Sebelum membahas Kerajaan Talaga Manggung Berdasarkan Babad Hing Walang Suji dari Babon Talaga, kita ulas Kerajaan Talaga Manggung berdasarkan sejarah umum dahulu.
Kerajaan Talaga Manggung Versi Umum
Talaga merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Majalengka yang letaknya tepat berada di kaki Gunung Ciremai. Di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang bercorakkan Budhisme dengan nama Kerajaan Talaga.
Penamaan Kerajaan Talaga didasarkan pada letak kerajaan yang berdekatan dengan sebuah Talaga atau oleh masyarakat setempat disebut Situ Sangiang. Di sekitar tempat inilah Kerajaan Talaga pernah berdiri terbentuknya Kerajaan Talaga diawali dengan berdirinya sebuah padepokan agama Budha pada tahun 1371 masehi, yang bernama Padepokan Sarwastiwada (ajaran Budha Mahayana yang menitik beratkan pada ajaran puji-pujian pada Sidarta Gautama) padepokan ini berada di daerah Gunung Bitung, sebuah daerah yang berada di Desa Wangkelang Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka.
Padepokan Sarwastiwada dibina oleh Sang Sudayasha, ia adalah salah seorang putra dari Sang Suryadewata yang merupakan keturunan dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratu Uma Lestari dari Kerajaan Galuh. Dalam perkembangannya padepokan yang dibina oleh Sang Sudayasa ini mengalami kemajuan pesat terlebih lagi ketika Padepokan ini dipimpin oleh putranya bernama Sang Darmasuci.
Dengan bertambah pesatnya perkembangan agama Budha di daerah Gunung Bitung menjadikan Sang Darmasuci sebagai seorang raja merangkap sebagai pendeta Budha Sarwastiwada. Sang Darmasuci akhirnya pindah dan mendirikan sebuah kerajaan kecil bercorak Bhudisme yang bernama Kerajaan Talaga, karena letaknya ditepi sebuah Talaga atau Situ Sangiang Kecamatan Banjaran Kabupaten Majalengka.
Kerajaan Talaga ini masih berada diwilayah kekuasaan Kerajaan Galuh yang pada saat itu dipimpin oleh rajanya Sang Maha Prabu Niskala Wastu Kancana yang masih saudara Sang Darmasuci. Atas kerjasama dan dukungan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana terhadap kerajaan Talaga, maka sebagai kerajaan yang bercorak Budhisme, kerajaan ini menjadi pusat penyebaran agama Budha ditatar tanah sunda (Jawa Barat) bahkan dari luar wilayah tatar tanah sundapun banyak orang yang, datang berkunjung ke kerajaan Talaga.
Raja–Raja Penguasa Kerajaan Talaga
Era Prabu Dharmasuci
Prabu Darmasuci merupakan raja pertama sekaligus pendiri kerajaan yang dilatar belakangi dengan perkembangan dan kemajuan Padepokan Sarwastiwada yang diwarisi dari ayahandanya Sang Sudayasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Batara Gunung Bitung. Pemerintahan Prabu Darmasuci segenerasi dengan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Galuh yang sama-sama merupakan cicit dari Prabu Ajiguna Lingga Wisesa.
Selama pemerintahannya Prabu Darmasuci berhasil menjadikan Kerajaan Talaga sebagai pusat pengembangan agama Budha ditataran tanah sunda dan bahkan hingga luar pulau Jawa.
Prabu Darmasuci mempunyai dua orang anak, yaitu :
1. Begawan Garasiang
2. Sunan Talagamanggung atau Prabu Darmasuci 2.
Begawan Garasiang dikenal sebagai resi guru yang termashur dengan segala perjalanan hidupnya yang tersirat dalam sebuah sempalan cerita bahwa, Sang Begawan Garasiang berkedudukan di suatu tempat yang tenang dan tidak kembali ke tempat asalnya di Gunung Bitung, petilasannya dapat ditemukan di salah satu bukit di Desa Sangiang yang dikenal dengan nama Bukit Garasiang.
Begawan Garasiang mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mayang Karuna. Sunan Talagamanggung merupakan anak dari Prabu Darmasuci adalah yang melanjutkan tampuk kepemimpinan Kerajaan Talaga menggantikan ayahandanya Prabu Darmasuci.
Era Sunan Talaga Manggung antara 1388-1420 Masehi
Pada masa pemerintahan Sunan Talagamanggung kerajaan Budha Talaga ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam mengembangkan pengaruh pemerintahan dan agama ditatar sunda. Sebutan Talaga Manggung merupakan sebuah pemberian nama kepada Sunan Talaga Manggung dengan harapan setelah dinobatkan menjadi raja di Talaga kelak menjadi seorang pemimpin yang manggung yaitu seorang raja yang adil dan bijaksana dalam menjalankan pemerintahannya.
Harapan ini menjadi kenyataan terbukti setelah Sunan Talagamanggung dipercaya menjadi raja ke 2 di Talaga kerajaan Talaga mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Sunan Talagamanggung mempunyai dua orang anak, seorang putra bernama Raden Panglurah dan seorang putri bernama Simbar Kancana. Raden Panglurah sebenarnya diharapkan kelak menjadi penerus tahta Kerajaan Talaga, akan tetapi dia tidak tertarik dengan urusan pemerintahan dan lebih senang mengikuti jejak uwaknya Sang Sudhayasa atau Batara Gunung Bitung untuk menjadi biksu atau Pendeta agama Budha.
