 12

Terhadap  kebijakan  Sultan  Agung  tersebut  Rangga  Gempol II  tidak menyukainya,  karena besaran    kekuasaan    Rangga    Gempol   II    menjadi berkurang. Ini pun berarti bahwa wilayah Sumedang sejak surat keputusan itu dikeluarkan   menjadi   lebih   kecli bila dibandingkan  dengan  maas-masa sebelumnya. Akibat dari kebijakan ini pun jumlah Sumedang menjadi sangat berkurang.  Cacah yang   dimiliki 

Kekecewaan Rangga Gempol II semakin bertambah ketika Sunan Amangkurat  I,  penguasa Kesultanan  Mataran  yang  menggantikan ayahnya, Sultan Agung. Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi)  mengeluarkan dua kebijakan penting berkait dengan Priangan. Pertama, penghapusan jabatan Wedana Bupati; kedua wilayah Mataram bagian barat ini pun dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten). Dengan dihapuskannya jabatan Bupati Wedana berarti kedudukan  bupati Sumedang  menjadi  sama  dengan  bupati- bupati  lain.  Dengan pemagian  12  ajeg  pun  menjadikan  besaran kekuasaan Sumedang  pun  semakin  kecil  lagi. Oleh  karena  itu,  sebagai  por tes  atas kebijakan   itu,   Rangga   Gempol  I   memundurkan diri  sebagai   bupati.   Ia menunjuk anaknya, Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) sebagai pengganti  Pangeran Panembahan Kusumadinata, Rangga Gempol III (1656-1705)

Rangga  Gempol  III,  meskipun  bergelar  pangeran,  gelar  tertinggi  di antara  bupati-bupati  Priangan,   sejak  tahun  1657  kedudukannya  sederajat dengan bupati-bupati lain sebagai konsekuensi dihapuskannya jabatan Bupati Wedana. Sebagai kompensasi atas hilangnya jabatan sebagai Bupati Wedana, Sultan Amangkurat I member gelar “panembahan” kepada Rangga Gempol III, sehingga namanya menjadi Pangeran Panembahan Kusumadinata. Oleh karena itu, Rangga Gempol III ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan.   Pangeran Panembahan merupakan bupati terlama memerintah Sumedang. Ia memerintah hampir 50 tahun.

Selama Pangeran Panembahan menjadi bupati, terjadi banyak peristiwa penting, baik dalam lingkungan internal kabupaten Sumedang sendiri, maupun di  luar  lingkungan  kabupaten  Sumedang  namun  berpengaruh  juga terhadap kondisi internal Sumedang. Kejadian di luar lingkungan Sumedang yang berpengaruh  besar  terhadap  kondisi  internal  Sumedang  adalah terjadinya dinamika   politik   di   lingkungan  Kesultanan   Mataram  sepeninggal  Sultan Agung, agresivitas Banten yang berambisi untuk merebut kembali Batavia dari Kompeni dan menguasai Sumedang, sikap-sikap Kompeni yang selalu memanfaatkan konflik yang terjadi di Mataram dan Banten untuk kepentingan VOC melalui politik divide et impera-nya, dan sebagainya. Kejadian-kejadian seperti  itu  sangat  memengaruhi pola  aliansi,  siapa  bergabung dengan  siapa untuk melawan siapa. Yang lebih menarik lagi adalah tidak ada pola aliansi yang   permanen,   tetapi   selalu   didasarkan   pada   kepentingan-kepentingan strategis. Oleh karena itu, pola aliansi itu sering  berubah-ubah. Namun dari semua dinamika itu, ada satu kata kunci yng tidak terbantahkan adalah yang teruntungkan adalah selalu pihak Kompeni.

Saat Pangeran Panembahan menjadi bupati, kekuasaan Mataram terus melemah akibat konflik internal di lingkungan keraton Mataram dan serangan dari pihak luar. Konflik internal terjadi karena saling berebut tahta kerajaan antara Sunan Amangkurat I dengan saudaranya, Pangeran Puger. Serangan dari luar  berupa  serangan  Trunajaya dari  Madura  yang  dibantu  oleh Karaeng Galesung dari Makasar. Guna mengatasi kemelut tersebut, Sunan Amangkurat I meminta bantuan Kompeni.

