Sejarah Desa Cipancar dan Makam Kabuyutan Dewi Komalasari Ibunya Prabu Aji Putih
Desa Cipancar merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Lokasinya berada di bagian timur wilayah kecamatan dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Ganeas.
Jika dilihat dari pusat Kecamatan Sumedang Selatan, posisinya berada di bagian tenggara. Jarak dengan pusat Kecamatan Sumedang Selatan sekitar sembilan kilometer.
Terkait nama desa tersebut, Cipancar adalah salah satu kampun buhun atau kampung tua di Sumedang, desa ini berdiri sekitar abad ke 7-8 masehi, lebih tua dari Kabupaten Sumedang sendiri.
Perkampungan yang belakangan dinamai Desa Cipancar itu saat terjadi perebutan tahta di Kerajaan Galuh Pakuon di Garut, sudah ada. Kisahnya, saat sang raja, hendak menurunkan tahta kepada anaknya yang bernama Purbasora terjadilah kudeta atau perebutan kekuasaan di antara keluarga Kerajaan Galuh.
Ratu Komara alias Dewi Komalasari alias Ratu Gulung Arma Arta Arma Arsuta alias Ni Balagantrang alias Sunan Baeti alias Sunan Pancer, adalah putrinya Prabu Purbasora Raja Galuh Pakuan. Beliau juga adalah ibunya Prabu Guru Aji Putih Raja Tembong Agung antara 678-721 masehi, yang merupakan keturunan dari Raja Galuh pertama yaitu Wretikandayun.
Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun, letak Kerajaan Galuh awalnya kemungkinan berlokasi di wilayah Cipancar Limbangan Garut, karena menurut data di pemakaman umum Pasir Astana Desa Balubur Kecamatan Limbangan Garut, ada makam Wretikendayun dan makam saudara-saudaranya, yaitu : Karung Maralah, Karung Kalah, Mangkukuhan, Kandiawan dan Dewi Minasih isterinya Wretikendayun. Kendati hingga kini belum ada bukti otentik di mana letaknya yang pasti Kerajaan Galuh awal.
Wretikandayun memerintah Galuh selama 90 tahun, dari tahun 612 hingga tahun 702 masehi. Wretikandayun menikah dengan putri Resi Makandria, yaitu Manawati atau disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga orang anak, yaitu : Sempakwaja, Jantaka alias Wanayasa dan Mandiminyak alias Amara.
Mandiminyak pemuda yang tampan rupawan, cerdas, dan memiliki bakat kepemimpinan sehingga timbul kecemburuan saudara-saudaranya, setelah Mandiminyak menikah dengan putri cantik rupawan Parwati putrinya Prabu Kortika Jasinga dan Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga.
Untuk mengobati kecemburuan Sempakwaja dan Jantaka maka Prabu Wertikendayun menikahkan Sempakwaja dengan Pwah Rababu persembahan dari Kerajaan Saunggalah dan setelah menikah Sempakwaja bermukim di Galunggung dan melahirkan putra Purbasora.
Sedangkan Jantaka dinikahkan dengan Dewi Sawitri. setelah menikah Jantaka serta Dewi Sawitri mengikuti Sempakwaja bermukim di Galunggung karena merasa tidak layak tinggal di istana pindah ke Denuh dan melahirkan Bimaraksa alias Aki Balagantrang nama yang termashur ditatar sunda.
Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi Raja Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu. Sempakwaja yang bergigi ompong, menjadi resi di Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Jantaka alias Wanayasa alias Rahyang Kidul memilih jadi resi di Denuh karena dirinya menderita Kemir atau hernia.
Mandiminyak memerintah di Galuh selama tujuh tahun, dari 702-709 masehi. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Prabu Kartika Jasingha dan Ratu Sima dari Kerajaan Keling Kalingga. Namun, ternyata Mandiminyak menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari, isterinya Sempakwaja. Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan dari Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari dihasilkan anak lelaki bernama Sena alias Bratasenawa. Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa Tengah, yakni Sanjaya.
Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal yang dibuat tahun 732 masehi, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.
Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana, yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.
Prabu Mandiminyak lengser keprabon kemudian menobatkan putranya Sena menjadi pemangku kerajaan Galuh ketiga, antara 709-716 masehi, memiliki nama nobat Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Prabu Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun antara 669-723 masehi. Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Prabu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi alias Sekarkancana.
Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Prabu Tarusbawa, yaitu Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Prabu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun antara 723–732 masehi.
Sena atau Bratasenawa digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 masehi. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak sebagai Raja Galuh kedua antara 702-709 masehi. Karena, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, yaitu Sempakwaja tidak diangkat menjadi raja karena dinilai tidak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.
Hubungan Purbasora dan Sena tidak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun, Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari. Ayah Sena, yaitu Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, yaitu Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari isterinya Sempakwaja. Dari Pwahaci Rababu alias Dewi Wulansari, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan atau Seuweukarma dalam Carita Parahyangan yang menganut agama Buddha.
Arya Bimaraksa dan Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat Limbangan dan Sumedang bergabung dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, lalu menyerbu istana Galuh, Sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapi yang termasuk wilayah Kalingga, Kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima.
Setelah Istana Galuh dikuasai Purbasora menjadi pemangku kerajaan kemudian mengangkat Arya Bimaraksa menjadi Patih dan menikah dengan Dewi Komalasari dan hasil pernikahannya melahirkan anak, yaitu : Adji Putih, Usoro, Siti Putih dan Sekar Kencana. Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun antara 716-723 masehi. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraprahasta Kuningan Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citra Kirana.
Sementara Bratasenawa mendapat bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga, kemudian Ratu Candraresmi menobatkan putranya Bratasenawa menjadi Pemangku Kerajaan Kalingga, kemudian dengan Sanaha melahirkan Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan menuntut balas kekalahan ayahnya Bratasenawa sebagai penguasa sah Galuh.
Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera Sanjaya, yang penganut Hindu Siwaisme, meminta bantuan Prabu Tarusbawa, sahabat ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, sahabat baik ayahnya Sena atau Bratasenawa.
Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung, sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari secara diam-diam dan sangat mendadak, sehingga seluruh keluarga Purbasora tewas. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yaitu Arya Bimaraksa yang menjabat Patih Galuh, istrinya yaitu Dewi Komalasari, Wiradikusumah dan Wijaya Kusumah putra-putri Purbasora, bersama segelintir pasukan menyelamatkan diri.
Arya Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki Balangantrang karena ia pun merupakan Senapati Kerajaan. Bimaraksa juga merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa mula-mula bersembunyi di kampung Geger Sunten dan diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora dalam usaha menjatuhkan Sena.
Sena sempat menasehati anaknya Sanjaya bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa menghubungi Arya Bimaraksa, karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian, Sanjaya merupakan Raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda dan Galuh.
Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan asli Galuh melainkan orang Pakuan Sunda. Maka dari itu, ia menobatkan Permana Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Permana Dikusuma merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun, ia telah dikenal sebagai Praburesi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Karena itu, ia dijuluki Bagawan Sajala-jala.
Selain karena Permana Dikusuma cucunya Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana Dikusuma, yakni Naganingrum, adalah cucu Arya Bimaraksa alias Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.
Permana Dikusuma dan Naganingrum kemudian memiliki anak lelaki bernama Jaka Suratama alias Manarah. Suratama lahir pada 718 masehi. Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra literatur Sunda klasik, Suratama dikenal sebagai Ciung Wanara. Dihari kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan balas dendam.
Untuk mengikat kesetiaan Permana Dikusuma terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.
Di lain pihak, Permana Dikusuma pun terpaksa menerima kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana Dikusuma dalam keadaan serba sulit. Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri.