Sedangkan putrinya Simbar Kancana dikenal sebagai puteri yang sangat cantik sehingga banyak raja¬raja yang ingin melamar kepadanya. Karena begitu banyaknya orang yang ingin melamarnya sehingga Sunan Talagamanggung mengadakan sayembara dengan berbagai jenis pertandingan selama tiga hari berturut-turut yang diantaranya dipertandingkan keterampilan perang tanding sambil menunggang kuda dengan senjata lengkap, perang tanding sejenis namun tidak berada diatas kuda, keterampilan menangkap binatang buas di hutan, dan kemahiran menggunakan panah.
Dari sekian banyak peserta yang mengikuti sayembara akhirnya keluar sebagai pemenang seorang Satria Indrayana yang bernama Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi. Sang Bhiksu di Talaga ini lebih dikenal dengan nama Palembang gunung. Setelah Palembang gunung dinikahkan dengan Simbar Kancana, ia pun diangkat sebagai patih utama dan bahkan sebagai wakil sang Prabu yang sebenarnya hanya layak diberikan kepada Raden Panglurah.
Dalam perjalanannya Palembang Gunung mulai memperlihatkan tabiat yang tidak baik dan bahkan mempunyai niat untuk merebut tampuk pimpinan kerajaan. Untuk mewujudkan keinginannya Palembang Gunung dengan segala cara dan muslihat berhasil membujuk seorang abdi dalem kesayangan yang dipercaya untuk mengurus semua pusaka dan rahasia kerajaan termasuk senjata awisan konta yang disebut Cis yaitu Centangbarang seorang anak Santana Jero yang jadi teman bermainnya Sunan Talagamanggung dari sejak kecil sampai dewasa, yang sama-sama mendapatkan atikan kesinatriaan dari Begawan Garasiang.
Dan Centangbarang itu, bukan nama aslinya tetapi gelar kepangkatan abdi dalem keraton sama dengan gelar Bendahara Raja di keraton Pakuan. Centangbarang diberikan kekuasaan di Citando tempat berkumpulnya para bebahu dan tunggangan joli, tandu, jampana, dongdang agung, sampai kuda tunggang para ahli jurit pengawal Istana. Centangbarang ini adalah orang yang tahu kelemahan raja dan berhasil menikam Sunan Talagamanggung dari belakang dengan CIS yaitu senjata rahasia milik sang raja yang berhasil ia curi, akhirnya Sunan Talagamanggung wafat ditangan Centangbarang. Tampuk pemerintahan akhirnya diteruskan oleh Putri Simbar Kancana yang merupakan putera mahkota kerajaan, hal ini dikarenakan Raden Panglurah tidak bersedia untuk meneruskan tahta kerajaan dan lebih memilih untuk menjadi Bhiksu di kawasan Gunung Bitung.
Era Ratu Simbar Kancana antara 1420-1450 Masehi
Sepeninggal ayahandanya Simbar Kancana dinobatkan sebagai penerus tahta kerajaan. Pada pemerintahan Simbar Kancana mengalami pemindahan pusat pemerintahan dari Sangiang ke Walangsuji yaitu Desa Kagok Kecamatan Banjaran sekarang ini, yang menjadi tempat baru bagi Simbar Kancana dalam menata dan menjalankan roda pemerintahannya.
Terkait dengan wafatnya Sunan Talagamanggung, akhirnya setelah berhasil menikam Sunan Talagamanggung, Centangbarang kabur dan bersembunyi dihutan untuk menghindari kejaran prajurit kerajaan yang diperintahkan oleh Palembang Gunung, yang tidak lain merupakan otak dibalik semua konspirasi perebutan kekuasaan ini. Wafatnya Sunan Talagamanggung membuat terkejut para raja di tanah Jawa dan Sumatera yang akhirnya mengutus utusannya untuk menyatakan belasungkawa. Suasana duka juga menyelimuti keraton Surawisesa di Kawali yang merupakan ibu kota kerajaan Galuh. Sang Prabu Dewa Niskala mengutus puteranya Sang Kusumalaya untuk mengusut Centang barang dan orang dibalik konspirasinya.
Kusumalaya akhirnya dapat menemukan Centangbarang dari persembunyiannya dan mendapat pengakuan akan semua yang terjadi dan dalang dibalik peristiwa ini. Kusumalaya akhirnya menemui Simbar Kancana secara diam-diam di keputren dan mengungkapkan semua akal licik yang tidak lain adalah suarni dari Simbar Kancana yaitu Palembang Gunung. Simbar Kancana sempat marah kepada Kusumalaya dengan tersinggung dengan disebutkannya dalam konspirasi yang menjadikan wafatnya Sunan Talagamanggung, akan tetapi Kusurnalaya berhasil meyakinkan Simbar Kancana dengan mempertemukan Simbar Kancana dengan Centangbarang ditempat persembunyianya ditengah hutan.
Hingga pada suatu hari setelah Simbar Kancana mengetahui bahwa otak dibalik wafatnya Sunan Talagamanggung adalah Palembang Gunung suaminya, maka pada suatu ketika saat Palembang Gunung tertidur pulas dipangkuannya Simbar Kancana menusukan Konde atau Patrem tiga kali tepat ditenggorokannya, sehingga Palembang gunung atau Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah-Warih, tewas seketika dipangkuan Simbar Kancana.