Kompeni menyanggupi membei bantuan dengan sejumlah tuntutan. Untuk  itulah  Kompeni  mengutus Residen  Jepara,  James  Cooper, pergi  ke Mataram dengan membawa konsep perjanjian. Pada tanggal 25 Maret  1677 perjanjian  dengan   Mataram  ditanda tangani.   Isi  riskas perjanjian  tersebut adalah :

1.  VOC memiliki hak monopoli pembelian beras sesuai harga pasar.
2.  Segala biaya perang harus ditanggung oleh Mataram
3. Batas sebelah barat Kesultanan Mataram, yaitu daerah antara Cisadane dan Cipunagara diserahkan kepada Kompeni.

Semua permintaan Kompeni itu disetujui oleh Amangkurat  I kecuali permintaan  yang ketiga.  Amangkurat  I  menyatakan  bahwa  daerah-daerah antara Cisadane dan Cipunagara terdapat wilyah milik Pangeran Panembahan yaitu   antara   Citarum   dan   Cipunagara. Dengan   demikian,   daerah yang diserahkan kepada Kompeni hanya antara Cisadane dan Citarum.

Perjanjian  antara  Kompeni  dengan  Mataram  itu  bagi  pihak  Pageran Panembahan (Sumedang) berarti :
1. Daerah antara Citarum dan Cipunagara tidak diuasai oleh Amangkurat I, melainkan  oleh  Pangeran  Panembahan  (Sumedang).  Ini  berarti  bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Sumedang. Ini juga berarti bahwa batas wilayah  kabupaten  Sumedang  adalah  sebelah selatan:  Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara: Laut Jawa, sebelah barat: kali Cisadane dan sebelah timur: Cirebon.13 
2. Kekuatan dan kekuasaan Mataram sangat menurun. Mataram sudah tidak mampu menguasai daerah bawahannya.

Kenyataan     seperti     itu      menginsiprasi     Pangeran     Panembahan mengembalikan kebesaran  Sumedang  seperti zaman Sumedanglarang.  Akan tetapi,  ia  menyadari  bahwa tidak  mungkin  melaksanakan  cita-citanya  itu sendirian. Ia harus minta bantuan pihak lain. Pihak mana yang layak dimintai bantuan,   pilihan   jatuh   pada   Banten.   Ternyata   Banten  menyambut   baik  permohonan   Pangeran    Panembahan    itu,    namun    namun Banten minta kompensasi, yaitu Sumedang harus membantu Banten dalam menghadapi Kompeni dan Mataram. Permintaan Banten itu tidak disanggupi oleh Pangeran Panembahan.

Setelah penolakan atas permintaan Banten itu, Pangeran Panembahan menyadari akan akibatnya, yaitu Banten akan memusuhi dan bahkan akan menyerang Sumedang. Untuk mengantisipai hal itu, Pangeran Panembahan menyurati  VOC  yang  isinya  adaal h  pihak  Sumedang  akan  menyerahkan wilayah antara Batavia dan Indramayu kepada VOC. Maksud penyerahan itu adalah supaya VOC menutup muara Cipamanukan dan pantai utara sehingga bisa mencegat tentara Banten.

Sikap cerdas Pangeran Panembahan ini sesungguhnya memanfaatkan kekurangpahaman pihak  VOC  mengenai  wilayah.  Sesungguhnya,  wilayah yang diserahkan Pangeran Panembahan itu  sudah menjadi milik  VOC yang merupakan pemberian Amangkurat I sebagai kompensasi atas bantuan VOC, sebagaimana tertuang dalam perjajian tanggal 25 Februari 1677 maupun 19-20 Oktober 1677.