Sebagai solusinya, Permana Dikusuma memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Cimanuk dan sekaligus juga meninggalkan istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi telik Sandi sekaligus anak Sanjaya. Menurut buku Pakuning Alam Darmaraja, ia bertapa di Gunung Padang Darmaraja Sumedang.
Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya Mandiminyak, yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, isteri Permana Dikusuma, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga lahir tahun 723 masehi. Hubungan terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19 tahun. Kedua, baik Tamperan maupun Pangrenyep umurnya sebaya dan telah mengenal satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.
Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Permana Dikusuma. Dan setelah si pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Permana Dikusuma, sungguh malang ia pun dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang atau Arya Bimaraksa.
Pada tahun 732 masehi, Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan Medang Kamulan atau Bhumi Mataram dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan wilayah Saunggalah Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Praburesi Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana Raja-raja Sunda-Galuh selama beberapa kali.
Kita kembali ke masa penyerangan Kerajaan Galuh dimasa Prabu Purbasora oleh Sanjaya. Berdasarkan cerita rakyat Desa Cipancar Sumedang, sebenarnya Prabu Purbasora tidak tewas dalam peristiwa penyerangan tersebut. Akibat terjadi perang bersaudara yang berujung terdesaknya Purbasora. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma alias Sunan Pameres dan Ratu Komalasari alias Sunan Pancer disertai Jaksa Wiragati harus lari menyelamatkan diri meninggalkan Galuh yang tengah kacau.
Mereka berlari tanpa tahu tujuan. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana mereka bisa selamat dari kekacauan yang terjadi di kerajaan Galuh. Setelah melewati wilayah Galuh Pakuan Cipancar Girang Limbangan perjalanan yang sukar ditempuh, melewati gunung-gunung hingga sampailah mereka di daerah yang kini bernama Cipancar.
Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Kebetulan pada saat pertama kali Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar, Cipancar," yang berarti air memancar. Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi desa Cipancar. Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuon. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat. Tempat pembagiannya dikenal dengan sebutan Baginda.
Arya Bimaraksa yang menyusul belakangan dari Geger Sunten Galuh melewati Malangbong dan akhirnya berjumpa di dukuh Sagara Manik Cipancar Hilir Sumedang, disini awal mulanya mereka mendirikan pedukuhan atau Padepokan Cipancar Hilir yang kini menjadi makam umum Cipancar di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan.
Ketika Prabu Aji Putih dan adik-adiknya yaitu Darma Kusuma, Astajiwa, Usuro, Siti Putih dan Sekar Kencana belum dewasa untuk mengamalkan ilmu lahir, agama dan darigama, serta ilmu ketatanegaraan sebagai penerus kerajaan Galuh, mereka dididik dulu oleh ayahnya Arya Bimaraksa atau sang Resi Agung Patih Kawakan Kerajaan Galuh dan ibunya Dewi Komalasari, serta uwaknya Wiradi Kusuma di Padukuhan Cipancar Hilir Sumedang.
Sedangkan putranya Purbasora yang terbesar yaitu Wijaya Kusuma mendirikan Pedukuhan Cipancar Girang di Limbangan Garut selanjutnya beliau diangkat oleh Sanjaya menjadi Pemangku Kerajaan Galuh di wilayah Medang Jati, yang kini menjadi makam Cipancar di Balubur Kecamatan Limbangan Kabupaten Garut.
Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan Padukuhan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung tidak jauh dari sungai Cimanuk dan Cihonje Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan Kerajaan Tembong Agung.
Prabu Guru Aji Putih dari hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan atau Ratna Inten memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.
Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Prabu Resi Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Resi Demunawan merupakan putera dari Prabu Batara Sempakwaja.
Setelah berdirinya Kerajaan Tembong Agung Arya Bimaraksa atau Sang Resi Agung membangun Padepokan di wilayah Lemah Sagandu yang dikenal "Bagala Asih Panyipuhan". Kemudian Arya Bimaraksa menitipkan Padepokan ke putranya adiknya Prabu Aji Putih yaitu Astajiwa, sebab memenuhi permintaan Prabu Permana Dikusuma di Keprabonan Kerajaan Galuh di Ciduging Darmaraja dan Arya Bimaraksa diangkat menjadi Patih Galuh.