Sepeninggal Palembang Gunung, roda pemerintahan berjalan secara aman dan tidak pernah terjadi lagi kekacauan dan perampokan yang ternyata semua itu didalangi oleh Palembang Gunung. Tidak lama setelah meninggalnya Palembang Gunung Kerajaan Galuh mengirim utusan untuk melamar Simbar Kancana yang akhirnya menikah dengan Kusumalaya di Keraton kerajaan Talaga Manggung dengan disaksikan para punggawa dan raja-raja sahabat di pulau Jawa dan Sumatera.
Dari pernikahannya Ratu Simbar Kancana dengan Kusumalaya mempunyai anak, yaitu :
1. Batara Sokawayana atau Sunan Parung
2. Mangkurat Mangkureja atau Sunan Cihaur
3. Mangkurat Mangunnagara atau Sunan Bungbulang.
4. Sang Kerok Batok atau Sunan Cengal.
5. Sang Suryakusumah atau Sunan Jerokaso.
6. Raden Kuntul Putih atau Sunan Santoan Luar)
7. Dalem Ciburang atau Ratu Kamana.
8. Dalem Tegal Cau.
Dari kesekian puteranya kelak Batara Sokawayana atau Sunan Parung yang akan melanjutkan tahta Kerajaan Talaga. Ratu Simbar Kancana hidup sejaman dengan Sribaduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi kakak seayah dari Kusumalaya yang merupakan suami kedua dari Ratu Simbar Kancana.
Era Sunan Parung antara 1450-1500 Masehi
Pemerintahan kerajaan di era kekuasaan Sunan Parung mengalami dinamika tersendiri karena pada waktu itu pengaruh agama Islam mulai mempengaruhi tatanan kehidupan dan pemerintahan di wilayah kerajaan Talaga. Dengan masuknya pengaruh Islam mempengaruhi regenerasi kekuasaan yang tadinya tahta diturunkan secara turun-temurun. Dengan ini semua kebiasaan itu berubah dan dalam menjalankan pemerintahanya harus berkiblat ke Cirebon sebagai pusat pemerintahan Islam. Batara Sokawayana atau Sunan Parung mempunyai seorang anak dari permaisurinya, oleh masyarakat di wilayah Talaga dikenal dengan sebutan Sunyalarang atau Ratu Parung, beliau dinikahi oleh Raden Ranggamantri atau Prabu Parunggangsa yaitu keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Era Ratu Parung Sunyalarang antara 1500-1550 Masehi
Setelah Sunan Parung meninggal dunia, tahta kerajaan dilanjutkan oleh puterinya Ratu Parung Sunyalarang yang dibantu oleh suaminya Raden Ranggamantri atau Prabu Parunggangsa. Pada masa pemerintahannya di Kerajaan Talaga terjadi proses islamisasi yang dilakukan oleh penguasa kerajaan setelah secara resmi menyatakan masuk Islam kepada Sunan Gunung Jati Cirebon. Dengan peristiwa ini maka Sunan Gunung Jati memberikan gelar Pucuk Umun kepada Raden Rangga Mantri yang begitu gigih menyebarkan agama Islam di Talaga.
Buah perkawinan Ratu Sunyalarang dengan Raden Rangga Mantri, mempunyai anak :
1. Prabu Haurkuning antara 1550-1560 masehi. Ketika Prabu Haurkuning menjadi Narpati di Talaga, kerajaan Talaga menjadi vatsal Kasultanan Demak, namun menjadi bagian dari wilayah Cirebon oleh Dipati Cirebon berdasarkan perjanjian Karaton Ciburang tahun 1557 masehi.
2. Aria Kikis atau Sunan Wanaperih antara 1560-1565 masehi.
3. Aria Tjutjuk atau Dalem Lumaju Agung, Bupati Majaagung.
4. Pangeran Singalodra atau Dalem Santoan Luar Singandaru atau Sunan Umbul Luar.
5. Dalem Panungtung atau Santoan Patra Djenar di Girilawungan.
6. Dalem Panaekan atau Siriwati
Era Sunan Wanaperih Antara 1550-1590 Masehi
Setelah Raden Rangga Mantri atau Sunan Parunggangsa meninggal, beliau dimakamkan di dekat Situ Sangiang dan tahta kerajaan dipegang oleh putra keduanya yaitu Aria kikis atau Sunan Wanaperih. Pada masa Aria Kikis atau Sunan Wanaperih menjadi penguasa Talaga seluruh rakyat Talaga Sudah menganut Islam.
Sementara itu hubungan dengan Cirebon terus diperkuat dengan pernikahan salah seorang dari putera Sunan Wanaperih dengan Sayid Faqih Ibrahim putranya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Adapun keturunan sunan Wanaperih kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa barat dan bahkan menjadi cikal bakal beberapa Kabupaten di Jawa barat, diantaranya di Subang, Sumedang dan Cianjur.
Sunan Wanaperih mempunyai anak di antaranya :
1. Dalem Kulanata di desa Licin Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang.
2. Dalem Cageur di Darma .
3. Pangeran Apun Surawijaya atau Sunan Kidul
4. Ratu Aradeya ditikah oleh Aria Saringsingan, Lurah prajurit tanpa tanding cucunya Mantri Citrasinga meninggal di Banjaran Girang.