VOC menerima tawaran Pangeran Panembahan itu karena dalam hal menghadapi Banten ada kepentingan yang sama. VOC pun selalu mendapat gangguan   dan  ancaman   dari   pihak  Banten.VOC   segera   mengamankan Karawang    dan    menghalangi   mamsuknya    pasukan  Banten. Pangeran Panembahan pun leluasa  memperkuat  kedudukan  dan  pemerintahannya  di Sumedang.

Guna  menghalau  serangan  Banten pun  Pangeran  Panembahan mengadakan  kerja  sama  dengan  Kepala  Batulayang  yang  bernama Rangga  Gajah  Palembang,  cucu  Dipati  Ukur.  Pangeran  Panembahan  berpendapat bahwa   Batulayang   akan   membantunya  melawan  Banten   dan   Mataram, mengingat kakeknya dulu dihukum mati oleh Mataram.  Selanjutnya Pangeran Panembahan  pun  menguasai  Ciasem,   Pamanukan,   Parigi  dan  Karawang. Penguasa  di daerah-daerah  itu  pun  diganti oleh  orang-orang  yang  berpihak kepada Pangeran  Panembahan.   Menyusul  kemudian,   takluk   juga   kepada Pangeran Panembahan daerah Indramayu. Dengan demikian,  seluruh daerah pantai utara dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Ini dijadikan Sumedang sebagai  daerah  penyangga  yang isa  melindungi Sumedang  dari serangan musuh.

Saat  Pangeran  Panembahan  sibuk menaklukkan  daerah  utara,  pihak Banten memanfaatkan momentum ini untuk menyiapkan serang ke Sumedang. Sultan Banten mendapat bantuan dari dua orang bekas tawanan Trunojoyo dan bupati  Bandung,  Wiraangun-angun.  Tidak  hanya  Bandung,  Sukapura dan Parakanmuncang pun membatu Banten. 14

Mengetahui persiapan Banten seperti itu, VOC pun mempersiapkan pasukannya di daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya yaitu di daerah antara kali Cisadane dan Citarum, juga antara Batavia dan Indramayu. Dengan demikian, Sumedang pun terlindungi baik dari arah barat maupun utara.

Akan tetapi di luar dugaan, pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak menuju Sumedang tidak melalui utara, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan VOC, yaitu Maroberes (Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor). Pasuukan Banten yang lain menuju  Sumedang  melalui  Tangerang  ke  Patimun. Pada  awal  Mei 1678 wadyabalad  Banten  telah  sampai di  Sumedang.  Kota  Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan  Sumedang,  pasukan  Banten  tidak  berhasil  menguasai ibu  kota Sumedang.

Bertepatan dengan waktu penyeranga pasukan Banten ke Sumedang, di ibu kota Banten sendiri sedang konflik antara Sultang Ageng Tirtayasa dengan anaknya,  Sultan  Haji.  Untuk menghadapi  perlawanan  Sultan  Haji,  Sultang Ageng Tirtayasa kekurangan tenaga, sehingga pasukan Banten yang berada di Sumedang dipanggil pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten. Pasukan Banten tidak  begitu  saja  bisa  meninggalkan  Sumedang,  karena  pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Keajdian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Raden Senapati tewas  di  medan  pertempuran.15 Pasukan  Sumedang  tidak  hanya  berhasil mengusir  tentara  Banten,  tapi juga  berhasil merampas  20  pucuk  senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang. 16

Pada saat itu di Mataram pun terjadi pergantian penguasa, Amangkurat I  diganti  oleh Amangkurat  II. Amangkurat  II  mengirim  utusan bernama Dirapraja ke Sumedang untuk mengontrol dan meminta agar bupati Sumedang tetap  setia  kepada  Mataram.    Akan  tetapi Pangeran  Panembahan menolak permintaan itu, Sumedang menyatakan melepaskan diri dari Mataram.

Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678  Kompeni menyampaikan  ucapan  selamat.  Kompeni  pun  berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan  kemudian, yakni  tanggal  19  Juli  1678  VOC mengutus Jochem  Michels  ke  Sumedang menghadiahi  senjata dan  mesiu. Saat  itu  pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal VOC berakhir. Atas kepiawaian Pangeran Panembahan  dalam  bernegosiasi,  pada   tanggal  7   Agustus   1678   Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).