Sedangkan ibunya Prabu Aji Putih yaitu Ratu Komara atau Dewi Komala sari dan uwaknya Wiradi Kusuma tetap tinggal di Padukuhan Cipancar Hilir dan para cantriknya, tidak ikut campur dalam urusan ketatanagaraan di Keprabonan Tembong Agung Darmaraja. Wiradi Kusuma dan adiknya yaitu Dewi Komalasari memimpin di Padukuhan Cipancar Hilir, tempat mendidik ilmu lahir batin, agama, pengobatan, pemerintahan, dan kedigjayaan.
Ketika masih kecil Jaka Suratama atau Ciung Wanara dididik oleh kakeknya yaitu Arya Bimaraksa atau Sang Resi Agung, oleh karena ketika Prabu Permana Dikusuma atau Praburesi Ajar Padang yang sedang bertapa di Gunung Padang, yang menjadi Raja Galuh hanya setahun antara 724-725 masehi dibunuh oleh telik sandinya suruhan Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban, oleh sebab Tamperan Barmawijaya berniat merebut tahta kerajaan Galuh dari Permana Dikusuma yang diangkat menjadi Raja Galuh oleh ayahnya Tamperan Barmawijaya yaitu Sanjaya. Begitu juga Tamperan tergoda oleh isteri kedua Prabu Permana Dikusuma sebagai hadiah atas pengangkatan sebagai Raja Galuh Pakuan yaitu Dewi Pangrenyep.
Adanya Dewi Pangrenyep yang menjadi isterinya Permana Dikusuma di Keraton Galuh sebagai hadiah penobatan raja dari Sanjaya, bagi Permana Dikusuma yang sudah berusia 40 tahun dan juga sudah menjadi Begawan atau Resi tidak melihat muda dan cantiknya Dewi Pangrenyep.
Permana Dikusuma lebih senang menyucikan dirinya bertapa dan mengurus wilayah keresian di sekitar Gunung Padang dari pada mengurus pemerintahannnya yang sudah diwakilkan kepada patihnya Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Oleh sebab itu Dewi Pangrenyep yang masih muda belia merasa kecewa atas sikapnya Permana Dikusuma.
Permana Dikusuma dikenal sebagai seorang petapa, beliau dijuluki Sukaresi Ajar Padang atau Begawan Sajala-jala. Permana Dikusuma menikah dengan Dewi Naganingrum cucunya Aria Bimaraksa alias Ki Balangantran. dari isterinya Dewi Naganingrum mempunyai anak Jaka Suratama alias Manarah alias Ciung Wanara. Demikian juga menikah dengan Dewi Pangrenyep putrinya Patih Anggada, Dewi Pangrenyep yang lahir tahun 704 masehi, 6 tahun lebih muda dari Dewi Naganingrum.
Dewi Pangrenyep sebagai hadiah untuk Permana Dikusuma dan patih Tamperan yang dikirim Sanjaya ayahnya Tamperan di Keraton Galuh menimbulkan perselingkuhan. Oleh sebab sering berjumpa sejak di Kerajaan Sunda antara Tamperan dan Dewi Pangrenyep. Dari perselingkuhan ini, dalam tahun 724 masehi lahir Hariang Banga 6 tahun lebih muda dari Jaka Suratama atau Ciung Wanara. Permana Dikusuma tewas oleh telik sandi utusan Tamperan yang ingin menguasai tahta Galuh demikian juga dengan kedua istrinya Permana Dikusuma yaitu Dewi Naganingrum yang terkenal kecantikannya dan Dewi Pangrenyep.