5. Ratu Putri Cipager ditikah oleh Sayid Faqih Ibrahim putranya Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
6. Dalem Wangsa Goparana Padaherang - Cianjur yang menurunkan para Bupati Cianjur dan Wanayasa.
Dalam sejarah Jawa Barat telah disebutkan bahwa Aria Wangsa Goparana berasal dari Talaga yang berpindah ke Sagalaherang Subang dan salah satu puteranya yang bernama Raden Jayasasana atau Raden Aria Wiratanu berpindah ke daerah Cikundul di Cianjur yang akhirnya menurunkan bupati bupati dan pendiri kota Cianjur sekarang.
Era Pemerintahan Pangeran Apun Surawijaya antara 1590- 1635 Masehi
Sepeninggal Raden Aria Kikis atau Sunan Wanaperih tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Apun Surawijaya walaupun sebenarnya masih ada putera tertua Sunan Wanaperih yaitu Dalem Kulanata, keterangan diatas menimbulkan penafsiran bahwa di Kerajaan Talaga setelah Islamisasi terjadi pertentangan politik diantara keluarga kerajaan. Pangeran Apun Surawijaya adalah pendiri Kota Talaga dikenal juga dengan sebutan Sunan Kidul, karena beliau memindahkan pusat pemerintahanya ke sebelah selatan dari keraton Walangsuji tepatnya di Tanah Kagok yang sekaran, ada di sebelah Selatan Kota Kecamatan Talaga.
Pangeran Apun Surawijaya mempunyai empat orang putra, yaitu :
1. Dalem Selawangi atau Pangeran Cakrakusumah.
2. Pangeran Aria Tanudatar atau Dalem Cibalagung Cianjur.
3. Pangeran Aria Surawijaya atau Sunan Ciburuy
4. Pangeran Mangunjaya atau Dalem Tuhu Ciparanje Subang.
Era Pangeran Surawijaya antara 1635-1675 Masehi
Pangeran Surawijaya yang lebih dikenal dengan Sunan Ciburuy menggantikan sang ayah Pangeran Apun Surawijaya melanjutkan tampuk pemerintahan dan terus membangun Talaga oleh para keturunannya dari generasi ke generasi sampai akhirnya tahun 1819 masehi pada masa Bupati Aria Sacanata, Pemerintahan Hindia Belanda mengharuskan Ibu kota Talaga pindah ke Sindangkasih.
Kerajaan Talaga Manggung Berdasarkan Babad Hing Walang Suji (Babon Talaga)
1. Narayan Adhikusumah atau Batara Gunung Bitung atau Sang Sudayosa atau Sang Cipta Permana 2 Terah Sunda Galuh dan Alas Talaga antara 1003-1073 masehi.
2. Pada tahun 1076 masehi, Sang Watugunung atau Prabu Dharmasuci atau Dharmasuci 1 atau Sanghiyang Talagamaggung di Alas Talaga memisahkan diri dari kekuasaan Sunda Galuh, beliau menyebarkan pendidikan Hindu Maisanawa di Alas Talaga yang dicirikan sebagai pendirian kembali Kahyangan Argalingga dan benteng kepanditaan di Lembur Pendetan Sanghyang Rongkob atau Sanha Maya Puruhita, Gedung Puri Nulad Puri Kahyangan Mahameru.
Pada usia sembilan belas tahun, dia belum diberikan keturunan dari Sang Widhi Wasa, meskipun dia telah berdoa untuk Dewa Syiwa di Puri Kahiyangan Ageng dan Puri Argalingga, tetapi isterinya tetap belum mempunyai anak, akhirnya mengadopsi seorang bayi yatu Abiseka Guru Gantangan putranya Begawan Bagaswara Saka Kahiyangan Mahameru.
Abiseka Guru Gantangan adalah seorang sinatria pinandita yang
telah menguasai ilmu-ilmu dan ajaran Hindu Dharma dan telah
menyelesaikan studinya di Rig Veda dan Jayur Veda, Upanishad dan
Bhagawatgita, sehingga ia adalah seorang sinatria yang terampil dalam
akhlak dan budi pekerti, disebut juga Sinatria Pinandita yang luasnya
daya nalarnya dan sastranya; raja menempatkan anaknya ke Perguruan
Garasiyang yang dikenal sebagai Ajar Garasiang atau Begawan Garasiang.
Sanghiyang
Talagamaggung dibangun keprabuan Puri Kahiyangan Agung untuk Ibukota
negara. Kawasan hutan talaga merupakan kampung yang menghubungkan satu
sama lain jalan yang dilintasi dibuat menggunakan batuan dari gunung
Kahiyangan Argalingga, terus ke Cibunut terus ke Pasir Bitung naik ke
Kaputren Baruhjaksi dan Citaman, turun ke Puri Kahiyangan, ke barat, di
Paguron Garasiyang, di mana gunung Uncir tempat tandu membawa orang.
Turun dari Sindang Palay ke kota Walangsudji dan Banjaran tempat para
Prajurit Wadiya Balad berkemah.
Di arah utara terdapat hutan tutupan
tempat berburu binatang yang disebut Suniya ing daksina, dekat dengan
daerah Kancana tempat Wadiya Ponggawa keraton dan Gunungmanik tempat
telik sandi Yudha berada.
Dari Gunung Manik
turun ke pesisir kuno Djaladara Madiya yang disebut Banjaransari dimana
tempat latihan para prajurit Wadya Balad bertanding. Turangga yang
digunakan adalah kuda kacang, walaupun kuda kecil tapi lincah dan
trengginas.