Memanfaatkan  kehadiran  Jochem Michels  di  Sumedang,  Pangeran Panembahan meminta pejabat Kompeni ini untuk membuat pernyataan bahwa Pangeran Panembahan diangkat menjadi raja. Namun Jochem Michels menolaknya. 

Tiga   bulan   kemudian   setalah   pasukan   Banten   mundur,   pada   8 September 1678 Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Rd. Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan,  ditawan  dan  kemudian  dibunuh.   Untuk  menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda, yang merupakan menantu Wiraangun-angun, bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada  akhir bulan Ramadhan   dan   mereka   menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678. Rakyat dan pembesar Sumedang yang sedang berada di Masjid Tegalkalong banyak yang gugur. 

Pejabat Sumedang yang gugur di antaranya : Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria  Santapura, Sacapati,   Rd.   Dipa, Mas Alom  dan   Nyi Mas  Bajoen. Sebagian   keluarga   Pangeran Panembahan    ditawan,  yaitu :  Rd. Singamanggala,  Rd. Bagus, Raden   Tanusuta; sedangkan  Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos. 17

Atas  kekalahan   ini   Pangeran   Panembahan   meloloskan   diri   dan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu pada bulan Februari 1679. Sebagai konsekuensi atas kemenangannya, Sumedang dikuasai oleh Banten. Oleh Kesultanan Banten diangkat Cilikwidara sebagai wali pemerintahan di Sumedang dengan gelar Ngaebehi Sacadiparana. Diangkat menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja.

Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramayu tidak lama. Untuk mendapat  bantuan, kemudian beliau  berangkat  ke Galunggung, kerena yang berkuasa  di sana  Demang Galunggung  yang  bernama  Raden  Sacakusumah, adalah  pamannya.  Ia  adalah  cucu Prabu Geusan  Ulun.  Di  Galunggung  ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, bupati Parakanmuncang. Di Galunggung  Pangeran  Panembahan berupaya  menyusun  pasukan seadanya. 

Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup,  kemudian  Tumenggung  Tanubaya  menyerang  Sumedang. Tanpa   perlawanan  yang  berarti Sumedang   dapat   dikuasai  kembali   oleh Pangeran Panembahan. Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara. Pada bulan Mei 1679 Cilikwidara mengacau Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana pun Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang.   Selang  empat   belas   hari     kemudian,   Cilikwidara   menyerang Sumedang.   Pangeran     Panembahan    tidak    bisa     mempertahankan kemenangannya. Sumedang  berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai bupati Sumedang, bahkan   lebih   leluasa. Pangeran Panembahan  kembali  melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.18

Keadaan di Banten sendiri terjadi konflik yang semakin runcing antara Sultan  Ageng Tirtayasa  dengan  anaknya,  Sultan  Haji.  Konflik  itu  bahkan sampai  konflik   bersenjata. Karena  terdesak,   akhirnya  Sultan Haji   minta bantuan VOC untuk mengalahkan ayahnya. Kesempatan in tidak disia-siakan oleh VOC. Seperti sudah biasa setiap bantuan VOC selalui disertai kompensasi berupa  monopoli perdagangan dan  penguasaan  wilayah.  Selain  itu, bantuan VOC   kepada   Sultan  Haji  pun  diesrtai  permintaan   supaya   Banten tidak mengganggu   Cirebon   dan   Sumedang.   Setelah   Sultan   Haji   memenangi peperangan itu, ia pun segera memanggil pulang Cilikwidara dari Sumedang. Cilikwidara mwninggalkan sumedang pada awal September tahun 1680 dan baru sampai di Banten tanggal 14 Oktober 1680. Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan  Sumedang,  tanggal  27  Januari  1681 Pangeran  Panembahan kembali ke Sumedang. 19

Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran   Panembahan   berinisiatif   membentuk  lasykar penjaga  keamanan  yang  disebut Pamuk.  Pasukan  ini  terdiri  atas  40 orang terpilih. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlau mendapatkan bantuan pengamanan. 

Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah  sawah  semakin  luas.  Sebagian dari  sawah  itu  dijadikannya  sebagai carik atau bengkok bagi para pamuk. Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa. 20

Pangeran   Panembahan   pun   menata  kembali   Sumedang.   Ibu   kota kebupaten   pada awal   Mei  1681   dipindahkan   dari  Tegalkalong   ke  kota Sumedang  sekarang.  Di  kota yang  baru  itu  telah  ada  kira-kira  70  rumah. Rakyat yang mengungsi selama Sumedang dikuasai oleh Cilikwidara dipanggil kembali.

Sementara itu, Kompeni menganggap mengangap seluruh Priangan berada  dibawah kekuasaannya. Oleh  karena  itu,  Kompeni  menugasi  Jacob Couper untuk menata daerah yang dulu berada di bawah pretensi Mataram. Pada tanggal 15 November 1684 diadakan pertemuan antara Kompeni dengan semua  bupati Priangan  bertempat  di benteng Bescherming,  Cirebon.  Dalam perttemuan  itu  dibuat  surat  keputusan  (besluit)  yang ditandatangani  pada tanggal 15 November 1684. Dalam besluit itu Kompeni mengangkat bupati-bupati di Priangan untuk memerintah di daerah masing-masing sebagai wakil Kompeni. Pengangkatan para bupati itu disertai oleh pembagian cacah dalam jumlah yang bervariasi.21 Dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa :22

1. Pangeran Panembahan mendapat 1150 cacah ditambah 185 cacah yang tinggal di Tanjungpura, Bobos, Cileungsir, Ciasem, Galobaligung dan Cipinang.
2.  Demang Timbanganten mendapat 1125 cacah.
3.  Tumenggung Sukapura mendapat 1125 cacah.
4.  Tumenggung Parakanmuncang mendapat 1076 cacah.
5.  Dalem Imbanagara mendapat 708 cacah.
6.  Dalem Kawasen mendapat 605 cacah. 
7.  Sepuluh puluh kuwu di Bojonglopang masing-masing  mendapat 20 cacah 

Dengan   adanya  besluit   itu   terkandung   isyarat   bahwa esjak   15  November 1684 seluruh kabupaten di Priangan telah berada di bawah kendali VOC.   Namun demikian, keberadaan besluit ini tidak begitu memengaruhi Rangga Gempol III. Ia tetap memposisikan diri sebagai kabupaten yang “merdeka”, tidak taat kepada VOC, tidak pula taat kepada Mataram.

Akan   tetapi   dalam   pandangan VOC   surat   keputusan   tanggal   15 November itu sudah final. Sebagai konsekuensinya, VOC perlu mengangkat pejabat pribumi yang mengawasi para bupati di Priangan, yang dulu disebut Wedana Bupati. Mengetahui hal itu, maka Pangeran Panembahan mengajukan permohonan kepada Kompeni agar dirinya diangkat sebagai Wedana Bupati. Yang  dijadikan  pertiimbangan  oleh  Pangeran  Panembahan  adalah bahwa dirinya memiliki hak  historis atas itu karena kakeknya dulu membawahi 44 dalem  di  Priangan.  Dalam  surat pengajuannya  itu  Pangeran  Panembahan menyebutkan  sejumlah dalem yang  berbakti kepada kakeknya,  di antaranya adalah:23

1.    Di Bandung :
(1) Demang Timbanganten
(2) Tumenggung Batulayang
(3) Ngabei Wirasuta (di Kahuripan)
(4) Natasuta (di Tarogong)
(5) Ngabei Mangunyuda (di Curugagung) 
(6) Wirapati (di Ciukur)
(7) Ngabei Maruyung (di Ciukur)
(8) Ngabei Astramanggala (di Ciukur). 

2.  Di Parakanmuncang
(1) Kiai Kanduruan (di Selacau) 
(2) Ngabei Cucuk
(3) Ngabei Tandadimanabaya
(4) Rujak Gedong (di Kadungora) 
(5) Wanantaka (di Kandangwesi)
(6) Ngabei Somahita (di Sindangkasih) 
(7) Demang Yuda Mardawa Galunggung 
(8) Ngabei Sutabaya Cihaur
(9) Ngabei Pranayuda (di Taraju Turundatar).