Sementara Tamperan setelah memboyong kedua isterinya Permana Dikusuma karena tidak merasa pede atau percaya diri berkeraton di Ciduging Darmaraja, lalu Tamperan memindahkan ke Galuh Bondan atau Galuh Kawali Ciamis.
Dari mulai kejadian itu Jaka Suratama atau Ciung Wanara sewaktu masih bayi diselamatkan dari Keraton Galuh oleh Aria Bimaraksa atau Ki Balagantrang yang menjadi patih di Keraton Galuh di Ciduging Darmaraja, ke tempat yang susah ditemukan oleh Tamperan yaitu ke Padukuhan Cipancar Sumedang.
Cerita dalam pantun Sunda Ciung Wanara, sekadar jadi pengecoh menyembunyikan kisah sebenarnya Ciung Wanara ketika diselamatkan, oleh sebab kalau tahu Jaka Suratama alias Ciung Wanara adanya di Cipancar Sumedang ketika masih kecil, tentu akan dicari oleh Tamperan sampai ke Cipancar Sumedang.
Berdasarkan cerita rakyat Cipancar yang turun temurun yang sekarang dipakai untuk pemakaman Umum Cipancar dulunya adalah paguron atau padepokan, oleh sebab ditempat tersebut ada batu tapak kaki bekas melatih ilmu kedigjayaan.
Selain makam putra-putrinya Prabu Purbasora yaitu Dewi Komalasari alias Komara, Wiradi Kusuma di pemakaman umum Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang ada juga makam dan petilasan, yaitu :
- Petilasan Prabu Purbasora, Raja Galuh ke 4, antara 613 - 620 Saka atau antara 716 -723 Masehi.
- Makam Citra Kirana, isterinya Prabu Purbasora, putrinya Resiguru Padmahariwangsa Raja Indraprahasta ke 13 antara 629 – 641 Saka atau antara 732–744 Masehi.
- Makam Praburesi Demunawan atau Raden Hindi, Raja Saunggalah ke 1 antara 645 – 696 Saka atau 748–797 Masehi.
- Makam Prabu Tambak Wesi Raja Saunggalah ke 2 antara 696 – 747 Saka atau 797-847 Masehi putra ke 2 Praburesi Demunawan, yang berada di sebrang makam Umum Cipancar dekat rumah penduduk.
- Makam Jagat Jaya Nata atau Jaksa Wiragati, adiknya Arya Bimaraksa putra-putranya Resi Jantaka atau Resi Guru di Denuh digelaran Resiguru Wanayasa atau Rahyang Kidul dari isterinya Sawitri.
- Makam Sari Banon Kencana putra ke 1 Praburesi Demunawan. Sari Banon Kencana adalah isterinya Jagat Jaya Nata, orang tuanya Ratu Nawang Wulan atau Ratu Inten Dewata isterinya Prabu Aji Putih Raja Tembong Agung.
- Makam Kencana Wangi isterinya Jaka Suratama atau Manarah atau Prabu Ciung Wanara Raja Galuh ke 8 antara 739 - 783 masehi.
- Makam Gandara Kusumah atau Balung Tunggal atau Jabang Tutuka suaminya Nawang Sasih atau Mulya Asih. Balung Tunggal atau Jabang Tutuka adalah putranya Usoro dari isterinya Suhasanah. Petilasan Gandara Kusumah atau Balung Tunggal atau Jabang Tutuka ada juga di Gunung Sangkanjaya Kecamatan Darmaraja.
- Makam Nyi Rohatin isterinya Mustopa Haer yang makamnya di makam Tajur Desa Cipancar, makam Nyi Husmaeni isterinya Senapati Terong Peot, makam Agus Kulha putranya Senapati Jaya Perkasa, makam Nyimas Ngabehi Mertayuda salah seorang putrinya Prabu Geusan Ulun yang ditikah oleh Arasuda yang makamnya di makam Tajur Desa Cipancar, putranya Santoan Cikeruh dan Imas Sari atau Buyut Sedet.
Salam Santun.
Post a Comment