Alas Talaga hingga Gunung
Picung dan Gunung Candana hingga Gunung Padang alias Gunung Bitung masih
merupakan tanah huma petani Jewawut atau Kunyit jasanya Sanghiyang
Rongkob yang telah hilang sama sekali akibat Prahara Ciremai di
Padabeunghar. (sekarang disebutnya dusun Pendetan dan Apuy yang artinya
terbakar api).
Warga Padabeunghar menyelamatkan diri dengan membuat
pemukinan baru di sisi Alas Talaga di sebelah Barat Daya, di sisi jalan
utama Keraton Sunda Galuh dan Kebataraan Gunung Picung (sampai sekarang
masih disebut Blok Babakan di tengah kota Talaga di sebelah Barat
Daya).
3. Prabu Dharmasuci Abirawa atau Prabu Dhmarmasuci 2 antara 1196-1269 masehi melanjutkan Sanghyang Talaga Manggung, ketika ia berusia tujuh belas tahun setelah Sanghyang Talaga Manggung meninggal; sebelum tinggal di Puri Agung, beliau adalah Abiseka Guru Gantangan Narpati antara tahun 1162-1196 masehi. Prabu Dharmasuci Abirawa, Raja Puri Kahiyangan Agung, dan dimoksakan di Situ Sanghyang.
4. Dalam tahun 1209 masuknya pertanian Padi Ketan, Kai Lapa atau Kalapa, Garabah Pariuk di bawa ke Talaga oleh Bhiksu Budha Mahayana disebut juga Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi dan pedagang China yaitu Tan Bong Siu bekas panglima kerajaan Beng yang kalah perang oleh karajaan Chin. Sang Bhiksu di Talaga dikenal sebagai Palemban Gunung (tukang menyemaikan atau menanam bibit Padi Gunung).
5. Dalam tahun 1268 mahehi, Prabu Dharmasuci Abirawa membuat usaha melestarikan budidaya Tanaman Padi Bulu Bagolo di Situ Cipamintar terhalang sebelah Timur Puri Kahiyangan Agung yang disebut talatah Dharmalarang dipimpin seorang ahli pertanian bangsa Cina dari Sriwijaya yang diberi gelar Raden Pandji (makamnya di sisi utara dusun atau Desa Darmalarang).
Tanaman Padi Bulu Bagolo merupakan cikal bakal semua tanaman Padi Ranggeuyan atau Padi Geugeusan utamanya yang sekarang ditanam dipahumaan atau sawah darat ditatar Sunda; dan turunanya yang disebut Cere (Pamurag). seperti Segon, Poslen, Delanggu, Solok dan turunan-turunannya seperti IR 12–21 dstnya, yang ditanam di sawah tanah basah.
6. Dalam tahun 1265 masehi, Ratu Simbar Kancana dikawinkan oleh orang tuanya Prabu Dharmasuci dengan Patih Palembang Gunung sinatria terah Isyana yang diberi nama Dang Sakiyawira Nalanda Bhikshutama Sambhara Bhumi, yang semasa mudanya disebut Satriya Indrayana sahabatnya Rakeyan Pikatan Danur Rayana, yang buyutnya yaitu Sri Mahardja Rakean Pikatan.
Kawah candradimuka wadya balad Wirautama Walangsudji dirobah menjadi Istana Kepatihan, Puri dan Taman tempat tinggal Ratu Simbar Kancana dibuat di sebelah di sisi barat laut keraton, tepatnya di sisi Cipamintar disebut Kaputren Cigumawang.
Di sebelah Barat Daya Keputren ada sebuah hutan tutupan yang disebut Kebon Wana yang lahannya ditanami yang menghasilkan bahan sogan (wana) seperti Kesumba (warna merah tua), Ki Beusi (bahan tinta pena warna hitam), Cangkudu (warna coklat), Burahol (warna biru) dan salam (warna coklat tua) yang digunakan oleh Ratu Simbar Kancana untuk menyelup hasil sentegan atau tenunan tradisional, jamang (baju laki-laki), cinde manik (samping), cinde cagak (celana) dan ambetan (kain penutup dada-leher). Bila kita ingin membandingkam di masa kini kita bisa studi banding ke Kanekes Banten.
7. Dalam tahun 1269 Masehi, terjadi pembunuhan Prabu Dharmasuci Abirawa yang dilakukan oleh Centangbarang suruhan Patih Palembang Gunung. Centangbarang seorang abdi dalem kesayangan yang dipercaya untuk mengurus semua pusaka dan rahasia kerajaan termasuk senjata awisan konta yang disebut Cis. Centangbarang seorang anak Santana Jero yang jadi teman bermainnya Prabu Dharmasuci dari sejak kecil sampai dewasa, yang sama-sama mendapatkan atikan kesinatriaan dari Begawan Garasiang atau Ajar Garasiang.
Dan Centangbarang itu, bukan nama aslinya tetapi gelar kepangkatan abdi dalem keraton sama dengan gelar Girang Serat atau Bendahara Raja di Keraton Pakuan. Centangbarang diberikan kekuasaan di Citando tempat berkumpulnya para bebahu dan tunggangan joli, tandu, jampana, dongdang agung, sampai kuda tunggang para ahli jurit pengawal Istana.