3.   Di Sukapura :
(1) Kiai Rangga Karang
(2) Ngabei Wirawangsa (di Parung)
(3) Kanduruan Magatsari (di Panembong) 
(4) Demang Sacapati (di Batuwangi)
(5) Demang Saungganang
(6) Ngabei Yudawangsa (di Taraju) 
(7)  Ngabei Yudakarta (di Taraju) 
(8) Wirakusumah (di Suci)
(9) Martawadana (Panaka) 
(10) Indrajaya (di mandala) 
(11) Martawana (di Cisalak)
(12) Wirawangsa (di Sukakerta).

Meskipun permohonan Pangeran Panembahan untuk diangkat sebagai bupati wedana sedemikian rupa, tapi Kompeni tidak memenuhinya. Yang menjadi alasan penolakan adalah :

Pertama, di mata Kompeni Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol III adalah bupati yang tidak loyal kepada Kompeni. 

Kedua,  dalam   pandangan   Kompeni   seluruh   bupati   di   Priangan   punya kedudukan yang   sama.   Bila   bupati   wedana   salah   satu   darinya   akan menimbulkan sikap  iri yang lainnya.

Oleh karena itu, Kompeni mempertimbangkan bahwa yang layak untuk jabatan Gubernur Kompeni (Wedana Bupati) di Priangan adalah tokoh dari luar Priangan.  Orang  yang dianggap  memenuhi  kriteria adalah  Pangeran  Aria Cirebon.   Pengangkatan   tokoh   ini pun   disetujui   oleh   Sunan   Maatram. Pengangkatan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur Kompeni di Priangan dituangkan dalam surat keputusan (besluit) tanggal 9 Februari 1706. Tugasnya adalah  mengawasi dan mengordinasi bupati-bupati di Priangan agar  mereka melaksanakan  segala kewajibanya kepada  Kompeni.24  Kenyataan  seperti itu membuat Pangeran Panembahan kecewa berat, sehingga ia melakukan pembangkangan terhadap Kompeni. Pada tanggal 13 Maret 1704 Pangeran Panembahan mengembalikan besluit pengangkatannya sebagai bupati.

Keberadaan Priangan berada di bawah VOC secara de facto dan de jure baru terjadi pada tanggal 5 Oktober 1705. Pada momentum tersebut Mataram menyerahkan semua daerah yang dikuasainya yang terletak di sebelah timur Cipunagara dan Citarum. Dengan demikian, sejak saat itu seluruh daerah di Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Kompeni. 

Pada tanggal 4 Februari 1706 didterima kabar dari komandan  Tanjungpura bahwa Pangeran Panembahan telah wafat. Atas dasar informasi itu diperkirakan Pangeran Panembahan wafat pada akhir Januari 1706. Beliau dimakamkan di Gunung Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan, sebelah kiri makam ayahnya, Pangeran Rangga Gempol II. Sebagai gantinya diangkatlah putera sulungnya bernama Raden Tanumaja sebagai bupati Sumedang. 

Daftar Pustaka :

  • Alam,  W.D. Dharmawan   Ider.   2008.   Deskripsi   Cerita   Rakyat   Daerah Genangan  Waduk  Jatigede;  Penyelamatan  Kearifan  Lokal (Naskah belum Diterbitkan). Sumedang: Lembaga Peduli Lingkungan Bekerja Sama  dengan  Satuan  Tugas  Percepatan  Pembangunan  Waduk  Jati Gede.
  • Anonim. 1996. Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. T.t.: t.p.
  • Kartadibrata,  Abdullah. 1989. Brosur Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Cetakan ke-2. Sumedang: t.p.
  • Lubis,  Nina  Herlina. “Mengenal Situs Jati Gede”, trebaca dalam http://www.mail archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg00725.html. “Mega Proyek    Pembangunan       Waduk     Jatigede”, dalam http://sumedang.go.id/files/perda/ MEGA%20PROYEK%20JATIGEDE.pdf     diakses  tgl.  8  September 2008.
  • Saringendyanti, Etty. “Masa Prasejarah Hingga Masa Hindu Budha” (naskah belum diterbitkan).
  • Suganda, Her. “Darmaraja Pernah Jadi Pusat Kerajaan”,  Kompas, Senin, 01 November 2004,  terbaca   dalam   http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0411/01/Jendela/1355555.htm.
  • Surianingrat, Bayu. 1983. Sejarah Kabupaten I Bhumi Sumedang 1550 – 1950. T.t.: t.p. 

