Kerajaan Pakuan Pajajaran Pada Masa Ratu Sakti, Tahun 1543–1551 M
Pertempuran demi pertempuran, harus dijalani para prajurit Kerajaan Pajajaran, di masa pemerintahan Ratu Dewata. Sejumlah perwira senior, harus menghadapi gelombang serangan ganas dari Banten, melalui Pelabuhan Kelapa.
Fery Taufiq El Jaquene dalam bukunya yang berjudul "Hitam Putih Pajajaran, Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran," mengisahkan, ada sekitar 15 pertempuran yang harus dihadapi para perwira senior untuk mempertahankan benteng Pakuan Pajajaran, dari serangan musuh.
Meski ketangguhan benteng Pakuan Pajajaran, tak mampu ditembus pasukan Banten, namun dua senopati senior dari Kerajaan Pajajaran, harus gugur di medan laga. Kedua senopati tangguh itu adalah Tohaan Ratu Sangiang, dan Tohaan Sarendet.
Dalam bukunya, Fery Taufiq El Jaquene menyebutkan Ratu Dewata lebih banyak memilih jalan bertapa dan terlalu alim dalam memimpin Kerajaan Pajajaran. Hal ini diduga akibat Ratu Dewata yang memiliki kelemahan dalam menghadapi kenyataan. Bahkan dalam Carita Parahiyangan, sosok ratu Dewata dicela dengan berbagai sindiran: "Nyai iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik papuasaan", yang secara harafiah dapat diartikan "Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa". Bahkan, penulis Carita Parahiyangan, juga menambahkan kalimat: "Samangkana ta precinta" yang secara harafiah dapat diartikan: "Begitulah zaman susah". Tulisan-tulisan itu menjadi sindiran untuk Ratu Dewata. Ratu Dewata yang merupakan raja ketiga Kerajaan Pajajaran, dan memerintah pada tahun 1535-1543 Masehi, untuk menggantikan ayahnya, Surawisesa. Masih mampu mempertahankan Kerajaan Pajajaran, dengan membuat perjanjian dengan Cirebon dan Demak.
Perjalanan Kerajaan Pajajaran, semakin surut ketika Ratu Sakti naik takhta menjadi raja ke empat Kerajaan Pajajaran. Dia memerintah Kerajaan Pajajaran, pada tahun 1543-1551 Masehi. Ratu Sakti hanya sempat menikmati takhta selama delapan tahun, sebelum akhirnya dikudeta oleh Ratu Nilakendra.
Diharapkan mampu menjadi raja yang kuat bagi Kerajaan Pajajaran, ternyata perilaku Ratu Sakti justru sangat buruk. Fery Taufiq El-Jaquene mengisahkan, Sejak Ratu Sakti naik takhta, Kerajaan Pajajaran ditimpa masalah kompleks. Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan Ratu Sakti, karena kelaparan merajalela, dibarengi dengan kemaksiatan dan kejahatan. Saat rakyat mengalami bencana kelaparan, Kerajaan Pajajaran tidak memasok kebutuhan pokok rakyat. Ratu Sakti justru lebih suka mabuk-mabukan, dan jauh dari agama. Tak hanya itu, Ratu Sakti juga tidak mempedulikan tatanan hukum negara, sehingga rakyat mulai membangkang. Dikisahkan Fery Taufiq El-Jaquene, Ratu Sakti memiliki moral buruk, memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan pasti. Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton, sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan, Ratu Sakti juga memperistri ibu tirinya.
Dalam Carita Parahiyangan, juga dituliskan tentang keburukan Ratu Sakti, yang berbunyi "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata", yang artinya "Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikannya". Rakyat Kerajaan Pajajaran, tak lagi mengurusi Kerajaan Pajajaran, karena sedang mendapatkan gangguan dari luar, seperti dari Banten, Cirebon, dan Demak. Rakyat Kerajaan Pajajaran, lebih fokus mengurusi diri sendiri untuk menyelamatkan keluarga masing-masing. Kisah buruk pemerintahan Kerajaan Pajajaran di bawah kepemimpinan Ratu Sakti, berakhir setelah Ratu Nilakendra atau Tohaan Domajaya naik takhta. Ratu Nilakendra naik takhta pada tahun 1551 Masehi, setelah Ratu Sakti tewas. Harapan akan datangnya ratu adil bagi rakyat Kerajaan Pajajaran, ternyata masih jauh panggang dari api. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
Post a Comment