8. Setelahnya kejadian pembunuhan Prabu Dharmasuci, lalu Palembang Gunung mengangkat dirinya menjadi penguasa keraton Walangsuji antara 1267-1295 masehi, namanya diganti menjadi Rakeyan Sambhara Amurwa Bhumi Andana Warih atau Sang Wurah-Warih, dan matinya dibunuh oleh Ratu Simbar Kancana, lehernya ditusuk dengan Ampel atau tusuk konde. yang biasanya digunakan oleh para putri karaton dan berupa pisau kecil sebesar jari kelingking dari besi aji panjangnya, yang gagangnya dari tanduk Rusa ditretes manik-manik, dan sewaktu-waktu bisa menjadi senjata pamungkas untuk menjaga kehormatan diri.
Selama sang Andana Warih alias Palembang Gunung bertahta di Keprabuaan Walang Suji di Alas Talaga, diterapkan aturan-aturan baru, yaitu : Agama resmi nagari Walangsuji yaitu Budha Mahayana, rakyat tidak boleh menjual padi Ketan atau padi Huma ke kota, tapi mesti ke Pengagung atau sistem pejabat mantri lumbung, tiap-tiap rakyat Alas Talaga diwajibkan membayar pajak ke negara berupa hasil pertanian ditambah sacaeng Parabon atau pajak penghasilan dari hasil lahan pertanian atau sebahu tanaman Padi, mesti disetorkan sebanyak 400 kepalan padi yang masih ada tangkainya.
Vihara atau Klenteng Agung dibangun di blok Karang Anyar sedangkan kuburan Budha atau Bong disediakan di Pasir Cicanir sampai ke Citungtung ditambah dengan pemakaman Banusan Gede di sebelah Utara (jaman Islam disebutnya Astana Gede).
9. Di tahun 1292, Prabu Kertanagara alias Sang Kalagemet jatuh oleh panyerbuan Djayakatwang dan dibantu oleh Radja Wurah Warih atau Palembang Gunung.
10. Ratu Simbar Kancana dinobatkan menjadi penguasa Karaton Walangsuji - Alas Talaga antara 1297-1328 masehi, lalu dilanjutkan tahta ke 2 antara 1338-1379 masehi.
11. Di tahun 1328-1338 masehi, Ratu Simbar Kancana, di dadanya tersembur darah Palembang Gunung mengalami penyakit radang payudara (kanker payudarakah?), berobat ke salah seorang ahli pengobatan yaitu Adjar Kutamanggu atau Palinggih, bekas pengawal pedagang Padi Tan Bong Siu yang belajar di Kutamanggu Kerajaan Saunggalah Kuningan. Selama sakit Ratu Simbar Kencana mengasingkan diri di Gunung Cupu Mandalayu yaitu di dusun Cageur Cipasung Darma Kuningan, namanya diganti menjadi Nyi Lara Amis, oleh sebab bau boroknya tercium dari jauh sampai dua tumbak.
Tahta Talaga diwakilkan kepada Ratu Mayang Karuna selama 10 tahun, putri angkatnya Begawan Garasiang atau Abiseka Guru Gantangan, yang sebenarnya Mayang Karuna adalah putrinya Puwayana Kancana Dewa atau Raden Panglurah.
12. Dalam tahun 1338 masehi, Ratu Simbar Kancana menikah kedua kalinya dengan sang Pandita Adjar Kutamanggu yang sejatinya bernama Raden Kusumahlaya putranya Prabu Ningrat Kancana dari Karaton Sunda Galuh Madiya atau Kawasen Surawisesa. Sesudah menikah Ratu Simbar Kancana dinobatkan menjadi penguasa Kerajaan Talaga antara tahun 1339-1406 masehi.
Tahun 1239 masehi, Ratu Mayang Karuna putrinya Purwayana Kancana Dewa atau Raden Panglurah ditikah oleh Raden Munding Sari Ageung atau Prabu Mundingwangi putranya Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi dari isterinya Ratu Raja Mantri Sumedang Larang, selanjutnya dibawa pindah ke Pajajaran dan tinggal di sisi Gunung Gunung Sanggabuana di sebelah Selatan yang ditata seperti keadaan puri Baruhjaksi diberi nama Dusun Talaga yaitu di Desa Cibeureum Kecamatan Tanjungsari Bogor Timur.
Perkawinan Raden Munding Sari Ageung atau Prabu Mundingwangi dengan Ratu Mayang Karuna, mempunyai 2 orang anak yaitu :
- Anak Pertama, Raden Santajaya atau Raden Sonda Sanjaya atau Sunan Corendra yang memperisteri Ratu Sintawati atau Ratu Patuakan, putrinya Prabu Tirtakusuma atau Sunan Tuakan Raja Sumedang Larang 1237-1462 dan Banon Puspita Sari atau Ratu Nurcahya.
- Anak kedua, Raden Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umun Talaga yang memperisteri Ratu Parung atau Ratu Sunia Larang putrinya Batara Sokawayana atau Sunan Parung dari isterinya Mayasari.
13. Batara Sokawayana atau Sunan Parung, putra pertama Ratu Simbar Kencana dan Kusumahlaya, menjadi Narpati Alas Talaga antara tahun 1406-1456 masehi.
14. Ratu Sunyalarang, putra tunggalnya Batara Sokawayana alias Sunan Parung dari isterinya Mayasari putrinya Prabu Langlang Bhuana Saunggalah Kuningan menjadi Narpati Talaga antara 1456-1514 masehi.