Referensi :

1  Babad R.A.A. Martanagara.
2  Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, beberapa daerah melepaskan diri dari Sumedanglarang, yaitu: Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu. Dengan demikian,   wilayah   yang   masih   menjadi   bagian   dari   Sumedanglarang   adalah Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Bandung. Lihat Bayu Suryaningrat, op. cit. hal. 32.
3  TBG XXXII, hal.  363 dikutip dari Bayu Suryaningrat, op. cit., hal. 34.
4  Sebenarnya Raden Suriadiwangsa ini mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Agung dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya. Ratu Harisbaya adalah sepupu Sultan Seda krapyak, ayah Sultan Agung.
5  Arsip koleksi Asiki Natanegara.
6  Disebutkan bahwa sebelumnya Sultan Agung telah dua kali mencoba menaklukkan Sampang, tetapi selalu gagal. Upaya serangan yang ketiga, sebenarnya Sultan Agung memerintah   Dipati   Wangsanata   sari   Prubalingga,   Banyumas.   Akan   tetapi,  ia menolaknya, karena menurut perkiraannya Sampang terlalu kuat untuk ditaklukkan. Sebagai gantinya, Dipati Wangsanata lebih sanggup menyerang Kompeni di Batavia.
7  Ada  juga  pendapat  bahwa  Rangga Gempol  I  beserta  pasukannya  tidak  berhasil mengalahkan  Sampang  (Madura). Akan  tetapi  sebagian  besar  sumber  menyatakan bahwa Rangga Gempol I memenangi “pertempuran” ini.
8  Akibat dari persoalan ini, raden Kartajiwa (Raden Suriadiwangsa) merasa sakit hati. Kemudian ia minta bantuan Sultan Banten untuk merebut Sumedang dari Pangeran Rangga Gede.
9  Banyak cerita di seputar meninggalnya Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Di antaranya adalah penilaian bahwa Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata  wafat  karena  diracun.  Sebagian  lagi  menyebutkan karena  dihukum mati.  Penyebabnya  adalah  karena  ia  pernah  bercanda  dengan  saudaranya,  Rangga Gede, bahwa ia gagah perkasa. Jangankan Sampang, Mataram pun bias ia taklukkan. Ucapak  gurau  ini  terdengar  oleh  Dipati  Wangsanata  (Dipati  Ukur),  dan disampaikannya  kepada  Sultas  Agung.  Tentu  saja  Sultas  Agung sangat  murka. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata kemudian dihukum mati. Jenazahnya dikubur di Lempuyanganwangi.  Periksa Bayu Suryaningrat, op. cit., hal. 37.
10 Nama  asli  Dipati  Ukur  adalah  Dipati  Wangsanata. Ia  berasal dari Purbalingga, Banyumas.   Ia menikahi putri Dalem Dipati Agung Ukur yang bernama Nyi Ageng Alia. Dipati Wngsanata menjadi penguasa daerah itu, sehingga namanya pun dikenal sebagai Dipati Ukur.
11 Terdapat kisah lain berkait dengan serangan terhadap Dipati Ukur ini. Disebutkan bahwa setelah mendapat tugas menangkap Dipati Ukur, dalam perjalanan pulangnya ke  Sumedang  Pangeran  Rangga  Gede  maninggal  di  Kampung  Citepus.  Sebagai gantinya Pangeran Weruh diberi tugas untuk tugas menangkap Dipati Ukur. Misi ini berhasil dilakukan. Atas keberhasilannya ini, Pangeran Weruh diangkat sebagai bupati menggantikan ayahnya,  dan diberi  gelar  Pangeran Rangga  Gempol II.  Beliau  pun dikukuhkan sebagai Bupati Wedana. Dalam versi lain disebutkan bahwa untuk melemahkan mental Dipati Ukur, Raden Weruh diminta oleh Sultan Agung untuk  membawa peti mati bekas jenazah Pangeran Rangga Gempol I. Akan tetapi Dipati Ukur masih belum berhasil ditangkap. Ia baru berhasil ditangkap dan diserahkan ke Mataram oleh Pangeran Rangga Gemol III, yaitu Pangeran Panembahan. Lihat Bayu Suryaningrat op. cit. hal. 42.