15. Raden Rangga Mantri putranya Raden Jaka Puspa atau Prabu Munding Sari Ageung atau Prabu Munding Wangi, meneruskan Ratu Sunyalarang yang ditikahinya antara 1514-1534 masehi.
16. Raden Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umun dan Ratu Sunyalarang Talaga diislamkan oleh uwaknya yaitu Pangeran Walangsungsang dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di tahun 1469 masehi (pamekaran dakwah ajaran Islam ke Raja-raja Sunda-Galuh di wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon.
Gelar Prabu Pucuk Umun atau pemingpin Hindu yang utama, diganti memjadi Sunan Pucuk Umum atau pemimpin baru umat. Islam yang dibawa oleh Pangeran Walang Sungsang baru merupakan Islam Syahadah belum masuk kepada Islam Syariat dan Ibadat. Tata kehidupan di masyarakat masih menganut ajaran Hindu - Budha tetap hidup tidak dirubah.
"Pada tahun 1917 masehi diadakan rundingan oleh para ulama Talaga mengenai kemusyrikan-kemusyrikan yang dilakukan oleh para pejiarah di Situ Sangiang, maka diputuskan di Sangiang supaya ada makam keturunan Kerajaan Talaga Manggung, dengan tujuan ritual penyembahan ke Situ Sanghyang bisa hilang, maka pilihan diputuskan bahwa kuburan Batara Sokawayana atau Sunan Parung yang berlokasi di Desa Champaga Kecamatan Talaga dialihkan makamnya ke Situ Sangiang. Sidang pertemuan dipimpin oleh para kiyai terbuka keturunan Sayid Ibrahim Cipager, " kata Raden Sastradilaga Ulama Talaga.
Tahun 1922 masehi, jasad Batara Sokawayana atau Sunan Parung yang masih utuh karena ajian ilmu Batara Karang yang dipunyainya, lalu jasadnya dialihkan dari Champaga ke Situ Sangiang. Raden Djayadipradja menjadi saksi wakil keturunan Ratu Laubarangsari, dan mertuanya Raden Sastradilaga jadi saksi wakil keturunan Pangeran Natadilaga atau Sunan Maro, dan banyak saksi lainya yang waktu itu disaksikan juga oleh 20 orang termasuk Raden Acap Kartadilaga menantunya Raden Natadiputra saksi wakil keturunan Pangeran Dipati Wiranata.
Di tahun 1921 masehi di pinggir Situ Sangiang ada kuburan Islam ditemukan oleh tukang mengambil Howe atau pohon Penjalin, ditengah-tengah kuburannya ada pohon Howe, pohon howenya tidak bisa dipotong dengan golok.
Berdasarkan mimpi atau wangsit yang diterima oleh juru kunci makam di Sangiang, Bapa Uho (1961), ketika mengantar Esu Sutrisno bin Djoyowinangun (73 tahun), berjiarah ke Sangiang, makam tersebut adalah tempat dikuburkannya jasad Raden Rangga Mantri, beliau meninggal sesudah berusaha menyelam di Situ Sangiang dengan pinggangnya diikat dengan tali yang panjangnya kira-kira seratus depa.
Berdasarkan cerita Raden Djayadipradja (dongeng sepuh), Raden Rangga Mantri ketika menyelam hanya bisa bergantungan satu tumbak dari pucuk pohon bambu bitung yang tumbuh di pekarangan Puri Ageng yang moksa.
Sesudah naik ke darat beliau nyeupah atau makan sirih, lalu bersuci dan sidakep sinuku tunggal mengheningkan cipta rasa dan karsa menghadap ke situ, tidak lama kemudian kira-kira waktu tunggang gunung (antara pukul 16.00-17.00 sore hari), beliau meninggal dan dikuburkan di sana dan juga serta pohon howe yang melilit dipinggangnya yang dipake untuk menyelam, dan rupanya pohon howe tersebut sirungan (tumbuh) lagi. Itu howe dipakai oleh ahli Maenpo Ujungan, sebab sangat manjur untuk memukul musuh dan kalau howe kemasukan roh karuhun katanya bisa berdiri, Wallohu a’lam.
17. Ratu Sunya Larang dari kerajaan Parung Champaga, yang ditikah oleh Raden Ranggamantri, mempunyai anak 6 orang, yaitu :
1. Prabu Haurkuning, yang Ratu Galuh Panyocok tanggal 3 karena adanya Banjir sungai Citanduy kerajaan tenggelam berubah menjadi Rawa Lakbok, antara tahun 1550-1560 masehi. Ketika Prabu Haurkuning menjadi Narpati di Talaga, kerjajaan Talaga menjadi vatsal Kasultanan Demak, namun menjadi bagian dari wilayah Cirebon oleh Dipati Cirebon berdasarkan perjanjian Karaton Ciburang tahun 1557 masehi.
2. Aria Kikis atau Sunan Wanaperih antara 1560-1565 masehi.
3. Aria Cucuk atau Dalem Lumaju Agung, Bupati Majaagung.
4. Pangeran Singalodra atau Dalem Santoan Luar Singandaru atau Sunan Umbul Luar.
5. Dalem Panungtung atau Santoan Patra Djenar, Girilawungan.
6. Dalem Panaekan atau Siriwati
18. Aria Kikis atau Sunan Wanaperih antara 1560-1565 masehi, mempunyai anak 6 orang, yaitu :
1. Dalem Kulanata di Desa Licin Serang Cimalaka Sumedang.
2. Dalem Cageur di Darma Kuningan.
3. Pangeran Apun Surawijaya atau Sunan Lemah Abang).
4. Ratu Aradeya ditikah oleh Aria Saringsingan atau Lurah prajurit pilih tanding cucunya Mantri Citrasingha, meninggal di Banjaran Girang.