12 Rd. Asikin Natanegara. 1938. “Sejarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Dugi ka Kiwari“, Volksalmanaksoenda.
13 Bayu Suryaningrat, op. cit. hal. 52-53.
14  Tidak jelas  mengapa bupati Bandung, Wiraangun-angun ini bersedia  membantu Banten. Akan tetapi bisa diduga bahwa pemihakan bupati Bandung kepada Banten ini sebagai upaya mengimbangi pihak penguasa Batulayang, Rangga Gajah Palembang, cucu Dipati Ukur, yang membatu Sumedang. Wiraangun-angun khawatir bila Rangga Gajah Agung merebut kembali Bandung yang dulu penah dipinpin oleh kakek Rangga Gajah Agung, Dipati Ukur. Lihat ibid., hal 57. Bisa juga dipertimbangkan sebagai alasan  mengapa   ketiga   kabupeten  itu,   Bandung,   Sukapura   dan  Parakanuncang membantu Banten adalah mereka mengetahui bahwa Sumedang berambisi untuk mengembalikan kebesaran Sumedanglarang dengan menaklukkan seluruh kabupaten yang pernah berada di bawah kekuasaannya.
15 Bayu Suryaningrat, ibid., hal 58-59
16 Bayu Suryaningrat, loc. cit.
17 Sebagian lagi menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada tanggal 15 November 1678 (1 Syawwal 1089 H). Dengan adanya kejadian tersebut bupati-bupati Sumedang berikutnya menganggap tabu berlebaran Idul Fitri pada hari Jumat. Periksa Bayu Suryaningrat ibid., hal 60.
18 Bayu Suryaningrat, ibid., hal. 64-65.
19 Ibid., hal. 66.
20 Sawah carik adalah sawah jabatan. Sawah ini digarap oleh seorang pejabat selama ia masih  menjabat.  Begitu  berhenti  dari  jabatannya,  maka  sawah itu  pun  berpindah penggarapnya  kepada  pejabat  penggantinya.  Sawah  carik ini adalah milik  Rangga Gempol III. Oleh karena itu, Rangga Gempol III pun membuat beberapa ketentuan berkaitan denga sawah carik ini. Pertama, sawah carik bupati dapat diwariskan kepada bupati pengganti. Kedua, pewarisan sawah carik luasannya harus utuh, tidak terbagi- bagi lagi.  Lihat ibid., hal. 67.
21 Meskipun yang dibagi-bagi adalah cacah, namun pada hakikatnya itu adalah pembagian  daerah,  sebab  daerah yang  digarap  dan  menjadi  tempat  tinggal  rakyat menjadi   daerah   kabupaten   yang  bersangkutan.   Luas   wilayah   suatu  kabupaten bergantung pemukiman rakyat dan banyaknya rakyat. Sampai abad ke-17 batas kabupaten masih berupa batas social, bukan batas teritorial.   Demikian pula dengan bupati, ia adalah kepala rakyat bukan kepala wilayah. Periksa Ibid., hal. 69.
22 Ibid., hal. 69.
23 Bayu Suryaningrat, op. cit., hal. 70.
24 Nina H. Lubis. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800 – 1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, passim.

Tidak ada komentar