5, Ratu Putri Cipager ditikah oleh Sayid Faqih Ibrahim putranya Syekh Muhyi Pamijahan Tasikmalaya.
6. Dalem Wangsa Goparana Padaherang Cianjur, yang kemudian hijrah ke Sagala Herang kabupaten Subang, menurunkan para Bupati Cianjur dan Wanayasa.
Upaya Pelestarian Sejarah Kerajaan Talaga Manggung
Museum Talaga Manggung
Museum Talaga Manggung, terlctak di tengah Ibu Kota Kecamatan Talaga Sebagai salah satu upaya dalam melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Talaga Manggung dimuseum in] tersimpan barang – barang pusaka yang menjadi bukti akan keberadaan Kerajaan Talagamanggung. Awal mula dibangunnya sebuah museum yang terletak dl tengah Ibu Kota Kecamatan Talaga dengan di awali pembuatan sebuah bangunan yang disebut “Bumi Alit” diperkirakan dibangun pada jaman Pangeran Sumanagara sekitar tahun 1820 setelah pemerintahan Kabupaten Talaga dipindahkan ke Sindangkasih oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1819.
Pada saat itu pemerintahan Talaga dipimpin oleh Pangeran Aria Sacanata. Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga:
1. Pangeran Sumanagara antara 1820-1840
2. Nyi Raden Anggrek antara 1840-1865,
3. Raden Natakusumah antara 1865-1895,
4. Raden Natadiputra antara 1895-1925,
5. Nyi Raden Masri’ah antara 1925-1948),
6. Raden Acap Kartadilaga antara 1948-1970,
7. Nyi Raden Madinah antara 1970-1993,
8. Raden Oo Mohammad Syamsuddin antara 1993-2001,
9. Raden Abung Syihabuddin antara 2001-2013,
10. Nyi Raden Padnalarang antara 2014 sampai sekarang.
Dalam upaya melestarikan dan menitik beratkan pada keamanan barang peninggalan sejarah Kerajaan Talagamanggung dari hal-hal yang tidak diinginkan, pihak Keprabonan Talaga memohon perhatian Pemerintah Daerah Majalengka demi upaya tersebut diatas. Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut Keprabonan Talaga pada tahun 1991 membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Talagamanggung, yang didalamnya terdiri dari para keturunan raja Talaga dan berbagai pihak yang memiliki kesamaan visi untuk melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Talagamanggung.
Pada tahun 1993 atas permohonan Yayasan Talagamanggung, Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka merealisasikan pernugaran Bumi Alit menjadi sebuah Museum yang diberi nama Museum Talagamanggung. Yang selanjutnya dimuseum ini tersimpan barang peninggalan Kerajaan Talagamanggung.
Prosesi Upacara Adat Nyiramkeun Pusaka
Nyiramkeun adalah sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang selalu dilaksanakan pada Hari Senin Tanggal Belasan Akhir Bulan Syafar. Adapun kata Nyiramkeun berasal dari bahasa sunda dengan kata asal “Siram” yang berarti memandikan. Adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Keprabonan Talaga secara turun temurun dengan tujuan untuk melestarikan barang peninggalan Kerajaan Talagamanggung.
Di samping itu tujuan diselenggarakannya upacara Nyiramkeun sebagai ajang silaturrahmi antar sesama keturunan Kerajaan Talagamanggung, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tua terdahulu yang mewariskan peninggalan – peninggalannya.
Dalam melaksanakan upacara Nyiramkeun ada bagian-bagian prosesi acara yang tidak boleh ditambah atau dikurangi, yang diantaranya adalah : Pengambilan air dari 7 mata air yang sudah ditentukan, yaitu Mata air Gunung Bitung, mata air Situ Sangiang, mata air dari Cikiray, mata air dari Wana Perih, mata air dari Lemahabang, mata air dari Regasari dan mata air dari Cicamas.
Sesaji, yang biasa disiapkan setiap akan melaksanakan 3 prosesi upacara Nyiramkeun, satu untuk sesaji pada prosesi nyiramkeun Arca Raden Panglurah, satu untuk prosesi Nyirarnkeun Arca Ratu Simbar Kancana dan satu lagi untuk prosesi Nyiramken barang-barang pusaka.
Bunga Setaman dan Wewangian juga merupakan salah satu syarat yang harus disiapkan dalam Prosesi pencucian barang pusaka yang mempunyai fungsi untuk memudahkan dalam pencucian barang pusaka dan sehingga wanginya pun bisa bertahan lama.
Adapun hal-hal baru yang berkaitan dengan upacara Nyiramkeun juga dilaksanakan, Kirab Barang Pusaka mengelilingi kota Talaga sebagai wujud rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan sejarah Kerajaan Talagamanggung. selain Kirab Barang Pusaka juga dimeriahkan pula oleh pementasan seni budaya yang merupakan aset kesenian daerah yang terdapat di wilayah Talaga.
Salam Santun
Post a Comment